Bab 48

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Woah!" seru Anna takjub ketika memandangi burung besi yang gagah berlogo LC di bagian ekor yang diyakini sebagai singkatan Luciano. Apakah ini salah satu kendaraan yang hanya dimiliki oleh mereka para kalangan atas? batin Anna menyadari jikalau Jake pasti tidak pernah memesan tiket pesawat sejak lahir. Bahkan dirinya saja tidak mampu membayangkan sebanyak apa kekayaan yang dimiliki keluarga Luciano mengingat bisnis anggur mereka dibangun sejak puluhan tahun lalu.

Tak berapa lama, bola mata Anna menangkap sosok pria tinggi nan ramping tengah turun dari kabin pesawat seraya melambaikan tangan ke arah Jake. Potongan rambutnya tidak keriting seperti Jake meski sama-sama berwarna hitam legam, bentuk wajahnya lebih lonjong dan bentuk matanya sedikit lebih bulat dibandingkan Jake. Satu hal yang sama adalah kulit cokelat eksotis mereka yang berkilau diterpa binar mentari bandara.

Beralaskan sepatu camps mocs berwarna netral yang dipadankan celana chino serta turtle neck abu-abu, lelaki itu menerbitkan senyum dan sinar mata secerah musim panas kala Jake maju dan merentangkan tangan menyambutnya. 

"Hei, Dude!"

Apa dia Ezio? Kenapa penampilannya benar-benar berbeda? pikir Anna menerka-nerka. 

"Bagaimana kabarmu, Ezio?" tanya Jake menepuk bahu adiknya lalu membalikkan badan sembari merangkul bahu untuk mendekati Anna. 

"Aku baik. Lega dan ... " Ezio mendekatkan mulut ke telinga Jake. "Bergairah untuk mengencani Shanon." Pandangan matanya beralih ke Anna mengabaikan cibiran Jake atas ketertarikan Ezio kepada teman kekasihnya itu. "Kau pasti gadis yang digilai kakakku!" sambungnya mengulurkan tangan kanan.

"Ah ... ya ..." Anna kikuk atas kalimat blak-blakan Ezio seraya membalas sambutan tersebut. "Anna Asmita."

"Nama yang cantik, Bella!" puji Ezio mengerlingkan sebelah mata yang dibalas tatapan tajam kakaknya. "Kalau kakakku melakukan sesuatu yang buruk lagi, racuni saja dia," candanya memelankan suara yang bisa terdengar jelas oleh telinga Jake.

"Jangan mengatakan sesuatu yang tidak-tidak, Ezio," tegur Jake memutar bola mata tak suka. Dia bergerak dan menarik tangan kiri Anna. "Katamu Shanon akan ikut?"

Yang ditanya mendengus kesal. "Sayangnya, sulit mendapatkan ijin dari tempatnya bekerja, Dude. Rasanya aku ingin membangun rumah sakit sendiri agar bisa menculiknya sesuka hati."

Shanon, cowok ini gila! batin Anna tercengang atas ide yang dilontarkan Ezio. Benar-benar bagai bumi dan langit mengamati kelakuan Jake dan adiknya. Anna jadi tak yakin apakah mereka kakak-adik sungguhan?

"Ah, kau pasti mendengar spoiler dari mulut ember kakakku, Anna. Ya ... aku naksir Shanon," tutur Ezio tanpa basa-basi. "Apalagi obsesinya terhadap Lagom. Terlihat seksi di mataku."

Shanon! Astaga! Dia stalker!

"Dia memang suka ..." Anna nyaris kehilangan kata-kata bagaimana menggambarkan rasa kagum Shanon terhadap Lagom tanpa menyebut bahwa temannya menyukai pantat Jake.

Beruntung Jake meminta Ezio segera naik pesawat karena beberapa menit lagi mereka harus terbang menuju Italia. Dia meminta Anna mengabaikan perkataan tak masuk akal adiknya tentang Shanon walau tahu Ezio tidak akan mudah dihentikan begitu saja.

"Apa adikmu mudah suka pada pandangan pertama?" tanya Anna berjalan tertatih-tatih dengan bantuan tongkat walker. "Seingatku, Shanon nggak pernah sekalipun bertemu Ezio secara langsung, Jake."

"Harusnya kamu pakai kursi roda saja daripada kesusahan berjalan," tukas Jake tak mengindahkan kalimat Anna. Selanjutnya dia berhenti di depan Anna dan membungkuk lalu berkata, "Naiklah ke punggungku!"

"Hah? Enggak ah! Aku berat!" kilah Anna. "Lagian aku bisa jalan sendiri!"

"Naiklah, Bella! Orang-orang sudah selesai memindahkan barang-barang kita," bujuk Jake menunjuk ke arah pria-pria yang sibuk memasukkan koper-koper besar ke dalam bagasi. 

Mau tak mau Anna menurut, sedikit kepayahan karena tangan kanannya masih disangga arm sling. Dia serasa melayang manakala Jake menegakkan punggung begitu mudah sembari menahan tubuh Anna dengan kedua lengan seolah-olah berat badan Anna tidak ada artinya. Anna menopang dagu ke bahu kanan kekasihnya dan melingkarkan tangan kiri merasakan betapa bidang dada pria itu. Dia juga bisa meraba degup jantung Jake yang seirama dengan miliknya.

Diam-diam, Anna mengendus wangi tubuh Jake sembari merekam poin-poin penting dari aroma yang diciptakannya. Bibirnya mengembang kala membuka kembali memori-memori di dasar kepala berhasil menebak bebauan parfum yang dikenakan Jake. 

Jeruk. Kopi sedikit ada aroma bunga. Vanila.

"Jake?" panggil Anna saat kekasihnya menaiki anak tangga menuju kabin. 

"Ya?"

"Kamu nggak merasa berat?" tanya Anna ragu. "Aku bisa turun dan jalan sendiri."

Jake berpaling sedikit seraya menarik sudut bibirnya tak ingin diremehkan. "Lebih berat menahan rindu nggak ketemu kamu, Anna. Aku nggak bakal tahan meski sehari."

Mendengar bualan Jake, Anna terbahak-bahak tapi senyumnya lenyap saat Jake menyapa tiga pramugara tampan berpakaian rapi. Tubuh mereka sama-sama tinggi, rahang terpatri tegas seperti milik Jake, kecuali bagian mata mereka berwarna hazel. Bagi Anna iris mata Jake-lah yang memesona sekalipun ada warna yang lebih indah dibanding kepunyaan kekasihnya. Anna meminta untuk diturunkan tapi lagi-lagi tak dihiraukan Jake yang berbincang sebentar dengan mereka dalam bahasa Italia yang begitu cepat. 

Aku nggak ngerti mereka ngomog apa, keluh Anna dalam hati. 

"Grazie infinite," kata Jake selagi melepas sepatunya dan berganti dengan sandal bulu lembut yang akan membuatnya nyaman selama perjalanan. Kemudian kembali berjalan menyusuri lorong dengan jendela-jendela yang membiaskan cahaya matahari sebelum disambut oleh ruang yang agak besar mirip lobi hotel. 

"Woah!" 

Lagi-lagi Anna dibuat terpesona dan hampir lupa bahwa di sini kabin pesawat pribadi milik Jake bukan lobi hotel bintang lima. Dinding-dinding panelnya memiliki motif vertikal yang teraba agak kasar tapi tidak menurunkan kelasnya. Dia mendongak mengamati langit-langit kabin yang terasa tinggi dengan pencahayaan cukup terang. Sementara di bagian lantai dilapisi karpet halus dan marmer.

Saat Jake membawa Anna ke area kursi penumpang, bibir gadis itu menganga lebar karena seumur hidup belum pernah melihat secara langsung bagaimana isi di dalam sebuah pesawat pribadi. Main lounge begitu luas diisi beberapa sofa berbahan kulit berwarna putih pucat dan hitam yang tampak berkilau akibat pantulan lampu. 

Tempat ini dilengkapi beragam fasilitas seperti TV utama berukuran besar yang bisa dinaik-turunkan, ada satu meja agak panjang yang di atasnya terdapat patung kristal berbentuk beruang kutub, hiasan papan catur yang berkilau, hingga dadu pajangan. Di belakang sofa utama, ada dua sisi meja juga sofa panjang di mana penumpang bisa makan. Sekarang Anna makin penasaran bagaimana area belakang kabin jikalau bagian utamanya saja sudah seperti ini. 

Jake menurunkan Anna di salah satu sofa dekat jendela kemudian berjongkok untuk mengganti sepatu kets kekasihnya dengan sandal bulu abu-abu. "Kalau kamu mau tidur lebih awal, di belakang ada kamar lengkap dengan toilet."

"Masih terlalu dini buat tidur, Jake," tolak Anna membelai lapisan sofa juga meja yang benar-benar halus. "Aku serasa mimpi naik ini."

Wajahnya ditangkup Jake disusul pagutan lembut yang menyadarkan alam bawah sadar Anna kalau ini semua bukan mimpi belaka. 

"Kalau ini mimpi, aku nggak bakal mau bangun kalau nggak ada kamu," goda Jake membelai bibir bawah Anna. Selanjutnya dia mendudukkan diri di samping gadis itu dan tak lama Ezio muncul dari arah belakang sembari mengenakan headphone. 

"Abaikan aku jika kalian mau bercumbu," tukas Ezio duduk tak jauh dari sang kakak dan Anna. 

Anna menarik lengan Jake dan berbisik, "Apa adikmu selalu blak-blakan? Kayaknya bakal cocok sama Shanon."

"Kalau aku? Apa cocok denganmu?" timpal Jake tak memedulikan pertanyaan Anna. "Kita sama-sama merasakan sesuatu yang nggak mereka mengerti," sambungnya mengerlingkan mata yang dibalas cubitan di perut. "Kuanggap cubitan kasih sayang."

(Ekspresi liat kakaknya lagi berduaan)

###

Perjalanan yang memakan hampir seharian penuh tersebut akhirnya mendarat secara mulus di bandara Florence. Mereka tiba sekitar pukul enam lewat sepuluh waktu setempat. Jake mengucapkan terima kasih kepada semua kru pesawat karena penerbangan lancar tanpa hambatan. Lantas dia berjalan menuntun Anna setelah melepas sabuk pengaman gadis itu. 

"Aku bisa jalan sendiri, Jake," kata Anna tidak ingin dianggap lemah.

"Baiklah," balas Jake. "Aku di belakangmu, Bella."

Meski kesusahan, pada akhirnya Anna berhasil menuruni anak tangga dan menghirup dalam-dalam atmosfer kota Firenze yang menjadi pusat peradaban renaisans di masa lalu. Sehingga banyak filsuf juga penulis terkenal berasal dari sini. Selain itu tempat ini merupakan kota lahirnya salah satu tokoh keperawatan terkenal bernama Florence Nightingale. Saat pertama kali masuk kampus, Anna begitu menggemari sosok pelopor yang iconic dengan lampu penerangan yang dibawa selama memeriksa kondisi tentara yang terluka semasa perang Krimea.

"Welcome to Italy, Bella!" sahut Ezio sembari menyampirkan jaket kulitnya di bahu kanan, menurunkan sedikit kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancung, dan mengunyah permen karet. "Kau harus betah di sini, Anna, dan ceritakan kepada Shanon pesona kami." Dia mengedipkan sebelah mata dan menyunggingkan seulas senyum menggoda.

Anna hanya bisa mengangguk karena masih belum terbisa dengan sikap Ezio yang dirasa terlalu brutal untuk ukuran orang yang baru mengenal satu sama lain. Benar-benar cerminan diri Shanon, batinnya geleng-geleng kepala. 

Tak berapa lama, dua mobil Rolls-Riyce Phantom keperakan datang menghampiri mereka. Ezio berjalan maju, melambaikan tangan sementara Jake merangkul pinggang Anna dan bertanya apakah gadis itu baik-baik saja karena perjalanan yang dirasa terlalu lama. 

"Aku baik-baik saja, Jake," tutur Anna. "Apa rumahmu jauh dari sini?"

"Butuh waktu sekitar setengah jam dengan mobil. Selepas sarapan kamu bisa langsung istirahat atau mungkin langsung tidur sembari menunggu makan siang?" tawar Jake.

"Nggak sopan tamu kalau langsung tidur. Setidaknya aku harus ketemu orang tuamu, apalagi nonna."

Jake melenggut setuju berbarengan mobil tersebut berhenti di depan mereka. Dia membukakan pintu dan menyilakan Anna masuk, sedangkan Ezio berada di mobil lain karena tidak ingin menganggu dunia kakaknya yang sangat ingin dia rasakan juga. 

Setelah semua barang-barang dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Jake mendudukkan diri di sisi kiri Anna lalu berkata, "Banyak tempat yang bisa kamu kunjungi di sini. Aku bisa merekomendasikan beberapa termasuk Florence sekarang."

Anna berpaling ke arah luar jendela mengabadikan bangunan renaisans yang tidak lekang oleh waktu ke dalam ingatan. Menurutnya, tempat ini tidak seperti kota lain yang pernah Anna baca di buku, hampir seluruhnya terpengaruh jaman romawi kuno seperti Milan. Tapi, Florence seakan-akan kekeuh untuk mempertahankan ciri khasnya hingga sekarang. Namun, hal inilah yang memikat mata dan hati bahwa menjelajahi Italia mungkin tidak akan pernah cukup satu hari.

Dia menaruh kekaguman kala melihat katedral Santa Maria del Fioere yang memiliki kubah kecokelatan yang cemerlang dan menjadi simbol ikonik Florence. Bangunan ratusan tahun tersebut masih awet, terbukti dari lapisan dinding luarnya dilapisi marmer bermotif geometris dan bunga. Jendela-jendelanya melingkar dan terkesan begitu elegan, sungguh detail yang diukir oleh arsitek jaman dulu benar-benar tidak main-main. 

Di sisi lain, bangunan di sekeliling gereja juga tak kalah menawan. Atap-atap bercat merah, dinding terbuat dari batu bata, hingga jalan setapak yang dipenuhi pejalan kaki maupun pengendara vespa-vespa. Belum lagi keindahan sungai Arno yang melintas serta jembatan yang dulunya dibangun oleh Etruscans dan sempat direkonstruksi akibat pemboman tentara Jerman. 

"Asal bersamamu aku mau, Jake," ucap Anna memutar kepala ke arah kekasihnya yang dibalas ciuman lembut di bibir. 

"Sepertinya kamu mulai ahli merayuku," ledek Jake terkekeh. 

"Kamu yang ngajarin," balas Anna menjulurkan lidahnya. 

Mobil yang membawa mereka kini menjauhi kota besar, melewati jalanan berkelok-kelok yang dihiasi pohon-pohon serta rerumputan yang tubuh subur. Rumah-rumah beratap merah dibalut bunga-bunga cantik yang menyejukkan mata, jalan-jalan kuno yang mengingatkan Anna akan dongeng anak-anak seperti Cinderella atau Beauty and the Beast. Pancaran matahari yang begitu terang seakan-akan terlalu bersemangat menyambut akhir pekan. Gerombolan awan putih melayang-layang bak kapas yang enggan mendarat. Dia membayangkan akan seperti apa ketika senja tiba, bila di pagi hari saja indahnya tidak bisa dilontarkan melalui kata-kata.

Jake bilang kalau jalan yang dilalui adalah jalur Via Chiantigiana yang menghubungkan Florence dan Sienna. Dia menambahkan kalau rute ini paling terkenal ketika memasuki desa pertama di Impruneta. Jake menerangkan jikalau desa tersebut populer melalui karya-karya terakota. 

"Benar-benar pusatnya orang seni," puji Anna.

Selain itu, sejauh mata memandang, bukit-bukit hijau zamrud berselimut kebun-kebun anggur pun tampak mendominasi membuat Anna bertanya-tanya apakah sekarang sedang musim panen, mengingat banyak orang yang sepertinya melaju ke arah yang sama. 

Jake melenggut membenarkan dan menerangkan jika bulan September adalah periode petik anggur yang sangat ideal karena sinar matahari yang panjang serta suhunya tidak terlalu panas maupun dingin. Oleh sebab itu, selama sebulan ini banyak festival tradisional yang berkaitan dengan masa panen dan produksi wine. 

"Di kotaku sering jadi tuan rumah untuk pameran wine, nanti kita bisa pergi ke Piazza Matteoti dan bertemu para pakar, distributor, bahkan pecinta anggur," jelas Jake membuat Anna terpukau. "Akan banyak stan yang menyajikan berbagai merk wine, prosciutto, keju, salami, dan vin santo. Atau ... kita bisa menari bersama orang-orang."

"Kedengarannya menarik, aku nggak sabar mau ke sana," kata Anna begitu antusias. "Lingkungannya enak banget," sambungnya mengedarkan pandangan di mana kebun-kebun anggur terbentang luas. 

"Rumahku ada di ujung sana," tunjuk Jake ke arah bangunan besar yang terletak di atas bukit. 

Anna membuka jendela dan seketika bola matanya membulat mendapati rumah Jake di luar ekspektasinya. Dia menoleh dan berkata, "Jadi, mana kebun anggurmu?"

"Yang kita lewati, seluruhnya kebun anggurku," jawab lelaki itu santai. 

Sialan! Benar-benar sultan!

"Selamat datang di rumah, Anna," ucap Jake begitu mobil berhenti di depan bangunan rumahnya yang megah. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro