Phase 00: 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hare amat menyadari, bahwa ia berbeda dari anak-anak yang lain.

"Katanya, kamu lahir duluan sebelum Papa Mamamu nikah, ya??"

"Kenapa? Kamu iri ya gabisa liat papa mamamu nikah, tapi aku bisa?"

"H-huh??? Si-siapa bilang???"

Cuek, gadis kecil berambut salju hanya membalas dengan juluran lidah, meledek. Penuh rasa menang.

Dirinya puas, bisa selalu menemukan cara membalas teman-temannya yang tidak pandai berdebat. Pikirnya, toh, mereka masih sama-sama bocah. Hare yakin mereka masih polos dan belum bisa berpikir lebih dewasa. Itu yang selalu dikatakan Mama padanya.

Makanya Hare tak pernah ambil pusing kalau diejek teman-temannya.

Tapi hari itu berbeda.

Hari dimana dia benar-benar lepas kendali diluar pengawasan kedua orangtuanya.

Saat itu jam pelajaran terakhir dekat-dekat waktu pulang sekolah, kelas Bahasa Inggris. Anak-anak sekelas memang cenderung kurang nyaman dengan guru Bahasa Inggris mereka, Hizuka-sensei. Menurut anak-anak, Hizuka-sensei cukup galak dan tidak asyik diajak bercanda. Hare sendiri menyadari, bahwa Hizuka-sensei sering menatap tidak suka.

Otak kecilnya yang cerdas sebenarnya memahami, seperti apa Guru Bahasa Inggrisnya itu memandang dirinya. Terlihat dari cara sang guru tiap kali bicara dengannya.

"Kamu ini ringan tangan sekali. Jangan suka memukul! Apa Ayahmu terbiasa memukul juga di rumah?"

"Anak perempuan, kok, tidak anggun sama sekali. Apa karena orangtuamu tidak lulus sekolah, dan mereka berdua laki-laki, kamu jadi tidak diajari cara bersikap feminim?"

"Di rumah perempuan sendiri, sih, ya... Pantas saja. Mana orangtuamu masih usia anak kuliahan."

Hare tahu, tapi memilih diam. Kata Papa, anak yang baik tidak akan memukul gurunya. Kata Mama, setiap orang punya pendapat dan cara pandang yang berbeda, dan kita harus menghormatinya.

Dia juga ingat pesan papa mamanya. "Pasti akan ada orang yang berkata jelek tentang Mama dan Papa. Saat itu terjadi, Hare-chan jangan marah-marah, ya?"

Mana bisa begitu?? Hare kesal sekali kalau orang-orang hanya melihat sisi jelek Papa dan Mama, tanpa mau tahu kalau mereka berdua orang yang sangat baik. Mereka orangtua terbaik yang pernah ada!

Tapi karena Papa Mamanya meminta dengan lembut, pada akhirnya Hare tak bisa menolak. Dengan berat hati, ia menutup telinga, membiarkan teman-temannya berkata sesuka hati soal orangtuanya. Tidak komplain saat berkali-kali ditanyai, "kata mamaku, mamamu itu...bla bla bla" atau "eh, emang papamu bla bla bla?"

Biarlah. Ngomong saja sepuas kalian. Dia baik-baik saja, kok.






...Apa benar dia baik-baik saja?

"Keito-kun! Bukankah ini sudah sering Sensei ajarkan?? Ayahmu, kan, seorang diplomat, harusnya kamu lebih pandai Bahasa Inggris daripada teman-teman yang lain!" Omel Hizuka-sensei saat seorang anak tak bisa menjawab pertanyaannya.

"Loh? Emang apa hubungannya ayah Keito-kun diplomat dengan bisa bahasa Inggris?"

Sontak satu kelas menoleh pada si empunya suara. Sebenarnya Hare agak menyesal buka mulut, tapi mau bagaimana lagi. Dia tahu Keito sudah belajar keras. Keito anak yang sangat pintar. Bahasa Inggris memang bukan keahliannya, itu saja!

Seketika raut sang guru terlihat marah. Sedikit melengking nada bicaranya, dia memanggil, "Aikawa."

Ya, pasti seperti itu. Hizuka-sensei tidak pernah memanggil nama belakangnya. Hanya dia, tidak dengan teman-teman yang lain.

Sang guru melanjutkan, "Biar Sensei beritahu, diplomat itu harus jago bahasa Inggris! Soalnya mereka ketemu orang-orang dari luar negeri..."

"Tapi kan yang diplomat itu Ayahnya Keito-kun, bukan Keito-kunnya. Kenapa Keito-kun yang harus jago Bahasa Inggris?" Hare memotong dengan santai.

Terlihat sekali raut Hizuka-sensei menggelap. Hare tahu seharusnya dia berhenti saja tadi, tapi entah mengapa kali ini ia berpikir harus melawan sang guru. Mulutnya tak bisa direm. "Aikawa Hare! Berani sekali kamu membalas saat Sensei bicara, ya? Tidak sopan!"

"Hare kan cuma ngomong yang bener. Ayahnya Keito-kun emang diplomat, tapi, kan, Keito-kun ngga mau jadi diplomat. Apa iya kalau ayahnya diplomat, terus anaknya harus jadi diplomat juga? Sensei sendiri, emang orangtua Sensei guru TK juga?"

"Sok tahu sekali kamu! Berani banget ngelunjak sama guru, Memang, ya! Dasar anak haram!"

Degh!

Saat itu juga Hare terdiam, mencelos. Satu kalimat barusan benar-benar terdengar menyakitkan. Sungguh. Hare mencoba mengerti, mungkin sang guru kelepasan karena terbawa emosi. Tapi tetap saja, rasanya seperti sesuatu menusuk dada dengan keras. Sakit, sakit sekali. Belum pernah Hare merasa seperti ini sebelumnya.

Tenang, Hare... Sensei gak bermaksud ngomong begitu...

"... Sensei bilang apa?"

Sensei pasti sedang capek sekali...

"Oh, ya ampun! Aku sudah tidak tahan lagi! Biar kukatakan padamu, ya, anak sepertimu yang lahir diluar nikah, kalau tidak ibunya yang l*cur, ya bapaknya yang b*jingan br*ngs*k! Atau malah dua-duanya! Mereka Anak muda yang taunya membuat onar dan bertindak tidak pantas! Bukannya sekolah yang benar lalu cari kerja yang benar, malah terjerumus pergaulan rusak sampai punya anak padahal harusnya masih sekolah!"

Tidak. Ini salah... Sensei pasti kebawa emosi...

"Ujung-ujungnya anak jadi bandel dan tidak terurus! Sama seperti kau ini! Sekarang pasti orangtua macam itu kerjanya luntang-lantung karena ngga punya ijazah, atau malah jadi kriminal! Orang jahat! Dengar?? Kamu itu anak aib! Hasil perbuatan tidak pantas! Maka sadari tempatmu! Jangan malah bangga berkeliaran menjerumuskan teman-temanmu yang punya latar belakang baik jadi tercemar seperti kamu!"

Kamu gak boleh marah, Hare! Papa bilang... Mama bilang...

...Sungguh, ngga apa-apa...

...semua, baik-baik saja.

"Hizuka-sensei."

Suara barusan membuat bulu kuduk berdiri. Sang guru tercekat. Suara itu rendah dan dalam sekali. Saat itulah ia baru menyadari sepasang biru samudera menusuk nyalang. Tiba-tiba hawa di kelas itu menjadi berat, hingga rasanya begitu menekan paru-paru.

"Sensei pernah menyebut Papaku preman, aku diam saja. Sensei juga pernah mencela mamaku karena masih sangat muda, aku juga diam saja..."

"...Lalu tadi Sensei bilang mereka apa?"

Samar, aroma yang kuat menguar. Pelan mencekik tenggorokan sang guru. Napasnya mulai tersengal.

"Sensei, aku tanya. Tadi Sensei menyebut mereka apa?"

"Ah... aakh..."

"Bicara, Sensei, Papa Mamaku kau sebut apa??"

Satu persatu anak-anak merintih kesakitan, sesak napas. Beberapa diantara mereka langsung pingsan karena tak kuat. Hizuka-sensei sendiri telah bersimpuh. Kakinya gemetar. Jangankan bicara, mengambil napas saja sulitnya bukan main. Aroma yang dikeluarkan gadis belia itu bak menusuk paru-paru dengan ribuan jarum. Perih sekali.

Imbasnya lisan tak terkatup, susah payah menarik oksigen hingga saliva meleleh turun dari dagu. Kacau. Wajahnya kini pasti kacau sekali. Banjir airmata berhulu pada sepasang netra yang membelalak begitu lebar, tak bisa lepas dari raut penuh amarah yang kini terus menatap nyalang padanya.

Saat itu juga Hizuka-sensei menyadari rasa ketakutan teramat sangat menggerogoti psikisnya. Semakin lama semakin menjadi. Terlebih sorot mata itu, seakan menusuk tembus batinnya, mengintimidasi, begitu mengancam.

Ia ingin sekali lari, tapi raganya terlalu lemas untuk bergerak. Suasana di tempat itu semakin mencekam, semakin menekan. Anak-anak kelas sebagian besar sudah tak sadarkan diri akibat sesak napas. Tak lama riuh rewel anak kelas-kelas sebelah mulai terdengar, sesekali disertai suara batuk dan kepanikan beberapa guru.

Di tengah kekacauan itu, si kecil rambut salju kembali bicara, "Aku mengerti yang terjadi sama orangtuaku itu sesuatu yang buruk, sesuatu yang kurang pantas. Tapi bisa-bisanya Sensei menghina mereka seperti itu di depan teman-temanku..."

Sebelah tangannya perlahan maju, menyentuh pipi kiri sang guru. "Papa bilang aku harus baik sama guru. Mama bilang guru pasti sayang dan selalu mendukung muridnya--

--Tapi, kalau gini apakah Sensei betulan guru?"

Brakk!!

"Hare-chan!"

Tersentak, tiba-tiba aroma lavender lembut menyapa indera penciuman Hare. Si kecil tersentak, perlahan berbalik untuk mendapati sosok dengan raut cemas tak terkira berdiri di depan pintu kelas.

"Ma...ma?" Matanya seketika berair.

Soraru menggigit bibir, menahan rasa sakit melihat raut putrinya yang kalut saat ini. Niat hati ingin menjemput buah hati pulang sekolah, baru sampai halaman depan hidungnya disambut aroma pekat yang begitu kuat.

Aroma yang persis seperti milik suaminya.

Tentu ia yang saat itu sedang bersama dengan Araki dan Naruse jadi panik tak terkira. Mereka berlari masuk ke gedung. Beberapa guru dan orangtua murid yang mereka temui bersimpuhan sepanjang lorong. Sulit bergerak dan bernapas. Cepat-cepat Soraru mengeluarkan aroma miliknya, dengan harapan dapat sedikit menetralkan keadaan tempat itu yang terasa berat.

Mereka mengetahui kemudian, anak-anak banyak yang terpengaruh aroma ini sampai tidak sadarkan diri. Pada titik ini, Soraru paham hanya ada satu kemungkinan bau ini bisa sampai tercium, bahkan hingga memengaruhi hampir satu gedung:

Sang empunya bau sedang benar-benar marah. Karena hal itu jugalah yang berlaku pada suaminya.

Tapi ini status yang sangat gawat. Hare masih kecil, belum bisa mengontrol aura dominasi sekuat yang dimiliki sang ayah. Soraru memang bisa merasakan aura dominasi ini lebih lemah dari Mafu, tapi masih dalam kategori 'kuat'. Kalau dibiarkan, situasi bisa tambah gawat.

Maka benar saja. Tatkala menemui sang putri, Soraru langsung menghambur memeluk putrinya. Kalimat-kalimat penenang lewat bariton lembut ia salurkan selagi mengusap-usap pelan punggung dan kepala sang putri. Perlahan tubuh kecil yang kaku dan tegang itu melemas, hingga kemudian terdengar isak tangis si kecil.

"Hik! Mama... Mama.... Hiks! Hiks! Mama... Hiks! Maaf... Hik! Maaf Hare marah-marah... Hiks! Sensei bilang... Mama l*cur... Papa b*jingan... br*ngs*k... hiks! Hare marah... Mama sama... hik... Papa bukan... hiks! Orang kayak gitu... hik! Maaf... Hiks!"

Seketika Soraru terhenyak. Saat itulah, ia membuat Hizuka-sensei yang masih bersimpuh gemetar, kembali merinding ketakutan dengan wajahnya.

"Anda serius bicara begitu pada anak umur lima tahun?" Suaranya teramat berat penuh penekanan.

Bagaimana aroma lavender bisa berubah jadi sedingin dan semencekik ini??

Soraru berdiri, tanpa melonggarkan geram pada wajahnya. "Tidak masalah Anda mau menganggap saya dan suami saya apa. Anda boleh saja membenci kami, mencela dan menghakimi kami sesuka Anda. Kami sudah kenyang makan omongan orang-orang. Tapi terang-terangan bicara begitu, menggunakan kalimat kasar di depan anak yang masih sangat kecil?? Apa Anda waras?!"

Kini sang ibu balik badan. Sambil berjalan ke pintu dia kembali bicara, "Saya akan mengajukan komplain ke pihak sekolah. Orang seperti Anda yang tidak bisa memperlakukan anak didik dengan baik, tidak pantas menyebut diri sebagai seorang guru."

Keluar ruangan, Naruse memberitahu bahwa dia dan Araki akan mengurus sisanya dan mereka juga sudah memanggil beberapa bala bantuan.

"Ngga ada alpha dewasa di tempat ini, sih... Satpam aja pada kewalahan loh tadi waktu kita cek. Haduh..."

"...Naruse-kun."

"Ha'ik, Aniki?"

"Jangan sampai kejadian ini sampai ke telinga Mafu."

"Un. Aku paham, kok. Makanya kami ga panggil ambulance. Aku minta bantuan Sakata sama Amatsuki ini. Sekarang lebih baik, Aniki tenangin Hare-chan dulu, baru pulang."

"Un, makasih. Tolong, ya."

Setelah berkata begitu, Soraru menggendong putrinya keluar, duduk di bangku panjang bawah pohon ginko di halaman samping sekolah. Sang putri duduk di pangkuan, membenam wajah pada dada sang ibu.

"Mama..."lirih si kecil di sela isaknya.

"Iya, Sayang?"

"Apa Hare itu aib? Apa Papa sama Mama aslinya malu punya Hare? Apa... Hare ga boleh sembarangan main sama teman-teman, karena Hare anak yang lahir pas orangtuanya belum nikah...?"

Melebar sepasang netra Soraru. Panas, buliran bening mulai muncul di pelupuk matanya.

Maka ia beri dekap erat untuk raga sang buah hati. Terisak di balik punggungnya, mengucap maaf berkali-kali, mengatakan bahwa salah orangtuanya bukanlah salahnya. "Mama yang salah, ini semua bukan salah Hare, Maafin Mama," adalah rentetan kalimat yang berulang terucap layaknya rapalan. Sambil menangis, meminta maaf, kembali memikirkan kelalaiannya di masa lampau.

Detik berikutnya wajah kuyu Mafu berkelebat dalam ingatan. Sosok albino besar yang berulang kali menyebut dirinya sendiri sebagai "pria br*ngs*k", "monster", "penjahat", "iblis bertopeng malaikat", lalu mempertanyakan apanya yang bagus dari dia sampai Soraru mau memberikan hati padanya. Selapang apa pengampunan tuhan sampai makhluk sekotor dia masih diberi kebahagiaan seperti ini.

Memikirkannya lagi, membuat hati Soraru semakin terasa perih. Setelah sekian tahun berlalu, suaminya pun terkadang masih terjerat masa lalu. Masih menyalahkan dirinya sendiri. Masih sering meminta pengampunan sembari berlutut di depan Soraru.

"Hare-chan..." suaranya kali ini terdengar serak parau. Peluk mengerat, kalimat dilanjutnya, "habis ini, kita hidup bahagia, yuk? Hare-chan, Mama, Papa, lalu adek juga. Jangan terus memikirkan yang sudah lalu, tapi memikirkan masa kini dan masa yang akan datang. Mengawali langkah yang baru. Hm? Gimana menurut Hare?"

Sejenak si kecil mendongak, menemukan senyum diantara leleh airmata Mamanya. Maka ia balas mengulas senyum, lalu mengangguk semangat. "Un! Ayo kita lakukan itu!"

Keduanya sudah merasa lebih baik saat Araki dan Naruse, kini bersama Amatsuki di belakang mereka datang. Keadaan pun sudah lebih terkendali. Pihak sekolah menyatakan akan memproses komplain dari Soraru dan memikirkan dengan serius mengenai masalah ini. Sekarang, waktunya mereka pulang.

Tapi sampai rumah, Soraru sepertinya melupakan satu fakta yang teramat krusial.

"... Kalian kenapa matanya bengap begitu?"

Ah, gawat ini. Padahal sudah dibawa muter-muter taman, beli cokelat, dan beli eskrim. Kok, masih sadar juga?

Sontak Soraru dan Hare keringat dingin. Papa pasti marah. Kalau sudah begitu, masalah akan jadi lebih runyam.

Maka, Soraru harus putar otak. Mari pikirkan alasan! Alasan bagus yang bisa mengalihkan perhatian si albino besar...

Tapi di luar dugaan, tiba-tiba Mafu menghela napas dalam. Sebentar kemudian, senyum tipis terpatri pada wajah teduh si ayah. "Masuklah. Mandi, terus siap-siap. Nanti sore, kita makan di luar, oke?"

Sejenak Soraru dan Hare terkejut. Saling pandang heran, sebelum diam-diam menarik napas lega. Hare langsung menyambut ceria dan berlari ke dalam rumah, semangat mau makan bersama di luar. Mafu benar-benar tidak menanyakan apapun lagi. Ia merangkul bahu Soraru, mengajaknya masuk ke dalam rumah.

-

-

-

Waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih. Pria itu mondar-mandir tak tenang di ruang tamu. Ia gelisah. Sejak pulang sore tadi, istrinya bertingkah aneh.

Ia kaget bukan main melihat beberapa rekan kerja mengantar sang istri yang menggigil ketakutan seperti orang terkena serangan shock. Menanyakan apa yang terjadi, istrinya tak kunjung bisa diajak bicara. Hingga selarut ini pun keadaannya masih belum membaik juga.

Mengusak kepala dengan gusar, sang pria berdecak kasar. "Kau ini! Sebenarnya berurusan dengan orang macam apa, sih?? Sampai kelihatan seperti orang gila begitu! Haish... besok aku harus ke psikiater..."

Ting tong!

"Hm? Siapa tamu yang berkunjung selarut ini?"

Sedikit malas dan kesal pria itu berjalan membuka pintu depan, mendapati pria muda tampan bertubuh jangkung berdiri membawa tas bingkisan dan tersenyum.

"Permisi, apa ini rumah Hizuka-sensei?"

"... Ya. Saya suaminya. Ada perlu apa, ya?"

Dua sudut bibir itu kembali ditarik. Dengan tenang sang tamu membalas, "Oh, bukan apa-apa. Sepertinya putri saya membuat masalah tadi siang. Jadi, saya kemari untuk menjenguk sekalian meminta maaf."

-

-

-

Pagi berikutnya, Soraru dan Hare dibuat heran dengan sekumpulan ibu-ibu wali murid yang terlihat rumpi di depan gerbang TK.

"Eh, Mamanya Hare!" Panggil salah satu ibu pada Soraru. Menggandeng si kecil, si raven berjalan mendekat. "Iya, ini ada apa, ya, Bu? Kok, pada ngumpul begini?"

"Begini... kemarin kalau tidak salah ada guru yang bersikap kurang pantas sama Hare-chan, kan?"

Soraru mengangguk, "Iya betul. Saya sudah ngajuin protes ke pihak sekolah, kok. Katanya hari ini mau dibahas kelanjutannya."

Saling pandang sebentar ibu-ibu itu, sebelum salah satu dari mereka menyahut, "Tidak akan sampai situ, Aikawa-san... Tadi saya dengar, guru itu mengundurkan diri dari sekolah..."

Soraru tersentak, "Mengundurkan diri?!"

"Iya, katanya, sih, selain malu, suaminya juga pindah kerja ke luar kota. Jadi guru itu ikut..."

Soraru melirik putrinya, yang ternyata juga meliriknya. "... Ma, semalam Papa mampir tokonya Kakek beli manisan, terus nyuruh kita pulang duluan itu... Papa sampai rumah jam berapa?"

"...."

"... Ma...?"

"Hare-chan," Soraru menghela napas, menepuk jidat, "kayaknya, kita kecolongan lagi."

***

To be Continued...

Intinya, jangan nyari masalah sama SIAPAPUN di keluarga Aikawa. Runyam urusannya.

Betewe, gomen Kafka baru nongol lagi setelah sebulan hwhwhwhw baru kelar ujian:""

Oiya, untuk liburan kali ini, Kafka ada kerjaan ato proyek gede yg cukup ngerepotin dan berat TvT jadi kemungkinan besar, meski libur Kafka bakal jarang up di wp juga 😭😭

Mohon kemaklumannya, ya, kawan:"")

Oke. Sekian deh dri Kafka. Maap gabisa basa-basi karena Kafka bru beres kerjaan juga ueeee:(( bingung mo nulis apa lagi. lelah bgt huhu. Makasih dah baca, vote, komen, dll yaa. Moga kalian masi betah ngikutin book Kafka :"")
Met malam. Bubaii~~

June 01, 2022
-Sierrakafka-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro