Bab 44 | Puncak Ketakutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alunan saxofon yang berdengung merdu menambah syahdu malam dansa pesta pernikahan ini. Balroom hotel yang dapat menampung lima ratus tamu disulap seperti pesta pernikahan ala negeri dongeng. Semua orang nampak gembira. Tak terkecuali si pengantin yang saling melempar tatapan mesra satu sama lain. Jingga yang baru pertama diajak kondangan ke tempat semewah ini tentu terkagum-kagum. Dia tidak menyangka bakal diajak Salman menghadiri undangan pernikahan salah seorang anak dari rekan kerjanya.

Nando tidak ikut. Dia sibuk tidur di rumah. Hitung-hitung mengurangi kerja CCTV menjaga keamanan. Setelah sekian lama akhirnya dia bisa merasakan atmosfer berbeda. Ayahnya ini mendadak jadi mimi peri dalam semalam. Tak ada angin, tak ada hujan, dia bertanya ke sang putri mau ikut atau tidak ke acara pernikahan bertemakan biru muda ini.

Di kamar dia tersenyum hangat kala Salman menawari. Kenapa baru sekarang? Di saat keinginannya bertemu orang banyak hilang. Dia enggan reaksi aneh itu muncul. Cewek berkalung berlian biru itu tak mau membuat orang sekelilingnya khawatir. Biarlah dia yang menyimpan perasaan menyiksa ini.

"Kita ngobrol sebentar ya," ajak Salman agak heran mengapa putrinya ini sejak tadi menempel tak mau ditinggal. Namun, pria berbaju batik hijau itu abai saja. Paling anak bungsunya ini sedang ada maunya makanya manjanya kumat.

Kaitan tangan itu tak mau lepas. Dia enggan berada di tengah kerumunan orang asing ini. Baru begini saja dadanya bertalu tak keruan. Kepala gadis cantik yang malam ini memakai gaun model sabrina biru laut serta rambut yang diikat agak tinggi tersebut terus melirik ke belakang. Dia tidak mau ada orang yang mendekati ayahnya. Sebenarnya Jingga sudah menolak lewat gelengan tapi ayahnya tersenyum menyakinkan.

Di saat alunan musik klasik itu berhenti, obrolan ayahnya semakin seru saja. Delapan puluh persen perhatian Salman tak tertuju ke sang gadis. Jingga benci dicueki. Bola matanya melarikan pandangan kemana. Tak jauh dari tempatnya berdiri meja prasmanan berisi puluhan cake manis menjatuhkan liurnya. Apa dia makan saja? Kebetulan spot sana tidak terlalu ramai. Pelan-pelan dia berjalan ke belakang demi mencapai panganan manis tersebut.

Matanya men-scanning cup cake yang bertumpuk rapi. Di sebelah cup cake, brownis bertabur kacang mete nampak anggun berdiri di tatakan. Donat yang memenuhi piring porselen itu membuat Jingga menegukkan ludahnya. Baru kali ini dia merasa ngiler melihat jajaran desert manis itu. Padahal dulu bakpao sudah cukup baginya.

Piring kaca bening itu Jingga raih lalu satu per satu makanan ini menumpuk di piringnya. Mendengar musik pop yang tengah terputar semakin menambah nikmat makan Jingga. Sesaat dia melupakan ketakutan tersebut. Terlalu fokus menyantap sajian yang si pengantin hidangkan.

Sedang larut mengigiti cup cake berhias sprinkle ungu siluet tubuh seseorang membayang di sisi kanannya. Terusik, Jingga menoleh ke samping. Mulut yang penuh whiped cream tersebut nampak lucu. Kelopak besar itu mengerjap lucu.

Pemuda yang kelihatan gagah menggunakan batik biru laut bercorak sulur-sulur putih nampak mematung memperhatikan Jingga.
Mulut Jingga masih ternganga lebar. Si pemuda tertawa renyah menyaksikan tingkah Jingga. Ketika sadar pemuda itu menatapnya lekat, gemetar di kedua telapak tangan mulai terasa. Jantungnya berdebar kencang.

Terlebih saat tangan itu terulur hendak menyodorkan sebuah sapu tangan putih. Bayangan tersebut kontan berkelebatan di kepala. Kepala Jingga terasa pening. Napasnya perlahan menipis, ketakutan tersebut menyeruak kembali. Tak tahan dengan ketakutan berlebihan itu Jingga kontan meletakkan piringya lekas beranjak pergi meninggalkan pemuda asing yang memiliki paras rupawan bak dewa Yunani.

Tergesa-gesa Jingga berlari. Entah kemana lagi kakinya melangkah yang pasti toilet jadi navigasi langkah perempuan cantik ini. Pintu toilet berlambang wanita dia buka keras. Tangisnya pecah kala terduduk di WC duduk tersebut. Kedua tangannya tak lelah memegangi dada. Jingga betul-betul ketakutan dan di detik ke enam belas kesadarannya menghilang bersama ketakutan itu.

****

Dua jam berlalu, Salman masih sibuk mengobrol dengan kenalannya. Pria yang sudah memasuki kepala lima tersebut berwawasan luas hingga obrolan mereka makin melebar kemana-mana. Fokus ayah beranak dua tersebut meleset dari sang putri. Terkadang Nando berperan seperti Ayah Jingga dan Salman serupa Abang terkalem seindonesia. Fix, ini sekuel dari dunia terbalik yang bakal tayang sebentar lagi di RCTI OKE ....

Rolex di tangan terus Salman pandangi. Jam setengah delapan. Sepertinya dia harus mengakhiri obrolan seru ini.

"Yaudah kalau gitu berkabar ya, Pak Gatot. Saya tertarik dengan tempat yang bapak tunjukkan. Kebetulan saya harus balik ke hotel lagi, besok pagi harus berangkat ke Kerinci," pamit Salman setelah bahasan tentang investasi berbentuk tanah serta ruko atau istilah kerennya properti usai. Warisan inilah yang seringkali Nando bahas ketika ada yang mau melamar adiknya.

"Tenang, Pak. Saya pun lagi ngincar wilayah sekitaran sana. Bakal saya kabarin kalau yang punya jadi ngejualnya."

Gatot melipir duluan dari sana, sementara Salman menyingkir sedikit ke pojok ruangan setelah tidak berhasil menemukan putri nakalnya. Ponsel yang biasa dia gunakan untuk keperluan pribadi sertamerta keluar. Nomor Jingga dia hubungi. Kemana anak gadisnya itu pergi. Baru sebentar ditinggal mengobrol batang hidungnya tidak terlihat lagi.

"Jingga ini kemana. Baru ditinggal sebentar udah pergi," ujar Salman masih tetap tenang.

Lima kali menghubungi ke ponsel Jingga dan bertanya ke Nando apa anak keduanya bercerita sesuatu barulah area ballroom dia tinggalkan. Salman terus berjalan setelah tak menemukan Jingga di dalam sana. Dia bertanya-tanya ke orang sekitar dengan menunjukkan potret Jingga. Hasilnya tetap nihil. Tak ada yang mengetahui gadis itu kemana.

Namun, ikhtiar Salman tetap berlanjut. Resepsionis hotel bahkan sampai dia tanyai. Membawa segenap kecemasan, ayah dari seorang putri itu melangkah ke sana-kemari. Terakhir pria paruh baya yang mengenakan jas lengkap ternyata seorang manajer hotel jadi tempat pelarian cinta sehidup sematinya Ladinda tersebut.

"Pak, saya mau nanya bapak ada lihat putri saya. Kami baru menghadiri pesta pernikahan di ballroom lima." Potret Jingga yang terpampang dilayar ponsel dia tunjukkan. Belum sempat manajer hotel angkat suara, seorang cleaning service menghampiri mereka.

"Maaf, menyela sedikit Pak, boleh saya lihat foto anaknya. Kebetulan tadi ada perempuan yang pingsan di toilet."

Tanpa tendeng aling, Salman segera menyodorkan ponselnya. Pria selaku manajer hotel itu garuk-garuk kepala bingung dengan keadaan ini pasalnya belum ada satu pun staf yang menginfokan perihal perempuan pingsan di toilet itu.

Cleaning service tersebut mengangguk kala melihat foto Jingga. Belum sempat mendengar penjelasan pekerja hotel ini, kakinya langsung berlari menuju toilet. Betapa kagetnya ketiga orang itu kala seorang gadis terlentang di lantai toilet hotel ini.

***







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro