Bab 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derum kendaraan yang mengisi jalanan pangker malam ini satu demi satu menyesaki telinga sekumpulan cowok matang yang telah mandiri secara finansial. Canda tawa mereka menyelingi acara nongkrong rutin ini. Anggaplah healing sejenak dari penatnya pekerjaan yang memenuhi otak. Kafe ombak laut bertema industrial ini mereka jadikan opsi terbaik dalam menjalin silaturrahmi. Pemiliknya ya teman mereka sendiri. Tentu dari segi harga teman yang diberikan sang owner membuat mereka betah berlama-lama.

Arfan menyedot arabika hitamnya tenang. Si pencinta kopi satu ini anteng-anteng saja meski emaknya dirumah kelabakan menunggu martabak durian plus kacangnya. Cowok gembrot itu malah menaikan sebelah kakinya, menunjukkan sisi gentle man-nya yang kentara.

"Teringatku acara bakti sosial itu minggu depan ya, Len? Kau kok gak ngajak-ngajak? Kan aku pengen menambah relasi lagi siapa tahu hilal jodohku di sana," tukas Arfan menitikberatkan tatapannya ke pemuda yang tampak gagah menggunakan jaket bomber birunya.

Objek yang ditanya pun balas menatap Arfan. "Iya, Fan. Acaranya tanggal lima belas nanti. Kau mau ikut? Boleh, daftar aja ke Seina. Dia yang ngurus administrasi," jawab Galen lugas. Iya, Galen, cowok yang sempat mampir ke rumah Nando dan disinisi oleh adiknya yang mirip Kak Ros itu.

"Ah, mantap kali! Aku mau ikut. Mumpung ayang gebetanku yang ngurus pendaftaran." Arfan kelihatan bersemangat. Meja yang dia duduki nyaris terbalik karena gerakannya mirip cacing kesurupan.

Bicara tentang bakti sosial memang tidak ada habisnya. Jiwa-jiwa penolong mereka selalu tergerak kala menyaksikan orang yang kesusahan. Kadang sekumpulan cowok kece tersebut rela pulang-pergi ke luar kota bila ada musibah yang menimpa saudara sebangsa dan setanah air mereka. Solidaritas tanpa bataslah pokoknya.

"Girang banget, Fan. Paling Seina melengos waktu kau ngedaftar," celetuk Bima tak senang menyaksikan temannya bahagia. Kacang kulit yang masih utuh itu dia lemparkan ke muka songong Kuku Bima Energy Roso itu.

"Sotoy lu bambang!" Lemparan kulit kacang mereka lakukan dua menit. Galen yang menyaksikannya cuma tersenyum simpul. Gak gelut, gak senang rasanya. Motto hidup kedua cowok jomblo tersebut.

Bima yang kelelahan main lempar-lemparan kulit kacang, meneguk vanila lattenya sampai tandas. "Tunggu dulu, setelah kutelaah lebih dalam, banyak kali daftar gebetanmu itu. Kau ngoleksi calon gebetan? Sementara orang lain ngoleksi mantan. Huh, cupu!" Ejekan untuk si gembrot yang pedenya melebihi kapasitas.

Sahut-sahutan seolah bocil yang rebutan kelereng pun berlangsung. Mereka yang kalem cuma jadi tim hore dan ketawa aja. Momen gelut antara Bima dan Arfan memang yang paling bikin betah pertemanan mereka.

"Gebetanku cuma satu. Seina! Garis bawahi, Seina." Pelototan tajam Arfan membanjiri tawa di kafe ini. Bapak owner, Gilang Prokoso turut tergelak kencang.

"Terus si Jingga yang katanya mau kau nikahi kek gimana? Abangnya udah restuin tu kayaknya," ujar Bima membawa-bawa si Jigong. Malang nian nasib Jingga, tidak tahu apa-apa malah dibawa dalam percakapan sengklek mereka.

Arnando Setiadji yang telinganya sensitif kala nama si Jigot disebut sontak menoleh. Wajah kusutnya melirik ke lingkaran cowok yang duduk di meja ketiga. Tatapan serupa aligator membunuh nyali mereka yang tadi membawa-bawa nama adik manjanya.

"Heh, tenang, Ndo. Candanya aku," tutur Bima cengengesan. Kalau menyangkut Jingga, mereka tidak berani. "Santai, Bro. Kusut kali mukamu kek baju yang baru disetrika setengah." Makin ngelantur ucapan si Kuku Bima ini.

"Gak ada yang ngerestuin kalian buat nikahin si Jigot. Dia terlalu polos menghadapi buaya-buaya muara kayak kalian." Nando mulai berultimatum. Mau jadi adik iparnya? Langkahi dulu nominal warisannya. Sanggup, angkut, gak mampu harap mundur alon-alon.

Bima dan Arfan menggaruk tengkuknya agak aneh. Wah, masalah melangkahi nominal warisan mereka gak akan sanggup sih. Soalnya itulah yang Nando tekankan setiap kali nama si bungsu dibawa-bawa.

Si bapak owner malah tertawa kencang. Bahagia sekali nampaknya menyaksikan tampang-tampang mupeng mereka. Nando sekali skakmat langsung nembus ke ulu hati. Sembuhnya bisa sampai satu abad kemudian, tapi karena mereka anti baper-baper klub, omongan Nando selintas lalu seperti kentut.

"Kalau yang modelannya Galen gimana, Ndo? Ganteng iya, nominal warisannya pun melangkahi kau. Berarti bolehlah meminang seorang Jingga Laksania?" tanya Arfan cari mati. Sekarang mereka justru menarik Galen yang pekerja kerasnya masyallah nembus saturnus.

Nando mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan jari. "Bisalah dibicarakan. Uang Panai berapa?" Semua orang tergelak. Ada-ada aja sih cowok rada somplak ini.

"Woilah, kau bukan orang bugis, tapi gayaan pakai uang panai segala." Komentar Alfin, cowok melayu campuran jawa ini.

Semua orang tergelak. Guyonan Arfan dan Bima serta coletehan Alfin memeriahkan suasana malam sabtuan mereka.

"Oh, harus itu. Si Jigot kubesarkan seperti anak sendiri dengan kasih sayang yang berlimpah masa kalian yang tinggal enaknya doang datang terus assalamualaikum minta izin bawa anak gadis orang ke KUA. Oh, tidak bisa seperti itu. Uang panai, seserahan, biaya pesta mesti diperhitungkan," curhat Nando bagai emak-emak yang anak gadisnya dipinang orang kere.

"Makin meningkat aja skill melawakmu ya. Tadi mukamu suram banget kayak lupa ngangkat jemuran di rumah."

Nando menggusak rambutnya frustasi, pura-pura depresi menahan beban hidup yang semakin mengancam. "Gimana gak mumet kalau kalian belum ngerasain ada di posisiku." Cowok yang menurunkan banyak gen dari ayahnya memulai sesi curhat.

"Emang posisimu kek gimana? Posisi jadi cungpret yang selalu dibabuin bos? Alah, kita udah biasa. Bawa happy ajalah sebagai budak corporat."

"Bukan posisi itu geblek."

"Jadi, posisi apa?"

"Kau belum ngerasain kan jadi aku. Jadi tulang punggung si Jigot tapi tu bocah selalu aja buat kepalaku pusing tujuh keliling. Kalau bisa kalian sihir ajalah aku jadi batu," cecar Nando menyebarkan virus pusingnya.

"Buat ulah apalagi si Jigot? Bikin kau senam jantung karena dia main ke rumah temennya gak izin?" tanya Bima menimpali. Masalah Nando ya seputaran itu. Tidak masalah pekerjaan, ya masalah adiknya yang menyimpul benang kusut di kepala Nando.

"Dia seenak jidat ngebawa orang asing ke komplek perumahan kami. Kalau itu orang bikin ulah siapa juga yang repot kalau gak aku sama ayah. Katanya sih teman Uncle Pier tapi ya aku gak percayalah bisa aja cuma modus kan?"

"Udahlah, jangan terlalu dibawa pusing. Lagipula, niat si Jingga kan ngebantu doang. Nanti yang ada kau gak nikah-nikah karena ngurusin dia terus.

"Prioritas aku emang si Jingga. Kalau bisa gak nikah, gak bakal nikah aku."

"Terus ngebiarin adekmu jadi perawan tua." Anggukan Nando dihadiahi kulit kacang bekas gigitan Bima.

Galen yang sedari awal jadi tim nyimak pun angkat bicara. "Kau gak bisa terlalu keras sama Jingga. Dia masih remaja. Jiwa-jiwa memberontaknya tu masih membara. Jadi, posisikan dirimu sebagai sahabat dia, teman curhatnya dia dan orang yang dengerin keluh kesah dia setiap hari."

"Nah, itu. Jangan sedikit-sedikit marah, dia mau ke sana kau larang-larang wajarlah jiwa mendogilnya timbul ke permukaan. Kasih dia kebebasan sedikit biar dia ngerasa dihargai keputusannya sebagai anggota keluarga termuda," sambung Gilang menambahi.

"Noh, bener yang Galen bilang. Dia soalnya berpengalaman dalam mentatar adek sepupunya yang minta dijeburin ke penangkaran hiu."

Nando berpikir sejenak. Sepertinya saran mereka mesti dia tampung. Mumet menghadapi tingkah butuh kepala dingin menyelesaikannya, akan tetapi orang yang dia musuhi selama bertahun-tahun dan jadi penyebab Jingga berbohong membias di netranya. Nando menoleh ke cowok bajingan tersebut.

Ngapain dia di sini? Mau adu kekuatan kalau udah move on.

Ah, dia tahu sang adik memang belum move on dengan mantan bangsatnya. Oh, bukannya Nando tidak tahu kelakuan Jingga selama ini. Adiknya itu diam-diam berpacaran dan membohongi semua orang di rumah. Terang saja Nando mencari informasi tentang cinta monyet Jingga tersebut.

Dia terlalu kepo untuk tidak ikut campur dan saat tahu tujuan Aldi kampret tersebut menerima adiknya, dengan segala akal bulus dia mengancam akan membeberkan kalau Jingga hanya dijadikan pelampiasan, mantan tersayang sang adik mundur teratur.

Katanya sih dia udah sayang dengan Jingga dan takut dibenci karena alasan jahat tersebut, akan tetapi Nando tidak peduli. Mau sayang kek, mau enggak kek dia tidak peduli dan sekarang Nando senang Jingga telah move on sepenuhnya dari si Aldi Taher. Informannya Amer memang sangat mahir

Sementara Nando memandang Aldi sengit, di bumi belahan lain, Jingga nampak cekikikan geli di depan hapenya. Rencana brilian itu akan dia canangkan segera.

***






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro