[45] PILIHAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tapiiiii.....
Semuanya boong.
Sape yang kmaren histeris kaga terima cerita ini ending mendadak?

:p

Vote dulu ye. Ceritanya masih lanjut. Dikit lagi, dikitttttt lagi udah end beneran.

Ape kata luuuu??!!!

Masih kurang banyak cerita ini? Emang lu yang baca kaga mabok maraton 50an bab? Ravenura sendiri mabok selama 4 bulanan ini ngebut, ya 2 bulan awal dari akhir Oktober sih update harian, tapi dua bulan berikutnya ngos-ngosan jadi budak sebuah rintisan baru.

Iyeee tauuu. Lu demen baca cerita ini. Tapi makasih beneran loh sama antusias klean sama cerita ini.

Doain author sehat selalu buat rampungin cerita ini sampe beneran ntar author nulis END di akhir entar.

Duh maap ye, bacotnya kebanyakan.

Kuy vote dulu.

Kalau aku mati, tidak seharusnya suara patahan tombak perak terdengar keras. Sebagaimana manusia, fisik vampir juga rapuh. Bisa mati jika jantungnya dipreteli tanpa ampun. Vampir cuma menang kekuatan dan kecepatan. Lagi pula, vampir kebal juga tidak pernah ada. Pasti ada yang terluka, hanya saja, vampir lebih gesit dalam hal menghindari senjata.

Itulah kenapa vampir bisa abadi dalam beberapa kasus. Karena selalu luput dari perkelahian dan didukung dengan sumber minuman melimpah.

Jika itu terjadi padaku, baru kali ini penggalan maut yang lebih mencekam datang. Sama menakutkannya saat malam aku berkeliaran usai kena siram kuah sundae

Aku tidak suka dengan cara kematian yang menakutkan itu.

Tidak ada sakit yang menancap di tubuhku. Gemerisik angin seperti terpotong begitu saja. Saat aku mengintip situasi dengan salah satu kelopak mata terbuka, patahan tombak tergeletak di tanah.

Ige mwoya? Apa yang terjadi?

Aku menoleh ke arah Sunghoon. Napas pemuda itu tersenggal usai memotong luncuran tombak yang mengarah padaku.

Ketegangan terasa semakin meningkat. Bahkan dalam pertempuran tidak imbang ini, Sunghoon tetap akan berjuang sampai akhir. Dia pantang menyerah demi kehidupan dan cara baru vampir yang tidak saling menyakiti. Bukankah indah jika vampir dan manusia bisa hidup berdampingan? Darah manusia yang dijual akan menguntungkan vampir. Sama-sama simbiosis mutualisme. Vampir punya uang—yah aku yang tidak punya—dan manusia dapat uang. Kesejahteraan masing-masing tercukupi. Selain itu, vampir juga bisa bekerja sebagai tenaga keamanan.

Eh, kenapa aku melantur sampai jauh begini? Padahal aku hampir jadi sate.

Paling tidak, harus ada kompensasi, eh, klarifikasi bahwa vampir tidak akan membunuh manusia sembarangan. Dalam klan Gyeonghui, vampir juga punya aturan. Tidak sembarangan menggigit manusia. Kalau pun menggigit dan menciptakan vampir baru, harus didaftarkan dulu sebagai bentuk tanggung jawab si penggigit.

Jika manusia umumnya menghancurkan vampir, kurasa itu tidak berperikevampiran. Mereka sama kejamnya dengan makhluk tidak berotak.

Ah sudahlah. Aku pusing dengan wacanaku sendiri. Urusanku dengan Appa masih belum terselesaikan.

"Kenapa kau ingin membunuhku, Appa?" tanyaku pilu.

"Tidak seharusnya kau hidup," Pendeta Agung menjawab dingin, "alasanmu menghilang selama ini sudah membuktikan asumsiku kalau kau bagian dari mereka."

"Apa kau tidak pernah mencariku?" pancingku.

Sialnya harapanku lebur gara-gra jawaban dingin yang tidak kusangka.

"Aku mencarimu sebagai manusia. Namun, kalau kau muncul sebagai makhluk berdarah dingin, akan kusampaikan pada ibumu kalau kau mati terbakar."

"APPA!"

Membayangkan Eomma menangis histeris sudah menyakitiku.

Appa menyentak dagunya, isyarat kedua agar anggotanya maju untuk melempar tombak beruntun. Namun, Sunghoon menepis semua tombak itu dengan pedangnya. Sesuatu yang basah dan merembes dari lengan Sunghoon sudah menunjukkan bahwa dia terluka akibat goresan tombak.

"Aku putrimu!"

"Sebagai manusia!" Appa menegaskan, "tapi sekarang tidak lagi. SERANG!"

Kemarahan itu meledak. Tidak peduli perih menyayat di seluruh pergelangan kaki dan tangan, aku beranjak. Geramanku semakin menjadi. Semua yang kulihat hanyalah merah membara. Pada setiap manusia yang bergerak, citranya adalah kuning oranye gelap. Tujuanku hanya satu. Maju ke depan untuk mencekik satu-satunya pria yang terus memberi instruksi pembunuhan. Citra itu mengundangku untuk berkelahi. Aku ingin siapapun yang menghadangku mati.

Tidak akan kubiarkan bahwa Yoo Youngjae menghabisi nyawaku.

Aku menerjang ke depan dan menangkis senjata dan pukulan yang datang. Keinginan membela diri itu semakin menguatkan fisikku. Aku tidak butuh teknik pertempuran untuk menghadang semua serangan. Sakit yang datang itu sudah tidak terasa.

"Pendeta Agung! Hentikan! Tolong!" Suara histeris itu hilang timbul di antara suara-suara pertempuran.

Aku terus menggeram. Campuran antara kecewa dan murka itu membuatku tidak bisa diam, tetapi Sunghoon memelukku erat, menyembunyikan semua wajahku yang merah padam.

"Kau janji tidak akan bunuh mereka!" pesan Sunghoon.  Dia berjuang menjaga keseimbangan karena aku terus memberontak.

"Lepas! Erghhh .... Lepaskan aku. Kita diam pun, mereka akan membunuh kita. Lepas! Kita tidak salah apapun!" Aku meneriakkan berulang-ulang. Serak dan letih.

Aku cuma gadis 17 tahun yang dirundung di sekolah dan tiba-tiba jadi vampir. Digigit cowok popular di sekolah yang diam-diam kutaksir. Disalahkan oleh Eomma yang percaya pendapat orang lain lebih dahulu.

Sama saja sekarang. Tiga tahun terlewat dengan identitas baru, tapi aku dituduh pelaku pembunuhan manusia yang tidak jelas asal-usulnya. Sekarang aku disuruh mati oleh ayahku sendiri. Oh ya, ayahku jauh lebih kejam dan buruk dibandingkan Eomma. Paling-paling, aku kena pukul punggung oleh Eomma. Namun, Pendeta Agung Yoo Youngjae sudah dua kali menyuruh pasukannya membunuhku. Dalam lima menit!

GILA!!!!

Wajar saja aku histeris sekarang.

"Aku pergi dari rumah karena tidak mau menyakiti keluargaku sendiri. Aku takut membunuh dan menghisap darah manusia. Makanya aku berkelana di hutan tanpa siapapun, " sengaja tidak kusebut Sarang dan Seokjin agar posisi mereka aman, kalau tidak, mereka akan diburu setelah penganut exorcism membunuhku, "tapi Appa tidak mau tahu kehidupanku lebih dahulu. KAU YANG BUKAN MANUSIA!"

Keheningan itu telah menampar ketenangannya. Aku tidak peduli selain harus membuang beban yang sesak di dada.

"Kalau Appa bukan pendeta yang membasmi makhluk bawah, apakah Appa akan membunuhku? Tak peduli buruk rupanya anakmu, kau akan datang memelukku, bukan membunuhnya. Tapi, kenapa? Kenapa?"

Aku menendang udara, memaksa dekapan Sunghoon lepas. Namun, Sunghoon melindungiku agar tidak asal menerkam manusia. Setidaknya Sunghoon tahu bagaimana untuk bertindak. Setidaknya melindungi siapapun dari hal tidak diinginkan.

"KENAPA KAU MEMBUNUHKU? APA SALAHKU SEBAGAI VAMPIR? BUKAN AKU YANG MENGINGINKANNYA JADI BEGINI!"

"Kau tidak layak hidup."

"Mwo?"

"SERANG!"

Pukulan itu datang dari berbagai arah. Aku berputar mengikuti gerakan Sunghoon menghalau semua tombak yang datang. Lengkingan keras terdengar dari salah satu lawan terdekat kami. Dia tidak sengaja kena patahan tombak. Mata tombak itu menancap ke jantungnya dan tumbang seketika dengan mata membeliak lebar. Darah merah memuncrati wajah. Baik aku dan Sunghoon tidak tertarik untuk meminumnya.

"Lihat, kan? Aku tidak meminumnya? Kami punya cara sendiri buat minum. Kenapa kalian serang kami?" Aku terus mengajukan pertanyaan dengan intonasi tinggi.

Teriakanku menggaung sia-sia. Serangan terus berdatangan, seiring dengan teriakan Kim Sehyung yang terus bersahutan.

"Hentikan dulu, Bapak Pendeta. Dengarkan aku, kumohon!" pinta Sehyung. Wajahnya dilanda kepanikan yang amat sangat. Silih ganti dia menatapku. Namun, peran apa yang dimiliki Sehyung jika dia hanyalah jemaat biasa? Tidak bersenjata sama sekali, sedangkan putrinya yang mengkhianatiku berwajah tegas, Jung-A sangat bertekad membunuhku.

"Bapak! Dia yang menyelamatkanku!" Akhirnya teriakan Sehyung menghentikan serangan. Appa terkejut mendengar penuturan ayah Jung-A. "Kalian tahu saat aku kesulitan usai diganggu rentenir, kan?"

"Aboji, geumanhae (Ayah, hentikan)!" sela Jung-A.

"Dia yang menolongku, tetapi bukan pelakunya!"

Tekanan kemarahan dalam diriku masih belum surut. Ledakan yang menggumpal di hati dan otakku semakin ganas. Telingaku berdenging nyaring. Aku ambruk lagi saat ingat berita heboh tentang dua mayat biru.

Usai menghina rentenir itu, aku dikejar empat orang. Lewat lorong-lorong yang gelap dan panjang itu, aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk kabur. Empat orang itu berpencar. Sialnya, aku terpojok di suatu gang buntu. Suara tapak kaki yang melambat mendadak itu sangat dekat. Mereka menemukanku. Cemas dan panik itu membuatku hilang akal. Aku cuma berteriak ngeri sambil berlutut pasrah.

Bisikan sehalus angin mencapai belakang telingaku.

Cabik saja orang jahat itu. Berikan keadilan dengan kematian. Mereka tidak akan pernah berhenti menyakiti orang lemah sepertimu. Cabik demi kedamaian dunia. Hukum dia. Koyak lehernya, isap darahnya. Kriminal seperti mereka tidak pantas hidup!

Aku menerjang salah satu korban. Menghisap darahnya dengan ganas. Tenggorokanku yang panas mereda begitu saja. Aku puas melampiaskan kemarahan atas penghinaan pada orang yang tidak berdaya. Aku mengerang lega. Sementara itu, aku mengejar Baebong yang tercengang, Dia melangkah mundur menghadapi monster yang tiba-tiba muncul. Aku menggeram. Tidak akan kubiarkan dia lolos. Kukejar dia dengan cepat. Menghisap darah yang sangat nikmat dan manis. Seruputan demi seruputan menyebabkan jasad korban membiru kehabisan darah. Aku menghisap mulutku dengan sapu tangan dan membuangnya asal.

Lalu aku berlari menjauh seiring dengan kewarasanku yang pulih sebagai manusia,

Jadi, apakah aku tukang onar yang dicari semua orang? Aku tidak mau percaya. Mulutku terkunci, menatap wajah Sehyung yang terus membelaku.

Ini tidak benar. Dia tidak seharusnya membelaku.

"Bapak Pendeta, aku yang melepaskan rantai besinya agar Nona Yoo pergi. Dia tidak salah apapun, Bapak Pendeta."

See you next part

Banyuwangi, 10 Maret 2021
Revisi, 22 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro