8. Katanya Nonsense

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini bukan dansa pertama Anyelir seumur hidup. Ini hanyalah dansa pertamanya dengan Anggara Hadiarsa Pranadipa. Dari cara laki-laki itu memakaikan jas, ia sangat tahu kalau pribadi semacam itu mudah saja meluluhkan hati banyak perempuan. Anggara punya sembilan puluh delapan persen aroma keberengsekan yang nyata saat memeluk pinggangnya posesif. Namun, sayangnya Anyelir adalah lawan seimbang. Ya, skor mereka sama. Ia memegang sebelah bahu laki-laki itu dan menyatukan tangan mereka.

Berdasarkan informasi, mantan teman minum kopi Anggara selalu perempuan blasteran dengan tinggi minimal seratus lima puluh delapan senti. Punya rambut halus tergerai menakjubkan, senyum membuai, serta obrolan menyenangkan. Memangnya siapa yang mau berhubungan dengan orang-orang membosankan? Anyelir pun tak menyukai tipe laki-laki yang sedikit bicara. Kalau begitu, sejauh ini kecocokan mereka sebagai rekan kerja telah mencapai delapan puluh sembilan persen. Sisanya tinggal menyusun kontrak baru. Anyelir mampu melampaui standar fisik teman minum kopi yang asik.

Anyelir memutar tubuh di bawah tangan Anggara, lalu laki-laki itu kembali menariknya mendekat. Tidak ada tatapan spesial, kecuali saling menilai satu sama lain.

"Dosa besar apa yang pernah kamu lakukan sepanjang hidup, Nye?" Anggara bertanya ketika ritme dansa mereka kembali pada gerakan maju-mundur.

"Hmm ... menarik juga topik obrolannya." Anyelir memiringkan kepala, satu sudut bibirnya tertarik. "By the way, apa yang mau kamu cari dari Anyelir Cokroatmojo lewat pertanyaan ini?"

Anggara menunduk hingga kening mereka menyatu. Jeda sekian detik, ia mencoba menebak aroma yang tercium kuat di sekitar bibir Anyelir. "Mau tahu isi hati Anyelir Cokroatmojo," bisiknya di depan bibir gadis yang tengah terpejam bersama senyum mematikan.

"Tiga tahun lalu aku pernah kerja sama dengan yang terhormat Bapak Haris Cokroatmojo."

Dua alis Anggara menyatu seraya membatin, Bapak-bapak kaya raya dan gadis muda nakal. Jenis kerja sama apa yang terjalin? Ah, jangan bilang ada hubungan incest di antara mereka.

"Kerja sama apa?" tanya Anggara.

"Aku bantu dia menjebak pacar backstreet-nya Kenanga."

"Mau kamu jadiin koleksi? Semenarik apa dia sampai kamu repot-repot bikin jebakan?"

Anyelir tersenyum geli. "Tahan, Anggara sayang. Pelan-pelan ya?" Sebelah tangannya mengusap permukaan dada bidang Anggara. "Nggak ada istilah ngejar-ngejar cowok dalam kamusku. Jebakan itu rencana Om Haris."

"Terus?"

"Ya, karena Bunga Kenanga Cokroatmojo itu satu-satunya sepupuku yang berhati dan berwajah malaikat, aku bersedia membantu."

Sebelah alis Anggara terangkat. "Alasan yang kurang masuk akal buat seorang Anyelir Cokroatmojo."

"Aku peduli sama Kenanga, cowoknya itu berengsek dan ... ya, semua cowok memang brengsek sih. Mulut sama perlakuannya aja yang manis. Dan aku nggak mau Kenanga terluka karena terlambat menyadari."

"Imbalan dari Pak Haris?"

"Imbalannya aku melindungi hati seorang gadis baik."

"Nonsense, Nye!" Anggara tertawa kecil. "Dari mana kamu tahu keberengsekan cowoknya Kenanga? Kamu jadi mata-mata Pak Haris? Kamunya kali yang berniat menjadikan pacarnya Kenanga koleksian kamu." Ia tak habis pikir dengan gadis mungil di depannya.

"Anggara, aku nggak punya waktu untuk menguntit cowok orang ya. Aku sibuk banget merawat koleksianku sendiri. Lagi pula nggak ada satu pun laki-laki di dunia ini yang dapat dipercaya selain Papa Hermawan."

"Nggak semua perempuan menganut pemahaman yang sama kayak kamu, Nye. Kamu nggak bisa memaksakan itu. Kalau memang Kenanga baik sama kamu, harusnya kamu nggak melakukannya."

Tidak, Anggara sedang tidak mengacak-acak pribadi gadis itu. Anyelir dan pemikiran gilanya bisa hidup bebas di mana pun. Ia sekadar mengatakan hal yang sewajarnya.

"Ya, itu karena mayoritas perempuan terlalu mudah dibodohi sama janji-janji manis pepesan kosong. Mereka percaya sama dongeng garapan Disney kalau cinta itu membawa kita pada happily ever after," jelas Anyelir.

Gadis itu melakukan gerakan berputar di bawah tangannya. Setelah tidak sabar menangkap Anyelir, ia membungkuk menahan tubuh mungil itu. Rambut cokelat yang tergerai indah, jatuh sepenuhnya melewati leher dan bahu.

"Kamu sendiri percaya sama aku," tukas Anggara.

Perlahan tangan Anyelir yang memegang sebelah bahu Anggara, bergerak memeluk tengkuk laki-laki itu. Pada detik yang sama, Anggara menariknya hingga posisi mereka kembali berdiri. Musik di dalam sana semakin melambat, mereka pun berjalan memutar di satu titik tanpa saling melepaskan pandangan. Dengan sebelah tangan laki-laki itu yang masih merangkul pinggangnya dan sebelah tangannya yang memeluk tengkuk Anggara. Di bawah langit tak berbintang, untuk kali pertama kebosanan Season to Remember sedikit terkikis.

Mungkin karena heels dan gaun gue nyaman, gumam Anyelir. Ia menarik senyum tipis yang disambut Anggara dengan tatapan penuh curiga.

"No, no, no, Anggara. Aku percaya sama kepiawaian kamu memperbaiki perusahaan papaku dan saham kamu yang lumayan."

"Kamu benar, perusahaan papa kamu yang carut marut itu butuh pemimpin baru yang punya skill, bukan sekadar pewaris tahta."

Anggara berdeham sebelum melepaskan pinggang Anyelir. Ia tidak menganggap gadis itu matrealistis. Pemikiran semacam tadi justru sangat realistis. Anggara saja butuh sederet gelar serta POAC demi menjalankan Prana Corporation dalam jarak jauh. Jangan lupakan juga warisan saham dan Porsche untuk menemani Anyelir ke sini. Baginya, laki-laki wajib memantaskan diri kalau ingin terlihat pantas untuk semua perempuan.

"Ya, ya ... aku suka kepercayaan diri kamu, Anggara. Let's prove it."

Musik penggiring berganti suara sumbang Adara sebagai pembawa acara. Baik ia mau pun laki-laki itu masih setia bertahan di balkon. Kini mereka bersandar pada pembatas, melipat tangan masing-masing. Sesekali Anyelir melirik Anggara yang tengah menggulung lengan kemeja ke siku.

"Pacarnya Kenanga pasti nggak masuk kriteria makanya Pak Haris bergerilya, kasihan," kata Anggara.

Anyelir mengangguk kecil. "Dia bukan bocah konglomerat atau anak Taipan. Intinya aku udah menyelamatkan hatinya Kenanga."

"Nonsense, Nye. Aku tebak sekarang pasti Kenanga jauhin kamu."

Anyelir memiringkan tubuh ke arah laki-laki itu. "Kamu suka banget bilang nonsense ya?"

"Selama itu nonsense, ya aku bakal bilang nonsense." Anggara ikut memiringkan tubuh, memandang lekat gadis yang tenggelam dalam balutan jasnya.

"Of course Mr. Nonsense, semua perempuan butuh waktu untuk membuka pikiran dan mata selebar mungkin."

"Apa itu tadi? Aku nggak pernah kasih kamu omong kosong, Anyelir. Lucu kamu."

"Please, aku bukan badut ya, Anggara."

Kali ini terdengar lantunan Nothing's Gonna Chance My Love For You milik George Benson. Salah satu lagu yang sangat lawas. Anyelir seketika penasaran dengan bocah konglomerat yang jadi tuan rumah. Dimulai dari dekorasi ruangan, musik, sampai acara dansa ini sangat kental akan kekunoan. Sebagian besar dari mereka biasanya mengambil tema pool party.

"Kamu pernah jatuh cinta?"

Pertanyaan itu membuat Anyelir berhenti mengamati kolam renang luas dan deretan pohon kelapa.

"Pernah, tiap lihat ayam betutu, aku selalu jatuh cinta."

Anggara menyeringai. Lampu temaram meredupkan sinar kecokelatan di mata laki-laki itu.

"Loh, jatuh cinta itu punya artian yang luas, Anggara. Jangan dipersempit dong," jelas Anyelir

"Iya. Good answer, Anyelir."

Jawaban Anggara memicu rasa penasarannya. Anyelir bertopang dagu menggunakan sebelah tangan, sedangkan telunjuknya bergerak menyusuri garis wajah laki-laki itu.

"Biar aku tebak, kamu pasti cowok yang pernah bucin setengah mati terus kecewa berat karena ditinggalkan."

Anggara membiarkan telunjuk gadis itu berhenti di rahangnya. "Kalau iya?"

Kini gadis itu beralih merapikan kerah kemeja Anggara. Interaksi mereka memang harus terlihat meyakinkan di depan semua orang. Namun, entah dapat disebut sebagai sandiwara atau tidak. Ia cukup menikmati sentuhan jemari lentik Anyelir.

"Miris banget sih," sindir gadis itu.

Senyum mengejek terpampang jelas di wajah Anyelir, lantas ia menarik dagu gadis itu. Tatapan mereka seketika berubah menjadi penuh intimidasi. Tidak ada darah berdesir cepat, tidak ada hangat yang menjalar. Embusan napas teratur yang saling bertabrakan itu cukup mengisi keheningan.

"Bukannya skor kita sama? Kamu juga termasuk orang-orang miris tadi, Anyelir."

"Iya." Anyelir mendekatkan bibirnya ke telinga laki-laki. Ia tahu ekor mata Anggara mengawasi setiap gerak-geriknya. "Jadi, apa dosa besar yang pernah kamu lakukan, Honey?"

Usai bisikan itu berakhir, Anggara menoleh cepat hingga mata mereka kembali bertemu. "I'll tell you later," bisiknya seraya memainkan ujung rambut Anyelir.

***

Jam Big Ben yang terpajang di ruang keluarga menunjukkan pukul 06.30 WITA tepat. Anggara mengamati lukisan-lukisan abstrak demi membuang waktu. Mama memintanya menjemput Anyelir untuk sesi sarapan pagi dadakan. Karena ia sangat yakin Anyelir belum membuka mata, maka ia memilih mendatangi vila tetangga. Tak lama seorang wanita paruh baya menghampirinya. Ia segera menurunkan sebelah kaki yang tadi bertumpu pada paha.

"Non Anye masih tidur, Mas."

"Oh, Bapak sama Ibu ke mana, Bi?"

"Semalam pergi ke Solo, Mas."

Orang tua Anyelir pasti tengah menghadiri RUPS Atmojo Group. Sudah rahasia umum jika klan Cokroatmojo punya tradisi yang kental. Termasuk RUPS yang wajib diadakan di rumah kakek buyut. Konyol sekali menurut Anggara.

"Saya ke atas ya, Bi?"

"Silakan, Mas," ujar wanita paruh baya yang menyerahkan duplikat kunci kamar.

Anggara menapaki setiap anak tangga sembari bersiul kecil. Semalam ia mengantar pulang Anyelir sekitar tengah malam dan tidak menyempatkan diri untuk mampir karena terlalu larut. Anggara tidur kurang lebih empat jam, lantas mulai mempelajari berkas-berkas, dilanjut lagi menyiapkan bahan tesis.

Usai menginjakkan kaki di lantai atas, ia bergegas menuju kamar paling ujung sebelah kanan. Di sanalah putri tidur terlelap. Ketika berhasil membuka pintu lebar-lebar, kepalanya ikut menggeleng pelan.

"Sudah kuduga, si anak gadis gini hari masih pingsan di alam mimpi."

Gadis itu terlelap memeluk boneka beruang warna cokelat. Ada tiga rol rambut yang terpasang, lalu kaus all size warna pink dan celana pendek hitam membungkus tubuhnya. Ia tersenyum tipis karena Anyelir Cokroatmojo saat tidur ternyata lebih lucu. Tanpa meminta persetujuan sang pemilik kasur, Anggara ikut berbaring di sana. Kedua tangannya dijadikan sebagai bantal.

"Nye, kamu suka dipeluk dari belakang atau depan kalau lagi tidur?" tanya Anggara iseng.

Langit-langit kamar berhias glowing in the dark menarik perhatiannya. Ada bintang warna-warni bertaburan. Jangan lupakan juga lampu Natal yang menghiasi satu bagian penuh dinding, apalagi lampu Doraemon di samping jendela. Sungguh sangat kekanakan.

Anggara mengamati keseluruhan cat dinding berwarna ungu. Kemarin-kemarin sewaktu menggendong Anyelir kemari, ia tak begitu memperhatikan detail isi kamar. Kebanyakan teman minum kopinya punya selera desain kamar yang hanya dihias wallpaper maroon atau cokelat. Baru kali ini ia melihat kamar seorang gadis yang dominan berwarna ungu dari mulai dinding sampai perabotan.

"Depan," kata Anyelir yang igauannya entah kenapa nyambung dengan pertanyaan iseng tadi.

"Kenapa?"

"So sweet."

Seketika Anggara memiringkan tubuh, menumpukan kepala pada sebelah tangan. "Asik? berarti kita sepemikiran, Nye. Mau nyoba sekarang nggak?"

Anggara mengusap kepala Anyelir yang masih bermimpi indah. Tak lama tangannya pindah mengelus bahu Anyelir. Gadis itu hanya menggeliat kecil saat ia melakukannya.

"Hmm ...." gumam Anyelir.

"Beneran nih?"

Tidak ada jawaban, bahkan tangan Anggara sudah berpindah lagi mengelus pinggang Anyelir. Ia bersusah payah menahan tawa, kemudian mendekatkan wajah mereka. Secara sengaja Anggara bernapas keras di depan wajah gadis itu. Sedetik, dua detik terlewat. Kelopak mata Anyelir akhirnya berkedut. Ia menaik-turunkan alis ketika pandangan mereka bersirobok.

"Woi!" Anyelir berdiri sempoyongan, lantas bersedekap, tak lupa mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Lancang juga ya Anda!"

"Woi!" Anggara meniru gaya bicara gadis itu. "Saya 'kan beli sisa hidup Anda!"

Anyelir mengarahkan mata ke atas seraya membuang napas jengah. "Ngapain sih kamu? Ganggu aja! Pulang gih!"

"Cuci muka gih." Anggara mengarahkan dagu ke kamar mandi. "Ditunggu Mama sarapan di rumah."

"Tante Julia?" Mata Anyelir membulat seketika. "Emm ... there's something important?"

Anggara menggangguk.

"OMG, OMG!" Anyelir mematut diri di depan meja rias. Ia menepuk-nepuk kedua pipi. "Muka aku lagi nggak segar. Aku nyesal minum sama kamu semalam! Kenapa nggak kasih tahu dari semalam sih?!"

Laki-laki itu malah melirik arloji di pergelangan tangan. "Dua puluh dua menit buat bangunin kamu dan lihat kamu ngomel sama kaca. Nyonya Julia Pranadipa benci menunggu calon menantu yang super lelet, Nye." Anggara mendongak lantas menarik satu sudut bibir. "Gimana nih?"

"Fuck you, calon suami!" Anyelir berlari ke kamar mandi setelah mengacungkan jari tengah.

"Love you too, calon istri!"

***

*POAC: Planning, Organizing, Actuating, Controling.

Btw, cerita ini miskin narasi ya. Soalnya karakter Anyelir sama Anggara memang sama-sama banyak bacot. Terus ini cerita memang tentang perjodohan dan kawin kontrak gitu sih. Mainstream lah ya. Semoga kalian masih menikmati :')

Kali aja ada yg mau polow IG ku 🤭💔
Terima kasih sudah mampir
Happy Sunday ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro