15. Een Sprookje (Sebuah Dongeng)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau pergi dari rumah tanpa memberitahu siapa pun?" tanya Adriaan sekali lagi.

Sementara Asep meninggalkan mereka berdua di ruang tamu bersama dua cangkir air jahe. Adriaan yang memintanya, karena ia merasakan suhu tubuh Fleur yang rendah ketika memeluk gadis itu. Detak jam pada dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Matanya menangkap Fleur yang menunduk dalam.

"Iya.. aku ingin menemuimu."

Adriaan mengeratkan kepalan di tangannya. Ia tidak habis pikir dengan tindakan bahaya yang gadis itu pilih. Ia memang senang Fleur datang menemuinya. Tapi ia akan menyalahkan dirinya sendiri sampai kapan pun bila terjadi hal buruk di jalan. Sebelum gadis itu sampai di sini.

"Aku bisa menemuimu tanpa kau harus melakukan ini. Fleur, aku tidak ingin kau dalam bahaya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika hal buruk terjadi di jalan sebelum kau bertemu Sujono!"

"Kenapa kau memarahiku?" Fleur bertanya dengan suara serak saat mengangkat kepala. "Aku hanya ingin menemuimu.." Gadis itu mengulang kalimat yang sama dua kali.

Terdapat bulir bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Begitu mulutnya terkatup rapat karena ia menggigit bibir bawah. Bulir bening itu lantas luruh begitu saja.

"Aku tidak memarahimu, Fleur.." Nada suaranya berubah melunak. "Orang-orang di rumah pasti khawatir mencarimu."

"Aku ingin bebas, Adriaan.." Fleur menatapnya lekat. Seakan sedang memberi sebuah penegasan dalam kalimatnya.

Adrian menghela napas panjang, kalimat itu selalu terlontar dari Fleur. Tiap kali mereka membicarakan keluarganya. Tiap kali mereka membicarakan impian kecil mereka. Ia mengerti apa yang Fleur rasakan. Kalau bisa ia pasti memberikan segalanya yang ia berikan untuk Fleur Jansen. Hanya saja permintaan yang satu itu terhitung sulit untuk Adriaan wujudkan.

"Tapi bukan dengan cara seperti ini. Tindakan bodoh yang kau pilih terlalu berbahaya!"

Beralih dari wajah sendu Fleur, ia meraih satu cangkir di atas meja. Mengarahkannya pelan ke bibir gadis yang kembali tertunduk itu. Alih-alih menyesapnya, gadis itu hanya bergeming. Cukup lama hingga Adriaan kembali meletakkan cangkirnya.

"Je doet me pijn.." ujar Fleur lirih, nyaris lebih mirip bisikan.

Adriaan tidak berpikir panjang untuk beranjak dari duduk. Ia menyatukan lututnya dengan lantai di hadapan Fleur. "Het spijt me." Gadis itu menahan tangannya. Ketika Adriaan mencoba meraih sepasang tangan yang lebih kecil dari miliknya. "Ik bedoel niet te worden zo.."

Terdapat goresan di salah satu punggung tangan itu. Lalu saat ia tidak sengaja mengarahkan matanya ke bawah, ia menemukan ujung gaun Fleur yang kotor dan terdapat robekan di sana. Adriaan tidak tahu persis bagaimana gadis itu melarikan diri dari istana megahnya. Tapi hal-hal kecil itu cukup membuatnya teriris.

"Ik wil gewoon bij je zijn.." kata Fleur. Masih dengan nada yang mirip bisikan.

Sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu menarik kembali kedua tangan yang sempat Fleur tahan. Adriaan memberikan kecupan ringan di buku jarinya.

"Het spijt me, Fleur. Ik wil ook bij je zijn.. Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Aku mengkhawatirkanmu melebihi nyawaku sendiri... Tolong pahami.." ucap Adriaan.

Lalu sepasang kelereng mata mereka bersipaku. Cukup lama untuk sekedar membangun sebuah dinding bernama lamunan.

Begitu mendapati anggukkan kecil usai jeda sekian detik. Ia kembali duduk di samping gadis itu. "Kau harus istirahat.. nanti biar Asep yang mengantarkan air jahenya," ajak Adriaan.

Mereka pun beranjak dari ruang tamu. Langkah kakinya yang memang lelah menyusuri tangga. Meninggalkan suara samar di tiap anak tangga tiap kali dipijaki. Hingga sampai di depan sebuah kamar, Adriaan baru melepas rangkulan di bahunya.

"Adriaan, kau akan tidur di mana?" Ia bertanya saat laki-laki itu membukakan pintu untuknya.

"Di depan kamarmu."

"Kenapa harus terpisah?" Ia bukan ingin mengajak laki-laki itu dalam pergulatan panas di sisa waktu menjelang matahari terbit.

Fleur hanya ingin bicara panjang sebelum ia terlelap karena kelelahan. Perjalanannya pergi dari rumah hingga sampai di Buitenzorg cukup menguras tenaga.

Adriaan menatapnya lurus setelah ia berbalik dan mendongak. "Tidak apa-apa. Kau harus tidur.. ini sudah hampir pagi," jawab Adriaan.

Tangannya terjulur ke belakang, menutup daun pintu di balik punggung. Tidak peduli meski tangan Adriaan masih memegangi gagangnya. Terdengar suara bantingan kecil saat ia melakukan itu. "Aku ingin tidur juga di sana. Boleh?" pintanya.

"Apa Adriaan pernah punya kata tidak boleh untukmu?"

Pelangi di bibirnya melengkung semudah itu. Di antara lelah dan letihnya karena perjalanan, Adriaan bahkan mampu menumpaskan segala rasa bernama takut dalam sanubarinya. "Setahuku, Adriaan van Denveer selalu mengabulkan permintaanku."

Kemudian ia memeluk sebelah lengan laki-laki itu. Hingga mereka memasuki kamar yang mulanya Adriaan tempati sendiri. Keadaan kamar itu tidak jauh berbeda dengan kamar pada umumnya. Hanya saja ada meja rias yang menarik perhatiannya. Lalu ia melepas tangan Adriaan hanya untuk menyentuh kotak berisi tusuk sanggul dan bros dengan ukiran indah.

Milik Nyai mungkin, pikirnya.

Fleur membuat matanya terpejam ketika meraih salah satu bros dari kotak itu. Sang dara jelita membayangkan dirinya berpenampilan seperti Nyai. Bahkan ia seolah mendengar Nyai menyanyikan tembang Jawa detik ini.

"Fleur, aku tidak yakin Mama memiliki gaun malam di sini." Suara Adriaan memecahkan dinding lamunannya seketika. Laki-laki itu berdiri di depan lemari yang terbuka.

Setelah meletakkan kembali bros itu, ia menghampiri Adriaan. "Aku tahu cara memakai kebaya," ujarnya seraya mengambil salah satu pasangan kebaya-yang ia yakin milik Nyai-dari sana.

***

"Bagaimana?"

Adriaan bergeming di tempatnya.

Ia tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya setelah sekian detik menunggu jawaban. "Adriaan!" keluhnya.

Laki-laki itu membiarkan satu sudut bibirnya terangkat sebelum berkata, "Mooi. Maaf tadi aku sedang berpikir apa ada kata yang lebih dari mooi untukmu."

"Oh ya?" Fleur memalingkan wajahnya sembari tertawa kecil. "Tunggu.. lihat ini!"

Sepasang alis Adriaan bertaut dalam ketika melihat gadis Nederlander yang berbalut kebaya itu tiba-tiba berjongkok. Kebaya berwarna putih sederhana serta giwang yang tersemat di telinga gadis itu membuat kata sempurna melekat di otaknya. Memang Tuhan dapat menciptakan segala sesuatu di luar nalar manusia. Salah satu contohnya, Fleur Jansen yang mengenakan kebaya. Sesepele itu caranya mengagumi sang dara jelita.

Sudah pasti ibunya yang mengajarkan gadis itu memakai kebaya. Gadis itu jadi terlihat seperti dirinya yang peranakan Belanda-Pribumi. Rambut cokelat ikalnya diikat setengah dengan pita. Menghiasi setiap bahu mungil yang pernah jadi tempatnya meninggalkan banyak kecupan hangat.

Hal lain yang membuat Adriaan terkejut adalah ketika Fleur Jansen berjalan jongkok dengan pandangan mata yang jatuh ke bawah. Budaya laku ndhodhok, gadis itu melakukannya dengan apik. Mereka seolah memperagakan budaya Keraton Jawa dadakan di kamar ini.

"Kenapa?" Adriaan menarik Fleur berdiri. Usai gadis itu sampai di hadapannya yang duduk di tepi kasur.

"Adriaan, aku lupa apa yang harus aku katakan ketika sampai di depanmu."

Kemudian tawa kecil mereka memenuhi tiap sudut kamar di waktu dini hari. Tawa yang sudah cukup lama tidak menghiasi bibir masing-masing. Maka Fleur ingin membuang rasa rindunya untuk Adriaan di sini. Entah akan ada lagi kesempatan semacam ini atau tidak.

"Kau harus tidur," ujar Adriaan saat mereka sama-sama duduk di tepi kasur. Jemari Adriaan menyentuh ringan kantung mata gadis itu.

Fleur mengangguk singkat seraya membaringkan tubuhnya. "Kemari, Adriaan ... ik zal een sprookje vertellen." Sebelah tangan Fleur menepuk bagian kasur di sampingnya.

Senyum tipis Adriaan terukir, sebelum ia ikut membaringkan diri di samping Fleur. "Aku tidak suka dongeng."

"Tapi dongeng akan membuat tidurmu nyenyak," ujar Fleur.

Kemudian sepasang mata mereka memandangi langit kamar. Sunyi hampir saja mereguk, sampai suara manis milik Fleur Jansen kembali terdengar. Menyita seluruh hening. Menawan seluruh sunyi.

"Jadi.. sekarang namaku adalah Fleur van Denveer dan ini kamar kita. Sedangkan kamar anak-anak ada di depan kamar kita. Nama mereka adalah Maria dan Martijn van Denveer. Maria sangat mirip denganku dan Martijn.." Fleur berhenti untuk beralih padanya. "Tentu saja mirip denganmu."

Adriaan tertawa kecil kala mata mereka bertemu pandang. Tanpa berani menyelipkan secuil rasa pilu di sana. Lalu ia memiringkan tubuhnya, disusul Fleur. Lembut beledu dari jemari gadis itu menyusuri garis wajahnya. Tentu ia tidak akan melawan setiap kenyamanan yang hanya dapat tercipta dari sentuhan Fleur Jansen.

"Martijn lebih suka membaca buku bersamamu dan Maria lebih suka menata rambutku. Maria bilang rambut Mama lucu karena bewarna cokelat, sementara rambutnya dan Martijn berwarna hitam legam sepertimu. Lalu aku bilang, tapi warna matamu sama seperti Mama dan kau tetap lebih cantik dari mutiara bagi Mama maupun Papa." Manik mata cokelat itu... Adriaan seperti melihat banyak kilat keraguan di sana saat gadis itu mendongeng. Sama seperti miliknya.

Di tengah rasa tidak sanggupnya menatap Fleur. Ia memaksakan matanya terpejam. Bahagianya Fleur Jansen adalah segalanya bagi Adriaan. Jika memang cerita semacam itu dapat membuat Fleur bahagia, maka ia dengan penuh sukacita bersedia mendengarkannya. Sampai mereka bisa memenangkan semesta dan apa yang Fleur sebut sebagai dongeng terwujud.

"Tunggu.. Aku salah Adriaan, ini bukan dongeng. Celotehanku barusan adalah harapanku untuk kita.." Fleur menyertakan tawa manis setelahnya.

Hal kecil itu membuat Adriaan kembali membuka kelopak mata. "Aku tahu.. Kita akan memulainya besok. Jadi.. tidurlah.."

Alih-alih mengangguk lantas terpejam, Fleur justru terdiam. "Bisakah.. kita membuatnya menjadi nyata?" tanya gadis itu lagi.

Helaan napas Adriaan lolos dan ia menarik Fleur ke dalam dekapan. Mengusap punggung yang lelah itu dengan pelan. "Bisa.." jawabnya cepat. Tanpa berani menyisipkan secercah rasa ragu di sana. "Mau kunyanyikan lagu pengantar tidur?"

Fleur menggeleng kecil di dadanya. Gadis itu mengeratkan genggaman pada ujung pakaian Adriaan. "Izinkan aku menyelesaikannya dulu.."

"Apa?"

"Ceritaku.." Menarik napas panjang, Fleur kembali membuka suara. "Setelah Maria dan Martijn menikah. Kita kembali tinggal berdua di rumah ini. Menua bersama sampai kau melantunkan agnus dei di pembaringan terakhirku."

Kali ini Adriaan yang mengeratkan pelukannya pada gadis itu.

"Kita tidak tahu siapa yang lebih dulu kembali ke pangkuan Bapa. Tapi aku juga akan melantunkan agnus dei untukmu.." Lanjut Fleur.

"Waktu kita hanya akan berjeda satu detik.. Jadi entah itu kau atau aku yang lebih dulu. Kita tidak perlu merasakan kehilangan terlalu lama.."

Itu harapan Adriaan. Karena ia memang tidak akan sanggup bahkan untuk sekedar melantunkan agnus dei. Seperti permintaan Fleur Jansen. Tidak lama, isakan dari gadis itu justru menjadi lagu pengantar tidur bagi mereka berdua.

Ada bagian hati yang sama-sama tidak ingin mentari terbit di ufuk timur. Secepat hari berlalu memisahkan mereka. Biar saja, hanya ada malam. Biar saja, hanya ada dongeng yang tanpa diminta telah menjelma menjadi asa. Biar saja, meski asa dapat menjelma menjadi dua kata mengerikan.

Putus asa.

***

* Je doet me pijn : Kau melukaiku

* Het spijt me : Maafkan aku

* Ik bedoel niet te worden zo : Aku tidak bermaksud begitu

* Ik wil gewoon bij je zijn : Aku hanya ingin bersamamu

* Ik wil ook bij je zijn : Aku juga ingin bersamamu

* Ik zal je een sprookje vertellen : Aku ingin menceritakan sebuah dongeng

01 Juni 2020.
Liefs,
Aradi :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro