Modus Saldo Gopay

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

5 Seconds Of Summer

(When Broken Home Broke My Heart)
By
RHS
dan
Pariskha Aradi

Caution: karakter yang ada dalam cerita ini adalah murni olahan penulis, tidak menyamakan dengan karakter visualisasinya di dunia nyata.

.

KRING!!

Bel yang memekakkan telinga itu disusul teriakan bahagia para siswa. Zara menyusuri koridor sambil memandangi selembar kertas di tangan. Mood-nya mendadak sejelek lutung kasarung.

"Belok kiri, Ra. Kalau kanan adanya toilet cowok."

Langkah Zara terhenti. Ia mendongak dan menjumpai sosok laki-laki yang memiliki mata setajam elang, alis tebal rapi, dan hidung bangir. Seperti biasa, laki-laki itu selalu mengenakan hoodie hitam, masker hitam, sepatu hitam. Semua serba hitam. Untung saja wajahnya tidak sehitam pantat panci, bisa-bisa Zara pingsan di tempat.

"Saldo Gopay gue kapan lo ganti?"

"Lo tiap ketemu gue nanyain Gopay mulu," kata Angga yang memperlambat langkah, supaya seirama dengan gadis mungil itu.

"Ya gimana dong? Muka lo mirip layar HP sih."

"Rata maksud lo?"

Zara mengangkat kedua bahu tanpa peduli.

"Baca buku mulu sih, mata lo jadi sakit tuh." Angga menjepit dagu Zara, lalu memaksa kelopak mata gadis itu terbuka lebar tanpa merasa berdosa. "Gue kalau mau ikut casting aja nih Angga Yunanda pasti lewat!"

Mereka berdua saling melotot di tengah koridor dengan posisi Angga menunduk dan Zara mendongak. Maklum, perbedaan tinggi mereka memakan separuh panjang penggaris di ransel Zara.

"Ih, lo ngapain sih pegang-pegang muka gue?!" Zara menepis tangan Angga yang justru tertawa lepas. "Bukan muhrim tahu!"

Tawa Angga terhenti ketika melihat Zara meremas kertas ulangan layaknya sampah. Hampir saja mendarat di tong sampah kalau Angga tak menahan tangan gadis itu.

"Kenapa dibuang?" tanya Angga yang kini merampas kertas tersebut.

"Cuma tujuh puluh lima," jawab Zara sambil berlalu.

Angga menghela napas panjang. "Terus kenapa sama tujuh puluh lima? Ini ulangan fisika 'kan?" Ia mengacungkan kertas tersebut di depan wajah Zara. "Harusnya lo bersyukur bisa lolos KKM."

"Seratus itu sempurna. Gue nggak bakal sukses di masa depan kalau cuma punya tujuh puluh."

"Omongan itu doa. Kalau ngomong ya yang baik-baik aja." Angga menggeleng pelan, sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana. "Zara, Zara ... nilai di bawah seratus bikin masa depan jadi suram? Teori dari mana tuh?"

Gadis yang sekarang manyun itu hendak merebut paksa kertas tadi, tetapi Angga sudah lebih dulu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Teori ayah gue!" Zara harus rela lompat-lompat kecil di depan Angga demi merampas si kertas laknat. "Balikin, Ga! Balikin!"

"Tadi dibuang 'kan? Ya udah biar gue yang simpen."

Angga tetap mengangkat tangannya sambil menahan kepala gadis itu. Supaya tidak loncat-loncat dan berakhir menubruknya, lantas mereka jatuh bersamaan di koridor. Berguling-guling ria sekaligus jatuh hati barulah jatuh .... Ah, kenapa jadi sinetron sekali ya pikiran Angga?

"Terserah deh."

Zara memilih mempercepat langkah, meninggalkan laki-laki itu di belakang. Ia tak ingin disebut sebagai orang yang temperamental karena tiba-tiba kesal karena hal sepele. Jadi, lebih baik menghindar. Cepat-cepat pulang, sampai rumah, lalu tidur hingga ayam berkokok.

"Ra ...." Angga menyamakan langkah sambil menyodorkan kertas tadi. "Sorry."

Mau tak mau, Zara berhenti lagi. Ia mengangguk pelan, lalu meraih kertas tersebut. Tak ada yang bisa mengerti dirinya, termasuk Angga. Laki-laki itu hanya salah satu teman akrab Zara di Japanese club, tak lebih. Mereka kemudian melintasi lapangan basket bersama semilir angin sore. Hari ini ekskul basket libur. Jadi, mereka bisa melewati lapangan dengan damai tanpa sorak-sorai jajaran dedek gemes.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Ra. Kapan lo mau nikmatin hidup kalau ngejadiin angka sebagai patokan hidup? Apa-apa yang berlebihan itu nggak baik kata Nabi Muhammad," kata Angga seraya melirik Zara.

"Mungkin nanti, kalau Ayah bisa sekali aja menghargai apa yang gue raih," sahut Zara lirih.

Sepanjang eksistensinya di muka bumi, Zara mungkin satu-satunya gadis yang bisa kecewa berat karena nilai tujuh puluh dan Angga masih tak mengerti. Baginya, nilai itu sebatas angka di kertas. Gunung Krakatau tak akan meletus jikalau ia memperoleh nilai dua puluh sekalipun. Tekanan orang tua Zara benar-benar berdampak amat besar. Ia beruntung punya orang tua yang lebih banyak memintanya memaknai arti hidup ketimbang angka. Angga hendak menyentuh kepala gadis itu, tetapi tak jadi karena ketua rohis lewat.

"Ra ...," panggil Angga seraya menarik pelan sebelah tangan gadis itu. Namun, segera ditepis.

"Gue duluan."

Zara buru-buru menjauh. Air matanya mendadak sulit dikontrol tiap mengingat tekanan sang ayah. Akan tetapi, Angga tetap mengejarnya. Mereka akrab, tapi bukan dalam artian berlebihan. Kelas mereka berbeda, bahkan jurusan pun beda. Kebetulan saja satu komplek perumahan, satu frekuensi kalau ngobrol seputar anime dan astronomi.

"Ra," panggil Angga. Ia masih berusaha keras memperpanjang obrolan dan berjalan beriringan. "Saldo Gopay gue bayar pakai tiket nonton, gimana?"

Zara mengusap sudut mata, lalu menghela napas. "Ribet, ganti aja pakai duit sekarang," katanya sambil menadahkan sebelah tangan.

Sekarang giliran Angga yang menghela napas. Ia melipat pelan telapak tangan gadis itu. "Kalau gitu lusa deh. Duit gue tinggal buat ongkos pulang."

Laki-laki itu pernah meminjam saldo Gopay-nya untuk top up diamond. Sudah ditagih tiga kali, belum juga lunas. Padahal menurut kabar yang berseliweran, uang jajan Angga tak berseri. Ia juga gagal paham, kenapa Angga selalu beralasan motor rusak ketika berpapasan dengannya di jam pulang sekolah. Tanpa disadari, ia menyamakan langkah dengan laki-laki itu. Mereka beberapa kali pulang bersama naik busway dan Zara nyaman-nyaman saja.

"Yah, Ga, padahal gue mau beli Boba."

Boba selalu bisa meredakan kekecewaan sesaat, maka sore ini Zara butuh asupan minuman hits tersebut.

"Ya udah nanti gue beliin."

Zara mengernyit. "Katanya duit lo tinggal buat ongkos pulang?"

***

Hari ini Zara mengikuti lomba sains di sekolah lain sebagai perwakilan sekolahnya. Ia mendapatkan juara dua dari puluhan sekolah yang bersaing memperebutkan piala. Zara pulang ke rumah bersama senyum yang terus mengembang. Ia sangat bersemangat melihat reaksi Ayah yang memang tahu kalau ia mewakili sekolah. Begitu tiba di rumah, ia memutuskan menunggu sang ayah di teras.

"Ayah, lihat! Kakak juara dua lawan banyak sekolah!" seru Zara riang.

"Bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kamu juara satu," sahut Ayah, raut wajahnya tampak lelah.

Zara sulit untuk tidak kecewa ketika mendapat respon seperti itu. Padahal dia sudah sebaik mungkin menjadi yang terbaik dari yang terbaik demi membanggakan Ayah.

PRAK!!

Suara pecahan kaca membuat Zara bergegas keluar kamar. Ternyata kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat. Suara teriakan, tangisan, dan sumpah serapah menghancurkan kedamaian malam. Entah permasalahan apa yang membuat orang tuanya bertengkar. Ayah pergi meninggalkan rumah setelahnya, sedangkan Ibu menangis tersedu-sedu di ambang pintu. Tanpa segan, Zara menghampiri Ibu lalu memeluknya erat. Zara seakan bisa merasakan kesedihan dan kehancuran sang ibu. Ia merasa harus ambil bagian atas setiap masalah yang menimpa keluarganya.

"Ibu jangan nangis," ucap Zara seraya mengusap lembut punggung ibunya. "Kakak sayang sama Ibu ...."

Ibu mengangguk lemah, lalu merelai pelukan mereka. "Kakak masuk kamar ya?"

Senyap menyelinap. Zara masih terngiang-ngiang suara pecahan kaca dan teriakan yang menjadi lagu pengantar tidur. Ia meringkuk di balik selimut. Kalau saja tongkat Harry Potter itu nyata. Ia ingin sekali mengubah suasana rumah menjadi hangat dan harmonis seperti dulu.

"Gue nggak mau Ayah sama Ibu pisah, nanti gue sama siapa?" gumamnya seraya menahan tangis.

Kehancuran keluarga adalah kehancurannya juga. Zara tak bisa membayangkan bagaimana rasanya punya keluarga baru dari sebuah pernikahan baru. Tidak. Itu adalah mimpi buruk sepanjang masa. Kemudian getar ponsel menghentikan laju kereta pikirannya.

From: Angga
Lo belum tidur

To: Angga
Tau dari mana?

From: Angga
Lampu kamar lo masih nyala

Zara buru-buru menyibak selimut. Ia terduduk dengan rambut berantakan. Matanya terpaku menatap tirai yang tertutup rapat dan lampu kamarnya masih terang benderang. Dari mana laki-laki itu tahu? Seketika ia bergidik, mengusap-usap kedua bahu.

To: Angga
Rumah lo di mana sih? Gue nggak pernah tau, padahal kita satu kompleks

From: Angga
Lo nggak pernah mau nanya sih

To: Angga
Ya terus di mana?

From: Angga
Di sisi kamu

***

Pada akhirnya Ayah dan Ibu benar-benar berpisah. Zara dan adiknya kini tinggal bersama sang ayah. Sesekali mereka berdua akan mengunjungi Ibu pada saat hari libur. Kini rumah selalu terasa sepi dan kosong, karena itulah Zara lebih memilih menghabiskan waktu dengan belajar cukup keras atau pergi bimbel. Sebisa mungkin ia meminimalisir kesedihannya di rumah.

Setelah enam semester, hari penentuan ke jenjang pendidikan selanjutnya dimulai. Zara berusaha keras menempuh ujian sekolah demi mendapatkan nilai tertinggi, meskipun ekspektasi orang tua selalu membuatnya terkekang. Ayah selalu memaksanya supaya menjadi yang terbaik dari yang terbaik di sekolah. Sesudah berhasil melalui ujian, Zara akhirnya bisa bernapas lega. Ia sangat yakin dengan hasilnya karena merasa sudah berjuang mati-matian.

"Masa nilai matematika kamu cuma delapan puluh?" tanya Ayah sembari mengacungkan kertas ujian Zara.

"Kakak udah berusaha semaksimal mungkin yang Kakak bisa, Yah," ucap Zara frustrasi.

"Lihat tuh, anak teman ayah dapat nilai sembilan puluh. Harusnya kamu bisa lebih dari dia!"

Tanpa berpikir panjang, Zara memilih pergi dari hadapan Ayah. Ia mengusap kasar pipinya usai menjatuhkan diri ke kasur. Selama ini Zara selalu menutupi kesedihan dibalik senyum ceria serta canda tawa. Ia tak ingin menunjukkan air mata atau sisi lemahnya. Selain perceraian orang tua, over thinking yang Zara miliki pun menambah rumitnya isi kepala gadis itu. Ia selalu mengkhawatirkan masa depan. Apakah nilai di ijazah akan benar-benar membuat masa depan jadi sangat suram?

"Kalau ada masalah tuh jangan bengong di tengah kebon, nggak takut kesurupan emang?"

Suara tersebut memecahkan lamunan Zara. Ia mendongak cepat dan menjumpai Angga yang tengah tersenyum lebar sambil memainkan alis. Sejak kapan sih laki-laki itu tahu tempat persembunyiannya? Padahal sebelum duduk di bawah pohon kelapa, ia sudah memastikan tidak ada siapa pun di sini. Kebun kosong di belakang rumah Pak Aryo merupakan tempat yang kerap Zara kunjungi ketika merasa sangat kacau.

"Siapa yang bengong lagi," gumam Zara yang berpaling, mengusap air mata.

Angga menuding gadis itu dengan pistol jari. "Dor! Meletus balon hijau, si Zara lagi kacau." Ia bersandar pada pohon kelapa lain, kemudian bersiul tidak jelas. "Kasihan tuh ayam tetangga pada mati gara-gara lo."

"Mana coba gue mau lihat!" tantang Zara yang mulai melayangkan tatapan tajam, setajam silet.

Angga malah tertawa mengejek. "Mau diapain? Digoreng terus lo makan pake sambel matah?"

"Lo pulang aja gih," pinta Zara seraya mengibaskan tangan.

"Sensi banget lo." Laki-laki itu kini duduk bersila tak jauh darinya. "Kenapa? Masalah nilai lagi?"

Zara enggan menjawab pertanyaan Angga. Ia hanya mencabuti rumput di samping kakinya.

"Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Mending lo salat, minta sama Allah supaya hati ayah lo dilembutkan, supaya beliau bisa menerima apa pun kondisi anaknya," kata Angga. "Lo kayak gini, meratapi hidup juga nggak ada gunanya, Ra. Life must go on kalau kata lagu BTS."

Kali ini Zara yang berdecak. "Lagu BTS tuh Life Goes On kali!"

"Halah, sama aja!"

"Udah deh ... lo pulang aja sana. Gue lagi pengin sendiri."

"Nih, gue saranin lo jangan kebanyakan nonton sinetron deh, Ra. Lama-lama lo jadi lebay melambai." Angga menggunakan kedua tangan untuk menyanggah tubuhnya di belakang.

"Lo tuh yang nggak jelas."

"Jangan nekat ngelakuin hal-hal aneh karena kemarahan atau kekecewaan sesaat, Ra. Gue serius."

Angga menatap Zara dari samping. Seringkali ia kasihan dengan gadis imut itu, tetapi ia ingin Zara menjadi lebih kuat dibanding melakukan hal aneh-aneh. Gadis itu pernah menceritakan sedikit keluh kesahnya ketika mereka bertemu di Japanese club. Meskipun bisa dihitung dengan jari. Namun, karena curhat-curhat itulah rasanya sulit untuk tidak memedulikan Zara Amanda.

"Mungkin hari ini lo sedih, tapi siapa tahu dua hari ke depan justru bakal ada hari-hari yang lebih baik. Misal lo keterima di UI atau UGM. Who knows?"

Zara menghela napas panjang, lalu memeluk kedua kakinya. Senja mulai menggantikan hamparan langit biru. "Gue nggak pernah ngerti kenapa Ayah sama Ibu pisah."

Angga mengangguk-angguk, lantas mencabut sebatang rumput. Ia memasukkannya ke telinga, tak lupa juga memutarnya searah jarum jam. "Mereka berhak memilih dan lo harus menghormati pilihan orang tua lo. Terlepas dari apa pun masalah yang bikin mereka pisah."

Gadis itu menoleh bersama lipatan di dahi. "Sejak kapan lo jadi bijak gitu, Ga?"

"Sejak gue hobi membijak sawah."

Zara meniup poni di keningnya. "Sumpah, nggak lucu!"

"Tapi lo ketawa, Ra!" seru Angga yang kini berdiri menuding wajah Zara. "Udah ah, gue mau pulang. Tugas gue jadi badut udah kelar."

Sejenak Zara memandangi punggung Angga yang perlahan menjauh. Bersamaan dengan mentari yang perlahan meninggalkan tahta, Zara menyadari satu hal. Ia menyukai bagaimana cara Rangga Prasetyo menghiburnya. Ia selalu ingin menikmati setiap obrolan yang mengalir di antara mereka berdua. Bisakah semua itu tetap ada dan tak pernah berubah?

Seketika Zara mengusap sudut matanya, lalu berteriak, "Thanks ya, Ga!"

Tiba-tiba Angga berbalik, sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana. Satu sudut bibirnya tertarik. "Bisa nggak makasihnya diganti nonton bareng? Gue udah bosan nih pakai modus saldo Gopay."

"Rumah lo di mana sih?"

"Cluster Nemophila."

Zara menganga. Tiba-tiba ia teringat isi chat mereka beberapa hari lalu. Ia sendiri tinggal di cluster Brunflesia. Jelas sekali kan dari huruf B ke N saja butuh melewati beberapa jajaran huruf? Gila juga Angga.

"Tenang, gue bukan penguntit. Cuma suka lewat depan rumah lo aja kalau malam. Pengin tahu lo tidurnya jam berapa," kata Angga lagi. "Jadi gimana negosiasi tadi?"


END

Terima kasih sudah mampir ke cerpen yang ala-ala ini (≧▽≦)
With love,
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro