10. Katanya Papan Catur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruang makan keluarga Anggara Hadiarsa Pranadipa sama seperti yang ada di rumahnya. Meja panjang besar, vas-vas bunga cantik, dan gelas-gelas berkaki tinggi. Anyelir mengangguk sopan bersama senyuman. Tanpa sengaja ia menjatuhkan pandangan pada laki-laki di sampingnya. Anggara tak melepaskan tablet sejak sarapan dimulai.

"Gitu tuh, Nye. Kebiasaan jelek yang susah banget hilang. Dia mentang-mentang makan sama keluarga sendiri pasti begitu. Sibuk ngurusin tablet atau baca buku. Untung kebiasaan main rubik pas makan udah hilang sejak SMP."

Tak tahu harus menanggapi apa, Anyelir meringis. "Iya, Tante. Kadang-kadang Anye juga tanpa sadar pegang HP terlalu lama di meja makan."

"Nanti-nanti jangan begitu, Nye. Acara makan keluarga inti juga nggak kalah penting dibanding acara makan sama kolega."

"Iya, Tante." Setelah mengulum senyum sekali lagi, Anyelir menyentuh tangan Anggara. "Simpan dulu tabletnya, Mas."

Entah kenapa gerakan Anggara yang menyingkirkan tangannya menimbulkan percikan rasa aneh. Dalam ekspektasinya sedetik lalu, laki-laki itu akan menyambut sandiwara yang mereka perankan. Namun, usai menenggak segelas air, Anggara mengangkat sebuah panggilan dan beranjak meninggalkan ruang makan. Anyelir mengamati punggung tegap itu bersama rasa aneh yang lagi-lagi merambati dadanya.

Anggara mengabaikan gue? Kok ... tunggu, tunggu. Kalau iya, terus kenapa Anyelir

Sepotong wafle disiram madu memenuhi mulutnya.

"Mau dia pergi nggak pamit kek. Masuk jurang, terus ketabrak kontainer. Bukan urusan gue juga," gumam Anyelir.

"Kenapa, Nye?" Julia memusatkan perhatiannya pada si calon menantu.

"Oh, nggak apa-apa, Tante." Anyelir mengangkat garpunya. "Wafle-nya enak. Hehe enak banget."

Julia mengangguk-angguk. "Papa kamu udah ngasih tahu soal pertunangan kalian yang batal diadakan?"

"Udah, Tante. Anye nggak masalah kok."

Dua hari lalu Papa Hermawan memberitahu hal tersebut. Sebenarnya sekalipun pernikahan mereka dibatalkan, Anyelir tak keberatan. Jadi, ia hanya mengangguk ketika tanggal pernikahan mereka dipercepat secepat kilat menyambar. Selain itu, Papa juga menyampaikan bahwa ia harus bisa merebut hati nenek Anggara di Surabaya nanti, bagaimanapun caranya. Kabarnya keluarga besar Anggara berasal dari sana. Mungkin Tante Julia hendak membahas keberangkatan mereka ke Surabaya?

"Good. Kalian udah sama-sama dewasa, kami pikir masalah perkenalan dan lain-lain bisa dilakukan nanti saja. Karena yang terpenting kalian menikah dan kekerabatan kita bisa terjalin dengan baik. Untuk masalah dekor dan sebagainya, silakan kalian tentukan. Kami hanya akan mengurus bagian tamu undangan," jelas Julia.

"Anye ngerti, Tante. Kemungkinan dekor dan pernak-pernik pernikahan akan sama seperti rencana pesta pertunangan yang kemarin-kemarin sempat kami siapkan. Paling tinggal pesan gedung lagi yang kapasitasnya lebih luas dan menambah porsi makanan. Sebenarnya Anye sudah melunasi sewa gedung untuk acara pertunangan kemarin, tapi kata Mas Angga nggak apa-apa pesan lagi aja di lain tempat."

"Oke. Anggara udah kirim tambahan budget?"

"Mas Angga udah kirim delapan ratus lagi. Katanya sekalian buat seserahan."

"Omong-omong soal gedung, kenapa kalian nggak pakai salah satu hotel punya Prana Development, Nye?"

Anyelir menggeleng sambil meringis. "Mas Angga nggak mau. Katanya kayak nggak ada modal aja. Nikah pakai properti keluarga, terus pakai jasa sponsor juga."

Julia mengurai tawa. "Oke, oke. Anak Mama memang begitu, Nye. Dimaklumi aja ya."

Dimaklumi banget kok, Tante, batin Anyelir yang menusuk gemas potongan wafle di piring.

"Maskapai penerbangan buat tamu udah disewa juga?" tanya Julia.

"Oh, belum sampai sana, Tante."

"Ya udah, Mama kirim kontak kenalan Mama, ya."

Sebelumnya mereka hendak melangsungkan pesta pertunangan di Surabaya, dilanjut resepsi pernikahan di Bali. Sesuai kesepakatannya dengan laki-laki itu. Kedua tempat itu pastinya butuh penyewaan jasa maskapai penerbangan. Hampir tujuh puluh persen persiapan tersebut Anyelir yang mengurus. Karena mereka kalangan old money, hal serumit itu bisa dilakukan di mana saja hanya dengan menggunakan jari dan titah. Jadi, Anyelir tak keberatan sama sekali.

"Sponsor yang kalian terima dari mana aja?"

"Mas Angga cuma ACC yang souvernir, Tante. Beberapa sponsor sudah kasih tender sejak Adara bikin status di media sosial tentang rencana kami, tapi ditolak sama Mas Angga."

"Mama, Anyelir," koreksinya. "Kamu dari tadi Tante-tante terus." Julia tersenyum simpul, lalu meneguk segelas jus. "Sabar ya, menurut Mama sih dia benar-benar memikirkan reputasi kamu sebagai bagian klan Cokroatmojo kalau sudah menolak sponsor ini-itu."

Antara memikirkan gue atau reputasinya sendiri sih. Beda-beda tipislah tergantung orang yang lihat.

Anyelir memaksakan senyum manis. "Iya, Ma."

"Oh ya, kalau dua hari lagi berangkat ke Surabaya siap, Nye? Mama nggak sabar banget nih mau adopsi kamu jadi menantu!"

"Kami berangkat lusa, Ma. Tadi Pak Hermawan baru ACC via telepon," sahut Anggara yang sudah bergabung lagi di meja makan.

Omong-omong, sejak bertemu Anggara kenapa ia merasa hidupnya sangat diatur dan terjadwal? Anyelir menatap laki-laki itu bersama senyum manis. "Oh ya? Papa bilang apa aja, Mas?"

"Papa kamu kasih izin buat kita pergi ke Surabaya tiga hari. Oh ya, beliau bilang sebaiknya malam ini kamu menginap di sini."

"Good, kamu tidur di sini aja sampai kalian berangkat ke Surabaya," sambung Julia.

Please, vila kita aja tetanggaan. Harus banget nginep? Buat apa coba? Anyelir menahan diri untuk tidak menepuk dahi.

"Gini, Nye. Neneknya Anggara ini agak rewel soal menantu ya. Mama harap kamu bisa memenangkan hati beliau. Soalnya kalau kamu berhasil, akses Anggara semakin terbuka lebar. Semakin leluasa, Nye. Nah, nanti kalian bicarakan strateginya bagaimana ya," lanjut Julia.

***

"Kok ke sini?" Anyelir memutar kepala ke kiri dan kanan. Ia lantas melepaskan genggaman laki-laki itu.

"Ini pembicaraan penting."

"Kenapa nggak di ruang tamu atau taman?"

Setelah bertanya Anyelir langsung melesat ke samping pintu. Rumor tentang laki-laki itu belum sirna dari kepalanya. Jadi, demi mengantisipasi keselamatan diri sendiri, lebih baik sedia payung sebelum hujan. Ia bisa berteriak atau lari sekencang mungkin kalau nanti terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Misal, Anggara berniat membenturkan kepalanya ke dinding atau melempar vas bunga ketika mereka berdebat.

Laki-laki itu berdecak seraya menarik tangannya. "Masuk, jangan jauh-jauh. Ini pembicaraan empat mata."

"Sebentar!" Anyelir mencoba melepaskan tangannya lagi. "Aku berdiri dekat pintu juga nggak apa-apa kali, Anggara! Masih kedengaran kok!"

Anggara tak menggubrisnya sama sekali. Pintu kamar bernuansa hitam putih itu tertutup seketika, bahkan terkunci. Mereka berakhir duduk bersebelahan di sofa kamar.

"Kamu kenapa sih?" tanya Anggara yang heran karena gadis itu bergeser terlalu jauh.

Anyelir menggeleng cepat, lalu melirik jam keamanan yang hari ini ia gunakan. Semenjak kejadian di GWK, ia memang tak pernah menggunakannya lagi bila bersama Anggara. Namun, kali ini tidak, semua demi keselamatan dirinya sendiri. Anyelir belum ingin mati muda atau cacat fisik karena kekerasan dalam hubungan.

"Nggak apa-apa kok. Langsung aja to the point," sahutnya seraya menatap jendela yang terbuka lebar. Ayolah, laki-laki kriteria manapun sudah pernah Anyelir tangani, kecuali yang ringan tangan, main tampar. Wajar saja kalau ketakutannya agak berlebihan.

"Kamu udah tahu tentang rumor itu?" tebak Anggara.

Alih-alih langsung menjawab, Anyelir bergumam panjang. "Hehe belum. Rumor apa memangnya?"

Anggara menumpukan kedua tangannya di atas paha, lalu menautkan jemari. Fokus pandangannya jatuh pada pintu kamar. "Jangan bohong, Anyelir. Di awal kamu jawab belum, habis itu malah tanya rumor apa yang kita bicarakan." Tak lama ia menatap gadis yang sepertinya tengah memaksimalkan tingkat kewaspadaan. "Kamu mau jadi lawanku di atas papan catur bisnis atau jadi ratuku? Kalau kamu pilih opsi kedua, kita bisa makan semua pion sampai menang."

"Oke ... tentu aja aku lebih pilih jadi ratu kamu karena aku nggak mungkin melawan kamu 'kan?" Anyelir manggut-manggut. Sekarang satu-satunya pilihan baik adalah tetap terlihat sebagai partner, karena belum ada bukti apa pun mengenai rumor Anggara. "Iya ... sebenarnya aku udah tahu, tapi aku nggak akan percaya. Soalnya ... kamu kelihatan normal." Segaris senyum Anyelir tampilkan.

"Katakan apa pun yang ada di kepala dan hati kamu, Nye. Ini bukan dalam artian romantis. Rencana sebagus apa pun bisa gagal total kalau kita belum sepemikiran, sevisi, semisi."

"Aku cuma sedikit takut." Anyelir menyatukan telunjuk dan ibu jarinya. "Tapi bukan berarti aku penakut. Wajar aja kalau mayoritas perempuan takut sama laki-laki bipolar, right? Itu masuk salah satu gangguan psikologis."

"Aku akan kasih tahu asal-usul rumor itu nanti."

"Of course, you should." Anyelir mencoba terlihat setenang mungkin. Kini posisi duduk mereka saling berhadapan. "Jadi?"

"Ini tentang warisan pasca menikah dan ACC sepenuhnya ada di tangan Eyang Putri."

Bias mentari yang membuat mata caramel Anggara tampak cemerlang, nyaris meruntuhkan fokusnya. Laki-laki itu menjelaskan rinci tentang keluarga besarnya, termasuk Eyang Putri yang menyukai cerita-cerita romantis. Anyelir cukup tertarik dengan rencana mereka. Dari sana, untuk kali kedua, ia berani mengakui kalau Anggara Hadiarsa Pranadipa adalah pembaca peluang yang baik.

"Ada apa?" tanya Anyelir karena laki-laki itu mendekat dan meraih tangannya.

"Salah satu bukti akurat dari rencana kita." Anggara memakaikan sebuah gelang pada gadis itu. Senyum tipisnya terukir saat menyadari warna gelang tersebut kontras dengan kulit Anyelir.

"Kamu yakin ini bisa berpengaruh?" tanya Anyelir yang mengernyit.

"Kalau kamu mau jadi penyusun rencana yang baik. Jangan pernah abaikan hal-hal kecil kayak gini, Nye."

Mata Anyelir memicing ketika memperhatikan detail gelang yang laki-laki itu pasangkan. "Gelangnya anak SMA banget sih."

Anggara tak segera menjawab. Laki-laki itu menjajarkan tangan mereka, kemudian memotretnya dengan kamera ponsel. Jika gelang Anyelir berwarna maroon, milik Anggara berwarna navy. "Ceritanya kamu yang beli, Nye."

"Oke." Anyelir mengangkat pergelangan tangan yang sudah terpasang gelang manis, lalu tersenyum singkat. Ia mengamati sejenak kamar tidur Anggara. Tak ada foto-foto yang terpajang, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya.

"Kamu ngapain pasang dream catcher?" Anyelir menunjuk benda yang tergantung di kepala ranjang, lalu tertawa.

"Terserah kamu mau menilai gimana. Dosa di masa lalu suka bikin aku susah tidur."

"Makanya taubat, Anggara," ujar Anyelir yang masih tertawa.

Saat gadis itu berpaling, pandangan mereka tertumbuk dalam jarak yang dekat untuk sekadar bertukar napas. Sekian detik berlalu, tak ada rona merah pada pipi Anyelir. Sementara degup jantungnya masihlah milik seorang gadis yang kini entah di mana. Anggara menyukai sepasang mata Anyelir Cokroatmojo, karena setidaknya dapat sedikit mengikis rindunya pada sosok yang tak akan terganti.

"Lagi pula barang itu dari orang paling berharga, nggak akan pernah kubuang."

Anyelir memiringkan kepala, satu bibirnya terangkat. "Jadi kamu hidup masih dalam bayang-bayang sang mantan ya, Anggara?"

"Iya, tapi atas namakontrak—" Anggara tak ingin beralih. Separuh Arindi ada dalam sosok gadis itu,maka ia tak akan melepaskan Anyelir Cokroatmojo selamanya. "Ik hou van je*,Anyelir." (*Aku mencitaimu)============= *** ==============

*Ik hou van je: Aku mencintaimu

See ya in da next chap!
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro