[44] Penguntit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Spoiler alert!!!!)

Kamu bakalan histeris nggak rela baca bab ini karena hal tidak terduga. Apa itu?

Vote dulu biar geregetan!!!!!

***

Memanjat dinding di tempat ketinggian jauh lebih sulit dilakukan jika tidak punya pijakan. Namun, keinginan untuk kabur lebih kuat dari ruang penuh rantai.

Padahal dua penculik itu sangat kukenal dan tidak kuduga bahwa mereka agak lemah di mataku semasa menjadi manusia. Lebih baik kabur.

Setelah mencapai langit-langit ruangan, bertingkah seperti laba-laba, dengan dua kaki dan satu tangan menahan tubuh, satu tanganku yang lain sibuk membobol ventilasi ruangan. Aku menyusup keluar dan mencapai atap dengan mudah. Suara sirine tanda peringatan bahaya bergaung kencang. Aku terkejut dan akhirnya meloncat turun, tanpa pertimbangan bagaimana kondisi pijakannya.

Tempat penculiknya juga cukup jauh dari pemukiman. Sebuah keuntungan tidak terduga karena aku bisa berlari dengan kecepatan gila. Setelah naik turun menyusuri hutan, akhirnya aku tiba di pinggiran kota. Rumah-rumah yang berjarak sudah tidak asing bagiku. Aku bisa melihat jalan menuju vila. Namun, perasaanku sangat tidak enak.

Seperti saat Kim Minji melempar kuah sundae. Aku berkeliaran tidak jelas dan mendengar desir aneh. Suara seruputan yang sangat keras dan kaki biru yang terseret. Ingatan itu makin jelas karena aku berada dalam posisi yang sama.

Aku telah diikuti seseorang. Langkahku semakin dekat. Di ujung gang, di mana vila yang kuhuni selama beberapa waktu mulai tampak. Aku senang bertemu dengan tempat perlindunganku.

Langkah yang meyusul di belakangku lebih cepat mengejar kala aku berlari cepat.

Ayolah, aku Yoo Yuri. Usiaku 20 tahun, tetapi membeku selamanya dalam cangkang abadi sebagai anak berusia 17 tahun. Aku tidak mau mati sia-sia. Siapapun yang memburuku, ingin kepalaku. Namun, aku tidak mau jadi kambing hitam sebuah insiden.

"Yuri-ya!

Aku menjerit sambil berguling. Seseorang telah menangkapku. Aku gemetar diserang panik yang hebat akibat kenangan masa lalu. Namun, aroma dan lekuk tubuhnya yang familiar membuatku sadar bahwa dia adalah Park Sunghoon. Aku mengembuskan napas lega menyadari bahwa aku sudah aman berada di rumah.

Namun, deru napas Sunghoon lebih dalam. Begitu pula dengan suaranya yang serak. Eh, apakah dia menggeram? Pelukannya pun sangat protektif.

Aku membuka mata. Di depanku, tersaji pemandangan yang mencengangkan. Puluhan orang bersetelan hitam dan bertopeng mengepung kami dengan senjata masing-masing.

Sunghoon mendekapku, sementara satu tangan mengacungkan sebilah pedang emas ke arah lawan. Kami jelas kalah jumlah, apalagi fisikku sudah lemah kehabisan energi.

Saat menatap Sunghoon, wajah pemuda itu jauh lebih mencengangkan. Wajahnya biru pucat, dengan cekungan mata dalam dan ungu tua. Bibirnya kering kerontang akibat dahaga yang besar atas darah. Jika pertahanan dirinya runtuh, bukan tidak mungkin kalau Sunghoon menghisap darah manusia di depan matanya. Tanpa pertimbangan, dia bisa saja terpenggal tanpa pengampunan. Tidak ada yang namanya keadilan jika tanpa penjelasan lebih dahulu mengapa tindakannya terjadi.

Sebagai vampir, moralitas manusia bisa saja masih ada. Seperti para penghisap darah hewan atau yang memilih darah manusia lewat donor. Namun, pembunuhan manusia secara acak semata keserakahan, barangkali, merekalah yang cocok dipenggal.

Kalau itu Sunghoon, atau beberapa kasus vampir lain yang moralnya masih ada, jelas disayangkan proses kematiannya.

"Kau, mundur saja. Sembunyi!" Sunghoon berbisik. Perintahnya mengandung bawang. Perih sekali. Baik di mata dan hati.

Aku keberatan dengan perintah itu.

"Mana bisa pergi. Kita dikepung begini!" Aku mengomel. "Tak ada celah buat kabur!"

Sunghoon menghela napas kesal. Dia tahu sama baiknya para jemaat gereja telah membuat barisan pagar lengan, dengan tangan siaga pada masing-masing senjata. Kebanyakan menggunakan tombak perak.

"Kau bisa kuda-kuda?" tanya Sunghoon.

"Mana bisa aku berkelahi. Aku kan, perempuan!"

"Lain kali, berlatihlah tempur dengan benar," ujar Sunghoon, mengerang pasrah dengan tidak terampilnya aku.

"Ya kalau kita masih hidup!" Aku memutar mata dramatis. "Lagi pula buat apa kuda-kuda, kalau ada kambing gila di sini?"

Aku terkekeh. Entah ke mana semua ketakutanku. Rasa lemahku telah lenyap. Ada Sunghoon yang bisa melindungiku. Genggaman tangannya sangat nyaman sekali.

"Mbek," cibir Sunghoon menirukan suara kambing.

"Sialan kau!"

"Sakiti saja, tapi jangan gigit," pesannya.

"Oke."

Tangannya terlepas. Baik aku dan Sunghoon adu punggung. Sama-sama menggeram berbahaya ke arah manusia berjubah.

"Biarkan kami pergi, manusia," ucap Sunghoon.

"Tidak bisa. Tawanan kami kabur." Sosok paling di depan bicara.

Aku mengamati semua orang yang mengepung. Jung-A dan Sehyung tidak tampak.

"Siapa?" tanya Sunghoon.

"Vampir wanita di sampingmu itu."

"Ambil jantungku lebih dahulu sebelum menyentuh sehelai rambut dia."

Jantungku jumpalitan mendengar ucapannya. Ayolah. Ini bukan suasana tepat untuk beromantis ria. Ada perselisihan yang sangat menegangkan. Aku mengerjapkan mata bodoh seraya mencari sosok-sosok bertudung itu.

Saat dua orang menerjang ke arahku, aku membungkuk tepat waktu saat pedang Sunghoon melayang ke arah di mana kepalaku ada sedetik yang lalu. Decitan kaki, erangan baku hantam, kepak jubah, denting senjata, gemerisik angin menerpa perseteruan yang ganas ini. Aku sudah membuat tumbang lima manusia. Keahlian tempurku buruk, tidak sebagus saat serangan bawah tanah di Gangneung.

Sunghoon hebat sekali. Haus darah membuatnya lebih buas. Seharusnya dia keren—dari punggungnya—karena sukses membantai 20 orang sendirian. Gelar ksatria memang pantas disandang. Namun saat dia berbalik menatapku, aku terkejut dan mencabut pujian bahwa dia keren.

Wajah sangarnya terlalu mengerikan.

Aku pasti sama mengerikan jika mulutku sudah basah oleh produksi racun yang terlalu tinggi. Bisa itu menyembur banyak seperti air terjun.

Aku fokus pada pertempuran yang tidak membunuh manusia. Masalahnya aku tidak punya teknik apapun, sehingga yang terdengar hanyalah suara-suara tulang yang patah. Memang agak sadis, tetapi yang terlontar dari mulutku adalah "Ups, terlalu keras, ya?"

Lupakan rasa sakit itu. Manusia tidak bisa sembuh sekejap layaknya vampir. Butuh berbulan-bulan untuk menggabungkan tulang yang retak. Atau juga yang lebih parah, pincang selamanya.

Tak ada waktu untuk berbelas kasih. Tumbang satu, datang lagi penyerang ganda. Aku sudah kerepotan berkelit, hingga akhirnya kerumunan manusia pemburu vampir mundur teratur.

Sosok lain melangkah lebih mantap ke tengah konfrontasi. Bahunya sangat tegap dan penuh keagungan. Aku bisa memahami mengapa dia dituakan oleh yang lain.

"Cukup, Yuri-ya." Sunghoon memperingatkan. Aku masih terlalu asyik menggebuk salah satu penyerangku, sehingga semua pihak melihat tinju melayang secara beruntun dari tanganku.

"Yuri."

Panggilan itu menyihirku. Refleks aku menoleh ke arah pendeta bertongkat dua meter. Baik jubah dan tongkatnya keabu-abuan. Mirip Gandalf, bedanya dia tidak berkumis atau pun rambut panjang. Keseluruhan tubuhnya ditudungi oleh kain jubah berbahan satin. Topeng wajah penuh bulu biasa kulihat dalam perayaan Eropa di film-film lama.

Aku membeku saat mengenal siapa yang memanggilku. Selama 17 tahun ini, pemilik suara kerap memanggilku dengan berbagai nada dan intonasi. Namun, suara bass yang selalu menenangkan setiap aku sedih.

"Appa?" tebakku.

Aku berdiri. Mataku lekat menatap sosok abu-abu itu. Secara dramatis, tangisku pecah tanpa suara. Guliran air mata berjatuhan. Pendeta agung itu melepas topengnya. Segurat mata lelah menunjukkan pencarian tanpa ujung memburu para vampir.

Dan dia akan membunuhku.

Tunggu sebentar! Sejak kapan Appa menjadi pendeta agung? Aku tahu dia setiap akhir pekan pergi ke gereja. Namun, omongan religius tidak pernah terdengar di dalam rumah kami. Baik aku, Eomma dan Jiho sama-sama tidak punya keyakinan.

"Jadi benar, kau menjadi vampir, Yoo Yuri?" tanyanya. Suaranya bergetar penuh intimidasi.

"Appa, bogoshipda." Aku berkata. "Bagaimana kabarmu, Eomma dan Jiho?"

"BUNUH DIA."

Ucapan Appa lebih menusuk. Merasuk ke ulu hati. Aku terjatuh, hilang keseimbangan. Sunghoon menangkap tubuhku, sehingga aku separuh bersandar kepadanya. Dengan lembut dia menurunkanku, sehingga bokongku mendarat ke tanah yang basah.

Para pasukan Sowon maju dengan tombak menjulang tinggi. Cahaya obor terpantulkan dari kilat tombak bermata satu.

Mengingat kondisiku yang terlalu goyah, aku dan Sunghoon jelas terpojok. Aku tergugu atas ucapan menohok yang tidak pernah kusangka.

Appa yang selalu melerai setiap aku dan Eomma silang pendapat. Appa yang selalu memanjakanku dan memenuhi semua keinginanku. Tanpa permisi memberikan instruksi yang paling menyakitkan. Anaknya sendiri pun rela dibunuh demi kebaikan bersama, sebesar apapun waktu yang pernah dia sisihkan dalam merawatku sebagai manusia.

Anak itu menjelma sebagai makhluk kegelapan yang diperanginya. Tidak ada pilihan.

Hidupku tidak berarti. Lenyapku tiga tahun telah terpangkas begitu saja. Aku ditemukan untuk dibunuh oleh Pendeta Agung Gereja Sowon Yoo Youngjae, ayahku sendiri.

Busur perak meluncur cepat ke arahku. Aku sama sekali tidak bergerak. Seluruh tangan dan kakiku menyatu dengan bumi.

Aku akan mati, tanpa melihat wajah Eomma dan adikku.
Aku akan mati sebagai makhluk gelap tanpa pusara.
Aku melebur sebagai abu, semburat terbang diterpa angin.
Masa remaja yang sia-sia karena dibunuh ayahku sendiri.
Demi prinsip yang bertolak belakang, hukum pun mutlak.
Tak ada keabadian yang membahagiakan.
Luka demi luka bertaburan.
Atas dahaga dan kesepian.
Aku terpilih mati
Padahal aku memilih untuk hidup.

KLANG!


Ululululuhhhhhhh......

Sekian end di sini ya. Good bye.

Nggak ada bab lagi. Selesai.

Yuri udah die.

So.... nggak bakalan ketemu ending ceritanya karena tokoh utamanya mati. Siapa yang jahat, siapa tukang onar yang sebenarnya. Sunghoon dan Yuri nggak pernah jadian. Hubungan mereka nggak pasti banget.

Semuanya, goodbyeee...

Yuri dieee....

Sadis bos.

Protes, silakan.

Authornya merem.

Hujat aja, karena lagi nyari huru-hara. Biar sik asik gemoy, authornya mabok laporan data, gila hectic amat sama RL. Perasaan dulu santuy banget kalo nulis tinggal nulis, sekarang mah sudah. Otak kirinya bekerja terlalu maksimal, hingga otak kanan kendor.

Banyuwangi, 06 Maret 2021
Revisi, 20 September 2022
Dari hati yang menanti kisah Hoon-ie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro