[39] DIAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menunggu Sunghoon itu sangatlah membosankan. Aku ditinggalkan sendirian dengan secangkir jus semangka yang diletakkan dalam cangkir plastik bening. Warna merah membuat dahagaku semakin kuat. Tenggorokanku sakit dan panggilan samar dalam kepalaku menyeruak secara perlahan. Teriakan mencabik makhluk hidup sangatlah menjengkelkan. Kurasa aku harus kembali ke posisi andalanku. Tidur selama beberapa saat. Namun, warna jus semangka sangatlah mengganggu. Haus itu menjadi.

Berulang kali aku menelan saliva yang terlalu encer. Semakin haus, racun di antara sela gigi yang menetes semakin banyak. Ini menyiksaku.

Aku tidak mau lepas kendali. Bagaimana pun, Sunghoon membuatku berjanji untuk tidak macam-macam. Jadi berubah sebagai monster penghisap darah bukanlah sesuatu yang baik.

Manisnya jus semangka, jeruk, persik, pir, apel, kambing.

Uh .... terlalu berat bagiku bersikap tenang. Aku mengenyahkan segala sesuatu yang bersifat pekat dan kental. Apapun yang merambat ke sumber pangan harus dienyahkan, tetapi terlalu sulit karena berada di dalam kafe yang berbau manis. Aku pura-pura tidur setiap lima menit sekali, lantas mengamati pengunjung. Ada yang sendirian sambil membaca buku, ada pula dua orang duduk bersisian sambil memegang ponsel. Aku merogoh kantong baju yang kosong. Tidak ada apa-apa di sana. Ponselku sudah lama menghilang. Aku tidak ingat benda apapun yang kusimpan atau kupunya semenjak bangun dengan lupa ingatan.

Sekarang hanya tersisa perasaan rindu mendalam tentang keluargaku.

Bersama itu pula, lamunanku larut kala bertopang dagu. Aku menatap hampa pintu keluar masuk, menunggu satu-satunya penjemputku. Sebagai makhluk yang punya kecepatan lebih dibanding manusia, duduk diam sangatlah menyiksa. Kuputuskan keluar dari kafe setelah dua jam bergeming di meja yang sama. Aku memilih berjalan sedikit di area yang sejajar dengan kafe tadi. Beruntung sekali ada taman kecil. Hanya ada ayunan untuk anak kecil, tetapi cukup muat untuk kududuki.

Tidak ada siapapun di sana. Hawa yang dingin di kota Gapyeong, disusul musim gugur yang semakin menggigit menjelang musim dingin tentunya tidak banyak yang berlalu-lalang.

Aku mengayunkan tubuhku dengan kekuatan terkendali. Tangisku pecah karena aku ingin pulang ke rumah.

Alasan aku ingin pergi menjauh dari keluarga tentunya karena aku takut menyakiti keluargaku. Aku tak mau Eomma, Appa, Jiho dan orang-orang di sekitarku mati sebagai mangsa. Namun, aku egois kalau pergi tanpa pamit. Aku ingin tahu bagaimana perasaan mereka sekarang.

Bolehkah aku pulang? Gapyeong dan Seoul dijangkau 10 menit kalau aku berlari. Namun, bagaimana kalau aku tidak siap? Bagaimana kalau mereka mencariku?

Apakah aku sudah mati di mata keluargaku?

Air mataku tumpah ruah. Sedu sedan akibat rindu yang tidak tertanggungkan. Aku ingin menemui orang tuaku.

Dadaku sesak sekali. Sakit setiap mengambil napas. Aku tersedak oleh tangisku sendiri. Berulang kali aku menepuk dada, mendesak oksigen yang membeku di dalam sana. Kesepian itu telah menghantuiku. Aku belum siap menghadapi perpisahan yang menyakitkan.

Aku belum siap menanggung konsekuensi dari keputusanku. Aku yang pergi meninggalkan keluargaku. Namun, sangat menyakitkan saat menoleh ke belakang. Bersalah dan rindu campur aduk.

Aku mengerang pedih. Aku ingin melihat orang tuaku, tetapi bagaimana kalau aku tidak bisa pergi setelah melihat mereka?

Bogoshipda.

"Yuri-ya, neo gwanchana?" Seseorang mendekapku erat-erat.

Tanpa menoleh pun, aku tahu bahwa Sunghoon-lah yang menutup seluruh wajahku dengan jaket kulitnya. Untuk sementara waktu, aku tidak perlu menahan diri. Tangisku makin keras. Butuh beberapa waktu bagiku untuk memulihkan goncangan batin. Sunghoon tidak bertanya lagi. Dia memahami perasaanku. Dia mengalami hal yang lebih menyakitkan. Sendirian tanpa seseorang di sisinya, menyaksikan kematian keluarga karena usia atau kecelakaan. Sementara aku masih di fase awal. Belum ada apa-apanya dibandingkan Sunghoon.

Setelah air mataku mengering, aku menarik napas. Kepalaku menyeruak dari jaket. Langit terlalu cerah untuk meratapi nasib. Aku tersenyum kecut. Salah rasanya kalau aku berjiwa melankonis seperti ini.

"Sudah dapat rumah?" tanyaku.

"Sudah. Punya kamar mandi dalam juga."

Aku menganggukkan kepala. Sunghoon menarik lenganku agar cepat berdiri. Dia membawa semua tas belanjaan, sengaja membiarkan aku berjalan agak di depan. Mungkin karena aku masih belum ingin diajak bicara lebih banyak.

Jalanan di area perumahan masih lenggang. Tempat yang Sunghoon singgahi bukan area padat penduduk. Ada banyak vila yang berjauhan, sehingga tempat itu ideal untuk vampir yang ingin privasi.

Selama tiga menit berjalan itu, Sunghoon akhirnya menepuk pundakku. Kami berbelok ke kiri, mendapati sebuah kotak surat berbentuk rumah merpati. Gerbang tinggi warna merah tembaga menarik perhatian. Rumah itu berlantai dua, penuh jendela kaca berlapis gorden senada dengan gerbang. Udara di dalam ruang tamu menyambutku dengan hangat. Aku mengitari ruang tamu, mengabaikan beberapa perabotan yang tampak usang. Aroma apak dan lembap mengindikasikan bahwa rumah itu terlalu lama ditinggalkan penghuninya.

Aku membuka setiap pintu kamar dan menilai setiap warnanya. Hampir semua bagian berwarna putih tulang. Hanya gorden di ruang tengah yang memberi aksen kuat, sehingga gradasi lembut sekaligus tegas membuat betah penghuninya. Tanpa pikir panjang lagi, aku duduk di ruang tengah. Sunghoon sudah melepas jaketnya. Dia bersandar di sofa dengan tatapan kosong.

Berada di bawah pantulan cahaya membuat ketampanan pemuda itu semakin bertambah, meskipun cekungan mata yang dalam menampakkan beban panjang yang dia alami.

Aku teringat kembali pernah datang ke kota Gapyeong, menyeret tubuh Sunghoon yang pingsan karena kelelahan. Dia sangat marah dan lelah mengejar vampir misterius, yang tidak cuma mengacaukan seluruh anggota klan, tetapi menyebabkan eksistensi rahasia vampir terbongkar di kalangan praktisi exorcisme Sowon.

"Sudah berapa lama kau tidak minum darah?" tanyaku penasaran.

"Tidak ingat," jawab Sunghoon. "Tiap mau minum pasti ada tugas mendadak."

"Kau pasti kelelahan. Bagaimana kalau kau pingsan nanti?"

"Aku bisa tahan."

"Tidak bisa begitu. Kita harus berburu. Minum darah apapun untuk bertahan. Tidak bisakah beli darah manusia di luar. Lagi pula terjebak di terowongan dalam jangka lama sangat menyusahkan. Persediaan pangan bisa habis. Lantas bagaimana dengan mereka yang sembunyi?"

"Tidur."

"Cih. Kalau kau nyenyak tidur, mustahil lehermu masih utuh saat ada musuh menembus masuk ke ruanganmu. Di mana-mana tidak aman. Mau jadi vampir atau manusia, hidup selalu susah dan penuh masalah."

Ucapan pedasku meluncur begitu saja. Sunghoon tersenyum tipis, "Aku minta maaf sudah menggigitmu."

"Kenapa kau menggigitku? Apa tidak ada orang lain yang bisa kau jadikan temanmu?"

"Aku sudah bilang kan, kalau aku memilihmu."

"Memilih untuk disiksa?"

"Bukan. Aku memilihmu karena aku menyukaimu. Sangat dan sangat."

"Jika tahu kau vampir, aku tidak akan mau berteman denganmu," balasku cepat.

Sunghoon tampak terluka usai mendengar ucapanku. Dia menundukkan kepala, lalu berputar canggung. Hendak pergi ke ruang lain, tetapi urung dilakukan.

"Seharusnya kau menjauh," ucapnya sepakat.

"Tapi sungguh kau menyukaiku?"

"Aromamulah yang kusuka."

Aku merenggut tidak senang. Sunghoon punya alasan semata aroma. Pastilah aku mangsa lezat yang dia tahan. Hebat sekali dia tidak menjadikanku sebagai onggokan mayat biru. Kekuatannya menahan diri untuk tidak menyedot manusia patut diapresiasi. Dia memilih minum dengan darah donor.

"Karena aku berbau sundae?"

"Hentikan, Yoo Yuri. Aku menyukaimu dengan tulus. Tapi kau terus meragukan perasaanku."

"Kalau kau suka, semestinya dari awal jangan diam saat semua penggemar gilamu merundungku." Aku mengamuk. Kulempar benda persegi empuk di belakang punggung.

"Aku minta maaf soal itu. Aku sudah semaksimal mungkin melindungmu. Kalau aku terus membela, kau akan semakin dihancurkan oleh mereka."

"Seharusnya kau jangan bicara apapun padaku. Jangan sapa aku atau melihatku!"

"Bagaimana bisa? Aku terus melihatmu sejak malam pentas itu. Kau sangat berbeda."

"Beda apanya, Berengsek! Mbek ... ! Seperti itu kah yang kau lihat saat haus darah? Melihatku yang tidak cantik dan cerdas, tapi terpaksa harus kau jaga karena aku bermasalah?" Aku sengaja mengembik untuk mengolok kehidupan vampir yang serba rumit.

Tidak seperti sebelumnya. Melihat bagaimana pamernya Sunghoon soal kekayaan. Bisa saja dia sesumbar jika sahamnya banyak.

Walau menjadi manusia dan sering mengeluh atas keinginanku yang tidak gampang dituruti orang tuaku, aku bisa mati sewajarnya. Bukan abadi, tersesat, luntang-lantung kehabisan dana beli darah. Konyol sekali.

"DIAM KAU!"

Mendengar perintahnya yang terlalu tegas, menyebabkan aku bungkam seribu bahasa. Dia terus mengejutkanku dengan ekspresinya yang tak pernah terbaca.

"DIAM KATAMU? MANA BISA DIAM KALAU AKU HAUS!" dampratku tak mau kalah akhirnya.

"Baiklah. Kita berburu besok. Sekarang kita diam di sini. Menetap sementara waktu sampai ada vampir yang menghubungi kita."

"Tidak bisa. Kau juga perlu minum."

"Aku masih tahan." Sunghoon memejamkan matanya.

"Haruskah aku mencabik leher manusia, agar kau bertahan minum? Jangan paksa dirimu haus, Bodoh!"

Seringai Sunghoon berhasil membuatku kehilangan kata-kata lagi. Seringainya terlalu menakutkan sewaktu dia memamerkan sebilah pedang emas. Ujung runcingnya mengarah ke hidungku.

"Sebelum itu, kupenggal kepalamu lebih dahulu," ancamnya dengan suara semanis madu.



11 Februari 2021
Revisi, 20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro