10. Gelach (Tawa)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

R E V A N

Usai memasukkan kuda yang saya tunggangi untuk mengantar Fleur pulang. Saya menemukan Sujono yang berdiri kikuk di ambang pintu istal. Ah ya, saya lupa ini adalah hari di mana harusnya saya mengajak Sujono dan beberapa temannya belajar. Senja sudah menghilang dihisap langit biru malam yang merangkak. Saya akhirnya mengulas senyum pada Sujono. Lantas laki-laki itu membungkukkan badan sebelum membalas senyum saya.

“Maaf, saya lupa tentang hari kamis,” ucap saya pada Sujono.

“Bukan, Tuan.. saya tidak bermaksud menegur Tuan tentang hari Kamis. Saya hanya ingin menanyakan keadaan Tuan Adriaan. Nyai berkata bahwa Tuan sakit.”

“Saya baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya.” Saya menepuk sebelah bahu Sujono saat melewatinya.

“Tuan Adriaan.” Panggilannya membuat saya kembali berbalik. “Tuan... baik-baik saja kan?”

Saya mengulas senyum tipis sembari mengangguk.
“Saya berharap Tuan selalu sehat dan bahagia,” katanya lagi.

Ucapan sederhana yang Sujono lontarkan itu menyiratkan rasa peduli bagi saya. Bahkan terlihat seperti Sujono sedang mengucapkan do'a untuk saya. Pada kenyataannya, orang-orang yang berada di kalangan Sujono adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian lebih tinggi dibanding orang-orang terhormat yang menduduki kursi pemerintahan. “Terima kasih, kau juga. Ah ya, sampaikan maaf saya untuk yang lainnya.”

Sujono mengangguk patuh, lalu saya meninggalkannya. Melangkahkan kaki di atas rerumputan dan di bawah terang cahaya bulan. Pagi tadi saya merasa sia-sia sesudah minum obat, tapi siang tadi Fleur datang. Dan saya rasa tidak semua obat dapat menjadi obat ketika sakit. Mungkin saya hanya merindukan gadis itu. Gadis yang berkata ingin jadi Jawa seperti Mama.
Saya tertawa kecil mengingat itu.

Fleur Jansen tidak dilahirkan sebagai perempuan yang akan memakai kain kebaya dan berjalan berjongkok ketika di depan suami. Dia dilahirkan sebagai perempuan yang terbalut gaun megah dan wajib menegakkan kepala, dia tidak dianjurkan untuk menundukkan kepala di depan siapa pun. Dia dilahirkan menjadi gadis Eropa yang ketika makan dilarang menghampiri sendok. Karena ia harus tetap duduk tegak dan sendok yang harus menghampiri mulutnya.

Perempuan yang raga dan pikirannya diharuskan untuk bebas.

“Kau sudah pulang, Nak.” Mama menyapa saya ketika memasuki rumah.

Senyum ayu yang khas itu seketika terkembang. Seperti hari-hari biasanya, Mama hadir dengan kebaya dan surai legamnya yang disanggul. Saya tahu kenapa Papa mudah menceraikan istrinya yang ada di Nederland. Mungkin awalnya karena pesona manik mata Mama yang seindah mutiara hitam di dasar laut. Andai Fleur Jansen hadir di dunia ini sebagai wanita pribumi seperti Mama, setidaknya jalan kami terlihat lebih mudah.

Bicara apa saya barusan? Saya mengeluhkan takdir. Tidak, tidak ada yang salah dengan Fleur Jansen. Tidak ada yang salah dengan saya. Tidak ada yang salah dengan kami, dua orang yang hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Tidak ada yang salah dengan kami. Bahkan kejadian di siang menjelang sore tadi, itu saya sebut sebagai pemanis dari Fleur Jansen. Saya tahu itu tidak benar, tapi saya juga tidak ingin membuat itu terdengar seperti sebuah kesalahan. Baik saya atau pun Fleur tidak merasa bersalah karena melakukannya.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Mama lagi karena saya hanya memberikan anggukkan kepala.

“Sudah lebih baik,” jawab saya yang akhirnya memilih duduk di samping Mama.

Mama mengulas senyum dan menatap saya lurus. “Fleur sudah sampai di rumahnya kan?” Lalu kembali menekuni buku.

“Iya, Ma.”

“Kasihan kalau gadis cantik sepertinya pulang sendiri. Kau sering bertandang ke rumahnya?” Mama bertanya tanpa beralih dari buku.

“Beberapa kali, lebih sering mengantarnya pulang.”

“Sudah bertemu Papanya berarti.”

“Sudah..” Saya menyahut dengan tenang.
“Papanya baik denganmu kan?”

Saya tertawa kecil sebelum menjawab, “Baik..” Kadang kala ada baiknya kita berbohong. Saya berbohong untuk tidak membuat Mama khawatir.

Kali ini Mama beralih dari bukunya. “Mama senang dengannya, baik, santun dan lucu. Anak itu suka bergurau, Mama kerap kali tertawa ketika bicara dengannya.”

Saya hanya mengangguk sebagai persetujuan. Jika menunggu Papa pulang, Mama memang selalu memilih duduk di ruang tamu sembari membaca buku. Mama saya sehebat itu, beliau tidak merasakan pendidikan di sekolah seperti saya. Namun beliau pandai menulis wacana yang berisi tentang perempuan jawa dan kehidupan orang pribumi dalam bahasa Belanda. Mama selalu menuangkan pikirannya dalam bentuk sebuah gagasan di buku pribadinya. Saya beberapa kali diizinkan membaca buku pribadinya, lantas takjub. Mama hanya belajar lewat anak majikannya dahulu untuk bisa membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.

Kalau hidup Mama seberuntung Fleur Jansen mungkin beliau sudah bersekolah di Kweekschool dan menjadi guru. Tidak mengapa, Mama berkata, sudah lebih dari cukup jika dapat menjadi guru yang hebat dalam hidup saya.

“Pergilah mandi, sebentar lagi kita makan malam.”
Saya mengangguk lalu beranjak, begitu hendak menaiki anak tangga. Suara Mama menghentikan langkah saya. “Jadilah manusia yang menjunjung tinggi rasa tanggung jawab, Adriaan. Terutama untuk hal-hal beresiko yang kita pilih.”

Kalimat Mama seperti memperingati sekaligus menasehati secara halus. Lalu entah kenapa kalimat sesederhana namun bermakna dalam itu menohok ulu hati saya telak. Saya pun berbalik dan Mama sudah beranjak menuju ruang makan. Saya tidak begitu bodoh untuk menangkap ke mana arah pembicaraan Mama. Di saat yang bersamaan saya menertawai diri sendiri, hanya Mama yang bisa membaca saya sampai ke akar pikiran.

***

“Bapak kenapa ada di sini?” tanya Juwita sesudah berbalik.

“Ya menjenguk orang sakit lah,” jawab saya dengan mata yang bergerak tidak nyaman. Karena titik fokus mata Juwita pindah ke sebelah tangan saya.

“Bapak mau menjenguk Papa saya?” Kali ini dia tertawa kecil sebelum melanjutkan, “Kok bawa bunga sih, Pak?”

Saya menahan napas saat Juwita menanyakan pertanyaan terakhir. “Jangan terlalu percaya diri kamu. Saya mau menjenguk teman saya dulu.” Pilihan yang saya pilih adalah berbohong.

Tidak, saya pergi ke rumah sakit memang hanya untuk menjenguk Ayah dari seorang wanita bernama Juwita Kaluna. Dan bunga ini... Saya tidak tahu kenapa saya ingin memberikannya untuk Juwita. Hari ini logika saya dikalahkan oleh rasa aneh, rasa yang selalu membuat saya merasa bahwa Juwita lebih berharga dari apa pun. Padahal saya baru mengenalnya kurang lebih satu bulan.

Hal yang sangat tidak wajar. Saya tidak ingin seperti Adriaan van Denveer yang punya rasa siap mati demi Fleur Jansen. Tapi naluri saya justru melakukan yang sebaliknya.

“Oh..” Bibirnya membentuk huruf O. “Saya duluan ya, Pak.” Juwita berbalik dan saya kembali memanggilnya.

“Kamar Papa kamu nomor berapa?” Saya bertanya untuk membuang perkara kisah cinta milik Adriaan dan Fleur di kepala.

“Papa sedang persiapan untuk operasi. Saya akan tunggu di depan ruang operasi, Pak.”

Saya tahu suaranya terdengar baik-baik saja. Namun sorot mata itu tidak dapat membohongi siapa pun. Sendu menggelayut di sana, sangat jelas. Tapi kenapa saya jadi begitu memperhatikan matanya sampai sedetail itu? Dan kenapa saya harus peduli dengan rasa sedihnya?

Pasti saya sekedar simpati. Ya, simpati.

Kebetulan provider ponsel saya juga simpati.

“Ya sudah, saya menjenguk teman dulu.”

“Pacar kali, Pak.” Cengiran itu melebar di bibirnya.
Candaan Juwita mungkin juga dalam rangka menghibur dirinya sendiri. Tidak masalah. Khusus hari ini Revandio Pranadipa bersedia menjadi alasan tertawa dari Juwita Kaluna. Tunggu.. sekali lagi ada yang salah dengan isi kepala saya sepertinya. Mungkin saya harus menemui dokter syaraf. Sebab cengiran Juwita begitu mudahnya menulari saya.

“Sok tahu kamu.”

“Masa laki-laki dibawakan bunga? Bapak demam atau tidak normal?” Setelahnya perempuan itu membekap mulutnya sendiri.

Di luar kantor dia baru berani mengatakan hal semacam ini. Siang ini, di koridor rumah sakit. Khusus untuk siang ini, Revandio Pranadipa tidak akan mendebat Juwita lebih jauh karena ucapan sembrononya barusan. “Ibunya teman lah, pendek banget jalan pikiran kamu.”

Juwita mengedikkan bahunya. “Saya mau lihat keadaan Papa dulu, Bapak chat saja kalau tersesat.”

“Kamu pikir saya bocah kecil yang masih ingusan?” Entah kenapa saya ingin menahan Juwita lewat obrolan.

Dia lantas tertawa kecil. “Ya, siapa tahu Bapak tiba-tiba lupa ingatan kan..”

Saya suka kekehan lirih milik Juwita.

Apa? Goblok.

Jangan sampai Revandio Pranadipa punya kadar tingkat budak cinta di atas Adriaan van Denveer.

“Saya pergi dulu... Kamu hati-hati.” Dengan hati kamu. Karena saya siap menjaganya kalau kamu mau...

Ah, sontoloyo!

“Iya, Bapak juga hati-hati.”

Lalu saya meninggalkannya, berjalan tanpa arah. Sekitar berapa belas langkah kemudian, saya menoleh untuk memastikan Juwita sudah lenyap dari sana dan tidak menangkap radar kebodohan dari Revandio Pranadipa. Akhirnya saya menghela napas lega ketika tidak menemukan Juwita di sana.

Sangat mirip pepatah, pucuk di cinta ulam pun tiba. Di samping saya terdapat bak sampah besar. Lantas dengan berat hati saya membuang buket bunga beserta sisa-sisa kebodohan saya di sana. Bukan, bukan karena saya kecewa tidak jadi memberikannya untuk Juwita. Pertama karena saya baru saja membuang receh di dompet dengan sia-sia. Kedua, membuang receh masih lebih baik daripada terlihat receh di depan Juwita Kaluna.

***

Pada akhirnya saya duduk tepat di samping Juwita yang tengah membaca diktat kuliahnya. Bisa jadi hanya Juwita yang setenang itu duduk di depan ruang operasi. Saya jadi bertanya-tanya bagaimana bisa dia seperti itu? Saya kira dia akan menangis atau menatap kosong lantai koridor rumah sakit di bawah kakinya.

“Kamu.. udah makan?”

“Kafetaria ada di bawah, Pak. Tapi maaf saya enggak bisa menemani Bapak. Karena saya enggak mungkin meninggalkan Papa.”

Saya hanya bertanya satu pertanyaan dan dia menjawab sebegitu panjang lebarnya. Kebiasaan di kantor terbawa sampai ke sini mungkin.

“Oh, ya udah kamu mau makan apa?’ tanya saya pada akhirnya yang memang hendak ke kafetaria di bawah.

Juwita menutup diktat dipangkuan, tangannya meraih ransel di sebelah kakinya. “Saya bawa spaghetti,” katanya setelah mengeluarkan kotak makan berukuran sedang dari sana.

Saya hanya terus memperhatikannya sampai ia membuka tutup kotak makan itu. Lalu menggulung spaghetti itu dengan garpunya. “Bapak mau mencobanya? Saya masaknya buru-buru tadi, belum tahu rasanya gimana.” Begitu katanya saat garpu itu berjarak satu senti di depan mulut saya.

Kemudian saya seperti merasa kembali ke usia TK karena suapan dari Juwita. “Enak kok,” ucap saya setelah mengunyah spaghetti.

Mata kami bertaut cukup lama sampai dia berujar, “Bapak lucu kalau lagi makan.” Lalu cengirannya mengembang cukup manis.

Iya, manis. Saya tidak sedang merayu. Hanya sedang mengungkapkan fakta.

“Memang belum pernah lihat saya makan?” Selain mantan pacar semasa SMA dan teman dekat. Juwita membuat saya tertarik memulai pembicaraan random.

“Seringnya lihat Bapak banting dokumen, menunjuk-nunjuk orang dan marah-marah sih.”
Ternyata Juwita cukup jujur sebagai manusia di luar kantor.

Mengangguk takzim, saya berujar, “Saya kasih kamu reward kalau begitu.”

“Apa?” tanya Juwita dengan mata yang berbinar.
“Potong gaji 20 persen,” jawab saya.

Juwita lantas menghela napas dan mulai menyantap spaghetti-nya tenang.

"Kok kamu enggak protes?" Saya heran karena reaksinya cukup datar untuk orang yang mendengar kata potong gaji dari atasan langsung.

“Apalah daya saya yang cuma kacung corporate. Kecuali perusahaannya punya nenek moyang saya, Bapak sudah saya pecat dari kursi kepemimpinan,” tuturnya.

Di depan ruang operasi dan di antara lalu lalang perawat bersama bangkar. Kami tertawa bersama untuk pertama kalinya. Tawa yang tanpa sindiran darinya dan tawa yang tanpa pandangan remeh dari saya. Padahal moment dan tempatnya tidak begitu mendukung. Tapi saya cukup menikmati. Mungkin kapan-kapan saya ajak Juwita ke Disneyland.

Apa tadi?!

Terima kasih sudah mampir 😊
20 April 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro