29. Ketidakjelasan Sebuah Janji

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anyelir menutup telepon bersama kegamangan. Pikirannya melayang jauh bersama ucapan-ucapan Mama tadi pagi. Punya anak? Ia merasa belum layak berada di posisi tersebut. Menyamai langkah Anggara saja sudah sangat melelahkan. Umurnya boleh jadi terbilang cukup untuk menjalani sebuah pernikahan. Akan tetapi, status itu dan jenis kelamin perempuan belum cukup sebagai modal menjadi seorang ibu.

Biar bagaimanapun, Anyelir tak mau jikalau nanti anaknya berada dalam lingkup keluarga yang tidak menyenangkan dan kacau. Karena ia merasakan sendiri bagaimana rasanya punya keluarga yang tidak utuh. Belum lagi, ia dan Anggara tidak saling mencintai. Mereka menikah karena kontrak kerjasama antar perusahaan. Kategori memiliki anak tidak ada dalam rencana mereka.

Bagaimana mereka bisa bercinta hingga menghasilkan buah cinta, tanpa saling mencintai? Jujur saja, itu sangat mengerikan bagi Anyelir.

Boleh jadi Anyelir sulit percaya pada cinta. Akan tetapi, ia pun tak mau kalau nanti anaknya hidup tanpa cinta dari keluarga. Kalau nanti anaknya juga mengalami hal serupa dengannya. Mencari pelampiasan atas kekecewaan di masa kecil. Baginya, kecacatan sebuah keluarga berawal dari ketidakmampuan dua insan yang membina rumah tangga.

Air hangat yang mengisi jacuzzi kini telah mendingin. Anyelir meletakkan ponsel di antara jajaran lilin terapi, lantas membiarkan dirinya tenggelam bersama ratusan kelopak mawar. Andai saja perusahaan Papa tak mengalami kebangkrutan, mungkin ia bisa mengulur waktu lebih lama untuk menapaki tangga ini. Ketika semakin tenggelam bersama ratusan kelopak mawar, waktu membawanya ke suatu masa yang telah pudar dalam ingatan.

"Kamu cari siapa?"

Di tengah orang-orang yang berlalu lalang menabrak bahunya tanpa peduli, Anyelir menemukan remaja laki-laki itu. Umurnya mungkin sekitar 16th. Karena tinggi badan mereka sangat berbeda jauh, ia harus mendongak demi menemui bola mata yang sewarna dengannya. Laki-laki itu pasti bukan orang Bali, dia bicara bahasa Indonesia tanpa logat daerah.

"Mama aku tadi ke sana." Anyelir menunjuk kerumunan yang menelan keberadaan Mama. Seharusnya sekarang ia berada di sanggar tari. Namun, usai menerima telepon di tengah jalan mereka malah terjebak di sini. "Aku mau ke sana tapi takut," jelasnya di antara pandangan tak fokus dan tangis sesenggukan yang belum mereda. Ia sangat takut karena barusan melihat beberapa orang berlumur darah yang digotong ke ambulan.

"Kamu nunggu sama Kakak aja di sana."

Laki-laki itu menunjuk sebuah toko yang terbengkalai. Ada tiga bapak-bapak berjas dan berwajah garang di sana. Anyelir langsung memegang selendang yang melilit pinggangnya erat-erat. Ia tidak mengenal siapa pun di sini dan wajah bapak-bapak di sana membuat hatinya kebat-kebit. Anyelir ingin berlari, tetapi tidak tahu mau lari ke mana. Kakinya sekarang sedikit gemetaran. Ia masihlah bocah berumur 10th yang hanya tahu jalan dari rumah ke sekolah, sanggar tari, pura, dan pasar.

"Nanti Mama kamu pasti datang," kata laki-laki itu lagi, kali ini bersama senyum mengembang.

Anyelir langsung menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku ... nggak kenal Kakak," jawabnya tercicit.

"Nama Kakak, Hadi." Dia menunjuk jajaran bapak-bapak yang membuat Anyelir takut. "Tiga bapak-bapak di sana itu pengawalku. Soalnya aku pangeran negeri kincir angin, jadi mesti dikawal," jelasnya sambil tertawa kecil.

"Negeri kincir angin?" ulang Anyelir.

"Iya, tempat yang paling banyak bunga tulip sama kincir anginnya." Hadi menariknya mendekat, lantas menukar posisi mereka. Petugas ambulan yang lewat hampir saja menabraknya kalau laki-laki itu tak melakukannya. "Yuk, di sini nggak aman nanti kamu bisa jatuh."

Perkenalan diri yang ngawur dari si Hadi, entah kenapa sanggup menerbangkan ketakutannya. Ia mengikuti ke mana laki-laki itu mengajaknya.

"Kakinya Kak Hadi sakit ya?" tanya Anyelir setelah melihat laki-laki itu berjalan pelan dan sedikit menyeret kakinya.

"Iya, sakit banget nih, kamu mau mijitin nggak?"

Anyelir menggeleng cepat sambil menunduk.

"Bercanda kok, jangan takut ya."

Kemudian mereka duduk di teras toko. Jalan ini benar-benar riuh oleh teriakan orang-orang. Entah kecelakaan jenis apa yang terjadi, Anyelir tidak tahu. Ia sibuk mengkhawatirkan Mama.

"Nama kamu siapa?" tanya Hadi sambil menggoyangkan tangan mereka yang masih bergandengan. Tampak berusaha mengambil perhatiannya dari kekacauan di depan mereka.

"Bintang."

"Bintang, mau kuantar pulang?"

"Aku mau nunggu Mama."

Salah satu bapak-bapak berjas hitam menghampiri Hadi. "Mas, Bapak meminta Mas pulang sekarang. Bapak sudah urus semuanya."

"Saya disuruh lari dari masalah?" Hadi mengarahkan dagu ke depan. "Mereka gimana?"

"Itu perintah Bapak, saya hanya menjalankan tugas."

"Tunggu ibunya dia datang," sahut Hadi yang melirik ke arahnya.

"Tapi, Mas—"

"Tunggu, atau saya nggak pulang."

Bapak-bapak tersebut menghela napas. "Baik, Mas."

Cara bicara Hadi dengan bapak-bapak tersebut berbanding jauh ketika bicara dengannya. Alis tebalnya menukik, ditambah ekspresi wajah yang tidak ramah.

"Kak Hadi mau pulang ya?" Anyelir bertanya pelan setelah bapak-bapak tadi menjauhi mereka.

Hadi menoleh dan pandangan mereka bersipaku. "Kak Hadi pulang, kalau mamanya Bintang udah datang."

"Kak Hadi kok baik sih sama orang yang nggak dikenal?"

"Kan tadi kita udah kenalan." Hadi tersenyum lebar. "Ya, tapi Kak Hadi pasti baik sih sama cewek cantik."

"Oh." Anyelir tidak mengerti ke mana arah pembicaraan itu, jadi dia menjawab seadanya.

Hadi tertawa lagi. "Mau nggak jadi pacar Kakak?"

Anyelir menunduk malu sambil menggeleng.

"Kenapa?"

"Kata Mama, masih SD nggak boleh pacaran. Pacarannya nanti aja kalau udah besar, udah kerja, biar langsung nikah."

"Kamu lucu banget sih." Hadi mengacak-acak rambut Anyelir.

Kehadiran tetangganya yang berlari tergopoh-gopoh menjadi hal melegakan sekaligus sedikit menyebalkan. Karena Anyelir harus berpamitan kepada si laki-laki berkemeja flanel biru tua di sebelahnya.

"Bintang!"

Panggilan Hadi membuatnya berbalik dan menarik tangannya dari Bu Ani.

"Kak Hadi tunggu kamu enam tahun lagi, mau nggak?"

"Mau ...."

Senyum Hadi di kala senja merangkak sore itu melebur bak serpihan debu tersapu angin. Ia tersadar lantas duduk tegak. Ia mengusap wajah hingga ke rambut sambil menyingkirkan kelopak-kelopak mawar. Ketidakjelasan janji dalam rekaman memori yang pudar membangkitkan gejolak aneh di dada.

***

Sial,lampu merah memaksanya berhenti melaju. Sekarang hampir pukul 21.00. Untukpertama kalinya, Anggara tak ingin melewatkan sesi makan malam bersama Anyelirpadahal biasanya ia selalu tiba di rumah paling cepat pukul 23.00. Setelah ituia pasti mengecek email di sofa kamar, olahraga sebentar barulah tidur sampaipagi. Ia melirik buket bunga di kursi penumpang. Satu sudut bibirnya tertariktanpa persetujuan otak. Persetan jikalau perempuan itu nanti mengoloknya habis-habisan.Anggara sendiri kesulitan menghentikan ide konyol ini. Dia pasti sudah gila.Hadiah absurd Anyelir membuat otaknya tidak berfungsi dengan baik.

Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo adalah partner kerjanya. Kemarin-kemarin ia bahkan mengabaikannya dan gadis itu pun terlihat tidak peduli. Lantas ada apa dengan malam ini? Anggara menapaki anak tangga melingkar secepat kilat menuju kamar. Gadis itu tidak ada di ruang tamu dan ruang makan. Begitu tiba di depan pintu kamar, ia nyaris mengangkat tangan untuk mengetuk. Alih-alih langsung masuk, ia menilik kondisi buket bunga terlebih dulu.

"Nye?" panggil Anggara usai mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar.

Dia lagi di kamar mandi atau walk in closet?

Dua opsi tersebut membawa langkahnya menuju walk in closet. Hanya ada jajaran lemari besar berisi sepatu, tas, dan pakaian koleksi mereka. Ketika berdiri tepat berhadapan dengan cermin matanya ditutup rapat. Kalau saja tidak menghidu aroma mawar, Anggara pasti langsung membanting seseorang di belakangnya. Perlahan ia meraba jemari sehalus beludru itu.

"Anyelir?"

"Jangan bergerak ...," bisik gadis itu.

"Kenapa?" balas Anggara dengan bisikan pula.

"Pokoknya tunggu dulu sepuluh menit."

Anggara menyusuri jemari itu hingga ke lengan. "Aku pulang terlalu cepat ya?"

Tawa Anyelir begitu menggelitik di telinganya. "Nggak juga sih, rencanaku memang begini dari awal. Jangan buka mata dulu ya?"

"Iya sayang."

Anyelir sekarang tengah menutupi matanya dengan kain, sedangkan ia mengusap-usap lengan gadis itu.

"Kamu jangan cari-cari kesempatan, dong," celetuk Anyelir sambil tertawa.

"Aku lagi mau memastikan, kamu Anyelir atau bukan."

Serius, kejutan-kejutan sejenis ini sama sekali bukan gaya Anyelir Cokroatmojo sepengetahuannya. Ya, meskipun ia memang tidak begitu mengenal jauh kepribadian Anyelir. Mau bagaimana lagi? Selama ini urusan mereka sebatas kontrak, jadwal, dan akting.

Ah, ya, akting. Para pelayan pasti sedang menata kamar mereka.

"Apa yang salah memangnya?" tanya Anyelir.

"Nggak apa-apa."

Kemudian Anyelir menyentuh kedua lengannya, menuntunnya untuk berbalik.

"Bunganya cantik banget ... ini buat aku 'kan?"

Anggara mengangguk sebagai jawaban ketika gadis itu mengambil alih buket tersebut. Ia harus memperhitungkan setiap langkahnya. Takut-takut kalau menginjak kaki Anyelir, sebab ia berjalan dengan mata tertutup, sedangkan gadis itu berjalan mundur menuntunnya.

"Oke, berhenti di sini," ujar Anyelir.

Penutup matanya terlepas. Senyum lebar Anyelir Cokroatmojo adalah hal pertama yang ia temui. Senyum yang sangat berbeda, tetapi ia tidak dapat menjelaskan di mana letak perbedaannya.

"Selamat ulang tahun!" seru Anyelir.

Gadis itu menyodorkan cupcake vanilla red velvet yang tertancap sebatang lilin kecil. Lampu utama kamar sengaja dimatikan, tersisa dua lampu tidur yang menyala di kanan kiri tempat tidur. Sementara jendela geser sudah terbuka lebar-lebar. Sofa tempat biasa Anggara mengecek email sebelum tidur sekarang menghadap ke balkon. Ada jajaran lilin-lilin kecil memancarkan cahaya hangat di sekeliling pembatas balkon. Kejutan paling sederhana yang belum pernah ia dapat lagi selain dari Arindi.

"Make a wish dong, Anggara!"

"Bingung mau berharap apa."

Anyelir mendelik. "Sombong sekali manusia satu ini, astaga."

Anggara malah menyengir lebar. Alih-alih memejamkan mata, ia justru menatap gadis itu dalam-dalam bersama diamnya.

Gue mau dia di siniselamanya. Entah untuk alasan apa pun.

Sori nih kemaleman wkwkwk. Have a nice dream~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro