3. Di Antara Nyawa Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mas Angga, bulan depan sudah selesai studi?" tanya pria yang berjalan bersamanya sejak perkelahian di area GWK selesai. Hermawan Cokroatmojo.

"Saya baru mau menyusun tesis, Pak," jawab Anggara yang tersenyum ramah.

Pria paruh baya itu mengangguk. "Kira-kira berapa lama lagi?"

"Dua atau tiga bulan lagi. Kalau mengikuti target, saya maunya ikut sidang kloter pertama, Pak."

"Ah, target itu memang penting buat segala hal." Hermawan menepuk bahunya pelan. "Maafkan Anyelir ya, Mas?"

"Saya juga salah, Pak. Maaf pegawai Bapak jadi terluka parah."

Hermawan mengibaskan sebelah tangan. "Mereka bisa diganti nanti. Anyelir memang suka buat ulah Mas, tapi dia sebenarnya penurut kalau pakai cara halus."

Anggara melirik pria itu sekilas sebelum berdeham. "Iya, Pak."

Mereka berjalan beriringan menuju restoran terdekat. Papa dan Mama berjalan di belakang mereka, sementara Anyelir dengan ibunya. Anggara sedikit memahami gelagat keramahan Hermawan Cokroatmojo. Papa pasti sedang menjalin kerjasama untuk sebuah proyek besar. Ia pernah terlibat dalam beberapa penawaran proyek saat kembali ke tanah air, tetapi keterlibatan yang ini terasa agak berbeda. Anggara mengendus jenis penawaran kerja sama tak normal malam ini.

Setelah menoleh, Papa menatapnya sekilas tanpa ekspresi. Namun, sinar mata Papa seolah menjelaskan bahwa Anggara harus bermain apik. Tak lama, pandangannya dan Anyelir bertaut. Kain Bali yang gadis itu kenakan untuk menutupi celana pendeknya tersapu angin lembut. Kemudian menampilkan kaki jenjang semulus boneka porselen.

Perjodohan ya? Tapi apa yang bisa gue dapat dari klan campuran macam Anyelir? cetus Anggara dalam benak.

"Oh ya, saya dan Pak Reno berencana mengembangkan cabang Atmojo Group di Sulawesi yang hampir bangkrut."

Anggara mencoba mengingat-ingat jenis perusahaan milik Atmojo Group yang ada di Sulawesi.

"Ada apa dengan resort di sana, Pak?" tebak Anggara.

"Oh, bukan Mas, yang konstruksi."

Ah, Anggara mengerti. Atmojo Konstruksi dan Prana Development adalah kolaborasi yang bagus. Kalau begitu, Papa dan Mama harus melihat kemampuannya sebagai penerus. Sesampainya di restoran Anggara pamit menduduki meja yang terpisah dengan alasan ingin mengobati luka. Tentunya perkelahian dengan trio botak bukanlah apa-apa. Ia lebih ingin menganalisis pencapaian Atmojo Konstruksi lebih dulu sebelum terlibat pembicaraan panjang.

MGMP (Mantan Gebetan dan Mantan Pacar) Anyelir C (26)

Bimo Setiawan add Anggara Hadiarsa P to this group

Bimo Setiawan: Selamat bergabung @Anggara Hadiarsa P

Arka Nasution: Wah tumben belum ada 3x24 jam udah masuk anggota baru

Anggara Hadiarsa P left this group

Bimo Setiawan add Anggara Hadiarsa P to this group

Bimo Setiawan: Sebenarnya dia baru calon, tapi ya sekalian aja. Sohib gue dari TK soalnya.

Rifky Mahesa: Coba kita lihat temen lu bertahan berapa lama.

Bimo Setiawan: Siapa aja nih yang mau ikut taruhan?

Anggara Hadiarsa P left this group

Bimo Setiawan add Anggara Hadiarsa P to this group

Bimo Setiawan: @Anggara Hardiarsa P Diem nggak lu? Gue sunat tiga kali nih

Deriansyah Saputra: Wkwkwk sunat dah sunat

Deriansyah Saputra: Ayo! Gue pasang si Harley nih

Rafavian Permana: Kuy! Gue pasang Gundam sejuta dollar

Anggara Hadiarsa P left this group

Bimo Setiawan: Wah beneran minta disunat dia

Kevin Junanda: Udahlah biarin aja.

Bimo Setiawan add Anggara Hadiarsa P to this group

Bimo Setiawan: Ini tuh buat koordinasi, Bro @Anggara Hadiarsa P

Toni Manggala: @Anggara Hadiarsa P lu jangan keluar masuk dong, Bro

Deriansyah Saputra: Anjir! Pikiran gue traveling!

Toni Manggala: Udah jajan sana jajan wkwkwk

Anggara Hadiarsa P left this group

Sehabis memblokir nomor Bimo, Anggara mengompres sudut bibir dengan es batu. Ia tak perlu mengikuti taruhan dalam grup perpesanan bodoh tadi. Permainan yang sebentar lagi dihadapinya jauh lebih menantang.

***

"Anye!" Mama menarik tangannya. "Obatin dulu itu Mas Angga!"

Sebelah alis Anyelir terangkat tinggi-tinggi. "Ih, ngapain?"

"Udah cepet sana! Nanti semua ATM kamu diblokir Papa, soalnya ulah kamu yang satu ini susah ditolerir."

Anyelir menganga lebar. "Kok aku sih? Dia yang mau cium aku duluan, Mama! Dia yang bikin Kosong-kosong Satu, Dua, sama Tiga babak belur!"

Salah satu keunikan Anyelir adalah caranya menamai para abdi setianya dengan panggilan yang sama sekali tidak unik.

"Udah, cepet, sekarang. Go! Go! Go! Ini ancamannya nggak main-main, Nye!" Mama berbisik keras, lagi-lagi matanya mengarah pada Papa yang sedang berdiskusi dengan suami Tante Julia.

Penolakan Anyelir tak berlaku sama sekali. Mama malah mendorongnya hingga berdiri tepat di belakang Anggara. Entah semua sudah diatur atau lelaki itu mau memisahkan diri. Anggara duduk sendirian, seakan sengaja menciptakan ruang privasi di tengah-tengah bisingnya restoran. Dengan terpaksa, ia menarik kursi cukup kasar sampai berderit. Namun, hal itu tak membuat Anggara beralih dari tablet yang menampilkan grafik indeks pasar saham.

"Sini aku obatin!" Anyelir mencoba menarik kotak P3K kecil, tetapi ditahan Anggara.

Laki-laki itu masih fokus pada tablet sambil mengompres bibir dengan es batu. "Kamu mau ngobatin orang atau minta jatah preman?" tanya Anggara tanpa meliriknya sama sekali.

Dasar enggak tahu diri! rutuk Anyelir.

Alih-alih memaki, Anyelir menyunggingkan senyum manis. "Gini ya, Anggara. Tadi tuh kamu yang mau cium aku—"

"Bukannya kamu juga mau?" sela Anggara yang akhirnya menoleh juga. Laki-laki itu masih menempelkan es batu ke sudut bibir.

"Jadi itu yang bikin bodyguard aku ninju kamu," lanjut Anyelir.

Ia memilih mengembalikan topik tentang alasan kenapa bodyguard-nya mengeroyok laki-laki itu, ketimbang meladeni topik cium-mencium. Kemudian ia diam-diam memerhatikan detail garis wajah Anggara Hadiarsa. Ada goresan di dahi, ditambah lebam pada pelipis dan sekitar tulang pipi Anggara. Ia pun meringis tanpa sadar. Padahal sewaktu di GWK, Anyelir sama sekali tak peduli sekalipun Anggara dipukuli sampai mati.

Anggara menghela napas. "Yang bikin trio botak brutal itu tombol di gelang kamu, Nye."

Jadi, dia tahu fungsi gelang keramat gue? Anyelir tersenyum miring. "Tapi aku enggak akan pencet tombol siaga satu kalau kamu—"

"Gini deh, ngapain kamu ke sini?" Anggara meletakkan es batu ke mangkuk kecil. Karena posisi gadis itu duduk di sampingnya, maka Anggara memiringkan tubuh.

"Mau ngobatin kamu, omongan tadi kurang jelas?" Suaranya mendadak naik satu oktaf. Laki-laki itu agaknya perlu sesekali merasakan timpukan wedges Anyelir.

"Sebenarnya ini cuma luka kecil, tapi daripada ATM kamu diblokir—" Anggara mendorong kotak P3K kecil ke arah gadis itu. "Nih."

Anyelir malah memandangi kotak P3K dan wajah bonyok Anggara secara bergantian. Matanya membeliak. "Kamu ... pakai mata-mata? Nggak mungkin kamu bisa dengar dari jarak sejauh itu dan suasana bising begini!"

Kali ini Anggara tersenyum tipis. "Apa lagi yang bikin Anyelir Cokroatmojo sukarela ngobatin laki-laki asing selain itu?"

Oke, ini sudah penindasan harga diri secara terang-terangan. Sesungguhnya Anyelir sangat ingin melempar vas bunga ke kepala Anggara. Ah, tapi akan sangat kelihatan bodoh dan munafik kalau ia menyangkal. Semua orang butuh uang, termasuk dirinya sendiri. Hidup Anyelir hampa tanpa hura-hura. Ia berdeham dan mulai membuka kotak P3K.

"Kamunya sini dong, Hunny," ujarnya dengan jenis suara yang niscaya membuat laki-laki mual. Anyelir tertawa sinis dalam hati saat mencari barang-barang yang ia butuhkan di kotak P3K.

"Malas." Anggara justru menarik kursi yang diduduki Anyelir supaya dekat dengannya. Gadis itu sempat terkejut, tetapi buru-buru mengubah ekspresi wajah. "Omong-omong, kamu cocok main sinetron, Nye."

"Kamu juga kok. Ini akhir dari secangkir vanilla latte, kan?"

Anyelir mencelupkan kapas ke mangkuk yang berisi air dan es batu. Ia mulai membersihkan darah di dahi Anggara. Barang-barang yang harusnya tidak hadir di atas meja makan ini tentu bukan masalah sama sekali. Mereka punya uang dan kekuasaan yang bisa menghadirkan hal paling tidak masuk akal sekalipun.

"Sama sekali bukan. Saya nggak tahu kalau Papa berurusan juga sama klan Cokroatmojo."

Setahu Anggara, tidak pernah ada klan Cokroatmojo dalam daftar rekan bisnis Reno Pranadipa.

"Kenapa kamu nggak menyebut nama belakang waktu itu?" tanya Anyelir.

Anggara menurunkan tangan gadis itu, mempertemukan pandangan mereka. "Biar kamu mau terima kopi dari saya dan ngobrol banyak?"

"Nggak juga sih." Anyelir mengangkat bahu. Ia meletakkan kapas, lalu mengambil salep. "Mungkin aku pemain, tapi aku bukan kupu-kupu malam atau pacar sewaan ya. Aku punya uang."

Ketika laki-laki itu membawa helai rambut Anyelir ke belakang telinga. Ia merasa ada yang menumpahkan air es ke punggungnya. "Jangan marah dulu, Sayang. Lingkup sosial kita memang berdasarkan nama belakang."

Anyelir melirik sejenak Mama dan Papa yang nampaknya sangat akrab dengan orang tua Anggara. Sudah dapat dipastikan kalau perjalanan bisnis Papa Hermawan ke Bali kali ini melibatkan perannya selaku putri tunggal. Apa lagi yang dilakukan kalangan konglomerat untuk mempertahankan keutuhan harta selain menjodohkan anak mereka dengan orang-orang yang berpengaruh pada bisnis? Ia menangkap jelas semua itu tanpa perlu penjelasan Mama.

Hanya saja yang ia ketahui, Papa Hermawan punya koneksi bagus dengan keluarga Bratadikara. Mereka memiliki tiga anak laki-laki yang belum pernah menjadi koleksi Anyelir, karena terlalu riskan dan anak laki-laki Tante Julia tidak masuk ke dalam prediksinya. Anyelir mengoles pelipis Anggara dengan salep, sedangkan sebelah lengan laki-laki itu merangkul kursinya. Ia menghindari tatapan Anggara yang sangat menganggu, lalu mengambil plester.

"Iya, makanya aku tadi nanya, kenapa kamu nggak menyebut nama belakang," ulang Anyelir.

"Nggak ada alasan khusus. Beberapa teman saya pernah jadi korban kamu."

Anyelir tertawa. "Terus kamu penasaran mau jadi korban juga?" Gadis itu menggunakan kedua jari untuk membuat tanda kutip.

"Sedikit penasaran." Anggara mengangguk bersama satu sudut bibir terangkat. "Tapi saya nggak mungkin jadi korban."

"Omong-omong, aku nggak pernah lihat kamu di acara perkumpulan apa pun."

"Saya di Amsterdam sejak umur 16th."

"Aku tahu. Maksudnya setiap kamu pulang ke tanah air, masa kamu nggak pernah datang?"

"Saya pernah pulang selesai S1, tapi cuma buat belajar di perusahaan selama setahun, terus balik lagi buat lanjut studi. Saya nggak punya waktu buat datang ke acara konyol sejenis Season to Remember."

"Wow, kamu salah satu anak old money yang beneran rajin." Anyelir tertawa kecil, kemudian menempelkan plester ke dahi Anggara. "Aku malah dua kali pindah jurusan dan sekarang hobi titip absen aja. Kampus beneran ngebosenin."

"Kamu nggak punya beban tanggung jawab, wajar-wajar aja."

"Iyalah, aku perempuan dan bukan klan murni."

Sebelum menginjak umur lima belas tahun. Anyelir sudah lebih dulu dijelaskan tentang silsilah dan pembagian harta klan Cokroatmojo. Tentu klan murni lebih berkuasa dibanding klan campuran. Semua kendali Atmojo Group jatuh ke tangan klan murni, walaupun tujuh pion utamanya adalah laki-laki. Berdasarkan sejarah, perusahaan tersebut mengambil sistem kepemimpinan VOC yang dijalankan tujuh orang. Kaum perempuan tidak berhak mengambil posisi pemimpin. Anyelir sebagai klan campuran yang notabenenya perempuan, tidak memiliki hak apa pun atas nyawa kedua—sebutan lain untuk jumlah persenan saham di Atmojo Group.

"Tenang aja, sebentar lagi kamu juga punya nyawa kedua," ujar Anggara santai.

Anyelir mengikuti ke mana arah pandang Anggara. Mama dan Tante Julia tengah berjalan mendekati mereka.

"Jadi, kamu udah tahu lebih dulu?"

Anggara menggeleng. "Mama nggak bilang apa-apa sewaktu minta ketemu di Bali. Saya pulang karena murni mau liburan sebelum ngerjain tesis."

Usai memiringkan kepala ke kiri, Anyelir menatap lekat laki-laki itu. "Kayaknya kamu nggak akan balik ke Amsterdam. Say goodbye dong sama pacar kamu sekarang."

"Saya nggak punya pacar." Anggara memiringkan kepala ke kanan. "Jadi kamu setuju?"

"Ini tentang nyawa kedua yang kamu bilang kan? Setuju kok."

Anggara menarik satu sudut bibir. "Smart girl."

Selama mereka bertukar pandang, Anyelir mencoba menebak-nebak situasi. Apa yang membuat laki-laki itu mudah menyetujui kesepakatan yang belum resmi terjadi ini? Ia bukan klan murni. Apa yang sebenarnya Papa Hermawan rencanakan? Sekadar ingin menyelamatkan atau benar-benar menjadikannya tumbal bisnis? Ya, jika salah satu atau bahkan keduanya benar, itu bukan masalah. Toh, ada Anggara yang akan memenuhi gairah belanjanya nanti. Apa yang harus ia takuti?

Oke, jangan samakan Anyelir dengan kupu-kupu malam, ini beda konteks.

"Calm down ya, Anak-anak. Dari tadi kalian jadi pusat perhatian lho." Seruni mengusap kepala mereka berdua yang hanya berjarak tiga sentimeter.

"Anggarajangan bawa-bawa kebiasaan di Amsterdam deh." Julia mengusap bahu Anyelir. "Yuk,ada yang perlu kita bicarakan tentang kalian berdua."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro