Bab 39 | Alarm Bahaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Irama wedges tiga sentinya beradu dengan aspal hitam. Menimbulkan suara 'tuk, tuk, tuk' yang kentara jelas. Kepalanya kian melongok ke belakang, memastikan tak satu pun manusia melihatnya kali ini. Waspada tingkat tinggi. Rencananya harus berhasil. Selain wedges, atasan bermotif bunga dan hoodie yang membalut tubuhnya, topi berbentuk khas membalut kepala sebesar bakso beranak itu. Penyamaran yang sama. Dengan tambahan masker agar tak ada yang melihat wajahnya.

Pagi-pagi sekali Nando dan Salman pamit untuk berangkat ke luar kota. Jingga yang sudah mengetahui hal tersebut menyusun setiap rencana menyingkirkan Aldi dari hidupnya. Sungguh dia muak diganggu terus. Dia butuh ketenangan. Dan Valdo memberi solusi tanpa masalah. Tentu Jingga harus mengikuti kan? Kalau bisa sejauh mungkin Aldi menyingkir dari hidupnya yang tentram.

"Aku harus gerak cepat. Kalau gak mau ketahuan sama Wak Marina. Lagipula, ngapain sih pakai jagain aku. Emang aku anak kecil yang butuh penjagaan dua puluh empat jam," oceh Jingga masih sempat-sempatnya mengomel di situasi begini.

Berjalan perlahan, gadis itu melewati setiap rumah tetangganya hati-hati. Sikap over protective telah Nando tulari ke semua orang. Dia mengultimatum agar warga komplek tidaj membiarkan anak mereka berkeliaran sesuka hati dan mereka terima-terima saja. Alasannya karena musim culik. Abangnya itu bilang kasus perdagangan manusia lagi marak menyerang Indonesia. Tak cuma kota besar, kota kecil terkena dampaknya.

"Amer sama si Atan sialan itu jangan sampau tahu juga. Bisa runyam dan berantakan rencanaku menghempaskan Aldi,  si babi aer."

Banyak dari kasus kepolisian yang sedang ditangani. Namun, Jingga si keras kepala mana mau percaya. Halah, paling cuma akal-akalan Nando doang agar mempermulus tugasnya menjaga Jingga. Cari muka sama ayahnya supaya dapat harta warisan lebih banyak. Padahal anak remaja itu sendiri tidak butuh warisan. Uang saku dari Nando dan sang ayah cukup menghidupi dirinya selama.

"Gak ada itu penculikan-penculikan. Yang ada itu penculik rugi bandar karena kuporoti." Jingga masih berlari kecil sambil mengoceh. Tas selempang berisi dompet, ponsel dan power bank dia bawa untuk pertemuan mendebarkan ini.

Entah kenapa hatinya jedag-jedug tidak keruan. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Aaaw, mendebarkan sekali. Senyam-senyum gak jelas terbit di sudut bibirnya. Bak orang kasmaran dadanya berbunga-bunga. Kupu-kupu terasa beterbangan dari perutnya.

Jalan alternatif dia pilih supaya pertemuannya dengan Valdo tidak terganggu. Terlalu kalut semalam mengakibatkan Valdo-lah yang memilih tempat pertemuan. Jingga terima beres tanpa banyak mengeluh. Rencananya dia akan berjalan-jalan sebentar dengan pemuda itu, makan di kafe dan berswa foto sebagai bukti kalau dia tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Maka dari itu terhempaslah Aldi dan segala kelakuan rese'nya.

Tak terasa lima kilometer dia tempuh dengan jalan kaki. Pencapaian yang luar biasa. Dunia pasti bertepuk tangan atas keberaniannya hari ini. Sekarang dia dengan mudah membungkam mulut jahanam Nando serta Teresa. Sakit hatinya perlahan memudar kala pembuktian sukses dia tunjukkan.

Ponsel mahal pemberian Nando tersebut dia keluarkan. Menegakkan benda pintar itu karena silaunya cahaya menggelapkan layarnya. Valdo bilang dia telah tiba di tempat tujuan, sementara Jingga langsung tancap gas tidak peduli debu serta teriknya matahari membakar setengah kulitnya.

Semangat, Jing! Dua meter lagi. Deruman kendaraan roda dua dan empat memasuki telinga putri kedua Salman ini. Penampilannya yang mirip orang jauh mencuri atensi orang sekitar. Namun, Jingga santai saja melenggang. Trotoar ini tempat pejalan kaki lalu kenapa mereka melihatnya begitu?

"Beginilah nasib burung yang terjebak di dalam sangkar emas Yang Mulia Trah-Nando. Baru keluar sebentar udah jadi pusat perhatian." Bahu kanan-kirinya dia tepuk perlahan seolah mengenyahkan debu. Lagak Jingga sombong seperti artis yang tertangkap kamera paparazi.

Dan Jingga tersenyum lebar kala menyaksikan punggung itu. Baru punggung saja hatinya sudah membuncah apalagi parasnya? Bisa terbang melayang sampai ke langit ketujuh dia. Tak mau gegabah, Jingga melirik ke gambar yang Valdo kirimkan dua menit lalu. Semakin cerahlah muka Jingga. Di lihat dari sudut fotonya, di sekitaran sinilah pemuda yang dia panggil Kakak itu.

Perlahan, kaki kecil itu menganyun langkah. Mendadak kebringasannya berubah jadi kekaleman yang hakiki. First impresion itu penting. Harga dirinya sebagai perempuan masih dijunjung tinggi. Jangan sampai norak dan terkesan berlebihan di depan Valdo.

Valdo menoleh kebelakang. Senyumnya terkembang kala melihat perempuan yang nampak menunduk berjalan sangat anggun di sana.

"Hai, cepat juga nyampainya. Revaldo Dinata. Ganteng sesuai namanya." Jabat tangan itu tersodor ke arah Jingga. Dadanya semakin bertalu-talu kencang.

"Hehe, iya Kak. Kenalin aku Jingga Laksania. Cantik sesuai fotonya," balas Jingga tak kalah narsis. Lenyap sudah niatnya menjadi perempuan kalem dalam satu hari.

"Lucu banget sih kamu, Jingga. Gak jauh beda sama yang di WA." Makin kembang-kempislah hidung Jingga karena dipuji.

"Aku kan memang lucu, Kak. Kayak Masha and The Bear."

Tertembak keluarlah tawa meriah Valdo. Berbicara dengan Jingga menambah mood baik dalam dirinya.

"Iya, lucu. Gemesin soalnya. Eh, kita duduk di sana aja biar enak ngobrolnya. Itu untuk umum kan?" tanya Valdo menunjuk ke arah area tempat duduk dari lapangan terkhusus bola kaki ini.

"Boleh dong, Kak. Capek juga berdiri." Mereka mengobrol sambil berjalan. Topik obrolan yang Valdo utarakan membuat Jingga tertawa lepas. Beda sekali dengan saat dia bersama Amer, Nando apalagi Atan titisan setan.

"Berarti hari ini kamu libur sekolah?" Pertanyaan pertama yang Valdo lontarkan setelah mereka menyamankan diri duduk di area bangku lapangan bola ini. Tempat ini sepi seperti biasanya. Jam kerja serta waktu sekolah tak membuat anak-anak sekitar bisa bermain di area luas ini. Event apa pun dalam waktu dekat sepertinya tidak akan berlangsung.

Lapangan bola kaki umum ini rupanya Valdo pilih karena akses mudahnya. Mendatangi Jingga ke komplek perumahan sama saja menimbulkan gosip-gosip tak layak didengar.

"Iya, Kak kebetulan lagi izin. Ayah sama Abang lagi keluar kota. Mereka takut aku ngelayap entah kemana." Jawaban polos Jingga membentuk lengkung bibir cowok berparas rupawan ini. Lebih tepatnya seringai sih kalau Jingga lihat lebih seksama. Tapi, bodoamat sajalah mungkin itu reaksi alami teman online-nya itu.

"Gimana sama mantan kamu? Masih suka gila?"

Tawa Jingga keluar. "Bukan gila lagi, Kak tapi udah syaraf. Pengen banget diseret ke RSJ. Menganggu kayak ODGJ."

"Gak boleh gitu lho. Mantan adalah orang yang pernah kamu sayang-sayang." Sambil bicara Valdo mengeluarkan kunci mobilnya. Tampak tangannya tak bisa diam karena tak lelah memutar-mutari mainan kuncinya.

"Biarin ajalah kak. Aku udah muak soalnya."

"Hahaha."

"Kak foto yuk. Buat kenang-kenangan sama ngusir hama bernama Aldi bangsat itu," ajak Jingga merogoh-rogoh ponselnya di dalam tas.

"Ayok. Kamu yang pegang ponselnya ya! Kakak gak pandai selfi cuma pandai senyum doang."

"Aman! Fotografer Jingga Laksania bakal mengabadikan momen ini."

Cekrak-cekrek, dua tiga foto mereka dapatkan. Mulai dari pose normal sampai absurd sekalian mereka lakukan.

"Jing, kayanya fotonya kurang deh. Foto yang lebih mesra lagi yok biar mantan kamu percaya kalau hubungan kita memang ada."

Jingga langsung mengarahkan kamera ponselnya. Valdo yang berada di sampingnya merapatkan duduk. Tangannya menjulur ke bahu Jingga dan bertumpu di sana. Namun, belum sampai memencet tombol tersebut sebuah bekapan di mulut dia dapatkan. Hendak memberontak suaranya tercekat. Kaki dan tangannya pun ikut bergerak seperti ikan yang hidup di darat. Dan semua mengabur kala klorofin di sapu tangan Valdo membius dirinya.

****








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro