16. Maafin Ratu, Ma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana di dalam mobil masih hening. Aku dan Papa masih sama-sama saling diam. Entah kenapa aku merasa canggung pada Papa, padahal biasanya aku mendahului sebelum beliau bicara. Kali ini seperti ada yang beda.

Aku memberanikan diri menatap ke arah Papa. Terlihat Papa sedang memijit keningnya. Apa Papa sedang mengalami masalah dengan perusahaan? Biasanya, jika Papa sedang ada masalah, pasti akan terlihat seperti itu. Apa aku harus lebih dulu memulai bicara?

"Bagaimana perasaanmu setelah tinggal di sana?" tanya Papa membuka obrolan.

"Senang, Pa. Ratu dapat banyak pelajaran, terutama agama," balasku dengan senyum tipis.

Papa menatapku, lalu tersenyum. Senyum yang sangat sulit kuartikan.

"Ratu minta maaf jika selama ini sudah sering bikin Papa dan Mama kecewa. Ratu juga berterima kasih karena sudah dikenalkan dengan Ponpes. Ratu menyadari jika selama ini sudah salah menilai perlakuan Papa. Sekarang Ratu sadar, bahwa hidup ini bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi untuk berjuang dalam ketakwaan," ungkapku.

Tangan Papa bergerak, lalu mengusap kepalaku. "Kamu anak semata wayang Papa, jadi Papa nggak mau lihat masa depan kamu nggak jelas. Papa ingin kamu menjadi anak yang berbakti dan patuh."

Aku memeluk Papa. Perasaanku campur aduk antara bahagia, sedih, dan haru. Tak hentinya aku bersyukur karena sudah diberi kesempatan untuk bisa berubah menjadi lebih baik, dan bisa belajar di pondok pesantren pilihan Papa. Beliau tak salah memasukan aku ke dalam sana walaupun awalnya aku kesal dan terpaksa.

"Mama kok nggak ikut jemput?" tanyaku pada Papa sambil melepas pelukan.

"Alasan Papa jemput kamu sebelum waktunya karena mamamu," balas Papa.

"Karena Mama? Memang Mama kenapa?" Aku memastikan.

"Mama kamu dirawat di rumah sakit," ungkap Papa.

"Mama kenapa? Kok bisa sampai dirawat?"

"Mamamu mengalami Aritmia."

"Aritmia." Aku coba mengingat. Pernah mendengar penyakit itu, tapi lupa.

"Untuk sementara mamamu harus dalam pengawasan dokter sampai kondisi jantungnya membaik."

"Jantung?" Aku menatap Papa tak percaya.

Papa hanya mengangguk. Kepala kugelengkan. Masih tak percaya jika Mama memiliki penyakit jantung. Di saat menjelang lebaran, Mama harus dirawat. Pikiranku tak tenang. Ingin sekali segera sampai rumah sakit untuk memastikan kondisi Mama.

***

Langkah cepat kuayun untuk segera tiba di ruang ICU. Alasan aku pulang lebih cepat karena Mama ingin melihatku. Beliau masuk rumah sakit sejak tiga hari yang lalu. Napas kuhela ketika tiba di depan ruangan yang kutuju. Tak mau berlama-lama, aku segera masuk ke dalam sana untuk memastikan kondisi Mama. Pandanganku langsung tertuju pada sosok yang kurindukan. Mataku berlinang ketika melihat kondisi Mama dengan alat-alat yang menempel di tubuhnya.

"Mama." Aku bergegas menghampiri Mama.

Air mata tumpah ketika tiba di hadapannya. Wajah Mama terlihat pucat. Matanya pun sayup. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Aku tak kuasa menahan tangis. Kuraih tangan Mama dan mencium punggung tangannya.

"Maafin Ratu, Ma," kataku dalam isakan.

Perasaanku campur aduk saat ini. Berjuta rasa bersalah menghantuiku. Aku terlalu banyak salah pada orang tua. Apalagi Mama. Aku sering marah-marah dengannya hanya karena masalah sepele. Belum lagi saat di pondok. Aku tak ingin mendengar suara Mama saat beliau merindukan aku. Ucapan maaf tentu tak akan bisa mengganti kesalahanku pada Mama.

"Maafin Mama, Nak." Mama meminta maaf padaku.

Tangisku pun pecah. Aku memeluk tubuh Mama dan kembali meminta maaf. Kesalahan bukan ada pada kedua orang tuaku, tapi semua berasal dariku. Selama ini mereka sudah sabar menghadapiku. Aku yang banyak salah.

"Mama senang lihat kamu sekarang. Kamu sudah berubah," kata Mama sambil mengusap kepalaku.

Kelu. Entah kenapa lidahku terasa kelu untuk membalas ucapan Mama. Ada yang ingin kuceritakan pada beliau tentang apa yang kudapat di sana, tapi tak di sini. Beliau pasti akan senang mendengar ceritaku, terlebih saat memberikan hadiah untuk Ustazah Fatimah.

"Sof, lebih baik kamu pulang. Kamu pasti cape. Biar Papa yang tungguin Mama di sini. Apalagi kamu lagi puasa."

Perhatianku teralih ketika mendengar suara Papa. Aku melepas pelukan bersama Mama. Ingin sekali memeluk Mama erat, tapi kondisi beliau tak memungkinkan.

"Ratu nggak cape, Pa. Ratu juga nggak puasa," balasku pada Papa sambil mengusap air mata.

"Kamu nggak puasa?" Papa memastikan.

"Tamu, Pa."

Papa hanya tersenyum, lalu mengusap lenganku. Biarkan aku di sini untuk menjaga Mama sebagai rasa abdiku pada beliau. Jika kemarin aku sudah membuat mereka kesal, maka saat ini aku ingin membalas apa yang sudah mereka lakukan untukku. Membalas budi mereka walaupun sampai mati aku tak akan bisa sepenuhnya membalas budi mereka, tapi aku akan melakukan sebisaku.

***

Kumandang takbir menggema. Di luar sana, orang-orang terlihat bahagia menyambut hari raya. Berbeda dengan keadaan keluargaku saat ini. Kami harus merayakan hari raya di rumah sakit ini karena kondisi Mama belum membaik. Syukurnya aku sedang haid, jadi tak begitu memikirkan salat Idul Fitri. Bagiku yang terpenting adalah kesehatan Mama.

Alhamdulillah, fasilitas dari Papa sudah kembali. Tapi aku justru merasa tak begitu peduli pada benda-benda ini. Di saat seperti ini, aku tak ingin memikirkan apa pun kecuali kesehatan Mama. Ada banyak pesan masuk dari sahabat, tapi aku sengaja mengabaikan. Mereka mengajak aku untuk party. Bagiku semua itu sudah tak penting. Saat ini yang ada dalam pikiranku adalah keluarga. Menunaikan tugasku sebagai anak.

Langkahku terhenti ketika melihat suster berlarian ke dalam ruang ICU. Mama. Aku melanjutkan langkah dengan cepat untuk segera memastikan kondisi Mama. Beberapa suster mengerumuni tubuh Mama.

"Ada apa, Pa? Mama kenapa?" tanyaku pada Papa ketika melihat dokter menempelkan defibrilator pada dada Mama.

Tak ada jawaban. Papa memeluk tubuhku. Air mata pun tak sanggup kutahan. Pandangan kualihkan pada alat monitor yang mengeluarkan suara panjang. Garis lurus pun membersamai suara itu.

"Mama!" seruku dalan tangis.

Papa semakin erat memelukku. Aku menangis sejadi-jadinya ketika melihat dokter menundukkan kepala.

"Dokter! Selamatkan mamaku!" seruku meminta.

Aku melepas pelukan Papa dan segera menghampiri Mama. "Sus, jangan lepas alat-alat itu. Mamaku masih hidup. Mama pasti masih hidup. Tolong jangan dilepas. Tolong," pintaku pada mereka.

"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi Yang Mahakuasa lebih menyanyangi istri Anda." Dokter berkata.

Tubuh Mama segera kupeluk. "Ma, jangan tinggalin Ratu. Mama ingin lihat Ratu berubah, 'kan? Sekarang Ratu sudah berubah. Jangan tinggalin Ratu, Ma. Ratu sayang sama Mama. Ratu akan menuruti apa pun keinginan Mama asal jangan tinggalin Ratu. Bangun, Ma" aku tak kuasa menahan tangis.


Tak ada jawaban. Tubuh Mama masih tak bergerak. Aku menatap ke arah lain. Suster mulai melepas alat-alat di tubuh Mama. Aku memarahi mereka karena sudah melepas alat itu. Papa menenangkan aku agar menerima kenyataan, tapi aku masih tak percaya jika Mama akan meninggalkan aku secepat ini. Aku percaya jika Mama masih hidup.

Kenapa Mama tinggalin Ratu, Ma? Bukankah Mama ingin lihat Ratu berubah? Sekarang Ratu sudah berubah, tapi kenapa Mama malah tinggalin Ratu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro