1. Cheese Stick

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Seperti halnya sepotong cerita yang melewati pembuka, cheese stick adalah hidangan favorit menu pembuka meskipun orang Indonesia lebih suka menyebutnya sebagai camilan)

Aku tahu setiap manusia memiliki masalahnya sendiri. Mereka berjuang di jalan yang mungkin tidak ketahui. Seperti halnya diriku yang berjuang untuk mengatasi masalah sama selama bertahun-tahun tanpa ada yang tahu kecuali satu orang.

Kuperhatikan sesosok langsing yang baru saja turun dari mobil dan melenggang masuk ke dalam studio tari di kawasan Setiabudi ini lalu menghela napas tanpa sadar. Selama bertahun-tahun aku selalu ada di bawah bayang-bayang sosok dengan wajah yang sangat mirip denganku. Caramel Arzeti Imurina, saudara kembar yang sudah berbagi segalanya denganku sejak dalam kandungan.

Berbeda denganku yang kikuk kalau bergerak, Caramel sangat luwes. Itu sebabnya dia menjadi penari balet dan juga model yang cukup terkenal saat ini. Dia mempesona dan memiliki kepribadian yang kuat namun tetap lemah lembut. Sesuatu hal yang berkebalikan dengan segala hal dalam diriku. Terus terang saja, dia adalah masalahku yang terbesar di dunia ini.

Aku menghempaskan kembali punggung ke kursi mobil, mencoba untuk mengendalikan perasaan kesal karena melihat Caramel yang super duper sempurna di pagi hari yang cerah. Ponsel adalah pelarian yang cukup efektif. Melihat postingan teman-teman di sosial media cukup untuk membuat perasaan kesalku menguap perlahan.

Jalanan Jakarta yang belum terlalu macet di jam enam pagi ini, membuatku bisa sedikit santai. Spotify yang diputar dalam mobil memainkan lagu Antisocial-nya Ed Shareen dan tanpa sadar aku bergumam mengikuti nyanyian. Semakin lama, otakku tidak lagi memikirkan Caramel si sempurna dan mulai santai.

Aku diturunkan di kawasan Kuningan, tidak jauh dari gedung kantorku. Setiap pagi, kuhabiskan waktu untuk menikmati jalan kaki sebelum panas menyengat dan polusi semakin meningkat. Menurutku, berjalan kaki bisa otak lebih lancar dalam berkreasi. Sebagai salah satu copywriter di perusahaan iklan, membuat otakku harus selalu mencari ide dan hal baru yang menarik.

Terdengar dering ponsel dan aku langsung mengangkatnya tanpa melihat caller id. Jam segini, hanya ada satu orang yang akan meneleponku untuk sekedar menitip sarapan di kantin bawah gedung atau menanyakan aku mau minum kopi atau cokelat.

"Yes, Ray? Gue masih menikmati jalan kaki yang nikmat sambil cari ide buat nulis. Kenapa?" Suara di seberang sana tertawa. Orang itu selalu saja tertawa kalau mendengar ocehanku di pagi hari. Katanya seperti mendengar cuitan burung yang berisik. Menurutku, dia memang setengah gila. Masa suara manusia disamakan dengan cuitan burung?

"Meeting 45 menit lagi dan lo belum sampai di kantor, Vanilla. Jangan hara pada keringanan ya kalau datang terlambat. Anyway, lo mau kopi atau cokelat?"

See? Orang ini sebenarnya mau nanya aku pilih kopi atau cokelat untuk meeting pagi ini. Ada seorang pengusaha yang ingin menggunakan jasa periklanan dari kantor kami. Kabarnya pengusaha itu masih muda namun memiliki insting bisnis yang sangat luar biasa.

"Gue mau kopi. Caramel Machiatto special buatan lo ya, Ray? Terus jangan khawatir terlambat. Lima menit lagi gue sampai, beberes di toilet dan ada di depan lo tepat waktu."

Bagi Ray, sahabatku yang super duper bawel itu, ucapan bahwa lima menit lagi aku sampai, tidaklah cukup. Butuh waktu untuk meyakinkannya kalau aku benar-benar sudah dekat di kantor. Bukan salahnya sih, aku sering mengerjai laki-laki itu waktu kami janjian dengan berkata sudah di jalan padahal aku baru bangun tidur. Setelahnya Ray seperti tidak percaya padaku.

Aku baru berhasil membuat Ray percaya saat bertemu dengan salah satu security gedung dan meminta bapak baik hati itu untuk bicara dengan sahabatku. Sambil tertawa Ray mengucapkan terima kasih lalu menyuruhku segera datang.

Sebelum ke meja kerja, aku memutuskan untuk mampir ke toilet untuk membenahi penampilan, juga untuk mencuci muka. Beberapa orang di toilet sedang asyik bergosip. Aku tertawa saat menyapa mereka. Perempuan, dimana-mana pasti ada saja omongan mereka. Seperti hari ini, mereka membicarakan client baru di project yang aku pegang.

"Lo beruntung ya, Illa. Bisa kenalan sama si cowok ganteng itu." Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka karena jujur saja sebenarnya aku juga belum melihat si client baru. Menurutku penampilan pengusaha itu pastilah sama-sama saja.

Setelah selesai merapikan diri, aku melambaikan tangan pada para perempuan yang masih sibuk membedaki wajah mereka. Buatku, bedak dan segala macamnya hanya akan menghabiskan waktu. Jadi sehari-hari aku hanya memakai tabir surya, cushion dan liptint karena lebih praktis.

Terdengar dering ponsel lagi saat aku bergegas menuju meja kerja. Ray tentu saja mengecek aku ada di mana supaya tidak terlambat meeting. Secara struktural, aku memang anak buahnya di kantor dan dia berusaha keras supaya timnya tidak berbuat ulah. Langkah yang tergesa dan ponsel yang menempel di telinga membuatku tidak memperhatikan sekitar. Tepat ketika berbelok, aku menabrak sesuatu yang keras dan langsung terpental mundur.

"Sorry ... sorry." Suara itu tidak sedalam suara Ray namun tetap berat. Sesuatu menangkap pergelangan tangan sebelum aku menghantam lantai. Kupicingkan mata menatap sesuatu yang ternyata orang itu.

"Saya yang minta maaf. Tadi jalan nggak lihat-lihat," sahutku tidak enak hati, masih berusaha fokus untuk melihat laki-laki itu. Sepertinya aku harus mulai memeriksa kondisi mata. Masa tertabrak sedikit lalu penglihatanku berkunang-kunang.

"Kamu nggak apa-apa?" Nada suaranya begitu khawatir sampai aku otomatis tersenyum.

"Absolutely saya ...."

Semua kata-kataku hilang di perjalanan saat berhasil melihat sosok di depanku dengan baik. Wajah dengan rahang tegas yang sempurna, mata cokelatnya yang melihat dengan tenang seolah menunggu jawaban ... hanya ada satu kata untuknya. Sempurna.

Kau begitu sempurna

Di mataku kau begitu indah

Mata laki-laki itu mengedip menunggu ucapanku selesai. Kugelengkan kepala untuk mengembalikan fungsi-fungsi telenchepalon mengendalikan lobus frontal. Entah dari mana aku bisa mengingat nama ilmiah fungsi kerja otak besar yang mengendalikan ingatan dan fokus.

"Saya nggak apa-apa." Akhirnya kata-kata itu keluar dengan baik. Sekali lagi aku menarik napas, mencoba berpikir dan bertindak normal. Belum sempat berbuat apa-apa, sebuah tangan besar jatuh ke pundakku.

"Vanillaaa! Lama banget. Meetingnya udah mau mulai, lo malah ngobrol sama clientnya." Aku mengerjap bingung. Orang di sampingku adalah Ray, siapa lagi? Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum pada laki-laki penabrak mautku.

"Soka? Bartlet Ajisoka pemilik gerai Cheeze Bakehouse?" Kutatap Ray yang balas melihat dengan tajam.

"Please, Illa. Demi jutaan sel-sel di otak lo. Hapus iler lo segera! Ke ruang meeting, sekarang!" desisnya sebelum berbalik dan tersenyum pada Soka lalu mulai menggiring si penabrak maut tampan itu menuju ruang meeting.

Crap! Sekarang akubertingkah seperti Spongebob yang kelaparan dan ngeces lihat crabby patty! Tepatnyavery delicious and handsome crabby patty. Duh! Apa yang sedangkupikirkan? Mengelap air liur dan menjitak kepala sendiri, kuikuti langkah merekamenuju ruang meeting.

Seperti apa sih manusia yang bentuknya delicious and handsome crabby patty?

Semacam ini tampangnya 👇

Jadiiii maklum kan kalau Vanilla sampai ngeces? 😂😂😂

Jangan lupa klik bintang di sudut kiri dan tinggalkan komen yaaaa.

With cheezy love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro