This World

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca seri pamungkas dari tetralogi NASA.

-

In the late of 21st century, earth was diseased, and vastly overpopulated.

Earth's wealthiest inhabitants fled the soul of sociality to preserve their way of life.

Some sensors of seism detected that something went wrong.

Who's know? This is a part the end half of the world.

Dan seperkecil dari setengah dunia itu,

Mereka menyebutnya dengan 14.000 Under the Feet.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa menit sebelum bencana itu terjadi,

Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam.

"SEMUANYA SIAP!"

"SIAP, KOLONEL!"

Semua pasukan disiapkan, menunggu Kolonel Atlas untuk sedikit berceramah sebelum mereka dikirim pulang dari usainya tugas-tugas yang mereka emban selama berbulan-bulan.

Tapi mereka tak benar-benar pulang.

"Mungkin setelah ini, kalian semua akan terbebas dari ocehanku. Sampai jumpa sebulan lagi, nikmati waktu bersama keluarga kalian," ucap Kolonel Atlas.

Semua pasukan bertepuk tangan. Mereka sungguh menantikan hal ini. Pasukan dibubarkan, selagi menunggu mereka untuk packing, beberapa tentara masih tetap ditempatnya.

"Kau tak pergi, Letnan Ross?" Tanya kolonel.

"Aku tak yakin, kolonel. Jika aku kembali, keadaan mungkin semakin rumit," kata letnan jujur.

"Letnan memutuskan untuk tetap disini bersama Prajurit Agus dan Sersan Ji, kolonel," ucap kapten Dray—Mayor Dray. Ia baru saja mendapat promosi dan naik satu pangkat menjadi seorang mayor.

"Kau sendiri? Sana pulang!" Usir sersan Ji pada kolonel.

"Sandiwaramu buruk, Ji. Kau hanya hormat padaku saat didepan pasukan, sialan!" umpat kolonel.

"Jangan lupakan siapa yang memberimu contekan matematika saat ujian akhir kelas 3, Atlas" entahlah, sersan seperti mengungkit jasa-jasanya.

"Bhah!  Benar, aku harus pulang, atau istriku akan menceraikanku jika aku tetap disini bersama kalian, right."  Kolonel meninggalkan mereka bertiga dan berjalan menuju basecamp.

Perjalanan menuju basecamp  yang harusnya hanya 15 langkah bagi kolonel harus tertunda saat tanah dibawahnya bergetar.

Kolonel terdiam, mengamati pijakannya, lalu menoleh kepada tim-nya dibelakang.

"ADA GEMPA! LARI GOBLOK!" Seru kolonel saat melihat mereka bertiga bahkan masih duduk santai di samping helikopter.

Tak ayal, perintah itu harus diulang dua kali karena suaranya tak terdengar jelas oleh mereka.

"KOLONEL! GEMPA!" Prajurit Agus berlari tergopoh-gopoh keluar dari basecamp, diikuti banyak pasukan yang terlihat panik namun tenang pergerakannya.

Guam sudah tak asing dengan gempa yang sebatas 'getaran ringan' seperti ini.

Getaran apanya! Kali ini getaran tersebut disusul dengan mencuatnya beton dibawah mereka.

Tak perlu aba-aba dari kolonel lagi, semuanya mengerti. Evakuasi mandiri.

"KOL! NAIK KE HELI WOIY!" Teriak sersan Ji dari lapangan.

"Gus, kau kesana dulu, aku harus kembali ke basecamp  sebentar. BILANG KE SERSAN JANGAN JALANKAN HELINYA DULU!"

Prajurit Agus mengangguk, persetan dengan barang-barangnya, ia segera menuju heli.

Beberapa prajurit lain melakukan hal yang sama di helikopter yang berbeda.

Getaran semakin kuat. Kolonel mempercepat langkahnya dan segera mengambil sesuatu yang baginya sangat berharga. Puing-puing basecamp  mulai terlepas, menandakan bahwa gempa ini bukan gempa biasa.

"MANA SI KOL?!" Teriak sersan kepada Agus yang sama paniknya.

"Terbangkan dulu heli-nya, sersan," ucap Mayor.

Sersan mengangguk, segera ia mengambil kendali atas helikopter tersebut dan terbang merendah.

Pijakan dibawah mereka perlahan-lahan mulai terbelah, beberapa mobil berjatuhan.

"Apa yang dilakukan kolonel?!" tanya letnan dengan raut wajah marah.

"ITU DIA!" Prajurit Agus menunjuk seseorang yang berusaha berlari menghindari runtuhan puing-puing dan beberapa besi didalam beton yang mencuat keluar.

"Talinya!" Letnan mengulurkan sebuah tali tambang kebawah.

"Kol, naik!"

Keempatnya bernafas lega, mereka berhasil selamat.  Ada beberapa yang masih dibawah, namun berada didalam pesawat dan helikopter militer yang akan membawa mereka pulang nantinya. Masih aman, pikir mereka.

Letnan dan prajurit Agus membantu menarik kolonel berada di dalam heli. Mereka masih terbang merendah.

Kolonel juga mengamati dibawahnya melalui pintu heli yang masih terbuka lebar karenanya, beberapa masih berusaha berlindung di dalam pesawat yang belum sempat diterbangkan.

"Ji, putar balik, angkut mereka yang pesawatnya belum diterbangkan!" Kata kolonel.

Sersan mengangguk, saat helikopter berbalik arah, bencana sesungguhnya menyambut Guam.

Air laut memberontak memasuki wilayah daratan dengan jumlah yang tak terkira, menelan apa yang ada dihadapannya. Mengingat pangkalan udara ini berada tak jauh dari area pantai.

"What the hell-"

Dua buah helikopter berhasil terbang. Namun mereka yang berada didalam pesawat, tak sempat untuk lepas landas. Air laut lebih dulu menjungkirbalikkan pesawat dan menelannya hingga tak terlihat.

Melihat ini sersan langsung menaikkan helikopternya dan kembali berputar balik. Jika tsunami  itu dapat menenggelamkan pesawat militer yang tingginya kurang lebih 7 meter, berarti tsunami  ini ketinggiannya dapat mencapai 10-20 meter.

Helikopter mereka sudah cukup tinggi, letnan menutup pintu heli dengan panik.

"GILA KAU KOL! KENAPA LAMA SEKALI, HAH!" semua menatap heran sersan yang memarahi kolonel namun pandangannya tetap fokus menerbangkan helikopter.

Kolonel hanya diam. Semua ini terjadi diluar dugaan. Dua helikopter yang terbang di sisi kanan dan kirinya menampakkan bahwa didalam sana tak banyak prajurit yang tersisa.

Semuanya berlindung didalam pesawat militer.

Sebagian dari mereka memang berhasil selamat untuk pulang, sebagian lagi berpulang kepada penciptanya.

Aviary  berusaha berkomunikasi dengan pusat, namun tak ada hasil.

Semuanya diam. Masih terlihat mencerna dengan apa yang barusan terjadi. Hanya sersan yang berpikir kemana mereka harus pergi. Mengingat diantara mereka mana yang harus diprioritaskan dengan jarak terdekat, pilihan sersan jatuh pada kolonel.

Memisahkan diri dari 2 helikopter lainnya, mereka terbang menuju Washington.

Semuanya terguncang. Mencoba berpikir jernih atas apa yang barusan terjadi. Kolonel mengepalkan tangannya erat seakan sesuatu yang berada didalam genggamannya tersebut adalah nyawanya sendiri.

Bahkan, Atlas sendiri tak sempat menguburkan James dengan layak.

14.000

1018 words.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro