Bab 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jingga tersedak salivanya. Bisa-bisanya ... mereka ... Emosinya mengelegak. Apa-apaan ini? Kenapa sobatnya Mutiara dirisak? Kesalahan apa yang gadis itu perbuat. Wah, gak bisa dibiarkan ini. Tabok maut plus jurus kame-mehannya perlu keluar.

Mutiara yang berdiri di belakang Jingga menundukkan kepala, tetes air matanya mulai meluber kemana-mana, terdorong omongan mereka yang suka kabina-bina.

Jingga mengusap bahu sang konco lembut, menyalurkan kekuatan mimi perinya. "Oh, jadi maksud Kakak, teman aku dapat posisi ini karena bukan dari kemampuan? Dan menurut Kakak-Kakak semua harusnya bukan dia yang jadi mayoret untuk pawai PON Riau delapan bulan lagi gitu?" Bertubi-tubi pertanyaan Jingga lontarkan. Sungguh dia muak melihat Mutiara diinjak-injak bagai sampah.

Si komodo Mora menaikkan sudut bibirnya. Ekspresi selayaknya ibu tiri Cinderella dia tampilkan. "Emang iya. Seharusnya Katya yang jadi mayoret. Dia yang paling pantes dibanding cewek yang katanya dewi sekolah ini," seru Mora komodo mengundang hujatan.

Mata Jingga melotot seram. Mutiara yang mendengarnya makin banjir air mata. Aduh, perlukah dia tumpas mulut jahanam cewek kunti satu ini. "Oh, jadi Kak Katya yang pantes ya? Bukannya Kak Katya udah nolak? Atau Kakak-Kakak ini mendadak tungkikkah waktu Bang Revi ngomong? Cari muka banget! Kalau udah dapat mukanya tolong sumbangkan ke orang yang gak punya muka."

Ilmu sarkastik Jingga naik seribu persen. Tidak salah dia kadang bersosialisasi dengan Amer si mulut mercon. Kemampuan ngebacot cowok itu menular tanpa diminta. Wajah ketiganya merah padam. Kesal serta tidak terima meliputi hati. Aish, bangsat anak kecil satu ini. Ngajak adu bacot ternyata.

"Katya nolak, bukan berarti dia pantes nerima posisi itu. Dia tergolong anggota baru, tapi gayanya udah melebihi senior," timpal Audi tak mau kalah ketika adu bacot. Peperangan di sore ini mestilah mereka yang harus memenangkan. Tipikal bocil yang suka panas hati padahal udah tua bangka semua.

Anggukan kepala si Jengglot mengiyakan perkataan mobil Audi itu. "Oh, bagindang. Jadi, kalau Kak Katya nolak, terus Mutiara gak pantes, berarti Kak Audilah yang cocok jadi kandidat berikutnya yang gantiin Kak Revi?"

Audi menyunggingkan senyumannya. Jelas dia yang paling tepat jadi mayoret.

"Tapi, yang aku lihat-lihat, badan Kakak kaku loh kalau megang tongkat. Pas di regu gerak aja, sering banget kita ngulang karena Kakak terus yang salah. Apa aku yang gak ingat ya, tapi aku ngerasa itu Kakak lho. Yang lain oke-oke aja gerakannya," cetus Jingga melemparkan bom fakta ke mereka. "Terus kalau Kak Kimora, komodo juga sering telat latihan, apa yang mau dicontoh dari mayoret yang suka ngaret. Kak Teresa apalagi, menghapal susunan nada aja butuh empat bulan. Gak wort it dijadikan mayoret." Teliti Jingga menatap dari bawah hingga atas penampilan para pembully tak beradap ini.

"Kau---"

Mereka yang merasa ditelanjangi dan dipermalukan di muka umum hendak menjambak rambut cetar Jinga. Namun, kesigapan duo sobi, sobat babi Atan dan Amer mencegah aksi penganiayan di sekolah.

"Eh, eh, ini kenapa, main jambak aja. Mau adu kekuatan? Yok, kuantar ke ring tinju. Gratis buat kalian bertiga. Gak perlu bayar. Dewa Amer yang bakal nalangin," kata Amer masih sempat-sempatnya melawak di situasi ini.

Tak kalah sigap, nyaris saja muka si Jigong kena cakaran harimau betina. "Eh, itu kalau maju seinci lagi, aku bawa Bu Bertha ke sini. Biar masalah kelen cepat teratasi. Mau? Ingat lho, berkasus di sekolah bakal mempersulit kalian di kelas dua belas nanti." Atan, titisan setan menunjuk-nunjuk ketiga harimau betina yang tengah menampakkan taring garangnya.

Mereka semua menciut tatkala Atan melayangkan ancaman. Berurusan bersama Bu Bertha bukan pilihan terbaik, yang ada nyawa mereka di kelas dua belas bakal dicincang-cincang.

"Sebaiknya daripada ngurusi si cewek yang katanya Dewi sekolahan itu, sebaiknya benahi dulu deh hubungan kau yang berantakan kayak rempeyeng keinjek gajah. Anak manja tapi maunya pacaran sama yang dewasa, situ waras, Dek?" Sarkas Teresa membalas kalimat nyelekit Jingga barusan. Ketiga cewek freak ini sudah melenggang pergi meninggalkannya dengan kejengkelan tiada tara.

Hubungan yang sudah kandas tapi masih dibawa-bawa itu mengakibatkan emosinya menjalar sampai ke otak. Jingga maju sedikit henda mengoyak mulut si Teresa Lampir. Namun, kuatnya tangan duo sobi mengakibatkan Jingga tidak kuasa menjalankan rencana iblisnya.

"Lepas! Kau pikir aku monyet liar yang butuh ditahan!" Satu tabokan maut di pipi Atan dan Amer sudah cukup melampiaskan kemarahannya. Jingga memutar langkah, hengkang dari hadapan semua orang yang tadi berkerumun.

****

Remasan di tali tasnya semakin menampakkan emosi yang bergelenyar di otak, hati serta sel-sel darahnya. Setiap ada botol yang kelihatan di depan matanya lantas kaki terbalut sepatu convers itu tendang. Malang nian nasib si benda mati. Pelampiasan amarah Jingga memang sangat tidak direkomendasikan apalagi kalau kaki jahanamnya nyasar menendang batu atau kerikil. Alamat jempol segede gaban ini bengkak bak disengat tawon.

Ucapan Teresa se-abad yang lalu mengakibatkan jiwa-jiwa baku hantamnya menyeruak. Dia tudak mau menangis lagi, tapi apalah daya, hantaman fakta barusan menyakiti segenap jiwa dan raganya. Ingusnya pun telah meleber kemana-mana. Alamat dia disangka baru ditalak oleh suami sahnya kalau menangis di jalan. Nando memang mengantarnya sampai depan komplek, memaksa Jingga untuk berjalan sendiri ke rumah. Katanya supaya hemat bensin dan itu makin memperburuk suasana hati si bungsu.

Dia menangis tersedu-sedu disaksikan Zulkarnaen, satpam komplek yang sedang bertugas. Zulkarnaen sempat bertanya tapi Jingga cuma menggeleng-geleng lantas berucap lirih.

"Udahlah, mungkin lagi patah hati diputusi gebetannya," ucap si bapak heran.

Dan tangisan Jingga terus berlanjut sesampainya ke kamar dan merebahkan diri di kasur. Sungguh, dia lemah hati dalam masalah percintaan.

***

Tisu yang tergeletak pasrah di tempatnya kian cewek tjakep itu tarik. Hari sudah berubah gelap, tapi air matanya enggan berhenti. Rasa sakit karena ucapan Teresa di sekolah membuatnya susah move on untuk tidak menangis. Dia terlalu lemah hati, lemah jantung dan lemah fisik menghadapi kenyatan pahit ini. Hubungannya dengan Aldi kandas begitu saja. Dihantam badai fakta mengejutkan nyaris membuat kapalnya oleng lalu karam di lautan setiga bermuda.

"Kalau tahu bakal sesakit ini mana mau aku pacaran sama dia. Dasar Teresa bodoh! Sok kecakepan banget itu bocah. Dia pikir dengan nasehati aku kayak tadi, otak satu pentiumnya bakal ke upgrade?" Isakannya menyasar kemana-mana.

Teresa mungkin akan panas hati bila mendengarnya, tapi terserahlah siapa suruh mulut durjanahnya berkembang biak kayak cacing pita di perut babi. Badan Jingga yang tiduran terus bagai remaja jompo kaku bukan main. Dia berdiri lalu melakukan peregangan kecil kemudian teringat tenggorokannya haus.

Melipir sebentar ke kulkas sabilah ya? Tapi, entah kenapa kakinya ini mager sekali melangkah. Namun, kasak-kusuk di luar sana, mencuri atensi si gadis kepo. Dia tahu kawan-kawan abangnya sedang bertandang dan nama dua barisnya yang mereka sebutkan makin menambah rasa penasaran mereka. Jingga melangkah hati-hati, menyempil di dinding, menutupi tubuhnya menggunakan gorden. Telinganya dia buka lebar demi mengakses obrolan mereka.

"Macam gak tahu aja kalian sama si Jigot. Jangankan kutinggal, aku pergi sebentar keluar pasti ada aja ulah yang dia buat. Bikin pusing kepala pangeran," ucap Nando blak-blakkan.

"Kau pun kayak induk semang. Adek sendiri dua puluh empat jam diawasi. Over protective sekali Nando ini."

"Eh, eh, tunggu, berarti tipikal adekmu ini manja-manja manis terus suka bergantung ke orang lain gitu?"

"Yoi! Itu yang bikin aku kesel. Entah kapan si Jigot mandiri biar aku bisa bebas ikut touring sama kalian."

"Kau lepasin aja dia ke aku biar kunikahi Usianya udah 18 tahun kan?" tawar si gembrot itu seolah-olah dia barang. Hatinya panas. Rasanya terbakar oleh kata-kata mereka.

"Sembarangan! Gak rela aku lepasin adekku ke kau. Yang ada menderita dia ngelihat suaminya hobi touring gak kenal pulang."

Tanpa perlu mendengar lebih lanjut, Jingga memasuki kamarnya. Dia menumpahkan tangisnya di dalam kamar. Jadi, selama ini abangnya itu menganggap dia sangat manja dan ketergantungan oleh uluran tangan Nando. Ya, dia akui, selama ini terlalu manja, suka membantah dan membuat abangnya repot setengah mati tapi kenapa harus diungkit-ungkit sih ke orang banyak. Entah mengapa tiba-tiba dia merindukan sang Mama. Sedang apa mamanya di sana? Kalau wanita kesayangannya ini di sini pasti mulut Nando sudah dihantam pantat penggorengan.

Jingga meraih gulungan tisu. Air matanya berceceran keluar. Namun, kesedihan itu terinterupsi kala satu notifikasi hadir di ponselnya.

Valdo Dinata
Hay! Lagi apa?

Jingga membaca tiga kata yang sahabat online-nya ketik. Senyumnya terkembang manis. Perasaan si bungsu mendadak baik.

Jingga Laksania
Lagi gak baik Kak.

Valdo Dinata
Gak baik kenapa? Ceritalah. Siapa tahu kakak bisa bantu.

Jingga menghela napas mulai mengetikan pesan berikutnya.

Jingga Laksania
Cobalah kakak pikir, siapa yang gak sakit hati dianggap manja dan terlalu ketergantungan sama orang lain. Aku sakit hati. Selama ini aku gak pernah minta buat dimanja apalagi disayang-sayang sampai segitu kayak tuan putri.

Valdo Dinata
Ini tentang abang kamu lagi??

Jingga Laksania
Iya, Kak

Valdo Dinata
Oh, aku cuma bisa kasih saran, tetap semangat ya. Jalani aja apa yang kamu suka jangan peduliin orang lain. Tunjukkan ke mereka kalau kamu bukan cewek manja yang suka bergantung sama orang lain. Tetap bahagia.

Jingga Laksania
Makasih kak Valdo. Hatiku agak baikan chattingan sama kakak.

Hanya stiker tanda oke yang Valdo berikan.

****






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro