[40] PENGENDALIAN DIRI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagi pengen update cepet. Kuy vote dulu🤩🤩🤩🤩

Aku tidak puas tinggal sendirian di vila. Suasananya yang tenang terasa jauh lebih mencekam daripada yang kupikirkan. Aku mengintip dari celah gorden merah. Tidak ada apapun di halaman selain hanya gemerisik angin menerjang rumput yang tinggi. Dengan langkah lunglai, aku duduk di sofa. Menolak tinggal di kamar yang sudah tersedia untukku.

Berkat aku yang menetap di ruang tamu, Sunghoon ikut duduk di sisi lain sofa dengan tangan terlipat. Pertengkaran kami sangat aneh. Jika tidak menyukai hasil opini masing-masing, semestinya salah satu pihak menyingkir untuk menenangkan diri. Namun, Sunghoon sama keras kepalanya denganku. Atau memang ini dedikasinya untuk mengawasi gerakanku.

Bah. Ini memang salahnya memilih menggigitku. Aku gadis yang dipilih menjalani hidup sial sebagai vampir.

Berjam-jam lamanya aku mengintip area luar rumah. Berharap ada keajaiban yang datang, misalnya Sarang dan Seokjin membawaku pergi dari vila yang terasa semakin sesak.

Tak tahan harus melihat wajah cekungnya, atau tatapan kelamnya yang menyiksa itu, aku beralih tempat. Di area tengah rumah, terdapat kolam kecil dengan puluhan ikan Garra Rufa. Aku segera menjerumuskan kedua kakiku ke dalam kolam. Ikan-ikan itu pesta pora merubungi kedua kakiku, sayangnya seluruh tubuhku mengandung sesuatu yang dihindari oleh makhluk hidup. Ikan-ikan itu berhamburan menjauhi kakiku. Entah muncul dari mana sikap jahil, aku menendang air tak tentu arah. Senang menghancurkan ikan-ikan yang kelaparan. Aku tak perlu menebak berapa lama rumah itu tidak diurus.

Mengingat laparnya hewan-hewan malang itu, aku beranjak ke dapur. Sialnya tidak ada apapun makanan yang bisa disantap. Mungkin bagi Sunghoon, sebagai vampir kami tidak perlu makan. Namun, aku merasa ingin memberikan remah roti pada ikan-ikan tersebut.

"Hei, beri aku uang," perintahku sewaktu Sunghoon melewatiku.

"Untuk apa?" tanyanya penuh kecurigaan.

"Ayolah. Kita juga butuh makan. Kau bahkan belum membelikanku steik! Padahal aku menunggu seharian."

"Terlalu larut bagi kita mengunjungi restoran. Sudah pukul dua malam sekarang," tepis Sunghoon.

"Ish. Kalau begitu, beli daging dan bahan lainnya."

"Besok saja, bagaimana?" tawar Sunghoon.

"Tidak seru. Baiklah, besok aku harus makan sesuatu, atau aku akan mencuri darah semua hewan dalam satu kandang." Aku bersungut-sungut. Lantas pergi ke kamar yang ditujukan untukku. Tanpa segan, kubanting pintu kamar sekeras mungkin. Susah sekali mengurus Sunghoon yang kehausan. Dia butuh energi agar selalu prima. Menjengkelkan karena dia selalu menjagaku, tetapi tidak pandai mengurus dirinya sendiri.

Aku berguling kebosanan di ranjang empuk. Otakku diperas sedemikian rupa demi mendapatkan uang. Jika tidak mencuri, aku harus membeli seekor kambing. Namun, bagaimana dengan Sunghoon? Mustahil mendapatkan darah manusia dengan cara donor, kecuali menerobos ke dalam kantor bank darah.

***

Sebagai vampir, pasti punya kelebihan yakni kecepatan dalam bergerak. Namun, kami punya kelemahan besar. Sama halnya dengan manusia kelaparan, bisa jatuh pingsan kapan saja. Tidak pelak kalau aku cenderung marah karena kelaparan. Sunghoon terus mengontrol gerakanku. Aku tidak bisa dibiarkan lolos dari pengawasannya. Menjengkelkan dipenjara olehnya. Tidak ada komunikasi dengan orang luar.

Aku semakin khawatir dengan Sarang dan Seokjin. Walau mereka hidup lebih lama dibandingkan aku, masih saja kekhawatiranku belum surut. Aku takut terjadi sesuatu pada mereka.

Seharian aku cemberut menatap langit. Matahari mulai tenggelam di barat. Udara semakin dingin. Aku duduk di balkon atas, menatap marah langit. Tega sekali Sunghoon menolak permintaanku untuk berburu. Omong-omong, ini hari ke-12 setelah pembantingan pintu yang kulakukan. Selama itu pula Sunghoon belum minum darah. Aku terus merongrongnya lekas mencari darah. Bisa saja bukan aku yang membuat onar dengan membantai ratusan kambing. Kalau Sunghoon sampai hilang akal, itu yang berbahaya telah menggigit manusia.

Ironis sekali. Di kota Gapyeong, aku pernah mencicipi 12 mangkok Patbingsu. Di kota yang sama tiga tahun berikutnya, alias sekarang, tiba-tiba pemilik kedai meninggal? Ha, aku tidak percaya ucapan Sunghoon. Bisa saja dia membohongiku agar dompetnya tidak kempis seketika. Hebat sekali. Dia harusnya mengakomodasi kepuasan tenggorokanku karena menggigitku. Bukan membuatku kelaparan bukan main dengan makan daging mentah.

Ini pasti akal-akalannya. Siapa tahu dia sudah bangkrut. Tidak akan kumaafkan. Aku akan mencekik lehernya lagi, tanpa ampun karena menyebalkan.

"Kau lihat apa?" tanya Sunghoon.

"Tidak lihat apa-apa. Pergi sana," kataku.

Dia berdiri di sampingku, ikut menatap ke langit. "Dawn," cetusnya. Suaranya terdengar sedih. Aku menoleh dengan enggan semata membaca emosinya.

"Kenapa dengan itu?"

"Kelahiran dan kematian jantung manusia dalam detik yang sama."

"Terima kasih sudah membuatku mati," kataku sarkastis.

"Yuri-ya, aku memilihmu karena...."

"LAPAR SEKALI!" Aku berteriak sengaja. Tidak mau terlibat percakapan serius. Bulu tengkukku selalu tegak jika dia mengungkit alasan dia menggigitku. Aku tidak mau terjebak dalam suasana yang terlalu.... Ugh!

"Kau boleh keluar rumah mulai besok."

"Wae?" Aku tidak percaya dengan telingaku sendiri. Aku tidak mau girang begitu saja. Siapa tahu dia menipuku besok paginya.

"Situasi cukup aman bagi kita berburu."

"Awas kalau kau bohong," kataku setengah mengecam.

"Aku jamin, tapi kita harus hati-hati di sekitar sini. Masih ada yang mengawasi gerakan kita."

"Ayolah, katamu kita bisa menyamarkan bau kita dengan baju baru. Untuk apa pakaian modis yang kau belikan itu tidak dipamerkan di tempat umum. Lihatlah! Yang kupakai cuma satu, dua, tiga baju! Dan kau cuma punya dua stel pakaian. Tidak ganti selama 12 hari. Masih untung tubuhmu wangi karena parfum!" Aku tidak bisa mengendalikan omelanku.

Omong-omong, aku jadi ingat Eomma yang tidak pernah berhenti mengomeli semua anggota rumah tiap ada yang berulah.

Anehnya aku lega usai melontarkan kata-kata berkecepatan KTX untuk Sunghoon.

"Berjanjilah, jangan tinggalkan aku, kecuali aku yang menyuruhmu pergi," pesan Sunghoon.

"Neeeeeee." Aku menyahut bosan.

Sudah tidak terhitung dia berkata seperti itu. Agaknya Sunghoon jadi sosok yang posesif. Aku ingin kabur kalau terus seperti ini.

Saat aku ada dalam fase dimabuk cinta, naksir karena wajahnya tiga tahun lalu, aku berharap hubungan yang sehat. Saling menyayangi dalam batas wajar.

Nah, apakah ini wajar?

Disuruh pergi saat satu pihak yang meminta pergi. Itu pun dalam kasus yang tidak mengenakkan. Aku yakin. Suka tidak suka, aku harus pergi kalau Sunghoon yang menyuruh.

"Baiklah. Cepat masuk. Jangan rencanakan apapun, selagi langit bisa menyihir pikiranmu."

"Pikiran apa?"

"Kau bakal kabur dari rumah. Aku akan ikut pergi mendampingimu."

Aku membungkukkan badan. Separuh badanku menjuntai ke pagar balkon. Jengkel karena tidak diizinkan pergi ke mana pun dengan bebas. Tidak Seokjin dan Sarang—Sunghoon pun lebih buruk melarangku keluar.

"Tidak!"

"Harus."

"Kenapa aku tidak boleh keluar? Sementara kau bebas menyelinap keluar beli daging?"

"Aku khawatir akan nasib orang-orang tidak bersalah harus bergelimang darah. Meminimalisir pertikaian adalah cara terbaik untuk kita hidup. Kemungkinan kau membunuh adalah 100%."

"Kau tidak percaya pengendalian diriku, Park Sunghoon-ssi?" Aku berang. Dengan cara apa dia bisa percaya padaku, hah?

"Tidak!"

"Bercermin saja sana dan lihat wajahmu sendiri. Kau bahkan bisa membantai 10 orang sekaligus saking kehausannya."

"Hausku tidak penting."

"Penting kalau kau harus melindungiku. Kau niat menyelamatkan reputasimu sendiri tidak sih? Tugasmu ada banyak untuk mencari tukang onar sesungguhnya. Atau memang aku pelakunya sehingga kau terus mencari bukti bahwa aku yang membunuh, seperti yang kaummu tuduh itu!"

Ya ampun. Aku bosan. Aku muak. Lelah debat hal yang sama berulang-ulang. Sikap Sunghoon sama sekali tidak membantu. Sosok kerennya sudah luntur. Aku terkesan dengan dia yang menyelamatkanku di bawah tanah. Sudah, itu saja. Lainnya membuat tekanan darah naik.

Aku pergi ke bagian dalam rumah. Mengambil sekotak es beku dan menjejalkannya ke mulutku. Haus tidaknya, bukan masalah. Aku hanya perlu sesuatu yang keras untuk kugigit sampai hancur berkeping-keping. Yang ada, hasratku malah semakin menjadi.

Cabik. Cabik dia.

Hiburan stresku adalah drakor, edit gambar, nulis FF, scrolling info bias. Tetapi beneran jarang bisa nyantuy. Nah, seneng hari ini bisa kelarin satu part dan ngedit cover simpel.

Eottae?


Sunghoon kayak biasa, cakep.
Tapi kenapa jiwa art-ku gagal dikekep meskipun udah liat video tutorial editing gambar?

Abis cek jumlah kata CoC di ms. word, dari bab 1 sampai bab 42, gila, tembus 71 ribu kata dan 287 halaman. Melampau rekor pribadi nih.

Semua berkat kamu yang rajin vote dan komen.

🤩🤩🤩🤩

12 Februari 2021
Banyuwangi yang lagi disiram hangatnya Gunung Raung.


Revisi, 20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro