No 16 | Mr Sky: Yes, Sir! |

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Written July, 23rd 2018 |

...

Koridor lantai dua puluh sembilan gedung hotel Bigbang didominasi oleh suara derap langkah dua pasang sepatu. Tiap pintu yang dilalui menyaksikan dua pasang insan yang tak kunjung membuka suara, hanya melangkah dalam satu barisan. Hingga sampai di pintu paling ujung dari keberadaannya, Langit berbalik badan. Sosok Mentari dengan senyum yang pias sejak jam tiga sore ini, memandangnya lekat.

"Apa lagi? Bukannya sudah puas bisa menyeretku kemari selepas menyiksaku hampir seharian penuh? Enggak ada kerjaan banget sih aku harus sampai pelototin si Lisa kerja." Hardik gadis itu.

"Ini ruanganku." Tak menjawab Langit justru menunjuk pintu di balik punggungnya dengan dagu. "Mulai besok? Selepas jam tiga, langsung aja kesini. Gak perlu kejemput lagi seperti sekarang."

"Iya, iya."

Langit memasuki ruang berukuran sedang. Tertulis namanya di sebuah papan pengenal di atas meja. Ruang berwarna paduan putih dan hijau muda. Detik kemudian, ia menempatkan diri duduk di balik meja kerja. "Duduk!"

Tak banyak komentar. Gadis itu patuh. Duduk dan mengamati gerak-gerik Langit dalam diam. Sedang pria yang ditatap sibuk merapikan berkas yang berantakan di atas meja. Hampir sepuluh menit lamanya, kini Langit mengutak-atik laptop di depan mata. Dia sengaja membiarkan manusia di hadapannya hanya mencibir tanpa suara.

Sedikit lama, akhirnya printer di meja belakang berbunyi dan memuntahkan dua lembar kertas sekaligus. Dia bergerak lincah mengambil benda tersebut dan meletakkan di atas meja.

"Apa ini?" Deretan kode memenuhi kolom. Mata gadis itu mengerjap seketika. "Occupeid?", gumamnya.

Langit menoleh dari layar laptop, "ada artinya di kolom sebelah."

"Bahasa Inggris. Gak paham."

"Serius?", dia menggelengkan kepala sedang satu tangannya menyisir surai rambutnya melalui celah jemari. "Itu istilah umum buat menandai kamar di hotel-hotel."

"Alex memang bisa ngomong pakai bahasa Inggris. Tapi belum tentu aku juga bisa, kan?!"

Pria itu mengangguk paham. Sembari jari tangannya sibuk bermain di atas keyboard, ia coba bersuara. "Occupeid artinya kamar itu lagi ada penghuninya. Dikodein dengan 'O'. Terus kalau 'OC', singkatan dari Occupied clean. Kamar itu berpenghuni dan lagi dalam keadaan bersih."

Mentari ber-o-ria. "Kalau, OD? Berarti kamarnya kotor, dong?"

"Iya, benar. OD, occupeid dirty. Kamar itu lagi kotor dan penghuninya masih ada."

"Kok bisa?"

"Ya bisalah. Biasanya karena yang nempati tuh kamar sudah melewatkan satu malam stay. Maka dari itu statusnya dari OC ke OD."

"Hm! Kalau Vacant?"

Langit mengambil satu bolpoin dan melemparnya tepat di depan Mentari. "Tanyakan yang kamu nggak paham. Aku terangin, kamu tulis."

"Kenapa nggak kamu aja yang tulis sendiri?"

"Aku sibuk. Nih aku lagi nyiapin draft supervisor report."

Dengan berat hati Mentari meraih bolpoin tersebut. Tangannya sampai pegal saat deretan kalimat Langit terlontar fasih tanpa jeda. Dia bahkan tak sempat mengangkat wajah karena takut tertinggal satu kata saja darinya. Langit sudah memperingatkan, kalau dia malas mengulang.

"Kamu hapalin semua itu. Jadi kamu nggak salah masuk kamar nanti."

"Ok, bos."

Baru saja Mentari berniat mengangkat lembar kertas di tangan, suaranya sudah berhasil melafalkan satu kata dari deretan kode yang dia baca, namun Langit malah menyela, "Hapalinnya di sudut ruang sana! Berisik! Aku lagi kerja."

Mentari melirik wajah di balik laptop itu. Wajah serius yang tak bersahabat. Dia tahu Langit tengah sibuk. Akhirnya ia hanya bisa menurut dan patuh. Namun baru saja ia mengangkat bokong dari atas kursi, Langit kembali bersuara.

"Nih ambil." Dilemparnya selembar handuk dari dalam laci ke arah Mentari. Tangannya lalu sibuk mengutak-atik ponsel. "Tuh aku sudah kirim videonya. Pelajari sendiri."

Titah raja lagi?!, gumamnya. "Oke.", jawab gadis itu pasrah.

Suara printer kembali berbunyi. Lagi-lagi memuntahkan selembar kertas dari dalam sana. "Oh iya. Sekalian. Ambil tuh kertas."

Patuh. Mentari kembali melangkah, mengambil satu kertas dari benda berbunyi di belakang Langit. Benda yang akan dia kutuk jika saja printer itu masih berani mengeluarkan secarik kertas lagi dari dalam sana.

Deret kolom lagi. Membuat Mentari mendengkus kesal. "Apaan lagi nih?"

"Hapalin semua benda di dalam sana, nama, sama fungsinya."

"Lagi?"

"Iya. Besok bakal aku tes. Hapalin semua." Langit berbicara tanpa menolehkan kepala sedikit pun dari layar laptop yang ia tatap. "Sudah sana! Aku lagi sibuk."

Sengaja Mentari menghentak sepatu dengan keras. Wajahnya sudah memerah menahan amarah. Sedang yang memberi titah hanya cuek dan masa bodoh. Dikata mudah harus menghapal semua nama sampah ini, rutuknya kesal.

Belum juga langkahnya sampai ke sudut ruang. Langit memanggilnya sekali lagi. "Mentari?"

"Hm. Ya?"

"Tuh contoh semua bendanya ada di troli. Aku lupa bawa kesini. Kamu ambil ya. Minta sama Bian. Bilang aku yang suruh."

Habis sudah stok sabar yang wanita itu pupuk. Sedari tadi dia coba menahan semua terpaan siksa yang Langit turunkan.

"Astaga! Kamu niat banget nyiksa aku, ya?! Dipikir gampang bawa tuh troli kemari? Kamu sendiri tahu kan, lantai dua sembilan gak punya lift!" Mentari mencak-mencak. Pita suaranya dia longgarkan tak tanggung-tanggung. "Sudah disuruh hapal ini-itu, belajar lipat handuk, nih lagi disuru nyeret troli pula. Mau kamu itu apa, sih?"

Langit menutup laptopnya. Dia memaku menatap sosok frustasi itu sembari mengulum senyum.

"Aku mau di training atau disiksa, heh? Kamu kalau punya dendam, gih kita duel aja sekarang? Bonyok dah bonyok aja sekalian tuh pipi. Daripada imbasnya aku harus menanggung semua kekesalanmu selama sebulan penuh. Bisa-bisa aku mati muda!"

Dia mengambil napas sejenak, lalu lanjut berkoar. "Dari awal aku gak mau ikut rencana kalian. Cuma karena usulnya pak Jeri aja makanya aku nurut. Padahalkan tanpa di training aku sudah bisa kerja. Toh si empunya hotel yang ngomong sendiri. Terus kenapa aku harus nurut katamu? Masa bodoh! Aku nggak mau lagi di training!"

Langit tersenyum. Dan Mentari benci senyum itu walau dirinya tak bisa menhingkari bahwa apa yang Langit suguhkan saat ini malah menambah taraf ketampanan Langit jadi melejit tak kira-kira.

Pria itu menikmati apa yang ia tonton. Apalagi kalau bukan Mentari dengan wajah frustasi yang memerah. "Aku sudah dapat ijin dari Pak Prayoga. Dia mengiyakan kalau mata-mata bodohnya memang harus ditraining kalau tidak mau diusir sama si Erik. See! Have you known how clever I am!"

Sia-sia apa yang ia suarakan semnajak tadi. Mentari memilih kembali diam dan berbalik badan. Kalau saja malaikat bernama Prayoga itu sudah berkehendak, apalah artinya mahluk mungil sepertinya buat mengelak.

"Trolinya di lantai paling bawah. Kamu yang bawa kemari. Bian pastinya sibuk."

Sampah! Mentari tak mengindahkan. Dia melongos pergi tanpa niat menjawab. Kalau sianida efeknya cuma bikin kejang, aku bakal stok banyak-banyak  buat jatah kopinya besok pagi.



🌹🌹🌹
-tbc-
c u at 10:52












Aku pub lanjutannya besok ya. Dah separuh ngetik mata keburu ngantuk.

Diriku baru cek kalau cerita aku yg abu2 masih ada penikmatnya hihihi.. berbi terharu biru, itu cerita yg sempat buat aku senyum2 gaje waktu bayangin tingkah kikuknya Azkanyg so sweeett.. ngakak sendiri juga pas nulis adegan penculikan Tasya sama para kelenting tampan wkwkwk

Yg belum baca sok atuh mampir ke ABU ABU. Jangan ragu kalau ninggalkan komen.

Badewei Ceritaku kali ini gak segelo mereka kok. Buset, tobat buat nulis karakter receh macam mereka 😂 Langit dan Mentari memang masih dalam masa pendekatan. Maklumi klo Langit masih sedingin kulkas. Sweetnya aku selipin di part2 lanjutan. Tunggu aja.

Salam,
Nona Hani.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro