โ” ๐‚๐š๐ญ๐š๐ฌ๐ญ๐ซ๐จ๐ฉ๐ก๐ž

Mร u nแปn
Font chแปฏ
Font size
Chiแปu cao dรฒng

โ‹‡โ‹†โœฆโ‹†โ‹‡













โŒ— ๐‚๐š๐ญ๐š๐ฌ๐ญ๐ซ๐จ๐ฉ๐ก๐ž

____________

BERSAMANYA dunia terasa sempurna. Ia habiskan waktu demi waktu untuk sebuah konversasi. Tiap kesempatan digunakan untuknya menciptakan kenangan dengan sang punya sinar jingga. Dan Kim Dokja benar-benar menikmati waktu. Kedamaian tiap detik yang berlalu.

"Dokja," panggilan itu disahut dengan netra legam yang menoleh.

(Name) duduk di sofa, tepat di sebelah lelaki itu. Ia melipat tangan di bawah dadanya lantas menatap gawai lelaki yang dipenuhi tulisan.

Sudah setahun lebih, cukup untuk mereka lebih familiar dengan masing-masing. Apalagi keduanya memiliki kesamaan, walau dalam arti yang menyedihkan.

"Berbicara tentang novel yang selalu kau ceritakan itu ... "

Kepala perlahan ia sandarkan pada sofa. Ia terlihat berpikir sejenak. Kendati sang surai legam tetap menunggunya dengan sabar.

"Bagaimana bila hal itu menjadi kenyataan?"

Menaikkan sebelah alis, Kim Dokja memperhatikan bagaimana wanita itu menanyakan hal absurd. Ia tersenyum tipis pada sepasang permata jingga yang menatap matanya.

"Noona ada-ada saja," Kim Dokja menaruh ponselnya di atas pangkuan. Ia tertawa pelan sebelum mengulas senyum. "Bukankah itu bencana? Akan banyak yang berubah. Monster, manusia dengan kekuatan, konstelasi, dan lainnya."

"Lalu bagaimana denganmu?"

Kim Dokja tampak sedikit bingung.

"Maksudnya?"

"Maksudku apa yang akan kau lakukan. Bukan bagaimana dunia ini akan berubah."

Paham apa yang dimaksud, Kim Dokha mengulas senyum tipis.

"Aku ingin melihat ending dari cerita itu dengan mata kepalaku sendiri."

Jawaban itu disahut dengan wanita yang menatapnya dalam diam. Lantas Kim Dokja merasa malu sendiri sebelum mengalihkan pembicaraan.

"Kalau Noona ... ? Noona sendiri bagaimana?"

(Name) terdiam. Ia berpikir sejenak sebelum menatap langit-langit ruangan.

"Aku akan menemanimu," ia memberi jeda sesaat. "Toh hidup sama-sama kesepian. Bukankah lebih baik bersama saja dari pada sendirian?"

Tak sadar bahwa kalimat itu cukup ambigu, nona satu ini dengan santainya tersenyum puas. Kemudian menoleh untuk mendapati Kim Dokja yang menatapnya terkejut. Matanya membola dengan sedikit rona merah di pipi.

Sekon berikutnya, ia baru sadar kalau kalimat yang ia ucapkan bermakna lain.

"Melihat kau yang tidak menyanggah, kau tertarik ya?"

"Pfft!"

Diluar dugaan, tawa itu membuatnya terpaku. Napasnya tercekat ketika lelaki itu tertawa pelan lalu sedikit mencondongkan wajah. Mengajak netranya untuk saling sapa dengan senyuman hangat. Pipi yang merona tipis itu merebut atensinya. Lantas ia terdistorsi dengan bibir yang mengulas senyum sebelum mengalihkan pandang.

"Terkadang aku berpikir, bahwa Noona cukup narsis."

(Name) menaikkan alisnya bingung dan kembali menatap manik legam.

"Aku anggap itu pujian."

Kim Dokja kembali terkekeh.

"Aku suka itu."

"Apanya?"

Kim Dokja menatap matanya dengan intens.

"Aku suka ditemani Noona."

Menyadari jaraknya terlalu dekat, Kim Dokja berdeham lalu menjauh.

'Bocah puber satu ini kenapa?'

Ia melirik (Name) sejenak lalu berbicara kembali.

"Lagipula, memangnya apokaliptik seperti di novel ini berpotensi menjadi nyata?"

Dan Dokja menyesali ucapannya itu 9 tahun kemudian.


























[ LAYANAN GRATIS SISTEM PLANET KE-8612 TELAH BERAKHIR ]

























"Apa aku sudah mengucapkan terima kasih kemarin?"

Jung Heewon berjongkok dan bertopang dagu, menatap pria dengan kemeja hitam di depannya. Stasiun sedang dalam keadaan kacau. Tapi wanita ini bukan tipe yang tidak sopan sampai melupakan penyelamatnya.

"Sepertinya sudah."

Kim Dokja mendekat kemudian duduk di sebelah Jung Heewon. Wajahnya datar, tapi Jung Heewon cukup jeli untuk menyadarinya.

"Kau terlihat khawatir."

Pria itu refleks menoleh.

"Aku?" tanyanya bingung.

Jung Heewon mengangguk.

"Ya, terlihat jelas. Apa karena skenario?"

Kim Dokja menghela napasnya pelan dan menggeleng. Ia mengalihkan pandangannya dan menatap kembali rel kereta.

"Sesuatu yang lain."

Menyadari bahwa hal ini mungkin sensitifโ€”menyadari bahwa raut wajah pria ini sangat gusar, Jung Heewon tidak bertanya lebih lanjut.

Sementara Kim Dokja larut dalam pikirannya.

(Name) itu wanita yang pintar.

Pria ini selalu membacakan novelnya sebagai bahan bicara dengan (Name). Setiap hari ia lakukan. Sehingga pastinya (Name) akan sadar bahwa pembicaraan mereka 9 tahun lalu menjadi kenyataan kan?

Mengusap wajahnya gusar, ia membatin frustasi.

'Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah pulang atau belum.'

โ˜†โ˜†โ˜†

"Tidak mungkin terjadi apanya, sialan."

Darah dipipi ia usap. Napasnya terengah-engah kala ia jadikan tembok sebagai sandaran. Poni panjang ia sisir ke belakang. Netranya menatap sayu langit yang kian menggelap.

[ Konstelasi 'The Omnipotent for Eternity' puas dengan pencapaian anda ]

[ Anda menerima sponsor 500 poin ]

Keningnya mengerut. Ia merasa bingung dengan sponsor yang dipilihnya ini. Seingat (Name), Kim Dokja tidak pernah menyebutkan konstelasi dengan modifier ini.

Namun sudahlah. Untungnya sponsor ini sangat membantu untuk amatiran sepertinya.

"Tapi aku bisa bertahan karena dia."

Menghela napas, ia mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Cemas kentara pada paras cantik itu.

Setiap bertemu, sudah menjadi rutinitas baginya untuk bertanya, 'bagaimana novelnya?'

Dan akan dijawab dengan ringkasan cerita chapter terbaru. Bagai dongeng, suara yang masuk ke dalam gendang telinganya begitu tenang. Sesungguhnya dia juga kagum dengan pembaca yang tahan dengan novel sepanjang dan selama itu.

โ€”kendati sesungguhnya nona ini tahu bahwa itu bukan sekedar novel bagi pria yang dimaksud.

"Bila itu dia, berarti sekarang aku hanya perlu ke stasiun ya."

Wanita itu menatap bajunya yang lusuh sejenak sebelum mengetukkan heels ke aspal. Menyadari hak tinggi itu sudah sekarat dan mendengus pelan.

[ Konstelasi 'The Omnipotent for Eternity' menertawakan anda ]

"... sebelum itu aku harus cari sepatu."

โ˜†โ˜†โ˜†

16 Januari 2024

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen2U.Pro