Bab 43

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Itu suara Jarred!

Nalurinya mengambil alih, menyingkirkan rasa trauma yang sempat membelenggu ketika tangan pria di belakangnya melingkari bahu Anna. Dalam hitungan sepersekian detik, tangan kiri Anna menarik lengan lelaki tersebut sembari membanting sekuat tenaga hingga tubuhnya menghantam pasir pantai. Entah kekuatan dari mana yang jelas Anna belum pernah latihan bela diri, hanya melihat adegan-adegan film aksi di televisi. 

Hal itu saja tak lantas membuat dewi fortuna terus memihak Anna saat tangan Chloe menarik kaki dan menusukkan pisau tepat di betis. Anna memekik kesakitan sementara Jarred langsung bergerak hendak membekap mulut, namun dibalas gigitan kuat. Jarred mengaduh merasakan gigi Anna seperti ingin mencabik-cabik tangan. 

"Dasar bedebah!" rutuk Jarred kesal. 

Pisau yang masih menancap di betis kanan dicabut paksa walau meninggalkan nyeri berkedeut-kedut dan darah merembes deras dari sana. Kemudian Anna mengarahkan belati berlumuran darah tersebut ke arah dua pria yang menyekapnya selama berhari-hari tanpa belas kasihan. Napas Anna makin berat, jarak pandangnya mulai berkunang-kunang, dan tenaganya makin menipis seiring perlawanannya kepada Chloe dan Jarred. Bukan hanya itu, seluruh luka-luka yang mereka torehkan membuat Anna makin melemah.

Dan rasanya badanku demam. Aku takut lukanya mulai infeksi, batin Anna.

"Kau tidak akan bisa keluar, Anna," ujar Jarred begitu tenang menghentikan Chloe yang hendak menyerang. "Pikirmu kau kuat kabur dengan kondisi seperti itu?"

"Kita bunuh saja dia, Jarred!" pinta Chloe tak sabar. "Lempar saja mayatnya ke laut biar pekerjaan kita cepat selesai!"

Bulu roma Anna meremang membayangkan dirinya yang tak bernyawa dihanyutkan begitu saja di laut tanpa ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Chloe benar-benar tak berempati, mengatakan hal itu dengan santai tanpa beban. Seolah-olah pekerjaannya memang untuk melenyapkan manusia yang tidak diinginkan manusia lain. Seakan-akan pula dia bersaing dengan malaikat maut untuk menghabisi hidup orang. 

Anna masih mengacungkan pisau tak peduli ancaman yang dilontarkan Chloe. Apa pun yang terjadi nanti, setidaknya dia harus bertemu orang lain dan meminta bantuan. Anna bergerak mundur, Jarred masih bergeming dan tangannya menahan Chloe yang terus mengomeli temannya agar segera menyeret Anna kembali ke rumah sebelum hari makin gelap. 

Entah apa yang ada di pikiran Jarred merelakan Anna berlari terpincang-pincang dengan darah yang masih mengucur dari balik kain celana. Gadis itu makin menjauh sedangkan Chloe justru memaki temannya mengapa membiarkan tawanan mereka kabur. 

"Diamlah, Chloe," ujar Jarred lalu mengeluarkan pistol Raging Bull 454 kesayangannya dari balik mantel lalu memicingkan sebelah mata untuk mencari titik melumpuhkan Anna. Setidaknya satu tembakan diharapkan bisa membekukan pergerakan gadis itu. Minimal tulang di bahunya patah atau perdarahan hebat. "Dia tidak akan bertahan dengan luka-lukanya, Jarred. Paling lama dini hari nanti Ms. Asmita bakal kehabisan darah."

Jari Jarred menarik pelatuk dan dalam hitungan detik peluru melontar begitu cepat tepat mengenai bahu kanan Anna. Tentu saja gadis itu ambruk seketika menimbulkan senyum samar di bibir tebal Jarred. Sebuah kelegaan tersendiri berhasil membidik tepat sasaran. Dapat dilihat Anna terkapar beberapa saat lantas merangkak berbarengan darah segar menembus bajunya tersebut. 

"Ayo kita bawa," ajak Chloe dan lagi-lagi ditahan Jarred. 

Kepalanya menengadah ke arah bentang langit senja dan terasa dingin, Jarred menebak kalau hujan disertai angin kencang akan segera datang. Instingnya tak pernah salah dalam memperhitungkan cuaca maupun nyawa manusia. Dia menerka jika dalam lima jam ke depan Anna sudah dipastikan tewas dan tinggal menunggu mayatnya dihanyutkan ke laut seperti yang sudah-sudah. 

"Hujan. Kita harus kembali," ujar Jarred.

"Bagaimana dengan Anna?" tanya Chloe. 

"Lima jam." Jarred melirik jam di tangan kanannya. "Jam sepuluh malam kita bergerak untuk mencari mayatnya, Chloe. Seperti yang kau inginkan, kita buang dia ke laut."

Chloe tergelak, menepuk-nepuk pundak temannya. "Kau seperti menunggu seekor tikus tewas dan mencari bangkainya."

"We do."

###

Jake berjalan mondar-mandir sembari telinganya mendengar seorang wanita membacakan berita terbaru mengenai lanjutan kasus menghilangnya Anna. Sesekali dia berhenti, menatap cemas layar LED televisi berukuran 43 inci di mana foto gadisnya terpampang beserta rekaman terakhir dua pria yang dicurigai sebagai tersangka. Sesuai analisa awal, dua pria di basemen beberapa waktu lalu yang mendorong troli berisi karung sebesar ukuran manusia itulah pelakunya. Di sisi lain plat nomor kendaraan yang digunakan mereka palsu sehingga menyulitkan polisi mencari jejak. 

Tak berapa lamat ponsel Jake berdering nyaring di atas meja. Dia langsung menyambar begitu melihat nomor Ezio terpampang di layar. Seketika Jake mendecak kesal karena mengira tadi polisi yang mungkin memberinya kabar terbaru. Dia menggeser ikon hijau lalu mendengar suara adiknya memanggil. 

"Ada apa?" suara Jake terdengar dingin. Dia meraih remote lalu menurunkan sedikit volume televisi lantas mendudukkan diri di sofa. "Apa kau sudah mendapatkan buktinya?"

"Dude. Apa kau tidak pernah merasa curiga pada Aria?" tanya Ezio seolah-olah mengejek kakaknya. 

"Apa maksudmu?" ketus Jake tak suka. "Kalau kau hanya ingin menghinaku, kututup teleponnya, Ezio."

"Wait, Jake! Astaga, kenapa kau jadi suka marah-marah, huh?" Ezio mendecak ikutan sebal terhadap kelakuan Jake. Padahal selama ini dia mengira kakaknya cukup pintar menagani wanita ular seperti Aria, nyatanya Jake benar-benar bodoh. "Aku sudah dapat cukup bukti kalau Aria memang bersalah, tapi ... astaga, kau tidak sadar, Jake?"

"Jangan membuatku marah, Ezio," geram Jake mengalihkan pandangan ke layar televisi.

"Apa kau tidak sadar sedari awal ponselmu disadap Aria?"

"Apa?" Jake menganga tak percaya. 

"Jesus! Sudah kutebak kau tidak mengetahuinya, Jake. Dengar, sekarang bayangkan Aria datang ke Bali seorang diri tanpa memberimu kabar padahal dia berjanji ingin berangkat bersamaku. Dia langsung mencecarmu dengan segala tuduhan-tuduhannya agar kau tersulut amarah dan mengaku kalau kau bermain belakang bersama Anna."

Mendengar penjelasan Ezio seperti meremas-remas jantung Jake sebelum dipukuli dengan palu. Kepalanya makin pening, saat menyadari kenapa sikap Aria berubah semenjak menginjakkan kaki di Bali. Gadis itu menyudutkannya tanpa takut seakan-akan memegang kartu mati Jake. Jadi, kemungkinan besar Aria sudah merencanakan penyekapan ini sedari lama.

"Aria menyadap seluruh isi media sosialmu. Dan tentunya dia tahu kau sering mengirim pesan kepada Anna dan terakhir ... seseorang bernama Shanon. Dan ... sekali lagi, kubilang kau agak bodoh, Dude. Dia tahu kau menyusul gadis itu ke Brisbane. Kau tahu apa yang terjadi sekarang? Anna hilang karena rencana mantanmu berhasil."

"Fuck!" Umpatan meluncur begitu saja dari bibir Jake. Rahangnya mengetat kuat ingin sekali mengutuk Aria. 

Gadis licik!

"Kuanggap itu ucapan terima kasih. Tapi, kalau kau ingin memasukkannya ke penjara akan susah, Jake. Aria berada di Italia sedangkan pelaku ada di Brisbane, tentu hukum pidana yang berlaku juga berbeda. Belum lagi keluarga Rogmana bisa menggunakan berbagai cara agar putri gila mereka tidak mendekam di penjara," terang Ezio. "Aku heran kenapa Papa bersikukuh menjalin kerja sama dengan mereka. Apakah kita punya hutang?"

"Tidak," jawab Jake. "Hanya janji di antara keluarga kita yang diucapkan bertahun-tahun lalu."

"Oh buruk sekali. Janji pria tidak bisa dibatalkan sekali pun dia mati."

Sebelum dia menanggapi ucapan adiknya, ada bunyi bip yang menandakan telepon lain masuk. Jake membeliakkan mata kala nomor polisi yang menangani kasus Anna memanggilnya. 

"Ada panggilan lain," kata Jake. "Akan kutelepon nanti."

Dia mematikan sambungan pembicaraan bersama sang adik lalu mendengar suara berat polisi yang memberi tahu bahwa mereka menemukan lokasi Anna. 

"Dia berada di Pulau Bribie, Mr. Luciano. Kami akan memastikan kembali bahwa mobil boks yang mereka kendarai memang ada di sana."

"Jadi, masih belum jelas maksudmu?" ketus Jake. 

"Anda tahu bahwa penculik ini benar-benar pintar memanipulatif. Namun, setidaknya polisi hutan setempat melaporkan adanya suara tembakan pukul 17.10 dan dari data pengunjung maupun peraturan yang ada, tidak ada yang boleh membawa senjata tajam atau senjata api."

"Apa kalian akan ke sana?" 

"Tim kami sudah berangkat lima belas menit lalu, Mr. Luciano, kami harap Ms. Asmita bisa ketemu," ujarnya. 

"Aku akan menyusul. Bisa kan?" pinta Jake. "Aku tidak mau sesuatu buruk terjadi padanya, Sir."

###

Apakah seperti ini rasanya berada di jurang kematian? 

Langkahnya terseret-seret sementara bibir gadis itu tersenyum getir. Sebelah tangannya memegang bahu yang luar biasa nyeri akibat luka tembak itu berhasil tembus. Napasnya makin lama makin berat seolah-olah ada batu besar mengimpit di dada. Untuk menarik udara masuk rongga paru-parunya saja, Anna meringis merasakan peluru di bahu kanan bergerak. Sial! rutuknya.

Hujan mengguyur begitu deras disertai gelegar petir menyambar-nyambar. Angin pun bertiup kencang membuat tubuh Anna menggigil bukan main. Giginya gemeletuk tak menemukan tempat berteduh sementara di sekitarnya hanyalah pepohonan. 

Beberapa kali Anna terhuyung nyaris ambruk, apalagi jarak pandangnya jadi terbatas akibat hujan. Tapi, di sisi lain, kemungkinan besar karena efek kurang makan dan minum atau karena darah yang terus-menerus keluar dari kaki maupun bahu. Luka tusuk di betis akibat ulah Chloe belum menunjukkan adanya tanda-tanda berhenti meski dibebat kain yang dirobek dari bawah kaus Anna. Alhasil, pergerakannya makin terbatas karena sensasi nyeri itu langsung naik hingga ke ubun-ubun.

Dia berjalan tanpa arah, sesekali menengadah membiarkan air hujan masuk ke dalam mulut sebagai pelepas dahaga. Deburan ombak yang tadi mendominasi kini teredam oleh suara hujan membasahi tanah. Gemerisik dedaunan juga tak ingin kalah ketika daun-daun di atas Anna bergoyang kuat ditiup angin. Anna terdiam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang makin lama makin tak nyaman. Lantas mendudukkan diri dan bersandar di batang pohon menjulang tinggi di mana air hujan mengeroyok Anna tanpa jeda.

"Jake," lirihnya merasa melihat bayangan seorang pria dari kejauhan. Dia mengerutkan alis menajamkan sorot pandang tapi sosok itu mendadak menghilang. 

Aku berhalusinasi kayaknya. 

Anna memejamkan mata sejenak tapi masih berusaha fokus tuk berjaga-jaga bila Chloe maupun Jarred mencarinya. Dalam diam, air mata Anna meleleh meratapi nasib buruk yang menimpa. Apalagi kalimat Chloe yang menghinanya terngiang-ngiang di telinga seakan-akan hukuman ini memang pantas Anna dapatkan. 

Dia berpikir, apakah jalannya akan sama bila tidak bertemu dan menaruh hati pada Jake? Apakah jalannya akan sama bila Silawarti masih hidup?

Mulutnya mengembuskan napas begitu pelan seraya menahan sakit. Tangan kiri Anna masih memegang erat pisau li Lalu pandangannya teralih manakala di depannya tampak sosok Silawarti tengah tersenyum sembari menggandeng seorang gadis sekitar lima tahunan. Ibunya terlihat sehat bugar dan wajah cantiknya begitu berseri-seri bagai tak ada beban. Wanita itu mengangkat tubuh si gadis kecil yang bermata bulat dalam pelukan.

"Ibu?" 

Aku halusinasi lagi? Itu aku kan?

"Kau cari di sana, Jarred!" 

Suara teriakan Chloe berhasil membuyarkan ilusi yang muncul di depan mata Anna. Dia membeliakkan mata, beringsut menggeser badan untuk bersembunyi di balik semak-semak berharap mereka tidak menemukannya. 

"Sialan!" umpat Chloe mengarahkan senter. "Sudah kubilang harusnya kita tidak membawa Anna ke sini, Jarred! Gara-gara pistol sialanmu, kita kena getah!"

"Diamlah, bajingan!" gertak Jarred kesal. "Bersyukurlah televisi memberi kita informasi, Chloe!"

"Persetan!" hardik Chloe.

Anna memeluk lutut erat mengabaikan tekanan luka di betisnya bermaksud menghindari sorot senter yang terus diarahkan Chloe. Kemudian, dia mengintip dua pria tersebut dari balik semak-semak. Jaraknya agak jauh, tapi memang suara Chloe yang keras berhasil mengimbangi derasnya hujan sehingga membuatnya terasa dekat. Begitu Chloe berbalik ke arah lain, Anna bergerak perlahan-lahan untuk menjauh jika memang polisi sudah mengendus posisi mereka.

"Apa dia masih hidup?" teriak Chloe. "Sudah kubilang kenapa kau tidak langsung membunuhnya saja?"

"Aku yakin dia tewas!" balas Jarred. "Berhenti menyalahkanku, Brengsek!"

Ya teruslah kalian berdua bertengkar, batin Anna.

Tak lama dia menangkap cahaya dari sebuah kendaraan yang melintas di pinggir pantai. Anna menggeleng cepat meyakinkan diri apakah itu ilusinya lagi atau memang benar ada mobil lewat. 

Mobil? Mobil polisi? Atau mobil milik rekan Chloe?

Dia menelengkan kepala mengingat-ingat kembali suara-suara dalam rumah tempatnya disandera. Tidak! Chloe dan Jarred hanya berdua tidak ada orang lain yang bekerja di bawah mereka. Jadi, sudah pasti kalau mobil itu mobil polisi. 

Apakah Jake di dalam sana?

Tak perlu menunggu waktu lebih lama, Anna bergegas keluar dari lari sekuat tenaga sembari berteriak. 

"Help! Help!"

"Fuck! Itu Anna, Jarred!" teriak Chloe panik berbarengan mobil itu makin mendekati area hutan. 

"Sial!" umpat Jarred. "Jangan maju, Chloe!" pekiknya agar Chloe tidak mengejar Anna karena mobil di depan mereka makin mendekat. Dia menghampiri Chloe dan menariknya untuk bersembunyi sementara sebelah tangan mengambil pistol dari balik celana. 

"Help!" jerit Anna menyeret kakinya paksa melambaikan tangan kiri ketika sorot cahaya itu mengarah padanya seakan-akan Tuhan tengah memberi jalan. Senyum penuh kelegaan terpancar, air matanya kembali berlinang bahwa mungkin nyawanya akan selamat. "Help!"

Kumohon siapa pun dia tolong aku!

Tak lama suara tembakan terdengar diiringi guntur bergemuruh di atas langit yang tak bosan menumpahkan air. Jeritan tak terelakkan menyusul bersamaan tubuhnya ambruk di atas gundukan pasir. Darah lagi-lagi mengalir deras tapi tak menghentikan letusan senjata api yang makin membabi buta.

"Anna!" 

Suara itu ...

Tembakan susulan kembali menggema saling bersahutan di antara rinai hujan juga  guruh yang berkilat-kilat bagai cambuk alam memecut manusia. 

"Anna!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro