Bab 3 : Magoa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rena sempat mengalami adu argumen bersama Ika, karena dirinya yang bersikeras bahwa ia bisa pulang sekolah sendiri. Toh, jarak rumah dari taman kanak-kanak tidak sejauh yang orang-orang pikirkan, lumayan dekat. Memang awalnya Ika sangat berang, tetapi Rena yang aslinya sudah terbiasa dibentak hanya melemparkan raut tak peduli dan berlalu, meninggalkan Ika di sekolah serta melangkahkan kakinya menjauh.

Sekarang, ia sedang sibuk menendang kerikil-kerikil kecil di jalanan. Pikirannya hanyut entah kemana, dirinya biarkan mengalir saja. Perutnya mendadak berbunyi, membuatnya mengerutkan kening sebal.

"Kau tidak tahu seberapa aku menyayangimu, Ren."

"Astaga!" Rena menyentuh dadanya, terlonjak kaget saat suara laki-laki yang berat memasuki telinganya. Ia berbalik cepat, mencari siapa pemilik suara barusan, tapi tak ada siapa-siapa di belakangnya. "Apa-apaan, sih." Rena kembali melangkahkan kakinya setelah dirasa benar-benar tidak ada orang dan memilih untuk bodo amat saja dengan sekitarnya.

"Berhenti memberontak atau kau mau sekali lagi, huh?"

BRAKK!

Badannya terjatuh ke tanah kasar, jantungnya berdegub begitu kencang dan keringat dingin membasahi tengkuk serta belakang punggungnya. Napasnya memburu disela pandangannya menjadi memburam dan menggelap.

"Rena, kau sedang apa?"

Ia menoleh cepat ke belakang, menemukan dua anak kecil dengan seragam taman kanak-kanaknya, sedang menatap bingung pada dirinya yang terduduk di tanah. "Kau tak apa?" Rena mengambil uluran tangan Rafael untuk membantunya berdiri, sedangkan Fio sedikit menepuk bokong dan punggungnya yang kotor oleh tanah serta debu.

Rena terdiam sebentar, teringat sesuatu. Ia menoleh ke arah Rafael, lalu Fio bergantian tanpa mengatakan apapun. Melihat wajah bingung Rena, Rafael langsung mengerti dan melempar cengiran lebar. "Ah, kami belajar pengucapan bahasa Indonesia yang benar akhir-akhir ini." Meskipun masih ada dialek khas yang tersirat.

Fio mengangguk mengiyakan ucapan Rafael. "Terkadang, kau terlihat tidak mengerti dengan apa yang guru bicarakan. Jadi, kami ingin membantu sedikit, hehe," jelas Fio diakhiri dengan kekehan kecilnya.

Rena tak menjawab, ia hanya mengeluarkan 'oh' pelan. Napasnya mulai kembali stabil, tapi Rafael sudah lebih dulu menyadari bulir-bulir keringat yang tampak di kening dan leher Rena.

"Rena, kau tak—

Ucapan Rafael tepotong kala Rena menjauhkan dirinya dari gapaian anak itu. Ia meneguk ludah kesar, menghela napas yang panjang. "Aku lapar," celetuk Rena mencoba mengalihkan suasana agar tidak terfokus padanya.

Fio tiba-tiba menggenggam tangan Rena sambil tersenyum lebar. "Ayo ke rumah Rafael! Rafael pasti ada banyak makanan!"

"Hah? Mengapa rumahku?" tanya Rafael tak terima, wajahnya berubah cemberut karena Fio langsung memutuskan saja.

"Karena tidak mungkin dirumahku. Sudah diam saja, lagipula rumahmu yang paling dekat," jawab Fio setengah peduli. Anak perempuan itu sudah duluan menarik Rena untuk mengikutinya, meninggalkan Rafael yang mencak-mencak sendiri di belakang karena sebal.

Tak butuh waktu lama, Rena sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah luas tingkat dua bercatkan abu-abu royal. Mulutnya sedikit terbuka, tak menyangka bahwa anak-laki-laki dengan cengiran bodoh khasnya itu memiliki rumah yang besar seperti ini.

Ia menyenggol kecil Fio di sebelahnya, "kau yakin ini rumahnya?" memang terkesan jahat, tapi biasanua anak-anak sering mengaku-ngaku bahwa rumahnya besar dan kaya. Mana tahu Rafael adalah salah satunya.

Fio mengangguk mengiyakan tanpa lama, melempar tatapan tanya. "Memangnya kenapa?" bukan jawaban yang didapat oleh Fio, melainkan helaan napas tak percaya dari Rena.

Keduanya masuk mengikuti jejak Rafael menuju rumah besar itu. Di dalamnya lebih membuat rahang Rena hampir jatuh, ia menyisir pandangan ke seluruh interior yang begitu mewah untuk dilihat. Fio mengajaknya untuk duduk di salah satu sofa dengan design letter u itu, menghadap pada televisi 80 inch dengan rak-rak yang didominasikan warna abu-abu putih.

"Ah, siapa anak cantik ini~"

Rena berbalik, terkejut saat kedua pipinya langsung di cubit gemas oleh wanita pemilik rambut hitam legam panjang di depannya. "Aduh, imut sekali. Dimana kamu dapat anak perempuan secantik ini, El?"

Bola mata Rena melotot, ia berusaha sehalus mungkin melepaskan jari-jari tangan yang mencubit pipinya, tapi bukannya berhenti, wanita itu malah berganti mengelus pucuk rambutnya lalu kembali mencubit pipinya.

"Ini Rena, Tante." Fio memperkenalkan Rena pada wanita yang dipanggil tante itu, sedangkan Rafael sudah tak terlihat lagi di ruangan karena anak itu lari terbirit-birit ingin ke toilet.

Wajah wanita itu berubah menjadi sangat lembut seraya tangannya berhenti menjaili pipi Rena. "Jadi, ini dia yang membuat kalian berdua ingin belajar bahasa Indonesia, ya?" Fio tekekeh sambil menggaruk tengkuk belakangnya malu. "Tante kalau jadi kalian juga bakal langsung belajar, wong Rena secantik dan seimut ini!"

Rena hanya bisa tersenyum kikuk, terpaksa. Ia tidak terbiasa dengan banyak pujian seperti ini, ia tak tahu harus memberi reaksi seperti apa yang terlihat seperti jawaban anak-anak. Jadi, dirinya hanya memasang senyuman semanis mungkin.

"Bunda, jangan ganggu Rena. Tak lihat wajahnya sudah merah begitu?" Rafael akhirnya membuang napas lega, mengelus perutnya yang sudah tidak mules lagi. Ekspresinya seolah bertanya saat Rena memberinya tatapan maut, kemudian tak memedulikannya. "Bunda masak apa hari ini?"

Ibunda Rafael itu menegapkan punggungnya, berpikir sebentar. "Bunda hari ini ngga masak," jawab wanita itu dengan senyum tipis yang timbul. Baru Rafael hendak protes, Bunda langsung melanjutkan ucapannya dengan sebal. "Kan, kamu yang mau makan di luar hari ini, El."

Anak laki-laki itu cemberut, berjalan mendekat pada Rena dan Fio dengan wajah masam. "Maaf, hari ini Bunda ngga masak." Rena buru-buru menggoyangkan tangannya di udara, mengisyaratkan tidak pada Rafael.

"Tidak, tidak apa. Aku tidak lapar."

Tepat saat ia menolak perutnya berbunyi, yang sialnya sangat keras. Fio menahan tawanya dengan menutup mulutnya sedangkan Rafael dan Bunda saling menatap untuk sebentar lalu tertawa kecil. Kepala Rena jatuh tertunduk, merasa malu ia tak berani untuk menatap siapa-siapa.

Setelah tawa Bunda reda, ia mengusap pucuk kepala Rena dengan lembut. "Mau Bunda buatin makanan untuk Rena? Sebentar aja, kok." Rena menolak dengan halus, menggeleng kecil pada wanita dewasa yang tinggi itu.

"Ini sudah sore, Tante. Rena harus pulang, nanti Kakak marah kayak kemarin," tolak Rena disertai senyuman tipis yang sepertiya bisa meluluhkan Bunda.

Wanita itu mengangguk mengerti. "El, antarin Fio sama Rena sana."

"Hah, kok?"

"Kamu, kan, laki-laki. Harus gentleman." Bunda mengepalkan tangannya dengan wajah yang sungguh Rafael tak suka dari kecil. Pasalnya, ibundanya itu hanya akan mengeluarkan ekspresi seperti itu di detik-detik ia akan dimarahi.

Rafael membuang napas malas, wajahnya merengut tapi tetap mendengarkan perintah Bunda. Ia menemani Fio yang memang rumahnya tak jauh dari rumah Rafael. Mereka melambai seraya Fio masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rafael dan Rena yang sudah akan pulang.

"Aku pulang duluan, tak perlu di antar."

Rafael langsung protes, tapi Rena menulikan telinganya tak peduli. Dirinya terus berjalan menenteng tas, lalu berhenti karena merasakan bocah laki-laki bernama Rafael itu masih mengekorinya di belakang.

Rena berbalik cepat, membuat Rafael yang awalnya sedang tidak menaruh perhatian sama sekali dan sibuk memperhatikan jalan langsung terperanjat kaget. Rena mengerutkan keningnya, menarik oksigen sebanyak mungkin ke dalam dadanya. "Jangan mengikutiku, pulang sana."

"Bahaya kalau kau pulang sendiri, Rena."

Rena kembali menarik napas panjang, entah yang keberapa kalinya dalam hari ini. Mengapa bocah di depannya ini terus berkata-kata selayaknya orang dewasa, sih? Seperti tidak berbicara dengan anak umur enam tahun, lebih seperti dengan anak usia remaja. "Kau tahu apa tentang bahaya?" sarkasnya sebal. "Aku bisa menjaga diriku sendiri, jadi pulang sana." Ia membalikkan tubuh Rafael, mendorongnya agar segera pergi.

"Oke, tapi hati-hati, mengerti?" Rafael menatapnya lamat, sedangkan Rena hanya mengiya-iyakan saja agar anak itu bisa cepat-cepat pergi.

"iya, iya," desis Rena kesal. Ia melangkahkan kakinya lagi untuk berjalan pulang menuju rumahnya.

Warna oranye sudah menghiasi langit saat kakinya berhenti di depan pintu rumah Tante Ika, ia menghembuskan napas berat sebelum memasuki kamar Rika. Membuka knop pintunya dengan pelan agar tak berderit keras.

Ia mengintip ke dalam, bernapas lega saat mengetahui Rika tidak ada di dalam kamar. Apa kakaknya itu masih belum pulang dari sekolah? Namun, ini sudah sore, apa mungkin sekolah menengah pertama sudah sampai jam segini pulangnya?

"Kenapa baru pulang sekarang?"

Rena berbalik dengan cepat, terkejut saat ternyata Rika berada di belakangnyaa, menatapnya tajam dengan ekspresi marah yang tergurat jelas disana. "Kemana aja kamu? Udah pintar sekarang, ya. Disekolahin untuk belajar malah main tanpa izin sama siapa-siapa. Kamu kira kamu Raja, hah? Ngga perlu izin atau apa? Kamu kepikiran sama bahaya, ngga? Kalau diculik atau diapa-apain nanti gimana?"

Telinga Rena seolah tuli, ia tak bisa mendengar dengan jelas omelan dari Rika. Yang bisa terfokus oleh otaknya hanyalah tatapan tajam dan penuh dengan rasa marah yang ditodongkan Rika padanya.

Aku harus apa?

Aku harus mengatakan apa?

Bagaimana caranya agar Kakak tidak berpikir aku bukan anak-anak?

Takut. Ia takut. Dirinya tak tahu harus memberi reaksi macam apa. Rika bahkan sudah tidak memanggilnya 'Adek' lagi karena marah, Rena benar-benar buntu. Ia tak tahu harus melakukan apa. Ia bingung caranya untuk bersikap seperti anak-anak.

Seperti bocah 6 tahun.

"Hua ...."

Rika langsung kelabakan, gadis itu berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Rena. Ia menghapus air mata yang turun dari kedua belah mata anak itu, tapi bukannya mereda, tangsi Rena malah semakin menjadi.

"Kakak minta maaf, ya? Maaf, maaf." Baru Rika berusaha memeluk Rena, anak itu berlari masuk kamar dan mengurung dirinya dalam kamar mandi. "Adek, Kakak ngga bermaksud marah sama Adek." Rika mengetuk pintu kamar mandi, menyuruh yang di dalam untuk membukanya.

"Ngga mau! Kakak jahat!"

"Kakak marah karena Adek ngga izin untuk main! Adek gimana, sih? Mbak juga bisa cape. Ini Mbak baru pulang langsung dimarahin samaa Tante Ika karena kamu keluyuran habis pulang!"

Tak ada jawaban dari dalam, Rika akhirnya menyerah mengajak Rena untuk keluar. Ia mengambil jaket yang tergantung di kursi dan keluar sambil membanting pintu. Lalu setelahnya, hanya ada hening dan suara rintik lamban air dari keran.

"Fuck."

Rena mengacak rambutnya hingga berantakan, air mata palsunya langsung ia lap dengan lengan baju. Dirinya menubrukkan kepala pada dinding kamar mandi seraya jari tangannya menggaruk keras lengan kiri.

Ia terlalu bingung untuk melakukan sesuatu dan hanya terpikir untuk menangis sekeras mungkin. Sebenarnya merajuk bukan rencananya, tapi ia berpikir bahwa ia bisa kabur dari situasi ini dengan cara itu. Meskipun hanya untuk sementara, karena setelah ini ia harus meminta maaf pada Rika.

Yah, itu masalah lain. Ia bisa pikirkan nanti.

...

Suara orang-orang yang berbicara memuakkan.

Bunyi denting jam dinding dalam ruangan bersuhu dingin itu memuakkan.

Dan wajah anggota keluarganya yang berada di sekitar ranjang itu memuakkan.

Ia bisa lihat Ibunya dan kakak pertamanya berbicara dengan ekspresi yang serius di ruangan dengan pencahayaan minim itu, dan ia bisa melihat tubuhnya seakan dilem ke kasur. Tak bisa bergerak sedikit pun.

Apa ini? Mimpi?

"... kan saja?"

Suara kakaknya tak bisa terdengar jelas, tapi ia bisa paham bahwa abangnya sedang menentang ucapan Rika. Mereka berdua berdebat untuk beberapa saat sebelum kakak pertamanya, Rita, menengahi adeknya. Rena sendiri berdiri di ujung ruangan, tidak bisa bergerak, hanya bisa menyisir pandangan.

"Reno, ayo ikut saran Rika saja."

"Maksud lo kita nikahin adek kita sama si anjing yang udah merkosa dia, hah?"

Jantung Rena rasanya seperti dibolongi mendengar hal itu, ia berusaha memberontak, tapi ia tidak bisa bergerak dari sudut ruangan. Hanya bisa memandangi adegan yang sedang terjadi.

"Mama juga udah setuju, kita ngga tahu Rena hamil atau ngga karena anak itu. Rena udah menstruasi, ada kemungkinan."

"Ngga, Anjing! Gue ngga setuju, bangsat!" Abang Rena masih bersikeras membantah, sebelum sang Ibu tiba-tiba membentak dan mengheningkan ruangan.

"Reno! Ini satu-satunya yang bisa kita lakukan. Lagipula, anak itu mau bertanggungjawab kalau Rena sampai hamil, jadi mending kita nikahin aja mereka."

"RENA MASIH 12 TAHUN, MA!"

Pandangan Rena memburam, kepalanya pusing. Ia seakan bisa merasakan apa yang dirinya rasakan dari jauh. Ingatan apa ini? Mengapa seperti dari pandangan orang lain? Mengapa tidak pandangannya sendiri?

Rena melihat saat tubuhnya bisa ia bawa untuk bangkit dari kasur. Meskipun tidak bisa stabil berdiri, ia memaksakan kakinya agar berjalan menuju sang Ibu. Dirinya tersandung oleh kakinya sendiri saat sudah sampai, membuatnya jatuh berlutut tepat di depan kedua kaki Ibundanya.

"Jangan ..., jangan, Ma." Gadis dengan ekspresi sendu dan berantakan itu mendongak, hanya untuk menemukan ekspresi kecewa bercampur marah yang terbit di wajah sang Ibu. "Rena dipaksa, Ma. Rena juga ngga mau—digituin," pintanya memelas. Ia cegukan karena hampir menangis dan napasnya menjadi sesenggukan.

"Kalau kamu dipaksa kenapa kamu ngga teriak?"

"Hah ..., Rena ngga bisa ...." Ia menggeleng keras, napasnya tercekat saat pertanyaan itu dilempar padanya. "Rena ngga bisa teriak, ma. Rena cuma bisa diam," jelasnya berusaha meyakinkan. Namun, raut Ibunya dan kedua kakaknya tidak berubah. Masih seolah menghakiminya atas kesalahan yang tidak ia buat.

Rena mundur kebelakang, tangannya memudar seakan dunia yang sedang ia tempati ini mulai menghilang. Tidak, ia masih ingin melihat lebih lama apa yang terjadi. Memori apa ini? Dia masih ingin mencari tahu.

"Berarti kamu juga mau," ketus Rika membuang wajahnya.

Wajah dirinya tampak pucat sekali, menggeleng sekeras mungkin menampik ucapan Rika yang menusuk hatinya begitu dalam. "Rena aja ngga tahu apa-apa tentang itu, Kak! Rena dipaksa sama dia!" Ia menarik-narik daster Ibunya, memohon begitu putus asa. "Ma, Mama. Rena mohon." Dirinya menggosok kedua telapak tangannya untuk memohon, tapi lagi-lagi tak di respon sama sekali. Rasanya seperti ia memohon pada dinding. "MAMA!"

Punggung Rena menyentuh sudut ruangan, napasnya sesak. Ia tidak tahu apa alasan yang membuatnya begitu putus asa sampai berlutut. Memangnya apa kesalahannya sampai diabaikan begitu saja? Apa ini yang akan terjadi di masa depan? Mengapa ia tidak bisa mengingat apa-apa tentang kehidupan sebelumnya setelah kembali ke masa lalu?

Abangnya tak kuat melihat dan memilih untuk keluar ruangan, diikuti dengan Rika yang masih berusaha meyakinkan sang Abang. Ibu dan Rita juga meninggalkannya yang masih berlutut di lantai, lalu menutup serta terdengar bunyi kunci yang diputar.

Buru-buru dirinya dengan tubuh remaja itu berlari meskipun terseok-seok menuju pintu yang tertutup rapat, meneriakkan nama ibunya dengan keras. Tangisnya pecah, meraung-raung sekeras mungkin.

Dengan secercah harapan bahwa ada yang mendengarnya.

Mendengar betapa menyedihkannya dia.

"RENA!"

Rena mangambil napas pendek, kelopak mataya terbuka paksa oleh gangguan yang ia rasakan di pundaknya. Segera ia tegapkan punggungnya, melihat ke arah kiri dan kanan berulang untuk memastikan dimana ia sekarang.

Kedua matanya membulat saat mendengar suara seseorang dari sebelahnya. "Kau berkeringat dari tadi, aku pikir kau demam," ujar Rafael yang duduk menyandar di sebelahnya. "Ada apa? Mimpi buruk?" tanya anak itu bingung.

Rena hanya bisa menghela napas panjang, menghembuskannya dengan berat. Ia perlahan menoleh ke arah kanannya, pada Rafael yang memandangnya penasaran. "Tak apa, aku hanya mimpi buruk."

Rafael memajukan bibirnya bosan. "Mimpi tentang apa?"

Jika ditanya seperti itu, Rena tiba-tiba tak bisa mengingatnya. Ia menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal. "Tentang apa, ya? Aku lupa," jawabnya jujur. Anak di sebelahnya berteriak kesal, padahal sudah penasaran, tapi Rena malah lupa.

Mimpinya menjadi buram, ia tak bisa mengingat apa yang terjadi, apa yang dibicarakan, dan dimana tempat itu. Semuanya seakan mejadi abu-abu di ingatannya.

Namun, ia masih bisa mengingat perasaan putus asa yang seolah membolongi jantungnya itu. Ia bisa mengingat suaranya yang hampir habis karena berteriak, meskipun ia tak ingat apa yang ia panggil dengan nada sepilu itu.

Setelah detak jantungnya kembali stabil, Rena menyandarkan punggungnya pada dinding kelas. Kelas tampak sudah kosong, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11 siang membuat Rena mendecak wajar. Anak-anak TK sudah pulang, dan Rafael serta Fio pasti menunggu Rena pulang karena masih ingin bermain.

"Tanggal berapa sekarang?" Rafael kembali menoleh padanya saat Rena memulai topik, ia bergerak untuk mengambil kalender yang berada di rak sudut sekedar untuk memastikan.

"Tanggal 25, mengapa?" Rena tak menjawab, malah diam dan sibuk berpikir.

"Tidak ada," jawabnya singkat. Rena membenturkan sedikit keras kepalanya pada dinding kelas karena pikirannya sedang begitu berisik, apalagi karena mimpi barusan. Terhitung sudah hampir dua minggu Rika mendiamkannya. Ia tak bisa membawa dirinya untuk meminta maaf karena merasa hanya akan dimarahi lagi, dan ternyata Rika juga tidak ada inisiatif untuk mengajaknya berbicara.

Mungkin, jika ini adalah jiwa aslinya yang berumur enam tahun. Ia pasti sudah menangis keras-keras agar diperhatikan dan tidak di diamkan, berusaha keras mencari perhatian Rika. Sayangnya, sekarang ia terlalu malas untuk sekedar melakukan hal itu. Lagian, ia memang tidak dekat dengan Rika.

"Persetan ini semua," gumamnya lirih. Kepalanya ia benturkan pada dinding berulang, kali ini lebih keras untuk meredakan pening serta betapa berisik otaknya sekarang.

Gerakannya terhenti saat dirasa dinding sudah tidak keras lagi, malahan lembut. Rena menoleh ke sebelah, memberi tatapan bertanya pada Rafael yang menggunakan telapak tangannya agar belakang kepalanya tidak membentur dinding.

Cengiran lebar khas laki-laki itu terbit di wajah Rafael. "Jika bagian belakang kepalamu sering terbentur sekeras itu, bisa menimbulkan masalah serius, Ren. Seperti menimbulkan gangguan keseimbangan, mual-mual, gagal pernapasan dan beberapa komplikasi lainnya," tutur Rafael menjelaskan.

Rena tak menjawab, mengerutkan keningnya kesal karena anak laki-laki itu terus menganggunya. Padahal tadi ia bisa sedikit tenang. "Tahu darimana?" tanya Rena masih dengan kepala yang tersandar pada telapak tangan Rafael.

"Bunda yang bilang," jawabnya jujur. "Lagian, ngga bagus kayak gitu, Ren. Nanti kenapa-napa, loh."

"Kau selalu terdengar seperti orang dewasa, itu menyebalkan."

Dari ujung mata, Rena bisa melirik Ika yang sudah mulai mematikan ruangan-ruangan kelas dan mengunci pintunya bersama guru lain. Ia bangkit, menunduk untuk menatap Rafael yang masih duduk. "Sekolah mau ditutup, kau mau tidur disini?" Rafael hanya terkekeh, laki-laki itu mengulurkan tangannya ke atas dengan senyuman yang terpatri lebar.

"Bantu aku."

Rena mengerutkan keningnya keheranan. Ah, untuk sejenak aku lupa dia adalah anak kecil.

"Kau berat," ketusnya pura-pura keberatan saat menarik Rafael. Yang ditarik hanya tertawa sembari mengambil tas kecil berwarna abu-abu miliknya itu. "Kau suka abu-abu?" celetuk Rena seraya keduanya keluar dari kelas untuk menghampiri Fio yang sedang bermain dengan seekor kucing putih di dekat kolam.

Rafael menggeleng sebagai jawaban tanpa memberikan penjelasan yang Rena inginkan. "Tapi, barang-barangmu didominasi warna abu. Rumahmu juga," lanjut Rena masih penasaran.

Rafael tak langsung menjawab, dirinya menunduk dan menatap pada kedua sepatunya. "Iya, sih." Rafael menggaruk kepalanya dengan cengiran kecil. "Bagaimana, ya, menjelaskannya? Itu warna kesukaan seseorang."

"Siapa?"

Rena langsung menyadari perubahan raut wajah Rafael, menyadari bahwa rasa penasarannya hanya menganggu orang lain. Ia meneguk ludah dengan kasar lalu cepat-cepat dirinya menghampiri Fio dan menyuruh kedua temannya itu pulang.

Setelah sampai di depan pintu kamar, segera ia rebahkan badannya di atas kasur tanpa melepas seragam. Pandangannya kosong menghadap langit-langit kamar, kemuudian memburam hingga tak sadar dirinya sudah terlelap dalam bunga tidurnya.

Lelah sekali.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro