✧. halaman terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

━━━━━━━━━━━━━━━━━

Rindou menoleh ke sana kemari, mencari eksistensi sang kakak yang tak kunjung ia temukan.

Sampai di ruang tengah, dapat ia lihat lelaki dengan surai hitam—pada akar dan ujungnya—serta pirang pada bagian tengah, sedang duduk di sofa.

Rindou berjalan ke arahnya.

"Aniki, apa kau sudah dengar?"

Yang dipanggil mendongak, menatap Rindou yang mendekat. Dengan santai mendudukkan diri di sebelah.

Ran menghentikan aktivitasnya—ia sedang mengelap tongkat yang biasa digunakan saat berkelahi.

"Dengar apa?"

Perhatian Rindou berpusat pada camilan ringan di atas meja—hanya beberapa lembar roti tawar. Diambilnya selembar roti, dan dimasukkan ke mulut. Dengan perlahan dikunyah, lalu ditelan setelahnya.

"Apa Aniki tahu keluarga Murakami?"

Tangan berhenti sejenak. Senyuman malasnya mendadak kaku tatkala nama tak asing terdengar.

Ran sebisa mungkin mengontrol suaranya.

"Jarang sekali kau tertarik dengan topik politik. Tentu saja aku tahu. Murakami Seiya adalah penjabat yang naik sekitar tiga tahun lalu bukan?"

Rindou menaikkan alisnya.

"Ho? Aniki juga tahu ternyata."

"Jadi, ada apa memangnya?"

Mendadak, lelaki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, kini tertawa kencang. Ia memukul pahanya sendiri dan kemudian menatap sang kakak.

"Dengar, dengar! Murakami (Name), istrinya dikabarkan meninggal! Katanya kecelakaan!"

Senyuman luntur seketika. Wajah menggelap tatkala sang adik berkata. Jantungnya seolah diremas, dan ia berharap bahwa telinganya salah.

Kelopak matanya sedikit melebar, dan tatapannya segera mengarah pada sang adik. Menunggu Rindou melanjutkan kata-katanya.

"Dan aku iseng bertanya pada orang sekitar," sang adik kembali bicara tanpa memperhatikan suasana. "Setahuku, istrinya dibunuh oleh Murakami Seiya itu sendiri! Hahahah! Dan Aniki, ini hanya kabar burung sih. Aku juga tahu dari orang bernama Koko itu. Mungkin Koko dapat info dari pelayan rumah sana."

Ran masih terdiam.

"Katanya, wanita itu menyebut nama laki-laki lain. Ini sungguh lucu sebab namanya sama denganmu."

Sekujur tubuh Ran mendadak mendingin. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Kain yang ia gunakan untuk mengelap, ditaruh dengan perlahan di atas meja.

"Ran," adalah satu kata yang memicu amarah. Rindou sungguh tidak peka ketika wajah Ran sudah terlihat sangat buruk.

Tongkat melesat, berhenti tepat di samping leher Rindou.

Kedua kakak beradik saling tatap. Rindou menatap bingung, tak habis pikir dengan perubahan sikap kakaknya yang tibatiba.

"... Aniki?"

Ran menatapnya sedikit sayu.

"Aku peringatkan untuk tidak bicara lagi, Rindou. Aku tidak ingin menyakitimu."

Sepasang manik ungu sang adik melebar.

"Jangan bilang ... Ran yang disebut itu memang kau?"








































𝐒𝐇𝐄 𝐈𝐒 𝐆𝐎𝐍𝐄, 𝐁𝐔𝐓 𝐒𝐇𝐄 𝐔𝐒𝐄𝐃 𝐓𝐎 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄








































𝟐𝟎𝟏𝟕
—𝐛𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧

Diri terjaga sepanjang malam. Merana pada diri yang terdiam. Hanya mendengar sayup, pada sepi yang melamar kerinduan.

Pada dia yang masih ada dalam bayang.

Senyum manis tidak pernah hilang dari dalam ingatan. Haitani Ran dengan hati-hati, sepenuh hati, menyimpannya agar tak hilang. Mengenang kala rindu datang.

"Nee-san."

Bergumam pelan, seiring waktu berjalan. Hanya melangkah tanpa tergesa, menuju ruang penuh dosa.

Tersenyum dengan pandangan hampa. Pikirannya berkelana, meninggalkan raga tanpa jiwa. Merasa mati tanpa dia disisi.

Sepatu bergesekkan dengan lantai. Menimbulkan gema. Kemudian, pintu dibuka. Menampilkan seorang wanita yang terikat di atas kursi.

Menangis. Memohon ampun. Berteriak. Bersedia melakukan apapun asalkan dia dapat bebas.

"Kamu ... mirip dengannya ya," dia kembali bergumam. Wajah Ran sungguh datar tanpa adanya ekspresi yang jelas.

Pupil menyusut pada detik berikutnya. Bersamaan dengan timah panas yang bersarang, dalam kepala yang tertunduk. Membiarkan semerbak bau besi menyebar.

"Itulah mengapa aku tidak menyukainya."

Langkah kaki lain terdengar. Kali ini seorang pria dengan surai mullet ungu bersandar di ambang pintu.

Menatap datar, pada sosok yang dihormati.

"Aniki?"

Yang dipanggil menoleh. Rambut Ran dipotong pendek, serta ditata rapi, hingga tak ada lagi helai nakal yang menusuk. Ingin rasanya dia menunjukkan penampilan baru ini pada (Name).

"Rindou?"

Senyum khas dilempar.

Rindou bersedekap. Memperhatikan raga yang mendingin, perlahan mati.

"Hari ini kau banyak membunuh."

Tidak salah. Mungkin jika dihitung dari sejak pagi, sudah ada lebih dari dua puluh nyawa yang direngut.

"Apa karena ini adalah hari peringatannya?"

Rindou sedikit mengerutkan kening. Menatap sosok yang merapikan pakaiannya—sekaligus membersihkan noda darah pada bawah pipi.

"Apa maksudmu, Rindou? Suasana hatiku hanya sedang buruk."

Rindou tahu jelas apa yang dipikirkan kakaknya.

Dia merasa bersalah pada kekasihnya.

Dia tak bisa melupakan cintanya.

"Cobalah untuk melepaskannya, Aniki. Ini sudah lebih dari sepuluh tahun."

Lembayung ungu saling bertubrukan. Jika diatas kanvas, mungkin akan sempurna bila ditambah sinar senja. Sayang sekali semua hanyalah tipu muslihat semata.

"Aku tidak bisa, Rindou."

Jawaban tanpa ragu.

Cinta Ran terlalu besar, hingga Tuhan angkat tangan.

Cinta pada senja menghilang, dikala semesta membawanya pulang.

Gelap telah datang, menyelimuti seluruh bagian diri.

Raga tanpa hati, pun tanpa jiwa.

"Dia memang sudah pergi. Namun dia tetaplah milikku, Rindou."

Hatinya terluka.

Wanita yang kini telah tiada, diam-diam menangis di atas sana. Berlutut di sisi sang penguasa. Memohon pada Tuhan untuk memberi Ran kebahagiaan.

Untuk terbebas darinya.

"Aku mencintainya."

Tidak semua kisah ksatria dengan tuan putri berakhir dengan baik.

Sebab sejak awal, mereka sudah salah.

Tidak seharusnya, (Name) bertanya siapakah namanya. Dan tidak seharusnya, Haitani Ran menjawab dengan senyuman.

•••

25 Juli 2021
©Lemo_Ra

-end

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro