❀ BAB 025 ❀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wah, kayaknya cinta udah mulai tiba. Cie calon-calon sukses move on," respons Priko setelah aku bercerita tentang Elang dan Jessa yang bertemu di rumah sakit sore tadi. "Tapi agak nyesek gimana gitu, ya, Ki?"

Aku tersenyum tipis. Meski kutahu Priko tidak akan melihatnya dari sana. "Ko," panggilku pelan. Priko hanya bergumam dengan sisa tawanya. "Gue kan pacarnya Elang, tapi gue boleh enggak kalau sukanya sama cowok lain?" Aku tidak tahu apa yang kutanyakan. Aku hanya mengeluarkan suara begitu, dan setelahnya aku diam lagi.

"Ya, boleh sih, Ki. Lagian enggak ada yang ngelarang lo suka sama siapa pun. Tapi, jangan gitu juga lah. Kalau emang suka sama yang lain, Elangnya diputusin aja," balasnya. Aku tetap tidak merespons. "Eh? Apa ini alasan lo bilang itu ke gue?"

"Bilang apa?"

"'Kasih gue waktu buat putus dari Elang.'"

Aku terkikik. "Enggak. Waktu itu, gue enggak punya alasan yang sama kayak sekarang," jawabku. "Atau gue putusinnya pas hari terakhir PKL aja kali, ya, Ko."

Priko berdesah berat. "Jadi, laki-laki mana yang bikin lo mau berpaling dari laki se-perfect Elang?" tanyanya.

Di detik yang sama ketika aku membuka mulut untuk menjawabnya, jantungku berdegup jauh lebih kencang dari sebelumnya. Aku tiba-tiba bingung harus menjawab apa. Bukan. Bukan berarti aku tidak tahu apa jawabanku untuk Priko. Hanya saja, aku bingung menyampaikannya.

Tidak mungkin aku menegaskan kepadanya siapa nama laki-laki tersebut. Akan terdengar aneh jika aku menyebutkan namanya.

Priko berdeham. "Pulsa gue, pulsa gue," katanya. Aku terkekeh pelan. "Mau ngasih tau atau enggak, nih?"

Aku menghela napasku. Kupersiapkan ibu jariku untuk lekas-lekas mengakhiri telepon nanti, setelah kujawab pertanyannya. "Priko."

❀ ❀ ❀

Sudah tiga puluh menit aku hanya memainkan setangkai mawar merah yang telah layu. Masih ada catatan kecil di kertas kuning pucat yang tetap terikat di tangkainya sejak tiga hari lalu. Aku masih tidak tahu apa maksud Priko meninggalkan setangkai mawar merah di meja belajarku. Aku juga tidak berani mempertanyakannya secara langsung.

Tidak perlu mempertanyakannya, kurasa.

"Ki!" Mami berteriak dari lantai satu. Aku hanya menanggapinya dengan gumam, yang kuyakin tidak akan terdengar sampai ke sana. "Ki, ini ditungguin dari tadi. Katanya mau keluar?"

Refleks aku mengangkat kepalaku yang bertumpu di atas meja. Aku tidak bilang akan pergi malam ini, Mami mengarang. Sambil masih menggenggam mawarnya, aku berjalan ke arah pintu.

Bertepatan ketika aku memutar gagang pintu, pintunya terdorong dari arah luar. Menampakkan sosok laki-laki berpakaian kemeja biru dongker dengan motif jangkar putih yang berbaris rapi dari ujung ke ujung lainnya. Aku lantas menyembunyikan mawarnya di balik punggungku.

Jantungku berpacu cepat. Dengan kikuk kutunjukkan senyum kepadanya.

"Gue udah lihat kali," katanya lalu merebut bunga yang kugenggam. "Kok, telepon gue enggak diangkat?" Ia berjalan masuk, lalu berbaring di atas ranjangku.

Aku tak menjawabnya sama sekali.

"Gue butuh penjelasan lebih lanjut kali, Ki," katanya. Aku tetap memilih untuk tidak menjawabnya. "Gimana Elang sama mantannya?"

Aku menggigit bibir bawahku sambil menggeleng. Aku tidak tahu kenapa rasanya sulit untuk mengeluarkan suara barang sekata. Aku tidak mau memaksakan dan pada akhirnya terlihat kalau aku sedang benar-benar canggung dengan keadaan ini.

"Puasa ngomong, ya?" Priko bangkit dari posisi baringnya. Ia duduk di pinggiran ranjang dan masih menggenggam tangkai bunga mawar dengan jari-jemarinya yang diposisikan sok elok. "Gue jauh-jauh ke rumah, ternyata didiemin."

Aku tetap geming dan hening.

"Oh, atau lo masih malu-malu kucing karena baru nyatain perasaan lo ke cowok yang ka-ta-nya pe-ngin lo su-ka-in i-tu?" tanyanya sambil mengeja beberapa kata terakhirnya dengan nada saaaangat meledek. Aku tersenyum tipis. Bahkan tidak tahu apa alasanku menunjukkan senyum kepadanya. "Cie. Problema anak kelas sebelas banget, sih, lagi deket-deket sama si doi."

Hah? Kupikir Priko sadar atas apa yang sedang dibicarakannya. Bukankah Priko seharusnya tahu kalau laki-laki yang sedang dibicarakan adalah dirinya sendiri?

"Elang ke Dharmais lagi pulang PKL tadi. Bahkan dia enggak nganterin gue pulang. Bilangnya mau jenguk Ibunya. Ya, tapi, Ko, orang bego mana yang bakalan percaya kalau Elang jenguk Ibunya? Padahal Ibunya sendiri enggak mau ngelihat dia." Aku akhirnya bersuara, tapi melenceng dari topik bahasan yang Priko ambil.

Priko mengangguk-angguk. "Jadi lo berprasangka buruk, atau emang yakin?"

"I saw what you didn't, Ko. Senyumnya sebahagia itu kemarin sore. It breaks me." Aku duduk di balik pintu yang sudah tertutup. Kutekuk lututku, lalu menenggelamkan kepalaku di antaranya. "Gue harap Elang putusin gue secepatnya, Ko."

Priko hanya berdesah dengan berat. Dari suaranya, kudengar kakinya menyentuh lantai. Kemudian suaranya semakin dekat, semakin dekat, dan berhenti tepat di depan ujung ibu jari kakiku. "Kenapa harus Elang yang putusin lo?" tanyanya.

Karena aku tidak mau menyesali perbuatanku karena mengakhiri hubungan dengan orang sebaik Elang.

"Karena gue enggak mau nyakitin orang sebaik Elang," kilahku.

"Kalau bicara sama orang itu, lihat orangnya," katanya. Aku tak menjawab. Hanya kuangkat kepalaku untuk menatapnya. Sesaat kemudian, Priko tersenyum. "Yakin karena lo enggak mau nyakitin orang sebaik Elang?" tanyanya.

Dari matanya, aku tau Priko tidak yakin dengan jawabanku. Aku tidak tahu kenapa bisa mengarang sendiri soal ini, tapi itulah kalimat yang tiba di benakku. Bahwa Priko tidak yakin dengan jawabanku.

Dengan sangat ragu, aku menggelengkan kepalaku. Priko masih tersenyum sama lebarnya; sama menawannya. Kuhela napasku sebelum akhirnya memberikan jawaban. "Gue enggak mau nantinya gue nyesel karena gue putusin orang kayak Elang, Ko."

"Ya terus kenapa lo mau putus?" Aku diam. Kelihatannya, sebanyak apa pun aku menyatakan alasan, Priko akan terus-menerus bertanya. Entah karena alasanku yang tidak dapat dimengerti, atau Priko memang sengaja ingin aku mengulang-ulang ucapanku. "Elang kurang baik apa sama lo, coba?"

Elang memang baik. Namun, sangat disayangkan kalau hanya itu yang kujadikan alasan untuk berpacaran dengannya. Sementara hatiku sendiri tidak mau jatuh padanya. Meskipun dalam arti lain, tidak mau belum tentu tidak akan.

Aku tersenyum ke Priko. "Iya, Ko, Elang baik." Priko mengangguk setuju. Tampaknya laki-laki ini tetap akan teguh untuk menahanku agar tidak mengakhiri hubunganku dengan Elang. Atau karena Priko tidak mau aku jatuh hati pada laki-laki itu? Tapi, kenapa?

"Jadi?"

"Besok pulang PKL putus." Dengan nada polos aku menjawabnya. Senyum Priko langsung pudar sesaat setelah itu. "Please. Gue udah enggak punya alasan kenapa harus bertahan sama Elang, Ko."

Priko berdengus. Matanya masih memandang ke arahku. "Apa alasan lo nerima Elang waktu dia ngajak lo jadian?"

"Elang pikir, gue bisa lebih menghargai dia ketimbang Jessa," kataku.

"Lo bisa?" Priko bertanya.

Aku tertawa pelan sambil menggeleng dengan agak ragu. "Dulu iya. Mungkin sekarang enggak." Jawabanku kelihatannya membuat Priko semakin malas mendengarkanku. Ia diam tidak merespons. "Ko, coba kalau lo ada di posisi gue. Dia tau lo adiknya Bang Satrio. Mau dia apa, lo enggak tau? Dia bahkan bilang ke gue kalau dia mau cari Bang Satrio, mau ketemu Ibunya, dan mau perbaiki masalah yang dia buat, Ko. Gue kayak cuma dijadiin perantara, ngerti?"

"Itu alasan lo mau putus dari Elang?"

Aku menurunkan kakiku yang sejak tadi tertekuk. Priko dan aku sama-sama duduk bersila. "Priko Adimas Sekarno, selama ini lo nyimak gue bicara apa enggak, sih?" tanyaku mulai agak jengkel. Dari tadi kami hanya berputar di satu lingkaran kecil yang sama. Pembahasannya tidak berujung. Kembali ke awal lagi, dijelaskan lagi, dan kembali lagi. hanya begitu siklusnya.

Priko mengangguk.

"Kalau lo selalu nyimak gue, berarti lo tau kalau gue pengin putus dari Elang itu karena ada orang lain yang lebih gue suka daripada Elang." Aku menegaskan setegas-tegasnya. Kuharap dengan ini Priko sadar kalau ia semestinya ingat bahwa itu adalah alasan terbesarku ingin mengakhiri hubungan dengan Elang.

"Jadi, lo seberapa yakin kalau orang itu le—eh, sebentar." Ucapan Priko terinterupsi dengan getaran ponsel di saku celananya. Ia langsung berdiri, kemudian mengangkat teleponnya. Aku menyingkir dari balik pintu, kemudian Priko keluar. Terdengar nada bicaranya yang tergesa-gesa.

Sementara aku hanya diam ketika ia keluar. Suaranya masih terdengar ketika Priko berjalan semakin jauh dari kamarku. Sampai satu ucapan terakhir yang kudengar membuatku langsung menutup pintu. Nama, yang disebutkannya ke seberang telepon itu terngiang di benakku.

"Karla keadaannya gimana? Serius dia enggak apa-apa? Please, jangan coba bohong cuma buat bikin gue merasa baikan, deh. Karla di mana sekarang? Gue ke sana."

Karla.

Aku tidak pernah mendengar Priko menyebutkan nama Karla sebelumnya. Aku tidak tahu siapa Karla, dan aku tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba berantakan rasanya. Setelah beberapa saat lalu menutup rapat pintu kamar, aku masih bersandar di pintu. Aku kembali ke posisi dudukku, tapi kali ini kukunci pintunya. Karla, Karla, Karla.

Sial. Namanya tidak mau pergi dari benakku.

Dan Priko tidak kembali ke kamarku maupun ke lantai dua. Yang membuatku begitu yakin kalau ia sudah pergi adalah deru mobil yang terdengar. Aku tiba-tiba menangis. Tanpa alasan yang bisa kupertegas. Sungguh, aku tidak mengerti. dengan posisi masih memeluk lutut, tiba-tiba air mataku berlinang, dan tahu-tahu sudah jatuh ke lantai.

Tidak tahu apa yang membuatku sedih. Priko hanya pergi, kan? Pergi untuk menemui sosok bernama Karla yang tadi disebut-sebutnya di telepon. Lantas kenapa aku harus menangis? Padahal aku hanya perlu yakin kalau Priko pasti akan kembali. Pasti.

Elang juga tidak meneleponku atau mengirimkan pesan. Seberapa sering pun aku mengecek ponsel, pesan dan telepon yang kucari, tidak akan pernah ada. Dari Elang maupun dari Priko yang baru saja kukirimi pesan berupa pertanyaan.

Aku tidak tahu ke mana mereka pergi.

Mataku tertuju ke arah bunga layu yang Priko tinggalkan di lantai. Warnanya sudah tidak sesegar saat pertama kali aku melihatnya. Kelopaknya sudah berjatuhan dan sekarang sudah berpencar ke mana-mana di lantai.

Ketika kutarik tangkai bunga tersebut, hanya tersisa tiga kelopak bunga yang masih tersisa, yang kemudian ikut jatuh satu kelopak lagi.

Seperti inikah semua nasib bunga yang disukai orang? Tampak begitu menawan pada awalnya, diambil, kemudian ketika telah layu, lantas ditinggalkan, atau dibiarkan hancur dengan sendirinya. Apa bedanya dengan perasaan yang tumbuh tapi tidak diperhatikan sesuai bagaimana mestinya?

Siklusnya sama saja.

Pukul sepuluh lebih dua puluh, ponselku berdering. Elang meneleponku. Sedu-sedanku masih terdengar, jadi kupilih untuk tidak mengangkatnya daripada aku diberikan pertanyaan dan diminta penjelasan. Karena tidak mungkin kukatakan pada Elang kalau aku menangis karena Priko.

Tapi, Elang tidak berhenti menelepon, dan aku tidak berhenti mengabaikan. Hingga timbul satu notifikasi lainnya. Sebuah pesan super singkat yang menyatakan bahwa Elang ingin bicara denganku besok sepulang PKL.

Besok aku harus menyelesaikan desain undangan yang dikhususkan untuk sekitar enam puluh orang terpilih yang akan mendapatkannya, yaitu mereka yang nantinya akan menyaksikan 1002 Kata Untuk Diana untuk yang pertama kalinya sebelum filmnya rilis secara meluas di bioskop.

Kurasa aku harus perlahan-lahan menghindari Elang.

❀ ❀ ❀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro