24 - Reborn

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bersikaplah selayaknya pria dan junjung harga dirimu dengan bekerja, bukan mengemis cinta pada wanita.

~Christian Sammy Chen~

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Wahyu tersenyum, lalu menjawab, “Apa kabar?”

Ludy berdiri, menyejajarkan diri dengan Wahyu. “Ah, itu ... oh ya, bukannya udah selesai hari sabtu kemarin, ya, koasnya?”

“Seharusnya iya. Tapi ini lagi ganti hari yang aku tinggalkan.”

“Kamu ... pernah bolos?” tanya Ludy ragu. Benar, Wahyu adalah orang terajin seangkatannya. Belum pernah sekali pun ia meninggalkan kuliah, apalagi sampai tanpa izin.

Wahyu mengangguk.

“Jangan-jangan, gegara aku ajak karaoke itu, ya?”

Wahyu tersenyum, memamerkan gigi putihnya yang rata.

“Ka-katanya kemarin kamu free?”

“Aku gantian jadwal sama Ryan.”

“Kalau tahu kamu ada piket malam itu, harusnya kamu tolak aja keinginanku. Aku menyesal dan aku...,” kata Ludy terputus. Kecemasannya kambuh kembali. Ia memalingkan wajah berkeliling dengan gelisah. Hingga Sam berdiri dan mengedipkan mata, memberi tanda supaya Wahyu meninggalkan mereka berdua.

“Aku harus segera kembali,” kata Wahyu saat menangkap kode dari Sam. “Dan kalau kamu bermaksud minta maaf, tenang aja. Aku nggak pernah permasalahin itu.”

Wahyu tersenyum, lalu berlalu menjauh dari keduanya. Ludy kembali duduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa putus asa. Ia meratapi dirinya yang begitu lemah. Ia menyesal mengapa  ia tidak belajar minta maaf sejak dulu. Sekarang, saat ia benar-benar membutuhkannya, mulut telah mengenalinya sebagai kata yang tidak biasa.

Ludy mendecih mengingat kapan terakhir kali ia meminta maaf. Tidak. Ludy ragu, apa ia bahkan pernah melakukannya?

***

Setelah menebus obat dari apotek, Sam bergegas melajukan mobilnya ke rumah Vira, tempat Daniel berada. Bersamaan dengan itu, Ludy bergegas meminum obatnya, memastikan anxietas disorder tidak lagi kambuh di waktu krusialnya.

Ludy menarik napas dalam sebelum ia mengetuk pintu rumah Vira. Rumah yang sangat sederhana dengan besar tidak seberapa. Namun, hingga beberapa kali ketukan, tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalamnya.

“Ayo kita temuin Vira di kantor saja,” usul Sam.

Ludy mengangguk, lalu ikut Sam ke kantornya. Namun, alih-alih masuk ke dalam, Sam justru mengajak Ludy menunggu di pos penjagaan.

“Kalau kau kuajak ke dalam, akan hancur image keprofesionalitasanku di depan bawahan. Masalah pribadi, nggak bisa dibawa ke dalam kantor,” jawab Sam melihat ekspresi Ludy yang seolah memprotes tindakannya.

Tidak berselang lama, Vira sampai ke tempat mereka. Ada kegugupan tersendiri saat ia berhadapan dengan Ludy yang notebene adalah perempuan yang pernah menjadi selingkuhan suaminya. Ia memaksakan senyum sementara wajahnya menunduk menahan rasa malu.

“Duduklah! Kalian bicara berdua, aku keluar,” kata Sam sambil berbalik pergi. Namun, langkahnya terhenti saat Ludy menariknya. Tangannya dingin dan bergetar. Meski begitu, napas cepatnya tidak lagi kentara. Sam tahu, Ludy menginginkannya berada di situ untuk mendukungnya.

“Aku tadi ke rumah kamu,” kata Ludy memulai percakapan.

“Ke rumah saya? Untuk apa? Apa suami saya membuat masalah lagi?”

Ludy menggeleng. “Tidak. Justru sebaliknya, aku ingin minta maaf sama kamu, dan memaafkan Daniel.”

Vira terbungkam. Ada kegetiran tersendiri saat Ludy membicarakan suaminya. Ia mulai cemas akan apa yang terjadi selanjutnya. Ia merasa wanita di depannya kini telah benar-benar membuatnya merasa malu dengan ketegaran dan kebaikannya.

“Saya yang seharusnya minta maaf, Mbak. Saya sudah bersikap kurang ajar waktu di car free day kemarin.”

Ludy menyentuh tangan Vira, menyalurkan semangat sebagai sesama wanita. “Nggak apa-apa. Aku ngerti perasaanmu waktu itu. Andai aku jadi kamu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Justru akulah yang seharusnya minta maaf udah ngatain kamu yang bukan-bukan. Maafin aku, ya.”

“Mbak,” kata Vira dengan suara parau. “Mbak, saya iri sama Mbak. Mbak beruntung nggak nikah sama dia. Dan saya merasa sangat malu udah mati-matian mempertahankan laki-laki seperti dia.

“Belum ada satu minggu setelah kami menikah, dia sudah bisa main tangan. Aku sering melihat pesan mesra dari beberapa wanita. Lebih parahnya, ada wanita yang nelpon dia sambil nangis-nangis bilang kalau dia sedang hamil. Dia–” kata Vira terputus. Ia menarik napas dalam menahan tangis.

“Dari sekian banyak wanita yang dipacarinya, saya adalah orang yang terpaksa dinikahinya karena tidak sengaja kepergok warga. Andai kejadian itu nggak pernah ada, dia nggak mungkin mau menikahi saya. Dan Mbak sangat beruntung tahu sifat buruknya sebelum melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Saya tahu, dia selalu menjanjikan pernikahan ke semua pacarnya.”

Ludy tersenyum getir membenarkan apa yang dikatakan Vira. Dulu, mereka memang sudah berencana untuk menikah saat dirinya sudah berhasil mendapat gelar dokter di depan namanya. Bahkan, rancangan pernikahan dengan segala seluk beluknya sudah mereka rencanakan, hingga kejadian malam itu meruntuhkan semua impian yang pernah mereka bangun bersama.

“Kalau kamu sebut ini beruntung, maka kamulah penyebab keberuntungan itu. Terima kasih, karena kamu, aku dan semua pacar-pacarnya bisa terhindar dari penyesalan itu. Terima kasih, karena kamu bersedia menderita untuk kami.”

Vira mengangguk beberapa kali. Ia tersenyum berpura tegar. “Meski pahit, saya memang harus menerimanya, Mbak. Ini memang sudah takdir dan pilihan saya. Dan kalau Mbak mau cari Daniel, dia biasanya ada di warnet sebelah rumah saya.”

Berbekal arahan dari Vira, Sam dan Ludy meluncur ke tempat yang di maksud. Bukan sesuatu yang sulit. Itu adalah warnet satu-satunya yang ada di sana. Dan dengan cepat pula, ia mendapati keberadaan Daniel. Posisinya yang berada di depan sendiri membuatnya mudah ditemukan.

“Lud,” kata Daniel sambil bangkit berdiri lalu menghampiri Ludy.

Ludy tersenyum, lalu menoleh memastikan Sam masih berada di sampingnya. “Aku ....” Ludy menarik napas dalam mengatur ketenangan. “Aku ... minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan selama berpacaran sama kamu.”

“Lud, aku masih sayang sama kamu,” kata Daniel sambil berlutut di depan Ludy.

“Hei, kau nggak lihat aku di sini?” sahut Sam.

“Lud, maafin aku. Kamu nggak tahu aku gila tanpamu,” tambah Daniel tanpa mempedulikan ucapan Sam. Air matanya menetes menunjukkan kesungguhan. “Aku mohon kembalilah.”

“Aku udah maafin kamu. Sungguh.”

“Kembalilah.”

“Kau itu pria dan bersikaplah selayaknya pria. Junjung harga dirimu dengan bekerja dan berhenti berlutut di depan wanita yang bukan milikmu. Kau masih punya istri yang menuntut tanggung jawabmu,” kata Sam sambil menarik Ludy pergi.

Dengan setengah berlari, mereka melesak masuk ke dalam mobil saat menyadari Daniel yang mulai menyusulnya. Bahkan dari jauh pun, Ludy masih melihat kekecewaan menghiasi wajah mantannya itu.

Tidak ada yang tahu bahwa satu-satunya wanita di hati Daniel hanyalah Ludy. Berkali-kali ia mencari pembenaran atas perselingkuhannya. Tidak ada yang mengerti betapa kesepaiannya ia saat Ludy terlalu sibuk dengan kuliahnya. Namun siapa yang peduli? Saat pernah berkhianat, akan sulit untuk mempercayainya kembali.

***

“Yah, semuanya dengan Daniel telah berakhir,” kata Ludy sambil menyeka air matanya.

“Kau membencinya?”

Ludy menggeleng. “Nggak. Aku nggak mencintai atau pun membencinya. Perasaanku untuknya sudah hambar.”

Sebuah denting ponsel mengalihkan perhatian Ludy. Lalu ia tersenyum sambil menunjukkan ponselnya pada Sam. “Teman-teman ngundang aku masuk lagi di grup.”

Sam tersenyum menanggapinya. Ludy memang telah mengirimkan permintaan maaf dengan pesan singkat kepada teman-teman seangkatannya. Dan tidak berselang lama, Ludy sudah kembali tersenyum, sibuk dengan obrolan di grup yang baru dimasukinya itu.

Matahari sudah kembali ke peraduan saat mereka sampai di depan rumah Ludy. Suasana yang sama dengan nuansa yang sama pula. Pintu yang tertutup, cat yang sudah mulai pudar, serta tanaman yang sudah mulai kering.

“Kali ini, aku tunggu kau di sini. Aku nggak bisa ikut campur untuk ini.”

Ludy mengangguk. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju pintu yang sudah lama tidak pernah lagi di ketuknya. Ia menutup mata, tidak ingin lagi mengingat kenangan yang terakhir kali terjadi di tempat ini.

Ia menghela napas panjang sebelum tangannya terangkat untuk mengetuk. Namun, belum sampai suara itu timbul, pintu sudah terbuka lebih dahulu. Seorang gadis yang sangat dirindukannya muncul dari baliknya.

“Anne?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro