3 - Takut Khilaf (Riyan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata gue masih melirik ke paha gue yang emang nempel banget sama paha si Novia yang berbalut rok hitam, kontras banget sama warna kulitnya, bikin gue takut khilaf. Apa Novia emang nggak nyadar ya? Atau emang sengaja menempel ke gue?

Gue tahu ini dosa, tapi gue nggak bisa pungkiri bahwa gue laki-laki biasa yang punya naluri kecondongan terhadap perempuan. Senang disentuh cewek. Hanya saja masih terkontrol rasa malu. Saliva gue tertelan.

Gue masih mikir gimana caranya menjauh sedikit tanpa bikin Novia tersinggung, atau gue nikmatin aja momen langka ini?

“Jadi Novia lah yang paling muda di sini, ya?” ucap Pina yang mengenyahkan pikiran bingung gue.

“Dan, Abang Iyan ganteng yang paling tuik,” sambung Novia sambil tercengir melirik ke gue. Sial, dia kayak nggak merasa berdosa udah nempel banget sama gue. Gue nggak risih—nikmat malah, paha gue mulai terasa hangat dan menjalar ke seluruh tubuh. Tapi malu, moga nggak ada yang menatap aneh. Mungkin Pina menyadari posisi gue sama Novia yang lagi nempel banget, tapi dia diam aja—pura-pura nggak tahu.

Apa gue nikmatin aja terus kekhilafan ini?

“Tapi nggak apa-apa, masih kelihatan muda—sama kayak kita-kita. Toh, Kamu juga ngaku dia ganteng?” ujar Pina sambil senyam-senyum, kayaknya ngetawain Novia dia.

“Gue biasa aja, kok.”

“Udah pasti ngerendah lah.”

“Oke lah, Pina.” Gue nggak mau debat lagi soal yang nggak penting.

“Iyan, nanti jangan sombong sama kami, ya...,” pinta Novia dengan nada manja banget. Mulai jaim ni anak.

“Gue nggak pantas sombong.”

“Kita tahu lo nggak sombong, tapi mana tahu lo lupa sama kita,” kata Pina. Maksudnya apa?

“Nah, kalo gue pikun baru bisa gitu.”

Kali ini Pina mengangguk.

“Apaan sih, Pina? Iyan nggak akan mungkin sombong.” Dan Novia menyenggol bahu gue pakek bahunya, tanpa sadar posisi duduk dia juga makin menempel ke gue. Ya Tuhan, kalo sampai gue diginiin terus, bisa khilaf gue.

Pina mulai main mata, kayaknya tingkah Novia makin kelihatan jelas. Gue mulai deg-degan, bukan suka sama Novia, tapi takut khilaf, sumpah!

“Oh iya, kita tukeran pin BB dulu, yuk?” ujar Novia lagi. Kami saling tukar pin BB.

“Tapi gue sering nggak aktif, ya? Gue miskin, sering nggak ada kuota,” ucap gue dengan wajah memelas.

“Nggak apa-apa. Makanya kasih nomor hape juga. Nanti biar Ovi yang sering-sering nelpon Iyan.” Jaim Novia berlanjut. Gue dan Pina mulai memutar bola mata.

Pina berdehem.

“Maksudnya kalo ada info penting biar gue yang kasih tahu sama Iyan,” Novia meralat sambil menatap Pina kesal.

“Iya ... iya ... Kamu emang baik.” Pina tercengir.

Betewe gue masih terjebak. Gimana ya cara menjauh biar nggak kelihatan risih? Di saat gue lagi mikir, paha gue bergetar.

Gue langsung bangkit dan cari tempat yang jauh dari bising.

“Iya, lo di mana, Jack?” gue langsung tanya posisi dia.

“Gue masih di tempat tadi, tapi bentar lagi gue balik ke situ, kok. Eh, lo dapat info apa aja di sana?” Gue mau ceritain, dia malah lanjut ngomong lagi, “Ya udah, nanti aja ceritain ke gue ya? Dah...?”

Telpon udah ditutup sama dia. Aha? Gue punya ide. Pas gue duduk lagi bareng Novia sama Pina, gue tinggal duduk di tempat yang berbeda aja—yang jauh dari Novia.

“Siapa, Yan?” kepo Pina.

“Teman gue.”

“Anak TI juga?”

Gue mengangguk. “Iya.”

Pina mengangguk. Kami masih duduk, ngobrolin apa aja yang kiranya seru sambil habisin minum. Beberapa lama, Novia dan Pina pamit dari gue. Gue sendirian lagi.

Gue juga nggak betah, orang-orang di kantin nggak ada yang gue kenal. Akhirnya gue mau pulang juga. Gue bangkit dan lapor ke kasir, “Mbak, minum saya sudah dibayar sama cewek yang pakai pashmina warna krem tadi kan?”

“Yang berdua itu?” tanya Mbak-mbak itu.

“Iya.”

“Nggak, Dek, mereka cuma bayar punya sendiri aja.” Tepok jidad gue. Gue kira diajak sama dengan ditraktir—ternyata gue salah. Udah duit gue pas-pasan, bensin motor belum gue isi. Sial! Gue cuma bisa berharap sama Jack.

“Oke deh, Mbak.” Gue langsung bayarin cappuccino dingin—pilihan terbaik ketika haus di siang hari—yang gueminum tadi. Gue kasih selembar uang sepuluh ribu, Mbak-mbak itu ngembaliin empat ribu. Dan itulah sisa duit gue buat pulang. Moga ada tambahan sama Jack, biar bisa isi bensin. Kalo nggak? Siap-siap dorong motor sejauh tujuh belas kilometer.

Gue menghela napas. Menatap sekitar. Kayaknya udah cukup dulu dengan informasi dari Yosep tadi. Saatnya pulang. Gue langsung sms Jack.

Riyan Persie: Sisain duit buat beli bensin motor gue ya?

Gue tunggu sms gue dibalas. Lima menit .... Sepuluh menit .... Lima belas menit .... Duh, nggak dibalas-balas. Mau nelpon nggak ada pulsa. Oke deh, gue miskol aja. Sepuluh kali gue miskol, dia nggak nelpon balik juga. Gue sms lagi lah.

Ryan Persie: Lo di mana Jack? Bensin gue nggak ada ni, kita nggak bisa pulang kalo lo nggak nyisihin jajan lo. Duit gue udah habis.

Ryan Persie: Woi, bales dong!

Ryan Persie: Woi!

Huh! Nggak dibalas-balas.

Gue terus menimbang-nimbang antara pulang atau menunggu Jack yang nggak jelas kapan dia datang. Waktu sudah jam setengah lima sore, gue harus segera pulang. Gue harus mengambil pesanan roti tawar bos gue di toko, di pusat kota. Kalo gue telat, siap-siap aja gue dipecat. Motor yang gue pakai buat kuliah juga bakal dicabut, karena itu motor bos gue yang dikasih ke gue buat kuliah sambil kerja. Dan kalo gue nggak kerja, gimana gue kuliah?

Ada tiga masalah sekaligus yang mencekam gue detik ini juga.

Pertama, kalo gue pulang tanpa Jack, Jack mau pulang sama siapa? Nggak ada kawan juga dia dari kampung. Apakah gue harus tega ninggalin Jack, ngebiarin Jack terlantar?

Kedua, kalo gue nggak langsung pulang, gue bisa telat ngambil roti—karena toko roti ditutup jam lima. Waktu gue nggak lebih dari setengah jam. Kalo gue nunggu Jack sekitar lima belas menit lagi, gue sudah pasti telat, karena waktu tempuh dari kampus ke toko roti itu lebih kurang lima belas menit.

Ketiga, kalo nggak nunggu Jack, gue tetap nggak bisa pulang, karena gue nggak punya uang lagi buat isi bensin—gara-gara Pina kampret yang nggak bayarin minum gue.

Apakah gue harus pasrah menunggu Jack? Tapi apakah Jack udah pasti punya duit? Soalnya dia belum bisa gue hubungi sejak tadi. Nggak jelas juga, ni.

Oke, gue nggak boleh bergantung sama Jack. Gue harus segera dapat bensin sambil nungguin Jack. Tapi gimana caranya? Gue beneran bingung, pikiran gue buntu. Stuck.

Ya Allah ... beri daku petunjuk.

Astaghfirullah!? Doa yang terbesit di pikiran gue itu langsung bikin gue sadar akan sesuatu. Ya, ternyata gue udah ngelewatin solat zuhur. Tepok jidat, gue. Tadi nggak lama habis makan siang, gue langsung diajak ngobrol sama Pina dan Novia sampai lupa waktu. Kali aja ini teguran dari Yang Kuasa karena gue udah melalaikan solat.

Oke, di sisa waktu kurang dari setengah jam, sambil menunggu Jack balik, gue mutusin untuk solat asar.

Pas solat asar, entah ini ilham dari-Nya atau bisikan setan, gue dapat sebuah ide. Pikiran gue tercerahkan. Gue mengepalkan tangan.

Membuang rasa malu dan gengsi jauh-jauh, gue ambil hape gue, gue ketik pesan, gue send ke Tomi. Emang nggak salah gue kenalan sama orang baik kayak Tomi. Gue tersenyum lebar.

Riyan Persie: Assalamualaikum, Tomi. Ini Riyan. Udah disave kan?

Riyan Persie: Gini, Tomi. Aku mau pulang, tapi pas kulihat motor, bensinku udah habis. Aku benar-benar lupa mengisinya tadi pagi pas berangkat kuliah.

Riyan Persie: Masalahnya lagi, duitku udah habis. Fyi aku emang kere sih orangnya, hehe.

Tomi TI 15: Waalaikumsalam, Yan. Tapi maaf, ya, aku nggak ada lagi cash. Udah aku setor buat katering bulanan.

Tomi TI 15: Coba minjem sama Susi atau Winda. Mereka pasti ada yang punya. Mereka juga nggak pelit. Minta aja.

Sial! Mana berani gue minta sama cewek? Apa lagi baru kenal, apa lagi cewek yang gue.... Ah, sama aja dengan mempermalukan diri sendiri. Jatuh banget harga diri gue.

Riyan Persie: Nggak berani lah, Tom, hehe.

Tomi TI 15: Nggak usah gengsi sama mereka, Yan. Aku juga sering ditolongin sama mereka. Mereka itu baik banget, Yan.

Tomi TI 15: Minjem aja Yan. Besok-besok kau bayar.

Demi apapun, gue tetap aja nggak berani. Entah ini gengsi, rasanya lebih mending dorong motor dari pada harus minta-minta sama cewek.

Riyan Persie: Ya udah lah, Tom. Nggak apa-apa. Aku nggak mau ngerepotin cewek. Maaf ya Tom, aku udah ngerepotin kamu. Betewe makasih banyak, ya.

Gue mengembuskan napas. Ternyata ini bukan solusi. Waktu yang tersisa kurang dari dua puluh menit. Gue harus segera jalan. Kalo nggak sampai ke toko roti, gue isi aja bensin empat ribu. Atau kalo mamang SPBU nggak ngasih, gue dorong aja ni motor.

Oke, gue langsung hidupin motor. Paha gue masih suka bergetar, tapi gue rasa nggak ada waktu lagi buat baca sms. Gue langsung tancap gas menuju SPBU. Sampai di sana, gue langsung buang rasa malu gue jauh-jauh. Mau gimana lagi coba, nasib orang miskin.

Tapi gue ada trik biar nggak malu-maluin banget. Pas menjelang giliran—saat antrean—gue langsung buka dompet, pura-pura nyari duit. Terus pura-pura duit gue udah jatuh dan tersisa cuma empat ribu dan ngeluarinnya sambil pura-pura kesal karena kehilangan banyak duit.

“Berapa, Bang?” tanya Mamang SPBU.

“Empat rebu aja,” ketus gue—pura-pura kesal.

Gue lihat jam tangan—fyi ini jam tangan murahan yang gue pinjam sama bos—udah jam empat lewat lima puluh lima menit. Berarti, sisa waktu gue tinggal....

Apa!? Lima menit!?

Gue mulai panik. Jantung gue berdegub cepat, napas gue menderu. Kalo gue nggak ngebut, gue udah pasti telat, toko rotinya pasti udah tutup. Nggak ada pilihan lagi, gue langsung tancap gas, ngebut di sisa waktu. Gue harus menempuh jarak lima tiga kilometer dalam lima menit.

Gue nggak boleh putus kuliah .... Gue nggak boleh putus kuliah.

Next?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro