7. Tijdruimte (Ruang Waktu)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

R E V A N

Saya keluar dari restoran untuk menerima panggilan dari orang yang saya minta mencari silsilah keluarga Juwita. Ternyata dia adalah cicit dari Garritt Jansen. Neneknya menikah dengan orang Indonesia tulen, jadi Ayah Juwita tidak mewarisi marga keluarga Jansen atau marga Belanda lainnya. Selain itu, Juwita tidak memiliki kerabat dekat di Indonesia karena Ayahnya adalah anak tunggal, mayoritas kerabat dari neneknya tinggal di Belanda.

Choky Siregar memang dapat diandalkan untuk menggali informasi sedalam itu. Dia bahkan memberi tahu bahwa Fleur Jansen meninggal di umur yang sangat muda, 21 tahun. Semua itu membuktikan bahwa Fleur memang nyata, pernah ada di dunia fana ini. Tapi Choky tidak mendapatkan informasi di mana makamnya berada, semua makam keluarga Jansen ada di Amsterdam kecuali Fleur. Keluarga Jansen meninggalkan Indonesia jauh sekitar sepuluh tahun sebelum negara ini merdeka.

"Fleur meninggal karena apa?" tanya saya.

"Gue enggak dapat informasi lebih tentang itu. Lagi pula kenapa sih lo pengin tau silsilah keluarganya? Dan... duh, siapa tadi namanya? Fle.."

Saya memotong ucapan Choky. "Flower in english."

"Nah, iya itu! Lo punya hubungan sama keluarganya, Van?"

"Lo enggak perlu tau. Udah nemu jejak Adriaan van Denveer?" tanya saya lagi.

"Masih belum, itu lebih sulit dicari," jawab Choky.

"Tolong diusahakan ya, Ky? Coba cari dari sekitar kerabat keluarga Jansen. Mungkin agak sulit nyari di Indonesia. Suruh aja mereka lebih lama di Amsterdam." Jelas saya.

"Iya, mereka masih gue suruh cari informasi dari sana. Tapi buat apa sih, Van? Lo rela merogoh kocek sedalam ini demi informasi silsilah keluarga orang yang bahkan hidupnya di zaman kolonial."

"Ini penting buat gue, kirim alamat makam keluarga Jansen ya."

"Iya, nanti gue kirim."

"Thanks." Saya memutus panggilan dengan Choky setelahnya.

Satu pertanyaan cukup memenuhi otak saya sekarang, kenapa Fleur Jansen tidak dimakamkan di area makam keluarga Jansen? Apa dia sudah menikah dengan Adriaan dan menetap di Indonesia? Mungkin orang-orang di bawah kendali Choky juga harus mencarinya di Semarang, tempat lahir Adriaan van Denveer bukan di Jakarta. Deja vu yang kerap menyerang saya, berhenti setelah saya berdebat dengan ayah Adriaan.

Usai kembali duduk di depan Juwita, saya meraih menu yang tergeletak di tengah meja. "Udah pesan menu apa?" Saya bertanya sembari membaca deretan menu.

Saya akhirnya mengangkat kepala karena sekian detik dia tidak menjawab saya. Matanya terpejam, jemarinya terpaut di atas meja dan bulir bening menuruni pipinya. Aneh. Apa dia baru saja mendengar kabar buruk tentang ayahnya? Belakangan yang kutahu dari Choky, Ayahnya dirawat di sebuah rumah sakit karena koma setelah mengalami kecelakaan.

"Juwita.." Saya menyentuh tangannya pelan. "Juwita.." panggil saya sekali lagi. "Kamu kenapa menangis? Saya kan cuma tanya menu.."

Dia membuka mata setelahnya. "Hah? Saya enggak menangis..." elaknya.

Saya menyodorkan tisu sebelum meninggalkannya ke kamar kecil. Kami mampir ke restoran ini usai menyelesaikan urusan di OJK. Lumayan memakan waktu lama karena kami di sana sejak pagi. Saya akui Juwita punya kinerja yang bagus selama kurang lebih dua minggu ini. Saya kerap mengujinya di pagi hari dengan perintah membuat secangkir kopi. Terkadang wajahnya saat menahan emosi cukup membuat saya terhibur.

Beruntung, selama dia bekerja di sekeliling saya, deja vu itu tidak muncul dan menyebabkan kejadian yang aneh-aneh seperti di pesta pernikahan Papa. Tapi tidak jarang telinga saya menangkap obrolan tidak sedap tentang kami dari jajaran karyawan. Mereka mengira saya mengangkatnya sebagai sekretaris karena dia adalah penghangat ranjang saya. Terkadang saya rasanya ingin memotong langsung gaji mereka. Juwita juga mungkin sudah mendengar itu, entah bagaimana reaksinya. Kejadian di pesta pernikahan Papa memang membuat saya sial tiga kali lipat. Saya saja tidak tahu kapan dan bagaimana melakukan itu terhadap Juwita, tapi orang-orang sudah berpikir yang macam-macam terhadap saya.

"Orang-orang di Afrika sering mengalami bencana kelaparan. Kita masih lebih beruntung dari mereka." Suara saya membuatnya berhenti melamun dan melanjutkan makan.

"Saya tahu, Pak," sahut Juwita sebelum menyuap makanannya.

"Bagaimana keadaan Ayah kamu?" Saya bertanya tanpa memandangnya.

Juwita terdiam cukup lama. Mungkin terkejut bagaimana saya bisa tahu tentang Ayahnya. "Baik... Masih seperti biasa." Ia mengulas senyum saat mata kami bertemu. "Saya yakin, Papa pasti akan sembuh," katanya.

Saya membalas senyumnya untuk pertama kali. "Saya harap Papa kamu segera sembuh."

"Terima kasih banyak, Pak Revan.."

Untuk pertama kalinya juga saya mendengar ucapan bernada tulus dari Juwita. Biasanya dia mengatakan kalimat itu hanya untuk membalas sindiran dari saya. Ya, saya memang bukan tipikal pimpinan idaman di kantor seperti yang ada film atau novel.

***

Langit malam tampak kelabu usai saya menyibak sedikit tirai kamar. Tidak nampak bulan atau bintang sebagai penghiasnya. Kembali mengecek ponsel, saya mulai men-dial nomor Choky. Belakangan ini dia menjadi lebih penting daripada kolega perusahaan bagi saya.

"Kenapa, Van?" tanya Choky begitu panggilan tersambung.

"Coba cari informasi Adriaan van Denveer di Semarang, dia lahir di sana. Atau cari dari orang-orang yang buyutnya pernah kerja di NHM."

"Sebentar... NHM itu apa, Van?"

"Sejenis VOC."

"Gue jadi merasa kembali duduk di bangku sekolah dan belajar sejarah."

"Nederlandsche Handel Maatschappij. Ayahnya Adriaan petinggi di sana. Tarik semua anak buah lo dari Amsterdam," jelas saya pada Choky.

Hening. Choky tidak merespon saya sekian detik.

"Choky?" Saya memanggil namanya untuk memastikan Choky masih ada di seberang sana.

"Van.. Lo ngapain nyari informasi dua orang ini sampai begitu dalam? Dan orangnya bahkan udah tinggal nama di batu nisan? Mereka hidup di zaman Indonesia belum merdeka. Lo juga tahu beberapa kata kunci supaya kita bisa menemukan informasi itu, maksud gue.." Terdengar suara tarikan napas panjang dari Choky. "Ini aneh. Coba kasih tau gue, Van," katanya.

"Cari dulu aja, Ky. Ini penting buat gue."

"Kasih tau gue dulu, mereka enggak akan bergerak tanpa aba-aba dari gue. Lo punya hubungan apa sama dua orang ini?"

Berpikir sejenak, saya akhirnya mulai bercerita tentang deja vu yang saya alami sejak di bangku SMA pada Choky.

"Lo enggak pernah cerita soal ini," kata Choky di seberang sana.

"Gue takut dikira gila." Saya menyahut.

"Ya memang terdengar gila. Tapi Fleur Jansen itu benar pernah hidup di dunia ini, Van. Bukan cuma dalam deja vu. Dan ya, dia mirip banget sama Juwita!" Ada jeda yang Choky buat untuk bicara dengan asisten rumah tangganya sebelum melanjutkan, "Lo mengangkat dia jadi sekretaris bukan untuk mewujudkan deja vu lo sama Fleur Jansen yang aduhai itu kan? Gila! kalau deja vu-nya sama dia sih gue juga mau." Lalu tawanya pecah.

"Bukan, dia butuh biaya buat Ayahnya yang sakit. Dia minta bantuan Lydia. Ya, coba aja lo yang mengalami ini. Paling juga lo tarik kata-kata tadi," kata saya sebelum menyesap teh dari cangkir.

"Tapi kenapa lo bisa mengalami deja vu semacam itu ya.. Jelas-jelas perjalanan kisah hidup orang kan.. Tunggu dulu, lo bilang Adriaan mirip sama lo. Jangan-jangan dia Kakek buyut lo! Kalau gitu mah ngapain kita lama-lama keliling Amsterdam?!"

"Bukan, gue enggak punya garis keturunan Belanda, Ky. Gue udah cek itu dari silsilah keluarga Papa dan Mama."

"Hmm... Ya udah nanti gue suruh mereka cari di Semarang. Van.."

Suara Choky tiba-tiba menghilang begitu saja. Dahi saya mengernyit ketika menemukan diri saya mengenakan celana hitam panjang dan sepatu. Tentu saja saya tidak amnesia, celana santai selutut dan sandal swallow selalu menjadi pilihan ketika di rumah. Kepala saya tertoleh cepat karena mendengar suara tapak kaki kuda dan roda yang berputar. Sedetik setelahnya, saya tidak lagi berada di kamar bersama secangkir teh dan ponsel di tangan. Rumah ini sudah seperti ruang waktu.

*

"Apakah anda ingin pergi ke tempat lain, Meneer?" tanya sang kusir yang ada di depan kami.

"Kita langsung pulang," jawab Papa.

Lalu hening kembali menyergap. Saya baru saja menemani Papa dari acara pertemuan bersama beberapa rekan-rekan kerjanya. Seperti biasa, begitu lah cara Papa untuk membuat saya belajar secara langsung perkara pekerjaan dan negosiasi. Papa tidak pernah absen membanggakan saya di depan rekan-rekannya. Saya hanya tidak biasa dengan pujian-pujian yang terasa palsu dari teman-temannya itu.

Papa mungkin terlalu percaya diri terhadap fakta bahwa saya setara dengan mereka karena terlahir sebagai anaknya. Tapi di dalam strata orang-orang Eropa, saya tetaplah hanya anak dari seorang Gundik. Papa sudah lama bercerai dengan istrinya di Nederland dan resmi menikahi Mama saat umur saya genap dua belas tahun. Tujuan utama Papa tentu saja supaya ia memiliki penerus keluarga, karena istri pertamanya tidak dapat memberikannya keturunan.

Saya mendengar semua cerita itu dari Mama secara langsung. Mama hanyalah gadis asal Samarang yang menjual dirinya sendiri demi keberlangsungan hidup keluarganya. Saya tidak pernah menyalahkan Mama, juga tidak pernah memandangnya hina. Saya memiliki rasa sayang yang lebih terhadap perempuan yang sudah melahirkan dan merawat saya selama ini.
Hampir semua laki-laki Eropa yang singgah di Hindia Belanda memang memiliki Gundik. Bahkan di setiap daerah yang mereka jelajahi. Dalam artian lebih dari satu. Papa belum menyentuh tingkat brengsek paling tertinggi, dia hanya memiliki Mama sebagai satu-satunya Gundik yang dimilikinya. Tapi juga tidak termasuk golongan pria setia, harusnya dia tetap bersama istri pertamanya yang ada di Nederland jika setia.

Saya dengan sengaja mengintip lagi suasana jalanan dari jendela kereta kuda. Sekitar lima meter lagi kami akan melewati rumah Fleur, beruntung saya mengedarkan pandangan tadi. Rumah megah itu tempat bernaungnya gadis yang selalu menjadi bunga tidur saya. Paras cantiknya tidak jarang mengganggu waktu belajar yang saya punya. Bahkan hanya melihat tirai jendela kamarnya saja sudah membuat saya memupuk rasa rindu.

Tidak sengaja, aku melihat Espen keluar dari sana. Ada urusan apa dia? Saya hanya mengalihkan kembali pandangan saat Papa bertanya tentang pendidikan saya di Hoogereburgerschool.

***

"Minggu lalu aku melihat Espen di rumahmu. Kau mengadakan pesta di rumah?" Saya bertanya pada Fleur tanpa rasa cemburu, karena saya hanya niat bertanya.

Fleur mengerutkan dahinya. "Oh ya? Aku tidak pernah mengadakan pesta apa pun dan aku tidak pernah melihat Espen di rumah. Tidak, tidak, tidak. Lebih tepatnya lagi, mungkin aku masih terkunci di kamar," tuturnya kemudian mengerucutkan bibir.

"Lalu hari ini bagaimana caramu melarikan diri dari kamar?"

Senyumnya melengkung. "Tentu saja, hari sekolah adalah waktu terbaik untuk keluar dari penjara dengan mudah. Mama tidak pernah setuju jika aku hanya belajar di rumah, jadi Papa tidak melarangku pergi ke HBS." Dia mengangkat kedua tangan untuk membenahi pita yang tersemat di rambutnya. "Dan kita semua tahu Adriaan, HBS adalah tempat menimba ilmu terbaik yang ada di Hindia Belanda!"

Hari ini saya tidak pergi ke Rechtshoogeschool karena kurang sehat sejak kemarin. Fleur mungkin tahu tentang itu dari kakaknya. Karena saya tidak pernah absen menitipkan surat, bunga atau barang lainnya pada Garritt untuk Fleur. Begitu juga dengan Fleur, biasanya saya mendapat dengusan keras dan keluhan dari Garritt tiap dia memberikan surat dari Fleur.
Begitu terbangun dari tidur setelah minum obat, saya menemukannya duduk di samping ranjang. Entah bagaimana caranya sampai di rumah ini. Mama menyukai Fleur tanpa pengecualian, jadi sudah pasti Mama mengantarnya kemari.

"Kau sudah makan?"

"Sudah," jawabnya sembari memiringkan kepalanya. "Jaga kesehatanmu, Adriaan. Aku tidak suka melihatmu pucat."

Saya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Lalu membelai surai cokelatnya yang tergerai hingga lengan.

"Adriaan, kapan-kapan aku ingin memakai kebaya dan menyanggul rambut seperti Mamamu, terlihat begitu anggun."

"Kau dan gaunmu sudah cukup mengalahkan bumi dengan segala panoramanya, Mijn schat." Saya menyahut sembari memijat kening dengan mata terpejam. Kepala saya masih terasa sedikit sakit.

Fleur menyingkirkan tangan saya pelan. "Kalau begitu, kenapa kau mengabaikanku?" Dia menggunakan nada bicara yang menggelitik indra pendengaran saya.

Saya segera membuka mata karena merasakan embusan napas di sekitar wajah. "Aku tidak mengabaikanmu, Fleur." Dengan gugup saya memeluk pinggangnya untuk menjauh, supaya saya bisa beranjak duduk.

"Aku sudah mengunci pintunya, Adriaan.." bisiknya di samping telinga saya.

Dia dengan sengaja menahan tubuhnya untuk tidak beranjak dari saya. Matanya terlihat sayu. Tangannya yang menangkup kepala saya, perlahan menyusup ke sela-sela rambut.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya saya pelan.

"Menjadi milikmu sepenuhnya, Adriaan.."

08 Maret 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro