Bab 04 | Tontonan Terlarang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jatuh air mataku bila 'ku ingatmu
Kuteringat masa-masa indah denganmu
Rasa tulus cintamu pada diriku
Masih terasa di hatiku

Kini dirimu bukanlah milikku lagi
Berakhir sudah cintaku dengan dirimu
Kau memilih dirinya bukan diriku
Sakit, sakit hatiku ....

Tuhan ikhlaskan hatiku 'tuk bisa melepasnya
Karena 'ku masih sangat mencintainya
Semoga 'ku bisa melupakan dirinya
Karena 'ku masih sangat mencintai dirinya

Jingga sungguh menutup kupingnya rapat-rapat. Suasana kelas menjelma jadi pasar Jumat dadakan. Speaker BT200 yang Atan letakkan di meja guru tiada hentinya menggaungkan lagu patah hati sejuta umat milik Via Vallen. Lebih membagongkan lagi, si cempreng itu malah bernyanyi menghadap ke arahnya. Menggenggam sapu kelas yang bentuknya masyallah minta dibuang. Tampak sekali manusia gila itu sekarang tengah menyindirnya.

"Kini dirimu bukanlah milikku lagi, berakhir sudah cintamu dengan diriku. Kau memilih dirinya bukan diriku ... Sakit-sakit hatiku ...." suara mirip terompet sangkakala memekakkan telinga seisi kelas. "Yo, Jengglot mari kita bernyanyi agar patah hatimu itu lekas terobati.

Jingga memukulkan buku paket setebal kitab suci Sung Go Kong ke jidat ratanya. Lihatlah, benar kan? Tebakannya memang tidak pernah membuat orang lain terslepet. Ini gara-gara Amer! Sudah jelas cowok itulah yang membeberkan kabar putus cintanya dengan Aldi ke Atan titisan setan ini. Jingga mengepalkan tangannya kuat. Ingin sekali dia mendaratkan tonjokan maut ala-ala Khris John ini ke wajah tanpa dosa anak Bapak Hasan Basri tersebut.

Intan, kawan sebangkunya menatap Jingga miris. Dia sedikit kasihan dan merasa lucu sebab menyaksikan tingkah gila Atan yang menyerupai cacing kesurupan. Jam kosong hari ini jauh lebih berwarna. Sutinah yang menarik kursinya ke depan untuk bergosip dengan dua cewek cantik berbeda versi itu lantas mematri wajah kesal.

"Sabar, Jing. Si Atan emang titisan setan. Gak usah dipeduliinlah bikin kau keki aja nanti," seru gadis berambut lurus ini mengusap-ngusap bahu Jingga.

Mereka memang senasib sepenanggungan. Dulu Sutinah pernah berada di posisi yang sama. Sedang sedih-sedihnya patah hati, cowok kampret berwajah songong itu malah mengumumkan kabar tidak penting ini ke sepenjuru dunia. Lebih-lebih sekawanan remaja boros kuota ini menodongnya pajak putus. Menyebalkan sekali memang!

Atan yang lagi menjadi topik hangat perbincangan, memunculkan muka berminyaknya ke hadapan tiga cewek penghuni Ips 4. "Cie yang baru putus ... Bagi PP dong," ungkap teman kodomo Amer ini menengadahkan telapak tangan persis seperti gelandangan minta dikasihani.

Jingga masih melemparkan tatapan menusuknya. Tiada guntur, tiada tsunami dia bangkit dari kursinya. Kilatan marah terpancar di kornea coklat gelapnya. Alis selebat pohon beringin itu menurun, memandangi Atan sangat dalam. Atan berancang-ancang menjauh.

Dia takut diserbu ratu Suzanna yang sebentar lagi bakal memuntahkan lahar amarahnya. Namun, bukan remahan tulang seseorang yang terdengar remuk, tapi kerenyitan dahi Atan-lah yang memecahkan rekor tawa Intan sebab si kampret itu kelihatan takut padahal Jingga hanya melewatinya. Menabrak sekilas bahu yang tidak cocok jadi sandaran siapa pun.

Jingga berdecih sok cool, sementara Atan terpelongo speachlees. Ratu Suzzana ini kenapa? Apa Miss-K di belakang kelas-lah yang merasuki tubuh gadis manja itu?

Lupakan Atan dan segala sifat setannya. Jingga jauh lebih tertarik mendekati sekomplotan pentolan sekolah yang nampak sibuk mendiskusikan sesuatu

"Eh, ini beneran jadi nonton gak? Percuma aja aku download filmnya di situs XXX."

Jingga melebarkan daun telinganya, meresapi ucapan Jojo yang membangkitkan jiwa polos-polos tai-nya. Woilah, kupingnya ini tidak salah dengar kan? Mantap sekali mereka ingin menonton yang iya-iya di siang bolong begini! Apa dia ikut saja? Jujur, sepupu Chika-Chiki ini masih kesal karena tidak diperbolehkan menonton kemarin.

Gadis dengan tanda lahir di bawah dagu itu lantas menautkan pandangan ke sekumpulan cowok bengal yang detik ini masih sibuk memutuskan jadi menonton atau tidak.

Tekak telinganya diperlebar sekian senti demi menjangkau percakapan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak. Kalau betul mereka jadi menonton, maka Jingga akan maju paling depan. Bilang saja ke Fredo kalau dia mau ikutan

Pantat bohay tanpa lemak itu segera mendarat di bangku kosong tepat di depan Fredo, si ketua geng. Senyum sok kenal sok dekatnya mengembang sempurna. Fredo yang masih belum peka cuma mengerenyitkan dahi. Si jengglot kenapa?

"Pret, kalian mau nonton ya?" tanya Jingga basa-basi busuk. Fredo yang sudah kebal dipanggil 'Pret' cuma bisa cuek bebek. Toh, percuma mengoreksi, cewek itu sudah nyaman menggunakan panggilan yang meyerempet ke arah kutu kupret atau kampret.

"Iya, kenapa?" Fredo tentu balik bertanya.

"Aku mau ikut dong. Boleh ya? Ya, ya? Kita kan bestie selamanya," bujuk Jingga manisnya kebangetan.

Farid otomatis bereaksi. Akalnya tidak sampai memikirkan seorang Jingga mau ikut menonton film terlarang ini. Bisa tercemar  limbah otak setengah sucinya. "Astanga, ngapain kau mau ikut-ikut nonton? Ini bukan kartu princes-princesan kayak yang biasa kau tonton. Yang ada kami kena semburan maut Bang Nando Sunando."

Jingga memukul bahu Farid. "Ya aku tahu, tapi masa aku gak boleh ikut? Aku mau mengisi waktu supaya gak patah hati terus. Kasihanilah temanmu ini kawan ...."

"Gak, gak, gak! Kau pikir ini tontonan anak di bawah umur? Ini tontonan untuk orang dewasa. Kutanyalah, berapa usiamu? Udah genap delapan belas tahun belum? Nah, pasti belum kan. Jadi, dilarang keras untuk nonton!"

Jingga cengo. Lagi dia dilarang ikut? Oh, my gosh tidak sadar diri sekali mereka ini.

"Sebaiknya gak usah, Jing. Ini tontonan buat anak yang udah punya KTP." Fredo si ketua pun angkat bicara. Cowok Batak tulen itu sadar dan paham seberapa menyeramkannya abang Jingga. Sebetulnya dia pun ogah mencemari otak anak gadis orang. Jadi, melarang keras gadis di bawah umur ini untuk ikut adalah pilihan terbaik.

"Jadi aku gak boleh ikut?" Farid mengangguk. Wajah sendu Jingga terbaca oleh dua laki-laki itu. "Nyebelin banget sih kalian!"

Farid mengangkat bahunya acuh. Ditambah Fredo si ketua geng yang diam saja kekeuh tidak memperbolehkan Jingga ikut.

"Ayo, guys udah bisa ditonton nih filmnya," seru Jojo si keong racun. Farid dan lainnya cepat-cepat bangkit dari tempat mereka duduk, membentuk gerombolan di belakang sana. Jingga yang keras kepala plus ngeyelnya kebangetan tentu tidak mau ketinggalan. Sepasang kakinya mengendap-ngendap ketika berjalan agar Fredo dan Farid tidak sadar.

Sepelan mungkin Jingga menarik kursi ke belakang. Dia ingin nyaman duduk dan memuaskan rasa keponya terhadap film ber-rating 21+. Sevulgar yang orang lain katakankah?
Sebenarnya ini salah Nando. Ya, salah Nando. Dia terlalu mengekang Jingga hingga membuat rasa ingin tahu gadis pemberani itu melambung tinggi.

Di menit-menit pertama Jingga nyaman melipat tangannya di sandaran bangku. Dia duduk ala bapak-bapak di warung kopi. Namun, ketika sedang asyik menonton, Jojo menautkan tatapan tajamnya.
Tampak cowok itu kaget melihat imigran legal di geng mereka.

"Eh, ngapain kau di sini Jengglot? Mau ikut nonton juga?"

Jingga mengangguk. Sudahlah dia juga telah tertangkap basah. Pasti sebentar lagi kupingnya akan panas mendengar mereka membahas-bahas umurnya yang belum genap tujuh belas tahun.

"Ngapain kau mau nonton-nonton kayak gini? Mau praktek pas nikah nanti? Yaelah, kalau itu alasannya, masih lama Jengglot! Usiamu aja baru enam belas tahun," tutur Jojo membenarkan tebakannya. "Udah sana-sana. Bocil kayak kau gak boleh nonton film dewasa!"

Jingga mencebik kesal. Salahnya apa sih sampai terus-terusan dianggap bocil. Jingga bocil, lalu mereka apa dong? Gak mungkin kan nenek moyang dari buyut-buyut terdahulu? Tidak cuma diusir melalui verbal, tindakan Jojo yang mendorong-dorong kursinya telah memantik kobaran api di dalam diri Jingga.

Anak buah Freedo tersebut tidak luput menyuruh anggota geng-nya
mengerubung lebih rapat agar Jengglot tidak dapat melihat tontonan mereka. Menyebalkan sekali mereka! Jingga tidak terima diperlakukan begini. Setan di dalam tubuh cewek bar-bar itu bereaksi secepat mungkin. Kini tujuan selanjutnya adalah ruang kedisiplinan.

****

Senyuman Jingga terkembang. Perutnya tergelitik minta ampun. Wajah-wajah memelas mereka sungguh nikmat dipandangi. Suasana hati Jingga naik seribu kilo joule menonton pawai dadakan ini. Tidak ada yang lebih baik dari menyaksikan cowok-cowok sok dewasa itu dihukum.

Sisi iblisnya bangkit. Ditindas oleh sekawanan monyet bekantan bernama Jojo, Freedo dan Farid jelas mengusik kelemahlembutannya. Dia tidak senang diperlakukan ibarat bocil enam tahun padahal yang berbicara juga masih makhluk-makhluk yang dulunya berbentuk zigot.

"Rasakan itu! Makanya jangan sekali-kali mengganggu jiwa-jiwa ratu Suzzanaku. Kujadiin tumbal pesugihan baru tahu rasa!" Si keriting malah ketawa-ketiwi melihat tersiksa dan malunya Fredo and the gang tatkala diarak mengelilingi sekolah seumpama orang yang ketahuan baru berzinah.

Di dada mereka tertulis, Kami Berjanji Tidak Akan Menonton Bokep Lagi.

Dari kakak kelas sampai teman seangkatan menertawakan kesialan mereka. Keenamnya seakan tengah mengikuti MOS versi lebih kejamnya.
Bu Bertha sang guru kedisiplinan memang tidak tanggung-tanggung memberantas kebengalan para pentolan sekolah yang suka bikin perkara.

Menyaksikan guru berkerudung ungu beserta lipstik orange pudarnya itu memantau Jojo and his besti, perut Jingga makin terkocok. Cewek tidak kenal takut itu ingat bagaimana memelasnya dia ketika menghadap ke guru gendut tersebut.

Adik kandung Nando ini ber-akting seolah-olah Jojo telah membentakknya nyaris menganiaya Jingga karena melarang cowok-cowok tengil ini menonton film biru.

Akting teraniaya Jingga sungguh menyakinkan hingga dengan lemak yang bergoyang ke kanan dan kiri, Bu Bertha mendatangi IPS 4 dan akhirnya drama hukum-menghukum pun terjadi.

Lelah menertawakan mereka, keinginan untuk hengkang dan bergulung di kasur sertamerta timbul. Jingga buru-buru memakai tasnya dengan benar. Sepertinya dia harus mencari tebengan. Dari sekian ratus siswa hanya Amerlah yang jadi opsi terbaik.

Tanpa perlu bersemedi lebih lama di bawah pohon toge, Jingga mantap melengganggkan kakinya ke gerbang sekolah. Bakpao isi kacang merahnya tidak ketinggalan menemani perjalanan singkat seorang Jingga Laksania. Jingga berdiri di bawah pohon mengkudu sambil menunggu Amer dan astrea-nya yang hemat bensin.

Mulanya Jingga masih mesem-mesem tanpa dia sadari ada seekor anjing yang telah menunggu buruannya di belakang sana. Bola mata Jingga rasanya mau jatuh. Dia kaget bukan kepalang.

"Huwaaa ... Mamak tolongin anak gadismu dikejar anjing ...." Dan anjing berkalung besi tersebut pun mendekat lantas mengejar Jingga penuh nafsu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro