22 - 9. Do something useful

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kematian itu ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memutus penderitaan orang yang meninggal. Tapi, di sisi lain, ia juga memutus kebahagiaan orang yang ditinggalkannya.

~Christian Sammy Chen~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Ludy memandang sekeliling, memastikan Sam tidak salah mengajaknya ke tempat penuh buku itu. Namun, belum sempat bertanya, ia sudah terseret menuju area bacaan anak-anak. Dengan semangat, Sam memilih dan memasukkannya ke keranjang belanja.

“Ambillah beberapa buku bacaan anak yang kau suka!”

Ludy mengeryitkan dahi. “Buku anak-anak? Buat apa?”

“Nanti kau juga akan tahu,” jawab Sam sambil mengambil beberapa buku mewarnai secara acak.

Setelah hak kepemilikan buku berpindah, Sam  kembali mengajak Ludy melanjutkan perjalanan. Tidak jauh, hanya sekitar setengah jam dengan kecepatan 80 km/jam. Kali ini, mereka berhenti di sebuah rumah sakit.

“Kita singgah di sini lagi?” tanya Ludy memastikan.

Sam menggeleng. “Ini tujuan kita.”

Seperti biasa, tanpa tahu apa dan mengapa ia berada di sana, Ludy mengekori Sam di belakangnya. Mereka berjalan cukup jauh, melewati parkiran yang luasnya hampir selapangan sepak bola, jejeran poli-poli yang sepi karena libur hari minggu, lalu taman kecil yang menuju ke sebuah gedung tersendiri di samping rumah sakit.

Oncology? Kanker?” tanya Ludy saat membaca tulisan yang terpampang di pintu masuknya.

Sam tersenyum, lalu menjawab, “Ya. Di sini surviver kanker berkumpul. Dan misi selanjutnya yang harus kau lakukan adalah ... kau harus melakukan sesuatu yang berguna untuk mereka.”

“Tunggu,” kata Ludy sambil menyejajarkan langkahnya. Namun, Sam tidak berhenti. Ia terus berjalan dan memaksa Ludy menarik tangan Sam untuk menahannya. “Hal berguna macam apa yang bisa kulakukan?”

“Terserah. Kau dokter, kau bisa ngobatin mereka, nyembuhin mereka. Atau, kau bisa sumbangin semua yang kau punya untuk mereka.”

“Jangan gila! Aku nggak bisa ngelakuin itu semua!”

Ludy jujur. Ia tidak punya harta lagi yang bisa disumbangkan. Tabungannya menipis setelah pengeluaran besar-besaran saat berada di Bali. Sementara mengobati, ia bukan dokter. Atau lebih tepatnya, ia belum menjadi dokter. Ia tidak punya kewenangan memberikan terapi untuk pasien sungguhan. Terlebih untuk kanker, banyak dokter spesialis di luar sana yang jauh lebih kompeten daripada dirinya.

“Aku bercanda." Sam menyeringai lalu meliriknya. "Udah, ayo masuk aja. Saat di sana, kau akan tahu apa yang bisa kau lakukan. Entah ngajak nyanyi bareng, nari bareng, atau sekedar dongeng. Banyak pasien menderita di sini, dan kita datang untuk menghibur serta meringankan sedikit penderitaan mereka. Kita bisa ngasih motivasi ke mereka untuk terus berjuang.”

Saat sampai di pintu, mereka bersimpangan dengan brankar yang tertutup kain hijau. Jelas, itu ada jenazah di dalamnya. Dan benar saja, saat mereka masuk, beberapa pasien memasang wajah murung mereka. Salah satu darinya baru saja pulang ke surga.

“Kak Sammy,” sapa seorang anak berusia tujuh tahun. Ia tersenyum, tapi wajahnya masih belum bisa menyembunyikan kedukaan. Sementara enam pasien lainnya hanya berdiam di ranjang masing-masing.

“Siapa tadi?”

“Amel, Kak.”

Sam memangkunya, lalu mengelus kepalanya yang sudah tidak berambut itu. “Kita sedih karena kehilangan boleh. Tapi jangan sampai berlarut-larut. Kita memang sayang sama Amel, tapi Tuhan lebih sayang sama dia.”

“Kak, enak ya Amel. Dia udah nggak menderita lagi. Nggak ngerasain sakit, nyeri, mual, muntah, dan pusing saat habis kemoterapi. Nggak ngerasain susah tidur, nggak ngerasain susah jalan, dan nggak ngerasain nggak enak makan makanan kesukaan.”

Sam memaksakan senyum sebelum akhirnya menjawab,  “Benar. Tapi, egois. Kematian itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang memutus penderitaan orang yang meninggal. Tapi, di sisi lain, ia juga memutus kebahagiaan orang yang ditinggalkannya. Mereka akan sedih berkepanjangan, dan akan sembuh dalam waktu yang sangat lama.”

Ludy terdiam. Ia merasa tersindir. Perkataan Sam terasa seolah ditujukan untuk dirinya juga. Namun, mungkin cerita akan berbeda. Amel, setidaknya di sekeliling punya orang yang mencintainya. Sementara Ludy? Ia bahkan membenci dirinya sendiri.

“Oh ya, hari ini Kakak bawa temen baru, loh,” tambah Sam sambil melirik Ludy.

“Halo, Kak,” sapa anak dalam pangkuan Sam.

“Kak, Kakak bisa nyanyi?” tanya yang lainnya.

“Kak Sam tiap minggu biasanya ngajak nyanyi,” sahut gadis kecil di sebelahnya.

“Biasanya pakai gitar itu,” tambah pasien yang berada di ranjang paling pojok sambil tangannya menunjuk alat musik yang tak jauh dari tempatnya berada. “Kakak bisa main gitar?”

Ludy tersenyum. Lagi-lagi ia terkagum dengan pria di depannya itu. Kini ia tahu alasan Sam selalu menghilang setiap hari minggu. Namun, ia juga getir. Ia takut untuk mengenal sisi lain Sam. Ia tidak ingin perasaannya semakin dalam kepadanya.

"Kakak ini nggak bisa maih gitar sekarang. Tuh, tangannya lagi sakit," ucap Sam.

"Tangan Kakak sakit apa?"

“Kakak pacar Kak Sam, ya?"

“Kakak cantik.”

"Kak Sammy yang main gitar, Kak Ludy yang nyanyi saja."

“Hei, udah, udah,” kata Sam. “Kak Ludy ini suaranya jelek, nggak bisa nyanyi. Suruh dongeng aja.”

Ludy melongo. Ia ingin memrotes Sam, tapi ia terpaksa menahannya karena antusias para pasien itu seolah tidak memberikan kesempatan.

“Oke. Kalian mau didongengin apa? Putri salju? Atau kisah Jaka Tarub?”

Hampir semuanya menggeleng, lalu salah seorang menjawab, “Kak Sam udah sering bacain dongeng nusantara itu.”

“Dongengin kelanjutan Harry Potter aja, Kak,” usul anak di sebelaunya sambil mengacungkan tangan yang tertancap selang infus.

“Iya, Kak. Kak Sammy udah sampai Harry Potter kesebelas, waktu anak Harry mau menikah, tapi cowoknya minder karena dia hanyalah seorang muggle yang nggak punya tangan,” tambah yang lainnya.

Ludy mengeryitkan dahi. Ia tahu persis cerita itu hanya karangan Sam belaka. Namun ia paham maksud Sam, anak-anak itu mungkin tidak akan punya cukup waktu sampai JK. Rowling menerbitkan Harry Potter kesebelasnya.

“Kak Ludy ini,” kata Sam sambil menyentuh kedua pundak Ludy. “Orangnya paling pandai bercerita tentang kisah motivasi, agar kita nggak cepat menyerah akan keadaan.”

Ludy bergeming. Ia kesal dengan Sam. Kejadian di gereja yang baru terjadi beberapa jam yang lalu seolah belum membuatnya belajar. Namun, ia tidak punya pilihan. Perkataan Sam seolah menghipnotisnya.

Ludy menarik napas dalam sebelum memulai ceritanya. “Ada seorang anak. Dia merasa hidupnya penuh penderitaan. Ia terlahir jadi anak yang miskin, bodoh. Ia tidak punya teman, di-bully oleh semua orang, dan bahkan guru pun tidak ada yang membelanya. Ia merasa hidupnya sangat berat dan tidak tertolong lagi. Ia merasa telah berada di puncak kepahitan hidup. Lalu, dia ingin berdo’a pada Tuhan supaya mengurangi sedikit penderitaannya. Seperti biasa, sebelum berdo’a, sesuai etika ia memuji Tuhan Yesus terlebih dahulu.

“Bapa di surga, terima kasih atas pengorbanan-Mu, yang rela mati di kayu salib demi menebus dosa-dosaku.

“Terima kasih banyak atas penyertaan-Mu selama ini, telah memberiku kesehatan, kesempatan bernapas sehingga bisa meninggikan dan memulyakan nama-Mu.

“Terima kasih atas semua indra yang normal, sehingga aku bisa merasakan, mensyukuri, dan memuji-Mu.

“Terima kasih atas berkat tak terhingga-Mu, ya Bapa, telah memberiku kehidupan, makanan serta tempat tinggal untuk berlindung dari panas dan hujan.

“Terima kasih atas kasih-Mu, telah memberiku kedua orang tua yang baik, yang bersedia bekerja keras untuk membahagiakanku.

“Bapa di surga, sebelum aku berdo’a untuk diriku sendiri, aku ingin mendo’akan orang lain terlebih dahulu.

“Pertama, aku ingin mendo’akan orang-orang yang jahat sama aku. Bapa, mohon kiranya engkau berikan Rio kekuatan karena harus kehilangan ibu kandungnya. Lalu Mathew yang saat ini mungkin sedang bersedih dengan kasus korupsi yang menimpa orang tuanya.

“Lalu Yoseph, yang terpaksa tidak punya kaki karena harus diamputasi. Nathan, yang saat ini sedang berjuang melawan penyakit mematikannya, dan juga Bu Guru yang sedang berjuang menyelamatkan pernikahannya.  Mari Bapa, Engkau hibur dan angkat duka mereka, agar mereka bisa semakin dalam bersyukur dan memuji nama-Mu, ya Bapa.”

Ludy berhenti bercerita. Ia memperhatikan sekeliling. Anak-anak itu mendengarkannya dengan seksama. Lalu ia menambahkan, “Setelah semua orang yang menjahatinya selesai dido'akan, kira-kira siapa selanjutnya?”

Seorang anak menjawab, “Diri sendiri.”

“Orang tuanya.”

“Orang yang disayanginya.”

Ludy menggeleng. “Tidak, dia berhenti berdo’a.”

Seorang anak dengan semangat bertanya, “Loh, kenapa?”

“Karena dia lupa akan masalahnya.”

“Kok bisa?”

Ludy tersenyum. “Karena saat dia ingin mengeluh, dia ingat harus bersyukur. Kasih Tuhan yang ia terima, jauh lebih banyak dari luka yang ia punya. Terlebih, saat ia ingat penderitaan orang yang menjahatinya jauh lebih berat, ia merasa masalahnya bukan lagi apa-apa.

“Kita tidak akan pernah berada di puncak. Saat kita merasa sudah berada di tingkat paling atas, kita tetap tidak bisa lebih tinggi dari Tuhan. Saat kita merasa di dasar paling bawah, kita harus ingat bahwa penderitaan Tuhan Yesus demi kita, jauh lebih berat.”

“Tapi, Kak, saat ini kami sudah merasa di paling bawah. Mungkin satu tingkatan di atas penderitaan Tuhan Yesus.”

Ludy tersenyum. “Kalau gitu, jangan putus berdo’a. Kita masih punya Tuhan yang menderita di bawah kita, untuk meninggikan kita. Serta Tuhan yang senantiasa mengulurkan tangannya untuk merangkul kita dalam keadaan apa pun.”

“Apa kalau kita berdo’a terus, kita bisa sembuh?”

Ludy terdiam. Ia tidak tahu harus seperti apa menjelaskan kepada pasien kanker stadium lanjut. Sejujurnya, kemungkinan mereka sembuh sangatlah kecil. Namun, ia juga tidak bisa memutuskan semangat mereka.

“Dalam Tuhan tidak ada yang mustahil. Kita ...,” kata Ludy terputus saat ada Alkitab terulur ke arahnya.

Ludy menerima Alkitab itu, dan dengan cepat ia menangkap ayat yang telah dilipat seperdelapan bagiannya oleh Sam. “Tuhan Yesus sudah menjamin dalam Matius 7:7 - 8, ‘Mintalah, maka akan aku berikan kepadamu, carilah, maka kamu akan mendapat, ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena, setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu akan dibukakan.’

“Dan Tuhan Yesus, tidak pernah ingkar pada janjinya.”

Ludy tersadar, ia baru saja menyindir dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro