#9. Bunga Xtabentún

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak awal, Xkeban bukanlah seorang gadis penurut. Ia menentang keras budaya setempat yang menyebutkan bahwa wanita adalah simbol kesucian; tidak boleh berbicara dengan pria sebelum menikah dan hanya diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan ringan seperti memasak, menenun, juga bertani.

"Ibu dari segala ibu, nenek dari segala nenek, Dewi Ix Chel¹ yang agung telah menciptakanku sebagai seorang wanita. Namun, hati kecilku yang egois selalu menjerit--memintaku supaya mendobrak pintu 'pemandian keringat' tempat sang Dewi dipenjara oleh anak-anaknya sendiri." Ucapan itulah yang selalu terlontar dari mulut Xkeban ketika warga menegur tabiatnya yang menyerupai pria.

Gadis cantik itu sering bepergian keluar pueblo² dengan rambut yang dibiarkan menjuntai hingga ke pinggul--sangat bertentangan dengan budaya para wanita setempat yang terbiasa untuk menyanggul rambut. Ia juga kerap pergi dengan pria-pria lain untuk berburu, melaut, ataupun sekadar mengumpulkan makanan dan obat-obatan dari tanaman di hutan.

Hal itu membuat reputasinya jatuh di mata masyarakat. Tidak jarang wanita-wanita di pueblo mencaci makinya; mengatakan bahwa dirinya menggoda para pria dan menjual kesuciannya pada mereka.

Akan tetapi, Xkeban hanya menanggapi semua fitnah tersebut dengan senyum manis tanpa dosa.

Sebuah kebiasaan kecil yang melekat dalam diri Xkeban, ia sering mendatangi tempat tinggal orang-orang miskin yang terletak di luar pueblo dan memberi mereka sebagian hasil buruannya, memberi mereka tanaman obat-obatan secara cuma-cuma, bahkan mengajari mereka tentang ilmu pengetahuan yang didapatkannya dari alam.

Lambat laun, Xkeban yang perilakunya kurang bisa diterima oleh para warga pemilik derajat sosial tinggi, justru malah disegani oleh orang-orang dari kalangan miskin. Mereka selalu menanti kedatangan gadis berambut hitam legam itu layaknya menanti berkat dari dewa.

"Xkeban sudah datang! Xkeban sudah datang!"

Begitu hebohnya anak-anak ketika melihat sosok Xkeban keluar dari hutan sambil membawa hasil buruan.

Suatu ketika, Xkeban datang ke tempat tinggal orang-orang miskin bersama dua orang pria lain. Mereka membawa seekor rusa hasil buruan dan beberapa kayu bakar demi mengadakan sebuah pesta kecil-kecilan di tempat itu.

"Jangan lupa untuk berterima kasih pada Dewa yang telah memberikan kita makanan pada malam ini," pesan Xkeban sebelum menyantap hidangan utama di pesta tersebut.

Malam itu, semua orang dari kalangan miskin bergembira. Mereka bisa makan sampai kenyang dan tertidur pulas tanpa disertai perut yang keroncongan.

Di tengah malam, seorang pria masuk ke ruangan tempat Xkeban berada.

Xkeban yang sedang tertidur karena kelelahan tampak begitu menawan di mata pria tersebut. Tubuhnya yang ramping tengah terbaring di atas tanah beralaskan jerami, sementara pakaiannya nyaris tersingkap sepenuhnya, sehingga sang pria mampu melihat lekuk tubuh Xkeban dengan sempurna.

Terpancing oleh hasrat seksualnya, sang pria mulai melakukan suatu hal yang tidak suci pada Xkeban.

Tatkala rasa sakit mulai merayap di sudut tubuh Xkeban, gadis itu langsung terjaga. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat seorang pria berada di atas tubuhnya. Menodai kesuciannya.

"Tidak!!!"

Pekikannya di malam itu tidak hanya berhasil membangunkan seluruh penduduk kalangan miskin, tetapi sampai menggetarkan singgasana Dewa-Dewi yang agung.

***

"Wanita biadab! Kau benar-benar telah menjual keperawananmu!"

"Kau pasti merayu pria yang sudah bersedia untuk menjadi teman masa kecilmu itu supaya mau menidurimu, kan?!"

"Dengan tubuh yang sudah tidak suci itu, kau masih menganggap dirimu titisan Dewi Ix Chel? Memalukan!"

Entah bagaimana caranya, berita tentang Xkeban yang sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah bisa tersebar di kalangan masyarakat pueblo tempatnya tinggal.

Pagi itu, Xkeban diseret dengan paksa oleh para wanita yang sejak dulu sudah membenci dirinya, menuju ke tempat tinggal tetua adat. Sesampainya di sana, ia menyaksikan warga pueblo sudah berkumpul sambil terus melontarkan kata-kata menyakitkan yang berhasil melukai hatinya.

"Aku tidak bersalah." Xkeban mencoba membela diri. "Aku sama sekali tidak merayunya. Aku…."

"Diam!" Sang tetua adat membentaknya. "Tidak ada yang memintamu untuk bicara!"

Layaknya dihantam badai petir, hancur sudah hati Xkeban. Ia hanya bisa menangis dan terus menangis, sementara orang-orang mulai berbicara tentang hukuman apa yang pantas untuk dirinya.

Mula-mula mereka mengusulkan untuk mengasingkan Xkeban ke hutan, tetapi usulan itu dengan cepat ditolak mengingat kedekatan Xkeban dengan alam.

Hingga seorang wanita terhormat yang tidak kalah cantiknya dengan Xkeban mulai angkat bicara. Wanita itu bernama Utz-colel dan tak lain adalah kakak kandung Xkeban sendiri.

"Bagaimana jika dia diberi hukuman membersihkan kotoran babi yang ada di daerah ini, kemudian hukuman cambuk sambil diarak mengelilingi pueblo?" tutur Utz-colel dengan begitu tenang.

"Kau yakin? Dia itu adikmu." Seseorang mengkhawatirkan Utz-colel.

Utz-colel terdiam sejenak. Ia menatap ke arah Xkeban dengan sorot mata yang dingin, lantas tersenyum samar. "Tidak masalah. Dia pantas mendapatkannya."

Mengetahui bahwa kakaknya sama sekali tidak mempedulikan dirinya, seketika tubuh Xkeban terasa lemas. Ia menundukkan kepala dalam-dalam sambil mengadu pada Dewi.

'Wahai ibu dari segala ibu, nenek dari segala nenek--Dewi Ix Chel yang agung. Apakah aku benar-benar telah berbuat dosa?'

***

Langkah-langkah cepat berpacu menembus gelapnya rimba. Suara napas milik seorang gadis yang tersengal-sengal terdengar begitu menyedihkan, ditambah bunyi gemeresak rerumputan dan nyanyian serangga yang turut memperkelam suasana.

Xkeban muak, ia sudah tidak tahan lagi.

Padahal hukuman-hukuman yang diberikan oleh warga sudah diterimanya dengan lapang dada. Ia telah berusaha agar tidak menaruh dendam kepada mereka. Ia bahkan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah menjadi wanita sebagaimana mestinya--menjalankan tabiat dan menjunjung budaya kesucian wanita dengan baik.

Namun, perlakuan orang-orang di pueblo justru semakin buruk padanya.

Wanita-wanita setempat menginjak-injak benih jagung yang ditanamnya, meludahi makanan yang dibuatnya, memotong-motong kain hasil tenunannya. Mereka berkata, "Ini buruk! Kau lebih baik bekerja di kandang babi daripada melakukan hal ini!" sambil melemparinya dengan buah-buahan busuk dan kotoran binatang.

Hal yang lebih menyakitkan terjadi tepat pada sore itu, ketika ia melihat orang-orang miskin yang selama ini sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri, dipaksa untuk menjadi kurban persembahan bagi dewa.

Suara jerit dan tangis orang-orang miskin yang memohon ampun agar tubuh mereka tidak dibedah--dikuliti hidup-hidup mulai dari bagian kelamin, kemudian berlanjut ke organ-organ dalam, sampai ke dada--masih bergema di dalam kepala Xkeban. Ia dapat mengingat jelas bagaimana ekspresi ketakutan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.

Semua itu memicu ledakan amarah dalam diri Xkeban.

Dalam balutan emosi yang bercampur dengan rasa putus asa, Xkeban menjadi gelap mata--berniat membakar pueblo ketika orang-orang masih sibuk mengadakan upacara persembahan di kuil.

Hutan yang dilalui oleh Xkeban sebelum mencapai pueblo menjadi saksi bisu tentang bagaimana gadis itu berlari sambil menangis dan menuntut sang Dewi.

"Dewi Ix Chel, jawab aku! Apakah aku telah berbuat dosa?! Apakah aku telah membuatmu kecewa?! Padahal sedari dulu, aku selalu berusaha untuk hidup sesuai keinginanmu! Aku selalu mencoba untuk menjadi wanita yang bebas sebagaimana cita-citamu! Tapi kenapa kau malah mencampakkanku, Dewi Ix Chel?! Kenapa kau merenggut semua yang berharga bagiku?! Kenapa?! Kenapa?!"

Sebuah akar menjalar tiba-tiba menjegal kaki Xkeban, membuat gadis itu tersungkur keras ke semak-semak yang ada di depannya.

Rasa sakit yang kuat menghantam wajahnya, memberi otaknya stimulus supaya bisa berpikir jernih kembali.

Sore telah berganti menjadi malam. Bayang-bayang purnama terlihat memasuki celah-celah rimbunnya pepohonan, memberi secercah penerangan pada sosok gadis yang masih menangis sambil mencium tanah.

"Kesucianku, martabatku, juga teman-temanku …." Xkeban berujar lemah pada rerumputan. Ia memejamkan mata sejenak sembari mengambil napas panjang--membiarkan aroma tanah memenuhi indera penciumannya.

Perlahan, ketenangan mulai memenuhi sudut-sudut ruang di hatinya.

Xkeban membuka mata, lantas tersenyum masam. "Tidak apa-apa. Aku sudah mengikhlaskan semuanya," lanjutnya dengan suara yang begitu pelan.

Gadis itu mengatur emosinya agar stabil, sebelum kembali berdiri dan berniat pulang ke pueblo dengan hati yang bersih dari amarah serta dendam.

Akan tetapi, baru satu langkah ia beranjak pergi dari tempat itu, sebuah suara sontak menahan gerakannya.

"Tunggu, Xkeban!"

Alunan suara yang begitu halus dan merdu mengalir masuk ke gendang telinganya. Ia segera mengedarkan pandangan untuk mencari sosok yang memanggil namanya.

"Sudah cukup, kau tidak perlu kembali ke pueblo itu lagi. Kau tidak perlu berkumpul dengan orang-orang yang membenci dirimu lagi. Kau tidak perlu menderita lagi."

Xkeban nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya; sosok wanita cantik berambut seterang rembulan, berpakaian serba putih, lengkap dengan dua sayap putih terang yang mengembang di punggungnya.

Seumur hidupnya, Xkeban sama sekali belum pernah melihat sosok seelok wanita itu, tetapi entah mengapa ia merasa mengenali sosok tersebut.

"Ibu dari segala ibu, nenek dari segala nenek--Dewi Ix Chel yang agung," lirih Xkeban tanpa sadar.

Wanita cantik--yang tidak lain adalah Dewi Ix Chel memandangnya teduh. Senyum hangat terlukis di paras indahnya. "Kau juga perlu merasakan manisnya kebahagiaan, wahai anakku."

Xkeban menunduk dengan hormat, lantas menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Dewi Ix Chel yang agung. Saya juga sudah pernah merasakan kebahagiaan," balasnya dengan rendah hati.

Dewi Ix Chel menyentuh pundak Xkeban. "Bukan itu Xkeban. Kebahagiaan yang kumaksud adalah kebahagiaan abadi, kebahagiaan yang tidak akan hilang dari dirimu selama matahari dan bulan masih terus berputar. Dan aku berjanji akan mendatangkan kebahagiaan itu padamu."

Sosok wanita lain mulai memperlihatkan dirinya dari arah langit. Wanita yang sama cantiknya dengan Dewi Ix Chel, tetapi memiliki rambut dan sepasang sayap yang berwarna hitam. Sosok itu bergerak mendekati Xkeban. Aura gelap tampak menyelubungi wujudnya. Tidak ada senyum yang menghiasi wajahnya, tatapannya dingin.

Xkeban kembali menunduk untuk memberi hormat. Kali ini, ia mampu menebak siapa sosok itu. "Dewi Ix Tab³ yang mulia."

Tepat di saat itu, ia sadar, kehidupannya di dunia akan segera berakhir. Kehadiran Dewi Ix Chel sebagai simbol permulaan dan kehidupan, dengan Dewi Ix Tab yang merupakan simbol kematian telah memperjelas situasinya.

Untuk terakhir kalinya, Xkeban tersenyum lebar--melepaskan semua beban yang selama ini dipikulnya dan membuang semua emosi negatif yang sempat merasuki hatinya, sebelum akhirnya meraih tangan Dewi Ix Tab.

"Beristirahatlah dengan tenang, wahai anak saudariku," bisik Ix Tab tepat di telinga Xkeban.

Dalam waktu singkat, mata Xkeban terpejam.

Untuk selamanya.

***

Utz-colel berdiri tak jauh dari mayat saudarinya. Aroma harum tercium dari mayat Xkeban yang dikelilingi oleh bunga-bunga serta binatang.

Utz-colel yakin jika saudarinya sudah meninggal dalam waktu yang cukup lama, tetapi mayat itu tetap terlihat segar--tidak membusuk sedikit pun, bahkan sosok mayat tersebut terlihat jauh lebih cantik daripada ketika masih hidup.

"Kau benar-benar disayang oleh dewa, ya," gumam Utz-colel. Ia kemudian membawa mayat saudarinya ke kota, lalu mengadakan pemakaman sederhana untuk Xkeban.

Beberapa hari setelah pemakaman dilaksanakan, bunga misterius yang berbentuk seperti terompet dan menyebarkan bau harum ke udara tumbuh di atas makam Xkeban.

Konon, bunga itu adalah reinkarnasi dari Xkeban sebagai perwujudan dari janji Dewi Ix Chel yang akan memberinya kebahagiaan abadi.

Bunga itu kemudian diberi nama Xtabentún, yang hingga kini masih sering digunakan sebagai bahan pembuatan minuman, sekaligus untuk terapi kesehatan karena berkhasiat sebagai obat.
[]

Karanganyar, 25 Maret 2023

Catatan kaki:
[¹] Dewi IX Chel: Dewi bulan dalam kepercayaan suku Maya, juga dewi kesuburan, persalinan dan tenun
[²] pueblo (huruf kecil): sebutan bagi wilayah pemukiman suku asli yang ada di wilayah New Mexico
[³] Dewi Ix Tab: Dewi bunuh diri dalam kepercayaan Maya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro