19. Sweet Potato Cheesecake Bars

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(Dari balik lensa, kutangkap kejujuranmu. Begitu lembut, manis dan penuh cinta)

Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Udara begitu bersahabat dan gelombang tidak terlalu keras jadi tidak perlu khawatir mabuk laut melanda. Aku mengambil lalu mengenakan sweater yang tadi sengaja dibawa supaya tidak masuk angin.

Caramel sedang sibuk mengatur ekspresi. Syuting kali ini harus sukses diambil dalam satu kali take untuk mengejar sunset. Kalau ini gagal, kami terpaksa harus menunggu sampai besok. Ray dan Mas Bas berdiri berdampingan, memperhatikan bagaimana syuting berjalan.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Soka sambil memberikan sebotol minuman isotonik.

"Lagi berenang! Ya lagi berdiri dong, Soka." Dia tertawa kecil mendengar jawaban asalku.

Kami menatap kemilau air laut dengan suasana hening. Yah, mungkin tidak terlalu hening karena mereka yang sedang syuting sibuk menginstruksikan banyak hal pada Caramel namun itu semua tidak mengurangi keromantisan laut.

Sebaran lembayung merah menandakan matahari siap turun ke peraduan. Aku mengambil kamera DSLR dan mulai bersiap untuk memotret. Melihat keindahan alam dari balik lensa, membuat hatiku gemetar akan bahagia. Ini seperti hadiah yang sudah lama dinanti-nanti.

Setelah memotret sunset di lautan, aku beralih ke arah syuting yang masih berlangsung, mencoba mengambil foto candid Caramel. Tiba-tiba saja lensaku menangkap sosok yang sedang bersidekap dengan raut serius. Aku mengatur jarak foto dan memotretnya. Sepertinya dia tahu karena saat aku memotret foto kedua, dia tersenyum.

Mas Bas yang tahu kelakuan Ray, juga ikut-ikutan tertawa. Mereka berdua malah bergaya sambil tertawa pelan, khawatir mengganggu syuting. Kemudian aku mengangkat tangan tanda menyerah sudah memotret mereka begitu banyak.

Pandanganku kembali teralih pada laut yang kini berwarna keemasan. Langit menebarkan warna merah, jingga dan emas, Beberapa camar yang terbang, membuat suasana semakin indah. Aku ingin menangis hanya dengan melihat pemandangan ini.

Soka terdiam selama aku sibuk mengambil foto. Dia seolah memberi waktu supaya aku bisa mengejar sunset. Tepat ketika matahari tenggelam sempurna, aku mendengar kata cut dan syuting pun selesai. Aku tersenyum menatap tim yang saling mengucapkan selamat dan ber-high five karena berhasil dalam satu kali take lalu menoleh dan terkesiap saat melihat tatapan mata Soka.

"Kenapa kamu lihat aku kaya gitu, Ka?" tanyaku mencoba menetralkan rasa kaget.

"Kamu cantik, Illa. Rasanya seolah-olah kecantikan kamu keluar dari ...." Aku tidak bisa mendengar kelanjutan ucapan Soka karena ada yang menutup telingaku.

Aku menoleh dan mendapati Ray berdiri di belakang sambil menutup telingaku. Dia tertawa melihatku marah, kemudian tawa itu menghilang ketika matanya bertemu Soka.

"Gue lagi ngomong sama Illa," kata Soka dengan nada rendah.

"Iya gue tahu. Cuma mau iseng. Syuting udah selesai, pumpkin. Lo mau ikut makan malam atau nggak?"

"Hm ... Mungkin, ya. Gue mau ngobrol sama Cori," sahutku sambil memasang tutup lensa dan menyimpan kamera dengan hati-hati.

Bagiku, selain menulis, memotret juga hal yang menyenangkan. Aku bisa menatap dunia dengan cara yang berbeda dari balik lensa. Di kantor, Cori terkenal pandai memotret. Dia memiliki taste yang berkelas sehingga semua hasil bidikannya bisa dikatakan sangat profesional. Aku ingin mengobrol dengannya.

Para kru mulai mengemasi alat-alat mereka sementara sutradara iklan memanggil Soka untuk meminta pendapatnya. Ray berdiri di sampingku sambil mengawasi laki-laki yang sedang menghampiri sutradara.

"Gue nggak suka dia dekat-dekat lo." Tawaku langsung pecah melihat wajah Ray yang mendadak muram.

"Ya ampun, Ray. Lo ini lama-lama mirip Kale, deh." Dia hanya mengacak rambutku dengan gemas.

Rasanya ini kembali ke masa seperti dulu saat kami masih menikmati waktu tanpa prasangka dan perasaan yang memberatkan hati. Setidaknya itu yang kupikirkan sampai mata kami bertemu.

Mata hijau yang menatapku dari kontak lens warna cokelat itu seolah berkata banyak. Tangan besarnya yang masih di kepalaku sekarang mengelus pelan. Jantungku berdebar puluhan kali lipat dan rasanya dunia menyempit atau justru membesar ketika tidak ada orang lain selain kami.

"Illa! Ayo turun!" seruan Cori membuatku kembali bernapas. Baru kusadari ternyata selama kami bertatapan, aku menahan napas.

Aku berjalan meninggalkan Ray setelah menggumamkan sampai jumpa, berusaha menyembunyikan rona merah di wajah. Baru saja mau menuruni kapal, aku teringat tas kamera yang tertinggal. Setengah berlari karena malu, aku menyambar tas itu yang masih ada di samping Ray.

"Muka kamu kenapa merah, La?" tanya Cori saat kami turun dari kapal.

"Nggak kenapa-kenapa, kok."

"Waduh! Jangan-jangan masuk angin, La. Saya bawa obat, nih. Kamu mau?" Aku tercengang ketika Cori membuka tas yang dia bawa. Segala macam ada di sana. Perempuan itu seperti mini market berjalan. Dia memberiku satu sachet obat herbal untuk meredakan masuk angin. Setelah minum obat herbal itu, tidak sengaja mataku melirik tas Cori yang tampak berat.

"Ya ampun! Cori, lo ngapain bawa beginian?" tanyaku sambil tertawa ketika melihat squishy berbagai bentuk di dalam tasnya.

Cori seperti berpikir sebelum menjawab. Dia tertawa dan mengeluarkan gajah mungil yang lunak. "Saya harus sering terapi untuk syaraf di telapak tangan. Kamu tahu, yang tentang orang sering menjatuhkan barang? Nah, saya terapi untuk memperkuat otot dan syaraf."

Tiba-tiba aku merasa sangat jahat pada Cori. Kupegang gajah mungil itu dan tersenyum lalu mengembalikannya pada Cori. "Maaf, ya? Jadi ngetawain lo."

"No probs. Kalau kamu suka, boleh ambil, kok. Saya kebanyakan bawa memang."

Kutimang-timang boneka kecil itu sambil tersenyum. "Thanks, Ri. Ini lucu!"

Kami berjalan menuju restoran yang akan menjadi tempat makan malam. Seperti dugaanku, Cori terlihat bersemangat saat aku bertanya-tanya tentang teknik memotret menggunakan DSLR. Dia melihat-lihat hasil foto yang kuambil selama di pulau ini lalu memujinya.

Kemudian dia meletakkan kamera itu dan tersenyum lembut. "You know, Ra? Kamera itu benda yang paling bisa mengungkapkan kejujuran."

Aku menoleh cepat, merasa tertarik dengan bahasannya. Bahkan Sweet Potato Cheesecake Bars yang katanya adalah andalan koki di sini untuk menu dessert, tidak kuhiraukan. Menatap mata perempuan yang bersinar-sinar itu, membuatku agak merinding.

"Maksudnya, dengan kamera kita bisa menemukan kejujuran?" tanyaku meyakinkan diri sementara Cori mengangguk bersemangat.

Dia menekan tombol display pada kamera, menunjukkan foto Caramel. "Dia menyukai pekerjaan sebagai model. Lihat bagaimana bahunya rileks dan senyumnya merekah sampai ke mata. Caramel mencintai profesinya."

Aku setuju tentang hal itu. Bagi Caramel, pekerjaannya adalah hal yang luar biasa. Dia senang berakting dan berpose. Tentu saja, bagiku itu kebalikannya. Contohnya saat tadi di foto berdua kembaranku saja kaki sudah gemetar, apalagi harus berakting?

Jemari Cori terus memperlihatkan foto-foto yang kuambil. Sesekali dia memberi komentar bagaimana memperbaiki kualitas foto saat editing. Senang sekali bisa mengobrol banyak dengan Cori yang dijuluki Queen of Photography di kantor.

Kemudian dia berhenti di foto seseorang yang sedang tersenyum lembut. Anehnya Cori malah tertawa kecil. Dia memajukan badannya dan berkata, "Dia pasti sangat mencintaimu. Lihat! Matanya bicara banyak hal."

Sosok itu membenamkan kedua tangannya ke saku celana, bahunya agak naik dan tawanya sampai ke mata yang menyipit. Rambut cokelat gelapnya berhamburan tertiup angin. Aku gemetar saat melihat pandangan matanya yang memang seolah-olah berkata kalau dia mencintaiku.

"Ray sangat mencintaimu, Illa." kata Cori pelan dengan senyum di wajah. Kemudian nyeri timbul di hatiku saat mendengar kata-katanya barusan.

"Kalau dia sangat mencintaiku, kenapa dia tidak sanggup untuk berkomitmen?"

🍰🍰🍰

Iya! Kenapa sih Ray nggak mau jadiin Illa pacarnya?

(Author yang baper malem-malem).  😆😆😆

Jangan lupa kasih semangat ya ... biar Ray jadian sama Illa ahahaha.

with a lot of cheezy love,

Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro