❀ BAB 030 ❀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir dua pekan berlalu, aku masih bimbang.

Pena dengan tinta biru keunguanku menggores satu halaman kosong setelah halaman ke-75. Hari ini akan kutuliskan halaman ke-76 yang jatuh pada tanggal tujuh belas di bulan April. Seperti yang pernah kukatakan. Akan kulanjutkan catatan Elang di buku 89 Days Later miliknya.

Tanganku macet. Tulisanku hanya berujung di kata bimbang. Di baris pertama.

"Ki! Ada Priko!" Mami berteriak dari lantai satu. Aku langsung meletakkan pena di atas meja belajarku, kemudian meninggalkan kamar. Kulihat laki-laki itu memang ada di ruang tamu, tengah menelepon. Tapi, harus diketahui bahwa yang diteleponnya adalah aku. Di saat yang sama, ponselku berdering.

Lekas aku berlari turun ke ruang tamu, lalu duduk di sebelah laki-laki dengan kemeja kotak-kotak biru hitam tersebut. Senyumnya mengembang menyambutku. "Keluar, yuk," ajaknya.

"Ke mana?" hanya itu yang kutanyakan. Sekadar formalitas. Aku tidak akan bersikap seakan-akan aku murah dengan cara langsung menerima ajakannya tanpa berpikir panjang. Meskipun aku memang sudah pasti akan menerima ajakannya.

Priko mengedikkan bahunya. "Ke mana aja."

"Ya udah, sebentar," kataku. Priko hanya mengangguk, lalu aku langsung berlari kembali ke kamarku untuk berganti pakaian dan menyiapkan segala sesuatu lainnya seperti tas, dompet, ponsel, dan kaus kaki. Begitu selesai mengenakan sepatu, baru kuhampiri Priko lagi di ruang tamu.

Kami pamit pada Mami, lalu pergi. Entah ke mana Priko ingin pergi, yang pasti kami sudah di dalam mobil dan aku tetap tidak memulai percakapan bahkan setelah mobil yang kami tumpangi sudah tiba di jalan Cipayung Raya.

"Jadi, Rika bilang sendiri ke gue kalau dia cerita tentang Karla ke lo." Priko melengos kepadaku beberapa saat. Aku tidak menatapnya kembali. Rasanya aneh ditanya seperti ini. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Karla bukan seorang saingan bagiku, tapi kenapa rasanya seakan-akan demikian?

"Rika bilang, dia cerita ke lo karena dia lihat lo," katanya lagi. Aku melengos ke jendela di sebelahku. Tetap kuabaikan ucapannya sampai ia bicara lagi. "Rika anaknya sok tau. Tapi walaupun gitu, enggak sedikit ucapannya yang bener dan bisa dipercaya."

Aku mengangguk-angguk sok memercayai. "Contohnya?"

"Cuma dengan lihat ke mata seseorang, Rika bakalan tau mana yang nunjukkin rasa suka, dan mana yang nunjukkin benci," tuturnya. Klise sekali. Banyak orang di luar sana yang senang bicara tentang cara membedakan mana orang yang menyukai sesuatu dan mana orang yang tidak menyukai sesuatu hanya dari matanya. Mungkin cara yang dilakukannya memang mudah, namun betapa pun, aku tidak berniat untuk mencobanya sendiri.

Aku mengerti maksud ucapan Priko. Aku tahu apa yang Rika lihat. Tapi, Priko gila. Aku tidak sekali pun memintanya membahas soal ini. Aku tidak suka rasa cemburuku terlihat di mata orang lain. Itulah yang Rika lihat beberapa waktu lalu saat aku diajak ke kamar Priko. Rasa cemburu ketika melihat susunan foto polaroid yang ada di dinding kamar Priko.

"Rika sering belajar gimana memahami orang dari setiap hal yang dilakukan orang itu, Ki," kata Priko. Aku hanya tersenyum kepadanya. "Ini bukan pertama kalinya dia kayak gini. Tapi, kali ini, gue merasa bersalah."

Kali ini aku melengos ke kursi kemudi. Kutatap laki-laki yang sesekali menoleh ke arahku. "Kenapa lo harus merasa bersalah?"

Priko mengedikkan bahu. "Mungkin karena gue udah bohong? Atau ... apa pun. Gue enggak tau gimana caranya gue respons kemauan lo. Jujur, gue emang selalu suka sama dia. Bahkan setelah gue sering ngajak lo keluar begini, hati gue enggak pernah ikut sama gue, Ki."

Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Aku tahu, tidak semua perasaan bisa terbalaskan. Semuanya butuh diperjuangkan, atau cukup dilepaskan saja. Lagi pula, tidak semua perjuangan akan berbuah hasil yang diinginkan. Terkadang seseorang justru akan kehilangan bahkan ketika sudah berjuang begitu keras.

"Gue tau itu," akuku. Sekarang kusimpulkan saja dengan cepat bahwa Priko sedang menolakku secara halus. Sekalipun beberapa waktu ke depan ia akan tetap ada di sisiku, tetap saja kami tidak akan bisa bersama. Mungkin setelah ini yang harus kulakukan adalah menunjukkan seorang laki-laki yang lebih baik daripada Priko.

Tapi, aku tidak tahu siapa yang lebih baik. Elang? Ah, bahkan aku tidak tahu apa yang sekarang menjadi kegiatannya di luar kegiatan PKL. Aku tidak tahu Elang dan Jessa masih berhubungan baik atau tidak. Yang pasti, kami bersikap biasa tiap kali bertemu. Selayaknya dua orang teman yang tidak lebih dari sekadar teman sementara.

"Jadi?" tanya Priko. "Lo ngerti juga maksud gue?" aku mengangguk pelan. Senyumku turut mengembang. "Sorry, gue enggak tau gimana ngerancang kata-kata yang lebih halus daripada ini."

Aku tertawa renyah. "Iya gue ngerti."

Malam ini, Priko dan aku tidak pergi untuk makan atau ke suatu tempat. Mobilnya hanya melaju di jalan Cipayung Raya, ke arah Taman Mini, kemudian lanjut terus sampai keluar di jalan Raya Bogor, dan kembali ke jalan Cipayung Raya melalui jalan Raya Ciracas.

Priko hanya ingin mengajakku bicara banyak tentang Karla. Suatu pembicaraan yang tidak menyenangkan. Aku hanya merespons sekadarnya. Kupikir Priko juga pasti tahu kenapa aku hanya menanggapi dengan acuh tak acuh.

Padahal aku belum mendakwa diriku sendiri bahwa aku jatuh hati pada Priko. Namun aku justru sudah merasa seakan-akan aku patah hati. Rasanya benar-benar aneh.

"Ki, udah jam sembilan. Pulang, nih?" tanya Priko begitu mobilnya berbelok di pertigaan sebelum terowongan. Aku hanya mengangguk, lalu Priko lantas mengambil jalan ke arah rumahku. Aku pulang, kemudian Priko pamit untuk kembali ke indekos temannya di daerah Taman Mini.

Tiba di rumah, aku langsung masuk dan mengunci pintu kamar, lalu tidur.

❀ ❀ ❀

"Lo enggak mau popcorn atau apa, gitu?" tanya Elang sambil memimpin langkah ke arah kursi di baris kelima dari teratas. Aku hanya menggeleng. "Enggak yakin. Enggak mau, atau cuma enggak mau ditanya? Maunya dibeliin langsung, kan?"

Aku hanya mengerlingkan mataku.

Kami duduk bersebelahan dengan Kak Tamara dan Kak Jeremy. Aku duduk di antara Elang dan Kak Jeremy, sementara Kak Tamara duduk di paling pojok. Aku berbincang-bincang dengan Kak Jeremy, termasuk membicarakan tentang segelintir gadis-gadis di kelasku yang sempat membicarakan foto yang beberapa waktu lalu Kak Jeremy upload ke instagram-nya.

"Uh, kakak hit dua ribu tujuh belas," celetuk Kak Tamara sambil meneguk java tea di tangannya. "sampai diomongin dedek-dedek gemes di SMK."

Kak Jeremy menggetil pipi gadis di sebelah kanannya. Elang dan aku serempak tertawa. Aku kemudian bercerita lebih banyak tentang teman sekelasku. Hanya begitu saja pembicaraan kami selama menunggu film dimulai.

Sampai studio hening, lalu lampu secara perlahan dipadamkan. Sekadar informasi, bahwa Elang bersikukuh untuk membeli popcorn meskipun aku bilang aku tidak menginginkannya. Kurasa Elang sering membaca novel-novel romantis remaja, atau Jessa sering menceritakan bagaimana tipikal laki-laki fiktif tersebut.

Rasanya seperti aku sudah pernah dapat bocoran soal filmnya. Aku sempat membantu Elang mengedit pembukaan untuk film dan trailer-nya, jadi aku tanpa aku datang ke sini pun, aku sebenarnya sudah tahu keseluruhan jalan ceritanya.

"Nih, Ki, di bagian sini lo bikin gue begadang semaleman, sumpah," ucap Elang ketika layar menampilkan wajah Kak tamara untuk yang kali pertamanya, bersamaan dengan timbulnya nama Artamara Dinda di sana.

Aku balik memandang Elang tajam. "Kok gue, sih," balasku tak terima.

"Ya iya. Gue udah bikin pakai font Bebas Neue, ternyata lo pakai Century Gothic di posternya. Gue disuruh ganti sama Pak Toro. Mana nyuruhnya jam sebelas malem, disuruh udah selesai jam enam pagi. Gila," gerutunya bak orang kesal betul.

Aku tidak mau kalah dari Elang. "Itu disuruh Pak Toro. Gue awalnya pakai font yang script, terus disuruh ganti yang sans serif, ya, gue pakai aja Century Gothic terus uppercase, dan bold gitu. Lo sih, waktu gue desain poster, lo-nya enggak mau ikutan diskusi."

Banyak hal yang kami perdebatkan selama film berlangsung. Aku juga sesekali mendengar Kak Jeremy dan Kak Tamara saling menyalahkan ketika akting mereka tampak tidak begitu sempurna. Sampai film berakhir dan kami menyaksikan credit benar-benar usai, Elang dan aku masih beberapa kali berdebat. Tentang font yang digunakan di credit film.

"Bawel desainer," ucap Kak Jeremy yang berjalan di belakang Elang dan aku. Serempak, Elang dan aku menoleh, memandang laki-laki dengan beanie biru dongker tersebut. Kedua insan yang berjalan di belakangku hanya tertawa pelan, lalu Kak Jeremy mengenakan kacamatanya begitu kami berjalan melalui pintu exit.

Namun, meski bagaimanapun, wartawan yang sudah berbondong-bondong datang di depan studio itu langsung mencegat Kak Jeremy dan Kak Tamara, lalu menghujaninya dengan kalimat basa-basi berupa selamat, plus berbagai macam pertanyaan.

Elang dan aku langsung menyingkir dari keramaian. Kami pamit pergi pada Pak Toro yang juga ada di sana, kemudian kami pergi ke Starbucks di dekat Metropole XXI.

"Jadi, mau coba ngomong sesuatu?" tanya Elang setelah kami sama-sama diam beberapa menit setelah menempati salah satu meja untuk dua orang. "Ini udah tanggal dua puluh. Enggak kerasa sih, PKL udah mau selesai aja. Singkat, ya."

Aku mengangguk pelan.

"Oh iya, kayaknya, sejak jarang ngobrol sama lo, gue juga lupa kasih kabar ke lo," katanya. Aku hanya diam memandanginya, seakan-akan aku menunggu kelanjutan ceritanya. "dan lo juga udah enggak pernah kasih kabar ke gue."

Senyumku mengembang tipis. "Kabar apa?"

"Jessa udah keluar dari rumah sakit. Udah agak lama sih. Dan lo tau apa yang lebih penting?" ujarnya dengan antusias. Aku menggeleng. "Gue balikan. Unexpected banget gue bisa balikan sama Jessa."

Setelah geming beberapa saat, aku hanya merespons dengan suara lirih yang lebih terdengar seperti kecewa, "Oh."

"Lo sama Priko gimana kabarnya?"

Jawabanku akan terdengar tidak enak jika aku berkata jujur padanya bahwa aku akhirnya memutuskan untuk berhenti mengejarnya tepat setelah laki-laki itu menyatakan bahwa ia menyukai gadis bernama Karla.

Aku tidak tahu lagi ke mana harus melangkah. Elang kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya, Priko tetap dengan mantan kekasih yang notabene adalah satu-satunya orang yang selalu disukainya, sementara aku di sini baru saja menolak kehadiran Nikko untuk kembali.

"Oh, gue ...." Jari-jemariku mengetuk-ngetuk meja. Dapat kulihat dari wajahnya, Elang menunggu kabar tentang Priko dan aku. "Gue balik sama Nikko," kilahku sekenanya. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengarang cerita.

Dan seperti apa yang sudah kubayangkan, Elang langsung diam. Seperti orang terkejut. Matanya membelalak, lurus menyorot ke arahku. "Nikko?"

Aku mengangguk.

"Oh, ternyata lo masih ada rasa sama Nikko," katanya. Aku hanya tersenyum. Entah kenapa rasanya mendadak canggung. "Gue pikir lo udah bener-bener ninggalin dia."

Aku juga berpikir bahwa Elang sudah benar-benar meninggalkan Jessa. Tapi pada kenyataannya, dugaan kami sama-sama salah.

❀ ❀ ❀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro