[38] PENYAMARAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Good night, jangan lupa bintangnya dipetik dulu, eh klik dulu. Hihihi.

Menyenangkan sekali bisa terbebaskan dari tempat sempit itu. Kendati punya kekuatan super sebagai vampir, jujur saja, terjebak berduaan dalam satu ruang dengan Sunghoon jauh lebih mengerikan. Lebih tepatnya, aku tidak mau terjebak dalam situasi super canggung.

Melihat padatnya kendaraan, kesibukan manusia yang saling berpapasan dan aroma masakan membuatku bebas. Aku menghirup aroma yang campur aduk. Kami jalan bersisian menuju kota yang baru memulai aktivitas. Gangneung termasuk kota yang menentramkan. Banyak tempat-tempat tersembunyi yang menyimpan rahasianya. Namun, aku sama sekali tidak mau terjebak dalam zona sentimental. Hal yang kulakukan adalah segera minum darah kambing.

Sunghoon memgambil uang tunai di loket ATM, dengan satu tangan memegang tanganku. Dia ingin memastikan aku tak kabur.

Dia menyebalkan. Ketat sekali caranya menjagaku.

Aku berusaha melepaskan diri, tetapi sikap tenang Sunghoon sangat menakutiku. Aku cuma mengerut seperti balon kehilangan helium setelah berhari-hari mengambang dan kehilangan pijakan.

Untungnya jumlah uang yang cukup membuat mobilitas kami semakin bebas. Sunghoon memesan taksi dan membawaku pergi menuju kota Yangyang yang berjarak satu jam. Meski Gangneung lebih ramai, tetapi kota persinggahan saat ini lebih baik. Menurut Sunghoon, aroma vampir tidak begitu pekat karena jumlah populasi penghisap darah nyaris nol. Sejauh ini kami akan aman sembari menunggu informasi tentang pembukaan portal bawah tanah. Dan yang paling menjengkelkan, kota Yangyang nyaris tidak ada satu pun terowongan sebagai pintu akses.

Taksi berhenti di sebuah mal berlantai dua. Sunghoon mendorong bahuku, maju ke depan saat kami berada di lorong penuh pakaian. Aku kembali mati kutu. Radar fashionista sama sekali tidak masuk dalam kepalaku. Aku malah mengambil kaos longgar warna hijau toska dan rok rumbai kuning. Agaknya setengah berharap dapat pujian dari Sunghoon atas pilihan warnaku, tetapi Sunghoon menggelengkan kepala, tidak percaya pada pilihan bajuku.

Aku cuma mencibir tidak acuh. Sama sekali tidak tertarik belanja pakaian. Sunghoon akhirnya yang mengambilkan beberapa pilihan atas bajuku, tanpa mengecek apakah baju-baju itu cocok dengan seleraku. Dia meletakkan ke meja kasir dan membayar tunai semua pakaian baru. Kemudian Sunghoon menarikku masuk ke lorong pakaian cowok. Aku senang karena pilihan pakaian laki-laki tidak sebanyak perempuan. Nyatanya Sunghoon sangat selekitif dengan pakiaannya. Pantas saja dia sangat modis. Orang yang banyak uang memang sangat berbeda. Dia jauh lebih lama memilih pakaiannya sendiri daripada memilih pakaianku.

"Eh, Sunghoon-ah, aku mau tanya," kataku retoris.

"Apa?"

"Kalau sistem klan kalian kacau, lantas bagaimana dengan kita? Kita terisolir dari vampir lain, tanpa perlindungan. Untuk apa pendaftaran penduduk jika hari ini tidak punya bantuan?" tanyaku.

"Seharusnya kita dapat perlindungan. Masalahnya komunikasi kita diblokir dari dalam, sehingga kita harus berjuang sendirian," jawab Sunghoon. Dia berkutat dengan pilihan pakaiannya lagi.

"Sama saja kau dibuang," komentarku pedas.

"Kuakui, ya. Namun, pemblokiran itu ada benarnya. Harus ada yang melindungi eksistensi klan."

"Kau itu bodoh atau apa? Menyedihkan sekali. Kalau aku berada di posisimu, aku jelas tidak terima." Aku menjawab cepat, tidak suka dengan ide satu ini.

"Menurutmu, aku terima tidak kalau vampir ciptaanku menggigit manusia selama tiga tahun ini, dan kau menghilang tanpa jejak?"

Balasan Sunghoon membuatku menarik napas sejenak. Aku perlu mencerna ucapannya.

"Um, ya baiklah. Itu pasti merugikanmu. Seandainya kau tidak menggigitku, kau tidak akan terlibat masalah besar. Itu ya memang salahmu. Untuk apa menggigitku? Eh, tetapi, masa kau tidak punya kenalan manusia yang bisa menolongmu? Minimal mereka membantu karena balas budi di masa lalu." Aku sengaja membelokkan topik, teringat dengan banyaknya manusia yang berinteraksi dengan Sunghoon, tetapi tidak satu pun yang mengenalinya.

"Untuk apa aku punya banyak KTP palsu? Aku menghilang selama beberapa tahun sekali dan memulai kehidupan baru. Sejujurnya, berhubungan dengan manusia tidak pernah berjalan dengan baik. Selalu ada perselisihan."

"Ah, jadi kau kabur dari identitas palsumu. Kau kan, bisa pakai identitas terakhirmu. Karang saja kau kuliah di mana."

"Manusia yang tahu akan kabur kalau aku muncul. Aku terdaftar mati tahun lalu. Lagi pula dunia peradaban lebih riskan. Ada banyak wajahku bertebaran di daring. Informasi menyebar dengan cepat."

"Baiklah kalau begitu." Aku bersepakat. Setuju pada opininya. Manusia sekarang suka mengunggah apapun untuk pamer. Tidak ada privasi atau rahasia.

Sebagai vampir, harus lebih hati-hati untuk tidak tampil di depan umum. Masalahnya Sunghoon sendiri yang terlalu menonjol. Dia sangat terkenal dan masuk forum gosip para siswa dan menjadi duta sekolah. Fotonya bertebaran di mana-mana.

Menghilangnya Sunghoon pasti akan memicu kegemparan yang lebih besar. Ini salahnya dia yang terlalu tampan,—argh, sial. Aku melantur lagi.

"Lalu apa rencanamu sekarang?"

"Cari rumah kontrakan dulu."

"Di mana?" tanyaku penasaran.

"Selesai." Sunghoon mengabaikan pertanyaanku. Dia menuju kasir dengan pilihan pakaiannya sendiri.

Acara belanja pakaian sudah selesai. Aku terus mengekor dengan beberapa tas yang kupegang. Walau barangnya tidak berat, tetapi agak merepotkan jika terdapat beberapa tas yang beda. Lebih baik tidak membawa apapun. Satu tas saja seperti Sunghoon lebih baik. Argh. Aku ingin melempar banyak tas ini. Tidak ada gunanya belanja pakaian sebanyak itu.

Sunghoon tidak mengatakan apapun lagi. Beruntung ada taksi yang sedang menghentikan penumpang. Tanpa basa-basi, Sunghoon mendorongku masuk ke dalam.

"Antar kami ke terminal," ucap Sunghoon tenang.

"Hei, terminal agak dekat. Kenapa naik taksi?"

"Kita dibuntuti, paham?"

Aku cuma ber-oh ria lagi. Mustahil menggunakan kecepatan kaki untuk lari ke terminal Gangneung. Semakin cepat langkah kami sebagai vampir, semakin dicurigai. Sunghoon hanya ingin bersikap sewajarnya manusia. Belanja pakaian, makan-makan dan apapun yang sering dilakukan orang jika berada di luar. Dia ingin meminimalisir langkah kaki yang cenderung cepat tanpa kami sadari. Karena itu naik mobil jauh lebih aman.

Taksi hanyalah sebagian dari perjalanan kami. Dengan menaiki bus, setidaknya perjalanan cukup aman. Sunghoon pura-pura tidur sepanjang perjalanan, tetapi aku paham dia sengaja menghindari percakapan tidak perlu denganku. Aku duduk di sisi jendela, sehingga puas menikmati pemandangan kota yang silih ganti berlarian meninggalkanku. Seakan bus hanya diam di tempat selagi bangunan dan jalanan bergerak.

Perlahan, bus melambat sewaktu menuju tempat yang lebih sejuk. Banyak pepohonan dan restoran di bersisian. Kemudian label kota Gapyeong membuatku berjengit. Aku terlonjak menyadari tempat yang tidak asing. Bangunan sederhana dari luar itu membuatku mencubit lengan Sunghoon.

"Kafe Bibi Mija!" aku menunjuk gaduh.

Aku tidak tahu bahwa tempat itu memiliki jalan yang sangat luas sehingga bus bisa lewat, tetapi Sunghoon menggelengkan kepala.

"Bukan," balas Sunghoon.

Punggungnya sudah tegak. Bersamaan dengan itu pula dia merapikan tas belanjaan.

"Bukan?"

Tak salah lagi. Bentuk bangunannya sangat mirip. Aku bisa melihat papan namanya dengan jelas, begitu pula dengan halaman rumputnya yang hijau.

"Restoran itu sudah tidak ada. Hancur total."

"Wae?!"

"Lebih banyak kerusuhan daripada yang tampak kau lihat, Yuri-ya. Sejujurnya peranmu penting di klan ini. Aku bertanggungjawab atas keselamatanmu. Menghilangnya kau selama tiga tahun, bisa mengubah nasib Bibi Mija. Dia meninggal–terpenggal," aku merinding sewaktu Sunghoon membisikkan kata terakhir di telingaku. "Kumohon jangan membuat masalah. Turuti semua permintaanku, hm?"

Aku mengangguk bodoh. Setengah tidak percaya wanita yang mirip Sunghoon, ceria dan ramah padaku itu mati begitu saja. Kuharap Sunghoon bercanda. Namun, berita di koran mengenai pembakaran Istana Gyeonghui memang ada benarnya.

"Kenapa aku berperan penting? Aku bukan siapa-siapa kecuali orang yang suka kambing," kataku acak. Agak tidak percaya diri.

Senyuman Sunghoon membiusku. Untuk satu hal ini aku paham. Sunghoon bukan sembarang orang. Dia sosok yang dijaga sekaligus menjaga eksistensi klan.

"Nanti, kita bicarakan lagi. Kau mau berjanji padaku?"

"Janji apa?" Alisku mengerut.

"Tidak pergi meninggalkanku apapun yang terjadi kecuali aku menyuruhmu."

"Er, oke," sahutku. Jujur saja, aku tidak suka gagasan Sunghoon satu ini. Permintaannya memiliki makna yang jauh dari kata buruk.

"Sekarang waktunya turun."

Sunghoon menarikku berdiri dari kursi. Aku tidak sadar bus tiba di terminal kecil kota Gapyeong. Dia membawaku ke kedai kopi. Selama beberapa menit kami duduk saling berhadapan, tertarik dengan pikiran masing-masing. Lalu Sunghoon menghela napas penuh perhitungan.

"Aku akan pergi mencari tempat tinggal. Jadi jangan pergi sampai aku datang menjemputmu," ucap Sunghoon waspada.

"Tidak bisakah aku ikut?"

"Dua remaja mencari rumah bersama, menurutmu bagaimana tanggapan agen real estate nanti?"

"Uh, payah!" ejekku. "Untuk apa hidup 70 tahun kalau tidak punya rumah! Uangmu ditumpuk untuk apa, hah?"

"Kugandakan di pasar saham," balas Sunghoon.

"Kau harus menumpuk jadi tanah atau emas. Apa-apaan kau?" Tanpa sadar, aku sudah mengomel.

"Kau bisa memiliki punyaku nanti. Sekarang, biarkan aku mengurus tempat tinggal."

"Kapan kau kembali?" Ketidakpastian dari ucapannya jelas membuatku khawatir. Tanpa Sarang dan Seokjin menyebabkan aku berada dalam posisi rawan.

Gapyeong dan Pocheon cukup dekat. Pasti akan ada pertempuran tidak terduga kalau kami tidak waspada.

"Tidak lama lagi."

"Boleh aku keliling sekitar sini?" tanyaku.

Sunghoon mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku berjengit panik, mengira dia bakal menciumku. Namun, aku mengutuk pikiran bodohku. Dia malah mengendus aroma leherku kuat-kuat.

"Aku memastikan jejakmu takkan hilang," katanya sebelum aku mengajukan pertanyaan atas sikapnya. "Jalan-jalan saja, tapi jangan terlalu jauh."

Dia menghilang dari balik pintu. Lantas aku mengumpat  pelan. Kuingatkan diriku untuk belanja makanan yang diinginkan.

Dasar, Park Sunghoon. Kau tahu caranya membuatku tak bisa kabur!

Kalau bosan, tinggalin aja.

Jujur, aku bosan sama kehidupan RL yang amburadul. Pengen tenggelam aja sama nulis FF mentang-mentang ideku luber sana-sini gak dipake. Jadinya nyicil nulis sebisanya, berharap cerita ini bakal bagus dan punya kesan 'Cerita ini layak ditunggu bukan karena semata tokohnya siapa, tapi alurnya menghanyutkan.'

Kuharap readers di sini senang karena alurnya ya yang oke.

Beneran deh, aku tuh bersyukur karena aku senang menulis FF ini, kendati slow update. Udah gitu dikasih bonus dengan voting, komentar dan view dari kalian yang berkenan membaca. Terima kasih ya. Salam kenal semuanya.

Yuk bantu share FF ini biar bisa dapat 10k view di IG, FB dan twitter kamu. Jangan lupa, tag akunku @ravenura, kalo twitter ya @keepengene.
Hihihi.

Banyuwangi, 07 Februari 2021
22.35 Waktu Ini Bobok

Revisi, 20 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro