17: Berhenti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana semakin tegang. Renata sudah lelah, dia ingin menyudahi semuanya. Kalau memang mencintai hanya membuatnya tersakiti seperti ini, dia tidak ingin lagi mencintai. Dia sudah jera dengan kisah cintanya yang berakhir duka. Selalu saja da hal yang membuat kisah cintanya tidak berjalan lancar, bahkan setelah menikah pun selalu ada masalah yang datang.

"Mama, maaf ya aku belum jadi menantu yang baik."

"Nah, untung sadar. Mending kamu restuin aja Arjuna biar menikah lagi. Kamu mau lihat dia menderita terus?"

"Arjuna nggak menderita, Ma--"

"Halah bohong, mama lihat sendiri kok kamu di kantor lebih bahagia sama Natasya. Kalian juga udah sering keluar bareng. Temen-temen mama kan kerja juga di kantor kamu jadi mereka tahu seperti apa kamu di sana."

"Oh, udah sering ya?" gumam Renata pelan. Semua foto yang dikirimkan padanya ternyata benar adanya. Berulang kali dia mengabaikan itu semua, pada kenyataannya itulah kebenarnya.

"Iya, kamu udah tahu sekarang kan? Jangan halangi Arjuna buat menikahi Natasya. Jangan biasain jadi beban keluarga."

Kata beban keluarga benar-benar menohok bagi Renata. Semakin lama dia berada disini hanya akan menyakitinya semakin dalam.

"Mama stop, Arjuna mohon," pintanya pelan. Pandangan Arjuna dan Renata bertemu, mereka menemukan luka teramat, luka yang terpancar dari cara mereka saling memandang satu sama lain.

"Mungkin, Arjuna bisa mempertimbangkan untuk menikah lagi dan mengurus perceraian kita. Maaf, aku tidak bisa berbagi dengan orang lain. Aku sebaiknya pergi sekarang, aku pamit ya."

Terlihat raut wajah bahagia dari mama Arjuna, berbanding terbalik dengan Arjuna serta papanya. Mereka semakin terkejut dengan ucapan Renata.

Arjuna langsung mencekal tangan Renata. "Tapi, Ren, aku nggak mau--"

"Biarin aja kenapa sih? Dia juga yang mau cerai dari kamu, Nak."

Arjuna frustasi dengan semuanya. Seharusnya tidak berakhir seperti ini. 

"Lepasin, Ar. Turutin aja keinginan mamamu. Nggak usah pikirkan aku."

Renata berusaha melepaskan cekalan Arjuna, tapi cekalan itu semakin kuat.

"Aku mohon, jangan pergi."

"Tapi, Ar--"

"AKU BILANG JANGAN PERGI!" teriaknya kencang.

"Aku bilang jangan pergi, kita harus bicarain ini semua baik-baik. Kamu harus tahu kebenarannya, aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Natasya. Iya aku bodoh nggak ceritain semuanya ke kamu. Aku menuruti keinginan mama untuk menerima dia jadi sekretaris baruku."

Pria itu mengabaikan tatapan tajam dari mamanya, dia sudah tidak perduli lagi. Satu hal yang terpenting adalah dia tidak ingin kehilangan Renata.

"Aku tahu kamu tertekan karena ucapan mama. Aku baca pesan di ponsel kamu, pesan dari mama yang terus menanyakan soal bayi. Aku tahu, Ren. Mama janji nggak akan memaksa kamu lagi asal aku membantu anak temannya untuk bekerja di kantor. Itu juga yang buat aku semakin nggak ingin kamu kembali ke kantor, kamu pasti salah paham."

"Mama udah janji, tapi kenapa masih berlanjut?" Arjuna mulai terisak, dia sangat takut kehilangan wanita itu.

"Nak, sampai kapan kalian belum ada anak kayak gini? Oke, ada Andreas. Tapi, kamu nggak mikirin ucapan orang lain? Rekan-rekan mama mulai membahas soal keluargamu yang belum punya anak, mama nggak mau usahamu membangun reputasi yang baik jadi hancur sia-sia."

"Cukup, Ma. Kenapa harus ikut campur dengan urusan rumah tangga anak sendiri sih? Kenapa mama malah hancurin rumah tangga aku? Mama nggak lihat betapa aku mencintai Renata?"

Arjuna sudah menangis, dia bahkan mendekati mamanya dan  bersimpuh di lantai sembari menatap mamanya dengan putus asa.

"Arjuna minta tolong, Ma. Jangan kayak gini. Arjuna bisa move on juga karena Renata, Arjuna bisa percaya lagi sama cinta juga karena Renata. Renata itu hidup aku, Ma. Jangan ambil hidupku lagi, aku sudah cukup menderita selama ini."

"Arjuna nggak peduli orang lain mau ngatain Arjuna kayak gimana. Selama ada Renata dan kalian itu sudah lebih dari cukup. Arjuna mohon, Ma."

Renata menghela napas, dia tidak tega melihat pemandangan di depannya ini. Apalagi melihat Arjuna sampai bersimpuh seperti itu demi dirinya. Dia mendekati Arjuna dan memeluknya erat.

"Ar, selesaikan urusanmu, oke?"

"T-tidak, jangan pergi. Aku bisa jelasin semuanya."

Wanita itu tersenyum lalu menggeleng pelan. "Kamu tahu kemana tempatmu berpulang. Kalau aku adalah rumahmu, kamu pasti akan menemukanku."

"Ma, papa, semuanya, aku pamit," lanjutnya lagi.

Seusai itu dia berpamitan dan pergi dari sana. Meninggalkan segala luka dan Arjuna yang terus menangisi kepergian Renata.

"Mama lihat itu? Mama lihat hasil perbuatan mama? Itu kan yang mama mau? Mama mau lihat Arjuna hancur lagi kan kayak waktu itu?"

"Mama bilang mama tidak mau menekan Renata lagi. Mama bilang asalkan Arjuna bantuin temannya mama, terus mama bakal benar-benar berhenti menekan dia. Tapi, sekarang apa, Ma? Kenapa mama segitu bencinya sih sama Renata?"

"Dia mandul, Nak. Kamu nggak dengar ucapan mama daritadi?"

"Apanya yang mandul, Ma? Dia memang sulit untuk hamil tapi bukan berarti tidak bisa. Mama ngerti nggak perbedaan sulit dan tidak bisa? Masih ada kemungkinan buat kami punya anak. Ayolah, Mama kenapa kayak gini?"

"Mama lebih pikirkan masa depan kamu. Bayangin kamu digunjingkan orang lain saja mama nggak sanggup."

"Arjuna nggak peduli. Kenapa harus memikirkan ucapan orang lain sih, Ma?"

"Tidak, kamu nggak ngerti Arjuna. Mama mau yang terbaik buat kamu dan Natasya itu yang terbaik buat kamu."

"Yang terbaik apa lagi, Ma? Satu-satunya yang terbaik buat aku cuman Renata. Mama udah hancurin rumah tangga aku!" Arjuna begitu histeris, dia berlari keluar mencari Renata. Namun, wanitanya sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi, benar-benar pergi.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro