1. Di Depan Vanilla Latte

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita cuma butuh tiga puluh menit untuk saling menjatuhkan hati, tiga puluh menit untuk saling melukai, dan tiga puluh menit untuk saling mencari."

=========== *** ==========

Rambut cokelat sepinggang, kulit seputih pualam, dan bibir penuh. Nama yang dianugerahi sang ibu nampaknya sangat cocok dengan penampilan fisik gadis bernama lengkap Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo itu. Ia mengibaskan rambut ke kanan untuk menjepit ponsel di pipi. Seorang laki-laki berkemeja kotak membukakan pintu kafe sambil tersenyum lebar.

"Iya, Mama Seruni yang paling cantik sekastil mimpi. Tadi aku angkat telepon gebetan dulu," ucap Anyelir pada mamanya.

Dia pasti bukan pegawai kafe, batinnya saat membalas senyum laki-laki itu. Pandangannya memindai sekeliling. Mencari tempat yang nyaman untuk menikmati secangkir kopi.

"Kebiasaan deh. Sekarang lagi di mana?" tanya Mama.

"Aku di kafe biasa, Ma. Karyo nggak usah jemput, aku naik taksi aja."

Benar saja, seorang perempuan langsung menghampiri dan menampar laki-laki tadi, tepat sesudah ia lewat.

"Ngapain kamu ngelihatin dia sampai kayak gitu, hah? Dasar mata keranjang!" seru si perempuan yang sempat memelototi Anyelir.

Sangat mengenaskan. Ah, selain diperebutkan laki-laki berstatus availaible di pasaran. Anyelir juga sangat biasa melihat pasangan yang ribut di depannya karena si lelaki bermata keranjang, buaya darat, dan sejenisnya. Setuju, 'kan? Kalau laki-laki dan segala perangainya itu omong kosong?

"Kenapa memangnya? Mobil yang dipakai Karyo baru kok." Terdengar suara riuh tepuk tangan dan musik tradisional di ujung telepon. Mama pasti sedang menonton seni tari di Buleleng.

Pagi ini Anyelir menginjakkan kaki di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Bali merupakan kampung halaman ibunya sekaligus salah satu destinasi liburan favorit mereka. Hampir tiap tahun mereka selalu berkunjung ke Bali. Pemandangan Desa Ubud dan ombak yang menerjang bibir pantai tak pernah menyisakan jenuh di hati mereka.

"Nggak apa-apa, Anye naik taksi aja."

"Ya udah, hati-hati. Jangan lupa kirim foto ke Papa. Lusa mau nyusul katanya."

"Iya, Mama Cantik."

Sesudah itu panggilan berakhir. Anyelir meletakkan tas di atas meja, lalu duduk. Anak kecil yang berlarian di bibir pantai menarik atensinya. Ia iseng memotret pemandangan tersebut lewat kamera ponsel untuk dikirim ke Papa. Bali adalah tempatnya melewati masa kecil sebelum Mama menikah dengan konglomerat asal Solo. Ayah kandung Anyelir yang berkebangsaan Amerika pergi entah ke mana dan tak pernah kembali. Ia pun belum pernah melihat secara langsung wajah pria tidak bertanggung jawab itu.

"Can I sit here?"

Suara berat itu membuat Anyelir berhenti menatap layar ponsel. Ia pikir yang melontarkan tanya tadi adalah turis mancanegara.

"Oh, duduk aja nggak apa-apa."

Anyelir menarik senyum mengejek karena laki-laki itu nyatanya sudah duduk lebih dulu sebelum dipersilakan.

"Kirain cewek Latin."

Laki-laki yang mengenakan kaus putih berbalut jas cokelat di depannya mengembangkan senyum. Dia menyesap secangkir espresso—yang Anyelir rasa sudah dipesan lebih dulu entah kapan. Kalau menilik gaya rambut, alis tebal, dan ukiran senyum. Anyelir rela-rela saja memberi nilai 8,8.

"Kalau bukan, kenapa? Terus, kalau iya, kenapa?"

Anyelir bertopang dagu. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area kafe sejenak, lantas tertumbuk pada laki-laki itu. Masih ada banyak kursi kosong selain di depannya.

"Kalaupun dua premis tadi benar atau salah, saya tetap mau nawarin kopi." Laki-laki itu menyandarkan punggung kemudian mengangkat sebelah tangan. "Vanilla latte satu," ucapnya pada pelayan yang tak lama menghampiri meja mereka, tatapannya seolah mengikat Anyelir.

Wow, spontanitas tanpa batas, batin Anyelir.

Ia menelengkan kepala ke kanan dan menunggu kejutan basi lainnya. Ya, setidaknya tipikal laki-laki semacam itu masih lebih menyenangkan dibanding tipikal overprotektif apalagi posesif. Golongan overprotektif memang terlihat heroik, tetapi sangat menjenuhkan. Untuk golongan posesif? Anyelir mencoretnya dari daftar kategori, mereka sangat merepotkan.

"Kamu yakin banget saya mau minum vanilla latte?"

Kini Anyelir pura-pura memperhatikan nail art paripurna yang menghiasi kukunya. Omong-omong minuman itu memang yang ingin ia pesan tadi. Kira-kira apa hal ini bisa disebut kebetulan belaka?

"Your eyes tell me more than vanilla latte."

Sekarang Anyelir memutar bola mata, tetapi tak berniat mengusir. Hei, jangan katakan ia terlalu cepat tertarik! Ia hanya sedang menguji!

"Jadi ditolak nih?" tanya laki-laki itu lagi.

Anyelir mengangkat bahu. "Saya nggak terima kopi dari orang asing." Ia memasukkan ponsel ke tas tangan.

"Ya, wajar sih. Saya cuma mau bilang kalau nama saya Anggara Hadiarsa." Anggara menyesap lagi kopinya. Pembawaannya pun begitu santai.

Ya, ya, ya, sambutan hangat di Minggu pagi dari seorang pemain handal. Anyelir bisa menebak hal itu hanya lewat tatapan tanpa jeda yang secara terang-terangan Anggara layangkan. Tak lama pelayan datang membawakan segelas vanilla latte. Satu hal yang berhasil membuatnya mengernyit. Ada seikat bunga anyelir merah muda yang diletakkan setelah minumannya.

"Anyelir, sounds like a beautiful name." Anggara menunjuk ke arah leher Anyelir, turun ke pergelangan tangan, lalu menunjuk gantungan tasnya.

Anyelir seketika menyentuh liontin pemberian Mama yang memang berbentuk bunga anyelir. Kalung tersebut menghiasi lehernya sejak berumur 17th. Kemudian ia melirik gantungan tas dan gelang yang menghiasi pergelangan tangan kanan secara bergantian.

"Wow ... kamu punya analisis yang lumayan keren sih." Anyelir kembali bertopang dagu, telunjuknya mencoret-coret meja. "Atau sebenarnya kita pernah ketemu di sebuah acara?" Ia melirik arloji yang melingkari pergelangan Anggara sekaligus ponsel milik laki-laki itu.

Anyelir berani bertaruh kalau laki-laki asing di depannya adalah salah satu anggota perkumpulan kaum crazy rich seperti dirinya. Sesudah menyandang nama belakang Cokroatmojo, hidup Anyelir tidak hanya jauh lebih mudah. Lingkup pertemanannya pun bak menaiki rollercoaster dan tertahan di puncak tertinggi.

Anggara menyunggingkan senyum. "Saya baru dua hari di Bali dan kamu baru aja sampai. Menurut kamu gimana?"

"Oh, ya?" Anyelir mengambil seikat bunga di samping vanilla latte-nya. Sempat ragu menghidu aroma bunga itu, dua detik kemudian ia malah benar-benar melakukannya. "Terus kapan pelayan beli bunga ini?"

"Setiap hari Minggu mereka bagi-bagi bunga ke pelanggan tetap."

Anyelir memejamkan mata lantas tersenyum tipis di balik tujuh tangkai bunga. "Berarti ... kamu salah satu pelanggan tetap dong. Nggak bosan ke Bali terus? Atau kamu memang lagi menunggu korban yang tepat?" tebaknya.

"Analisis kamu terlalu berlebihan," sanggah Anggara yang menegakkan tubuh.

"Kalau baru dua hari di Bali, dari mana kamu tahu mereka bagi-bagi bunga di hari Minggu?"

Tunggu ... stop meladeninya Anyelir! Gadis itu melebarkan mata ketika batinnya berteriak kencang.

"SOP semua pelayan kafe, restauran, pasti wajib memberitahu kelebihan kafe dan kita hidup di era globalisasi, Cantik."

Senyum Anyelir menyurut saat meletakkan bunga ke meja. Ia tidak pernah mengenal siapa itu Anggara Hadiarsa. Namun, ia sangat yakin laki-laki yang sekarang melipat tangan di meja bersama senyum menyebalkan itu adalah salah satu penguntitnya. Anyelir pun tidak pernah percaya akan sebuah kebetulan. Perempuan itu buru-buru mengambil ponsel, bersiap-siap melakukan panggilan darurat.

Anggara tertawa kecil seraya melirik arloji. "Setengah jam cuma buat nawarin kamu kopi nih. Saya ada janji lain." Laki-laki itu mendorong kursi ke belakang, lantas menyelipkan lembaran uang di bawah cangkir kopi.

Oke, dugaan Anyelir meleset jauh. Ia pikir laki-laki itu akan menawarkan diri jadi sopirnya. Tidak, tidak. Ia tidak berharap, hanya saja itu yang harusnya Anggara lakukan setelah semua basa-basi mereka selama setengah jam. Tiba-tiba Anggara membungkuk di sampingnya.

"Hati-hati di jalan ya, Cantik," bisik laki-laki itu.

Anyelir mengawasi gerak-gerik Anggara hingga keluar kafe. Laki-laki itu lenyap di antara kerumunan. Ia pun serta-merta mengembuskan napas lega. Dihampiri tiba-tiba saat sedang duduk sendiri bukan hal aneh baginya. Hanya saja Anggara Hadiarsa sanggup membuat alarm bawah sadarnya menjeritkan tanda bahaya.

Apa-apaan itu senyumnya yang ... arrrgh!

Anyelirmenarik kopor dan menyampirkan tas secara serampangan. Gerak-gerik Anggarasangat mengganggu kedamaian pikirannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro