Chapter 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aldo berhasil menemukan petunjuk lainnya. Sebuah gambar di selembar kertas yang sudah diremas. Terdapat simbol pentagram berwarna hitam.

"Tujuh pilar?" Aldo bertanya-tanya.

Ada tujuh gambar pilar yang bertandakan hewan-hewan. Aldo semakin di buat penasaran. Ia segera menyimpan di saku blazer hitam miliknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yuma bersandar di rak buku.

"Mencari petunjuk," jawab Aldo santai.

Yuma menaikan sebelah alis. Ia merasa ada yang disembunyikan oleh ketua kelas 2-E ini. Ia akan mencari tahu dengan IQ miliknya.

"Hmm ... kita laporkan kejadian ini ke wali kelas," ucap Yuma.

"Oke!" balas Aldo.

Sosok Yuma mulai menghilang. Aldo masih tak bergerak dari tempat. Ia menyeringai lebar menatap kepergian pemuda pintar namun sombong.

🌺🌺🌺🌺🌺

Hicchan dan Alfa membantu Ave yang tengah terluka. Mereka membawa gadis itu ke ruang UKS. Tidak ada penjaga maupun petugas piket di dalam.

Alfa meletakan Ave di salah satu brankar. Ave tersenyum kecil. "Terima kasih," ucapnya.

Hicchan datang membawa kotak P3K dan segelas air hangat. Ia langsung memberikan kepada Ave. Ave menerimanya, lalu meminum perlahan hingga tersisa setengah. Terasa sejuk setelah air mengalir membasahi Kerongkongan.

Hicchan membuka kotak P3K. Ia mengambil alcohol 70%, betadine, kassa steril dan plester putih. Ia melakukan perawatan luka di bibir, pipi serta sikut Ave dengan telaten. Dulu, waktu SMP ia pernah menjadi seorang petugas UKS.

"Awh!" ringis Ave kesakitan bagian luka tersentuh oleh alkohol.

"Selesai," ucap Hicchan tersenyum lebar. Ia segera merapihkan kotak P3K dan menaruh di atas meja nakas di sebelah kiri.

"Terima kasih, Hicchan ... Alfa," ujar Ave tulus.

Ave memutuskan untuk tidur sebentar. Walau lukanya masih terasa sakit, ia menjadi lebih baik setelah diobati. Ia bersyukur masih melihat orang baik di sekitarnya.

"Aku akan membawa beberapa roti dan makan ringan. Kau tunggu saja di sini."

Alfa pergi meninggalkan kedua gadis di UKS. Ia menutup pintu pelan. Hicchan tersenyum tipis melihat kepergian sahabatnya itu.

"Aku harus menghafalkan teks drama ini."

Hicchan memilih duduk tak jauh dari Ave terbaring. Ia begitu fokus membaca beberapa lembar kertas di tangannya. Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari ponsel warna orange miliknya.

From : Alfa

'Aku tunggu di ruang klub drama. 😊'

Hicchan mengerutkan kening. Ia bingung. Sebelum Alfa pergi, pemuda itu memberikan pesan untuk tetap di UKS. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran untuk bertemu di klub drama? Lalu emoticon itu begitu aneh.

"Hmm ... bagaimana ini?" gumam Hicchan gelisah.

Perasaannya bimbang. Di satu sisi, ia tidak mau pergi ke sana dan tetap di UKS. Namun, jika ia tidak pergi membuat Alfa menunggu dirinya lama dan kecewa. Hicchan berjalan mondar-mandir bagaikan setrikaan panas.

Hicchan melirik ke arah Ave. "Sepertinya ia sangat kelelahan," gumamnya.

Dan akhirnya Hicchan memutuskan untuk tidak pergi ke klub drama. Ia akan tetap berada di UKS sampai Alfa benar-benar kembali, walau pasti ia akan kesal pada dirinya. Ia akan menanggung konsenkuesi.

🌺🌺🌺🌺🌺

Ren terbangun. Ia mengucek kedua mata. Ia menghela napas pelan. Tidak ada orang. Hanya ada tas-tas sekolah di bangku serta peralatan tulis di atas meja.

"Sepertinya aku tertidur," ucap Ren menguap kecil.

Cahaya lampu kelas cukup membuat ia silau. Ia meregangkan otot-otot punggung dan tangan. Hampir empat jam lamanya Ren tertidur di kelas.

Ren berdiri. Ia melangkahkan kaki kecil menuju pintu. Ia merasa bahwa dirinya ketinggalan banyak informasi penting.

"Mungkin mereka sudah mulai bergerak dalam bayang," gumam Ren santai.

Ponsel warna biru doker berdering. Sebuah panggilan masuk dengan nama tertera 'Tiga' di layar ponsel. Foto profil dari sang penelepon yaitu gambar seekor runah merah.

Ren tersenyum miring, lalu mengangkat telepon. Ekspresi santai berubah menjadi serius. Wajahnya berubah menjadi merah padam.

"Kau jangan berbuat macam-macam padanya!" seru Ren marah.

Ren mematikan panggilan sepihak. Ponsel ia simpan di saku celana. Kedua tangan mengepal erat. Ia pun bergegas pergi menuju ke suatu tempat.

"Tunggu aku...."

🌺🌺🌺🌺🌺

Chita, Zahra dan Andrew berjalan menuju ke gedung aula. Andrew membawa tubuh Yemi tak bernyawa dalam gendongan. Ia menatap senyum wajah Yemi. Hatinya seakan teriris menjadi kecil, lalu dihanyutkan kelautan api.

Amarah, sedih, kesal, serta kecewa bercampur bagaikan bahan-bahan yang dijadikan satu lalu dituang ke dalam wadah. Butir-butir air mata terus berjatuhan, tetapi itu tak membuat ia berhenti menangis. Air mata kesedihan ini Andrew sematkan terakhir kalinya untuk sang kasih.

~Gedung Aula Sekolah~

Ketiga murid itu sudah tiba di dalam gedung aula sekolah. Di sana sudah terdapat mayat-mayat murid kelas 2-E yang sudah tewas.

Tubuh Yemi diletakkan di sebelah mayat yang berfotokan Rara. Bau anyir langsung menusuk indra penciuman mereka.

"Ini kain putihnya," ucap Zahra memberikan selembar lain putih ke Andrew. Jejak-jejak air mata masih membekas di sekitar area mata Zahra.

"Terima kasih," balas Andrew lirih.

Andrew menutupi tubuh Yemi. Sebuah foto diletakkan di depan mayatnya. Chita mendapatkan dari atas punggung aula.

"Ini sebagai penghormatan terakhir," ucap Chita memberikan sebuah bingkai foto bergambar Yemi sedang menikmati lolipop.

Seluruh mayat tersusun rapi, hanya ditutupi oleh selembar kain putih dan foto yang menandakan sebagai identitas. Suasana berkabung cukup terasa di dalam gedung aula sekolah.

"Selamat jalan, Yemi ...."

Andrew mulai meninggalkan gedung aula sekolah disusul oleh Chita. Zahra masih tertinggal setelah berdoa untuk teman-temannya.

Degh!

Sesosok bayangan hitam besar baru melewati atas gedung aula. Zahra segera berlari kencang keluar gedung. Ia tidak mau terjadi apa-apa dengan dirinya. Rasa penasaran ia tepis jauh-jauh. Nyawa sendiri lebih penting saat ini.

Degh!

Zahra terdiam. Bibirnya terasa pilu. Sosok bayangan yang tadi ia lihat kini sudah ada di depan mata. Ia ingin kabur, tetapi pandangan mata menjadi mengelap dan ... Zahra tak sadarkan diri.

"To-tolon---"

🌺🌺🌺🌺🌺

Andrew dan Chita sudah berada di pinggir lapangan. Andrew menghentikan langkah kaki mendadak membuat Chita menabrak punggung lebarnya.

"Aww,"

Hidung Chita terasa sakit. Ia ingin memarahi pemuda itu, tetapi Andrew bergerak menuju ke tengah lapangan.

"Itu ...,"

"Yoga-nii!"

Andrew berlari cepat disusul oleh Chita. Di depan mereka kini nampak tubuh Yoga dalam keadaan mengenaskan. Otak kepala sebagian hancur, tulang tangan dan kaki patah serta organ dalam seperti usus besar berceceran keluar.

Bau amis darah dan aroma bunga Amarillys membuat Chita serasa ingin muntah. Andrew menundukan kepala sebagai tanda hormat atas kepergian temannya.

"Semoga dosa-dosamu diampuni," ucap Andrew.

Chita terdiam. Beberapa kenangan mengerikan setahun lalu muncul. Ia menjerit keras memegangi kepalanya.

"Sakit! Kepalaku sakit sekali!"

Andrew hanya diam menonton. Saat ini ia tidak berbuat apa-apa. Keadaan mungkin akan membaik??

🌺🌺🌺27🌺🌺🌺

{25/02/2021}

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro