Bab 7 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cumbuan tiba-tiba yang menyapa bibir Jake mendadak melumpuhkan sebagian kesadarannya. Bagai terhipnotis, seluruh atmosfer di sekitar mereka ikut berhenti, seolah-olah memberikan ruang untuknya dan gadis yang baru dikenalnya memantik gairah. Sisi lain dalam diri Jake menjamu bibir Anna, memagut dan membelai lidah tuk menyesap lembut sisa-sisa wine yang tertinggal di sana. Semanis madu, pikir Jake dalam hati. Manalagi sebelah tangannya bergerak menangkup rahang Anna, sementara tangan lain menarik pinggang rampingnya tak ingin ada jarak tercipta walau satu sentimeter pun.

"Jake ..." racau Anna merasakan dentuman dalam dada kini bergulung-gulung bagai ombak siap menghantam karang. Wajahnya memerah bukan main menahan malu akibat menerjang bibir Jake seperti perempuan murahan. Namun, dia tidak punya pilihan lain selain melindungi diri dari kejaran pria gila seperti Milo. Ekor mata Anna melirik ke arah sang mantan yang berdiri tak jauh di belakang punggung Jake tengah terpaku. 

Seketika kesadaran Jake terkumpul dalam satu jentikan membuatnya tercengang atas kelancangannya sendiri. Dia hendak menjauh, namun ditahan oleh Anna yang kembali memagut bibirnya lembut, meredam semua kalimat yang ingin dilontarkan. 

"Ada pria di belakangmu yang mengikutiku," lirih Anna di sela ciuman mereka. Jemari lentik Anna menelusuri garis wajah Jake yang ditumbuhi bakal janggut yang terasa kasar kemudian terhenti di bibir tipis nan basah lelaki itu. Ada bisikan kuat dalam diri Anna untuk kembali mencumbunya dan merasakan kembali diri Jake dalam mulutnya.

"Benarkah?" Jake ingin berpaling, tapi lagi-lagi Anna mencegahnya agar tak menoleh ke belakang.  

Entah dorongan dari mana, tangan Jake merengkuh pinggang Anna makin erat membuat Milo yang melihatnya makin muak. Dia mengacungkan jari tengah lalu berteriak, 

"Dia pelacur, Tuan!" Lantas dia melangkah pergi dan hilang di balik kerumunan orang-orang dan ditelan kekecewaan. 

"Haruskah aku mematahkan leher lelaki itu?" pinta Jake terdengar seperti sebuah peringatan di telinga Anna. "Aku bisa mencari--"

Anna menggeleng pelan. "Dia sudah pergi."

"Oh." Otomatis Jake mundur, berdeham salah tingkah kemudian memungut kantong plastik belanjaan Anna yang teronggok di tanah. "Harusnya aku mengantarmu sampai ke rumah," ucapnya merasa bersalah seraya memberikan barang bawaan Anna.

Anna berjinjit dan melongok sedikit dari bahu bidang Jake, memastikan sosok obsesi nan gila mantannya telah lenyap dari pandangan. Namun, di belakang pria berkulit eksotis ini hanyalah gerombolan turis asing yang mengenakan pakaian santai dan minim. Mereka tampak tak menghiraukan bahwa ada manusia yang baru saja berciuman mesra. 

Akhirnya Anna bisa bernapas penuh kelegaan seraya meremas dadanya sendiri. Tangannya gemetaran bukan main, debaran jantungnya yang bertalu-talu masih enggan berhenti seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Entah karena tangan tak seronok Milo yang menggerayangi tubuh Anna atau ciuman Jake yang masih terasa di bibir.

Buru-buru dia menerima barang bawaannya sendiri seraya berkata, "Makasih. Tapi ... aku nggak apa-apa kok." Ada keraguan tersirat dari wajahnya karena bisa jadi Milo memilih menunggu di ujung gang untuk menggauli sekaligus merampok isi dompetnya. Lagi-lagi bayangan Milo mencumbunya paksa dan hampir menyetubuhinya membuat bulu roma Anna berdiri bersamaan. 

Jake memerhatikan kain atasan Anna yang robek hampir memamerkan belahan dada. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa pria yang dibilang sebagai mantannya melakukan tindak kekerasan? Andai tadi Anna mengizinkan, sudah dipastikan lelaki yang menyakiti penolong Barbara ini mendapat bogem mentah sampai babak belur. Jake tidak suka ada lelaki main tangan kepada perempuan seolah-olah merekalah yang berhak atas tubuh pasangannya. Jikalau memang sudah tidak ada perasaan lagi, kenapa harus mendesak apa yang seharusnya direlakan?

"Apa yang terjadi?" tanya Jake. "Bajumu ..." dia menunjuk bagian kerah crop top Anna kemudian mengalihkan tatapan ke arah lain. "Terbuka."

"Astaga, sialan!" seru Anna baru menyadari bajunya robek cukup panjang.

"Tunggu di sini," pinta Jake meminta Anna tetap diam di tempat.

"Kamu ke mana?" teriak Anna. "Jake!"

Jake mengabaikan panggilan Anna dan menghampiri Audi miliknya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka tadi. Di sana ada sweter rajut biru tergeletak di kursi penumpang, setidaknya ini bisa membantu Anna menutupi bagian yang tak seharusnya diperlihatkan di depan umum. Apalagi bagian dada penuhnya nyaris terlihat dan pasti mengundang banyak mata untuk menikmati pemandangan tersebut. Jake bergegas kembali, memberikan Anna sweter Loro Piana miliknya dan menarik kembali kantung belanjaan agar gadis itu segera mengenakannya. "Pakailah!"

"Hah?"

"Apa kamu bakal mempertontonkan dadamu?" tunjuk Jake dengan dagu belah duanya lalu mengalihkan pandangan lagi. "Pakailah, Anna."

Mau tak mau, Anna memakai sweter rajut nan lembut di kulit walau benar-benar kebesaran di badannya. Dia menunduk, mengamati diri sendiri seperti tenggelam dalam baju milik Jake yang wangi. Sekelebat aroma vanila manis seperti susu bercampur amber dan sedikit bau jeruk segar terendus di hidung mancung Anna. Dia mengendus sekali lagi merasa bahwa wangi tubuh Jake benar-benar menggambarkan betapa seksi sekaligus mewah dalam satu waktu. 

"Hei," panggil Jake terkekeh mengamati tingkah gadis manis itu. 

Anna gelagapan bukan main, menepuk-nepuk bagian yang dihirupnya agar tidak meninggalkan jejak bedak maupun lipstik karena tahu pakaian Jake sepertiga gajinya selama satu minggu di Sydney. "Kamu berlebihan padahal aku nggak apa-apa."

"Perempuan bisa jadi mangsa terbaik pria, Anna. Pakaian apa pun kalau bagian tubuhmu terlihat, bisa membuat mereka jadi monster," tandas Jake. "Ayo, masuklah ke dalam dan ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu."  

"Jake, aku--"

"Nggak menerima penolakan," sela Jake menggandeng tangan Anna masuk ke beach club

###

Di ruang VIP berdinding putih dan berkonsep tropis modern, di mana ada dua sofa panjang berbahan kulit berada di tengah-tengah. Ruangan ini dibatasi pintu kaca tebal yang terhubung langsung dengan pemandangan pantai Melasti yang menawan. Biasanya Jake akan menyewa tempat ini sekadar melepas penat bersama beberapa teman dan rekannya dari dalam maupun luar negeri sembari meneguk wine atau champagne dari mini bar yang tersedia di belakang sofa. Ada satu LED Smart-TV berukuran 65 inci yang menampilkan seorang pria bertelanjang dada sedang asyik memainkan DJ Mixer yang tersambung oleh sound system yang sudah diatur khusus.

Jake mengambil botol sparkling wine dari lemari bar seraya membawa dua gelas berbentuk tulip. Dia mendekati Anna yang duduk di sofa kemudian bertanya, "Apa kamu terganggu dengan suaranya?"

Anna menggeleng cepat. "Nggak kok!"

Pria itu mendudukkan diri di sisi kanan Anna, membuka penutup botol wine dengan corkscrew lalu menuang pelan agar buihnya tidak tumpah ruah sampai muncul gelembung-gelembung halus menempel ke dinding gelas. Selanjutnya dia memberikan minuman tersebut kepada Anna. "Minumlah. Ini enak buat menghilangkan keteganganmu."

"Sudah beberapa gelas aku minum, Jake. Aku nggak mau mabuk," kata Anna tapi tangannya tidak menolak pemberian pria tampan tersebut. 

Jake hanya tertawa kecil, menuang untuk dirinya sendiri kemudian menyandarkan punggung ke sofa sembari menghirup sebentar aroma dan karakter yang dihasilkan sparkling wine itu. Bebauan pir, lemon, dan apel jadi satu menguar pertama kali sebelum disusul karakter mirip dark chocolate dan sedikit aroma cerutu. Saat kaki gelas digoyangkan agar wanginya merebak, Jake menyesap pelan membiarkan rasa sparkling wine berdiam sebentar di mulut sebelum membasahi kerongkongannya. 

Tatapan lelaki itu teralih ke bibir Anna yang menempel ke bibir gelas membuat dirinya ditarik secara paksa ke kilasan beberapa menit sebelumnya. Saat Jake bercumbu bagai sepasang kekasih yang tak lama berjumpa. Mesra dan liar. Bahkan dia masih bisa merasakan betapa lembut dan manis rasa bibir Anna. 

Bagai mencicipi sepotong cupcake!

"Jadi? Apa yang membuat pria itu mengejarmu?" tanya Jake berusaha untuk tidak memfokuskan pandangan ke arah bibir Anna. 

Yang ditanya menoleh sekilas lalu menghela napas panjang meloloskan beban ke udara namun tetap saja semua masalah itu tidak akan hilang begitu mudah. Anna menggoyangkan kaki gelas dalam kebisuan, menata kembali potongan-potongan masa lalu bersama Milo yang benar-benar ingin dihapus dalam ingatan. Rasa sakit akibat dimanfaatkan pria parasit itu pernah membuat hubungannya dengan Silawati merenggang. Jikalau bukan karena teman Anna yang menyarankan untuk meminta maaf kepada sang ibu, mungkin sampai detik ini mereka masih perang dingin.

"Aku bertemu Milo di jalan yang mengarah ke kampungku," jawab Anna memulai kisah menyedihkannya. "Kami ... sudah putus sekitar tiga tahun lalu."

"Kenapa?" Jake dilanda penasaran atas asmara Anna, bukankah para lelaki harusnya beruntung mendapatkan hati perempuan tangguh seperti gadis di sampingnya ini?

"Milo ... dia memeras uang jerih payahku dengan alasan untuk pengobatan ibunya di Spanyol," jawab Anna tersenyum kecut. 

"Kalau untuk pengobatan kenapa nggak pulang ke negaranya atau minimal kirim uangnya sendiri? Kenapa harus kamu yang notabene sebatas kekasih?" cerocos Jake gatal melihat pria yang seenaknya memanfaatkan finansial orang lain dengan menjual kisah sedih. 

"Aku nggak kepikiran sampai ke situ, Jake. Aku memberinya uang dengan harapan dia segera kembali pulang dan mengawasi kesehatan ibunya, tapi ..." kalimat Anna tersendat manakala perasaan jengkel bercampur marah bergerombol jadi satu dalam dadanya. Bukan nominal kecil yang dia keluarkan untuk Milo, melainkan hampir dua puluh juta dan semuanya raib dalam sekejap tanpa alasan yang jelas. 

Jake ingin menepuk bahu kanan Anna untuk memberi kekuatan, tapi urung dilakukan demi menjaga harga diri gadis itu. "Tapi?" Dia menyesap minumannya lagi tanpa melepas pandangan dari raut wajah Anna, merekam setiap ekspresi yang dikeluarkan dan sesekali ... mengamati garis bibir sensualnya. 

"Semua palsu," kata Anna meneguk habis sparkling wine lalu mengerutkan hidung merasakan gelembung minuman bercampur sensasi soda bersatu dalam mulutnya tanpa permisi. "Uangku digunakan untuk berfoya-foya bersama wanita lain di Canggu."

"Sialan!" geram Jake. "Apakah ibumu tahu?"

"Sedari awal ibuku memang nggak setuju aku menjalin hubungan bersama pria keturunan asing," ucap Anna. "Biasalah, trauma kalau anaknya bakal bernasib sama kayak ibu."

"Oh, maaf."

"Aku pikir ... kayaknya karma itu bakal berputar terus-menerus, Jake. Ibuku dicampakkan ayah. Aku dicampakkan Milo. Aku melihat semua lelaki hampir sama, mereka hanya mendekati perempuan untuk memuaskan rasa penasaran dan nafsu. Selebihnya ... ya udah dibuang kayak sampah."

"Nggak semua, Anna," elak Jake tidak ingin disamakan. Dia merasa selama ini selalu setia dan tidak pernah melakukan hal-hal aneh bersama perempuan lain. Lagi pula, Jake harus menjaga nama baik keluarganya di mata orang lain. Di sisi lain, romantisme kedua orang tuanya yang harmonis sebagai alasan dasar mengapa Jake tidak tertarik mempermainkan perempuan.

"Sebagian besar. Aku nggak menyindirmu sama sekali loh!" sergah Anna sambil tertawa. "Maka dari itu ... aku malas menjalin asmara lagi. Capek batin dan fisik. Aku juga harus mengurusi ibuku."

"Memangnya kenapa ibumu?" 

"Ibuku koma, Jake," tandas Anna muram. "Karena perdarahan di otak, ibu harus dioperasi cito."

"Di mana dia dirawat?" tanya Jake mungkin bisa mengunjungi ibu Anna yang sedang dirawat itu.

"Di ruang ICU Stroke, IHC," jawab Anna. "Tapi, untungnya temanku, Saras mau bantu nungguin ibu kalau aku ada panggilan kerja di Aussie. Jadi ... ya, gajiku dibagi sana-sini buat bayarin orang, bayar administrasi rumah sakit."

"Keluargamu?" Jake menelengkan kepala merasa kehidupan di balik senyum manis Anna menyimpan banyak rahasia kelam. Jika diamati, kantung mata di wajah gadis itu menunjukkan betapa banyak beban yang dipendamnya seorang diri. Jake benar-benar iba.

"Hei ..." Anna mengibaskan sebelah tangannya. "Anak haram sepertiku mana ada yang mau peduli? Aku cuma punya ibu, Jake. Selain itu, kuanggap orang lain."

"Ada aku, Anna," kata Jake membuat Anna membeliakkan mata beberapa saat. "Kamu bisa minta bantuanku kapan pun kamu mau. Pintu rumahku terbuka untukmu."

Bibir Anna terkatup tak mampu membalas kalimat yang terdengar seperti belas kasihan. Selama ini Anna berusaha untuk tidak menarik simpati siapa pun selama bisa berusaha sendiri mencari uang sampai ke negeri seberang. Toh, semua yang dia lakukan semata-mata ingin menyembuhkan Silawati dari koma dan berangan-angan memulai hidup baru di tempat yang tidak ada seorang pun mengenal mereka. 

Dia menggigit bibir bawah tak yakin apakah ajakan Jake hanya karena iba semata. Manalagi sentuhan lembut yang menyapa bibirnya lagi mendadak muncul menimbulkan jutaan kupu-kupu yang beterbangan dalam perut. Ada perasaan aneh sekaligus curiga mengapa pria yang baru dikenalnya ini sampai hati memberikan semua kebaikan tanpa batas. Apakah akan ada imbal baliknya jika dia menerima permohonan Jake? Atau semua itu hanyalah basa-basi biasa sebagai teman?

"Aku serius," ucap Jake seperti bisa membaca pikiran Anna. "Kalau butuh bantuanku, datanglah padaku, Anna. I'll be there for you."

Anna hanya menerbitkan seulas senyum tipis, tak mengiyakan juga tak menolak. Dia sadar diri bahwa menerima terlalu banyak kebaikan orang lain bisa memunculkan salah persepsi. Apalagi di hadapannya ini pemilik kebun anggur terkaya di Indonesia, mana mungkin Anna mengambil kesempatan itu untuk dirinya sendiri?

Di sisi lain, tak sengaja matanya menangkap sebuah cincin perak bergaya klasik tersemat di jari manis Jake. Sebuah tanda bahwa lelaki itu tak lagi lajang. Satu kenyataan pahit kalau ucapan Shanon kemarin adalah benar. Jake memiliki tambatan hati yang tidak mungkin tergeser oleh siapa pun karena kesetaraan sosial. Entah mengapa mendadak perut Anna terasa melilit saat pandangannya enggan berpindah dari cincin mewah tersebut. 

Perasaan macam apa ini? Sadarlah kamu Anna!


Pelan-pelan Pak Jake, Anna nggak kuat kalau digoda terus eh ternyata kamu udah ada yang punya 😭😭😭😭

Jake ini bisa green flag bisa red flag gk nih? Komen-komennn.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro