Bab 32 | Celaka Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gelap. Suram sekali. Wajah-wajah tegas itu menyebabkan air liurnya tertelan kembali. Tubuh lelah gadis itu bergidik ngeri. Tangannya mendadak tremor. Keringat dingin mengucur di pelipis. Sumpah, baru kali ini dia dihadapkan oleh situasi terdesak yang begitu menyeramkan. Lebih menyeramkan dibanding terdampar ke pulau angker.

Leher serta kepalanya menunduk dalam. Tak sesenti pun dia berani bergerak. Badannya yang letih minta diistirahatkan terpaksa terpending kala menyadari situasi. Bahaya stadium lima. Alarm di kepalanya berdering nyaring pertanda seolah bencana alam bakal datang sebentar lagi. Mampuslah dia akan dikuliti hari ini. Arnando Setiadji dan Ahmad Salmanan tidak akan membiarkannya begitu saja. Tadi malaikat berbaik hati mengirim orang untuk mengantar pulang ternyata oh ternyata masih ada kejutan lainnya.

Di kursi ruang tamu, Nando duduk bagai Yang Mulia Raja. Badannya kaku dan wajahnya tak bersahabat sama sekali. "Masuk." Suaranya pun memberat tidak biasanya. Matilah dia bakal diadili hari ini. "Kamu gak dengar yang abang bilang?" tanya Nando memerangkap tatapan tajamnya. Jingga terpejam sebentar, rasanya tidak pernah Nando berlaku seperti ini. Pengecualian tatkala dia memasang wajah tak bersahabat di meja makan tempo hari.

Serupa anak itik, sedikit demi sedikit kakinya meniti langkah, mendatangi kedua tetua adat kampung durian runtuh. Tangannya menyilang ke depan persis seperti putri keraton yang tengah menghadap baginda raja.

"Main kemana sampai jam segini baru pulang?" tanya Nando menyidang adik bungsunya. Tatapannya masih mengarah ke depan. Sungguh, Nando benci dibohongi.

Jingga masih bergeming. Dia takut menghadapi Nando mode raja iblis. Bibirnya yang lancang suka adu bacot tiba-tiba membisu. Jingga tahu dia salah karena berbohong tapi apa perlu sampai segitunya? Lebay sekali.

"Kenapa diam?" Ulang laki-laki dua puluh tiga tahun ini mencecar Jingga. Sesekali si Jigong emang perlu diberi pelajaran. Terlalu dimanja membuat anak tengah ini seenak jidat melakukan apa pun yang dia mau. Dulu Jingga anak yang penurut. Nando bilang a, maka dia akan patuh. "Gak bisa jawab pertanyaan abang? Semakin lama abang biarin, semakin kamu ngelunjak ya. Berbuat sesuka hati."

Semakin dalamlah kepala si cantik menunduk. Bila anak manja akan menangis dicecar begitu maka Jingga tidak. Dia menahan rasa dongkol di dalam hati. Kenapa selalu dia sendiri di rumah ini yang tidak berhak mengambil keputusan. Apa karena terlalu muda pendapatnya tidak dianggap.

"Sekali lagi abang nanya, Jingga, kamu pergi kemana sampai baru pulang mau magrib begini?"

Aish, pertanyaan Nando semakin berat saja. Jingga menipiskan bibir. Ini dia harus jawab apa. Tidak mungkin kan dia jujur secepat itu. Melayanglah setengah kebebasannya selama ini. Nando bakal lebih over protective menjaga Jingga.

Kumandang azan di masjid tak menghentikan Nando. Dia gentar memaksa Jingga untuk jujur. Kepercayaannya sudah tergadai sebentar lagi dia takkan mudah memberikan si Jigot izin main keluar meski hanya seputaran komplek. Di saat-saat seperti ini Jingga berharap ibunya saja yang hidup sementara abangnya mati saja. Kena tabrak mobil kayak sinetron azab kek atau apalah biar abangnya musnah di penglihatan.

"Kamu mau lihat abang marah kayaknya!" Gelas kaca di atas meja Nando banting kuat. Pecahannya berserakan kemana-mana. Sikap kasar yang Nando tunjukkan pertama kali mengeluarkan linangan air mata sang adik.

"Jawab Jingga! Abang ngomong sama kamu bukan dinding."

"A-aku pergi ke SP 6," jawab cewek manis ini menangis tersedu-sedu. Nando mengepalkan tangan lanjut beranjak dari hadapan adiknya sebelum kalap.

****

Satu buah bidak catur dia arahkan ke pion kuda yang nampak anteng berdiri di tempatnya. Selangkah lagi pion kesayangannya ini bakal menyabet gelar juara catur sekomplek Asian Paper Holding. Senyum-senyum di bibirnya telah terbit sempurna. Ini mengagumkan. Kemampuannya semaki terasah seiring berjalannya waktu. Zulkarnain yang jadi teman main catur Nando kali ini terbengong-bengong menyaksikan kelihayan Nando.

Sudah lama bekerja di sini kenapa dia baru sadar salah satu penghuni di sini pintar memainkan trik catur ala-ala atlet dunia. Makin melambunglah kesombongan Arnando Setiadji. Cara duduknya yang sudah mirip bapak-bapak nongkron di kedai kopi membaur di lingkungan pos satu tempat Pak Zulkarnain berjaga. Sudah dua hari dia mendiamkan Jingga. Pemuda gesrek ini betulan memberikan pelajaran pada sang adik. Menurutnya kelakuan Jingga sudah keterlaluan waktu itu. Membohongi orang rumah dan mengancam keselamatan nyawanya.

"Bagus juga cara main, Mas Nando. Bapak pikir Mas Nando gak pernah main beginia," tutur Zulkarnain terkagum-kagum. Binar seterang bulannya tak berhenti mengedip.

Nando menepuk dada bangga. "Arnando Setiadji gitu lho. Atlet catur tingkat provinsi. Kalau bapak datang ke rumah saya, banyak berjejer piala dan piagam kejuaraan. Pokoknya waktu sekolah saya ini bintang di Smansa-lah, Pak. Makanya cewek pada ngerubungi kek semut," balas Nando punya kesempatan untuk membanggakan diri. Dasar cowok narsis. Mungkin Jingga akan bilang begitu tapi sayang mana berani dia macam-maca sekarang. Macan dalam diri Nando telah keluar dan membuat adiknya itu merinding disko.

"Beneran, Mas? Saya baru tahu lho!" Cengiran Nando makin terbit saja. "Selama ini kalau Mas Nando main ke pos pasti ngajaknya nonton boxing mulu," balas pria empat puluh tahun itu mengajak Nando mengobrol.

Anggukan Nando utarakan. "Benerlah, Pak. Kalau nonton boxing karena pas lagi ada tayangannya aja."

"Oh begitu, Mas."

"Saya juga lagi bosan di rumah, Pak." Nando tiba-tiba berkata demikian, mencetak tanda tanya di dahi si petugas keamanan ini.

"Jingga berulah lagi, Mas?" Wow, tebakan si bapak tepat sekali. Apakah bapak ini seorang cenayang.

Nando menghembuskan napas panjang. Diingatkan oleh ulah adiknya menimbulkan denyut di kepala makin terasa. Seumur-umur baru kali ini kelakuan Jingga melebihi batas normal remaja. Dia tahu sih adiknya itu akan beranjak dewasa tapi jangan sok dewasa sebelum waktunyalah.

"Ya, begitulah, Pak."

"Bentar, Mas. Kayaknya ada tamu." Belum selesai sesi curhat, bapak berseragam hitam tersebut melongok ke layar berjajar yang memenuhi bagian dalam pos satu ini.

Gerak-gerik Zulkarnain terpantau di penglihatan. Mesem-mesem Nando memandanginya. Astaga, bila melihat deretan layar yang sejajar menempel di dinding mengembalikan ingatan Nando ketika dia punya ide memasang satu cctv di titik buta yang dulu sering Jingga gunakan untuk kabur. Di rumahnya memang ada satu cctv untuk keamanan dan satu lagi baru Nando pasang setelah ulah Jingga yang kabina-bina.

Sepemergian mobil tamu barusan, Zulkarnain kembali duduk di depan Nando. Permainan pun berlanjut. Nando yang tampak fokus dengan bidak-bidaknya tiba-tiba teringat sesuatu.

"Oh ya, Pak saya bisa minta tolong?" Nando melemparkan permintaannya di saat yang tepat.

"Minta tolong apa ya, Mas. Asal jangan minta traktir aja, bapak belum gajian."

"Bukan, Pak."

"Jadi?"

"Saya minta tolong banget sama bapak supaya mengawasi Jingga kalau berada di radius seratus meter dari pos. Pokoknya, laporin aja setiap gerak-gerik dia. Dan saya minta tolong juga jangan izinin Jingga keluar dari sini tanpa ditemenin ayah atau saya. Nanti ada tip-lah buat bapak."

Si bapak nampak berpikir. "Boleh, Mas. Insyallah bakal saya awasi dan larang buat keluar soalnya kan musim penculikan juga." Nah, Nando setuju. Dia senang bukan kepalang.

"Gitu dong! Kalau kayak gini kan bapak sama aja dengan mengamankan kesejahteraan dunia."

****




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro