Phase 00: 08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update pagi-pagi buta~ yekann

yhahaha terlalu cepat, tapi bodoamat:)

Yang penting bisa liat keuwuan dan keanggunan Papa Mama di malam tahun baru~

Eniweys, selamat membaca^^

-

"Mafu Nii-san?"

Hoshino yang baru sampai di lobi rumah sakit, terheran melihat kakak albinonya menunduk seorang diri di bangku tunggu.

Pemuda itu berjalan mendekat, sekali lagi menyapa sambil duduk di samping si albino. "Sedang apa Nii-san disini? Apa Tou-san dan Hare-chan sudah sampai?"

Pada titik itu Hoshino dapat melihat betapa pucat dan sendu wajah kakak iparnya. Punggung yang biasa kokoh tampak lelah, rapuh. Kantung mata yang hitam itu pun gagal menipu mata Hoshino. Dia segera tahu, kakaknya ini sudah terlalu banyak menanggung beban pikiran. Apalagi, saat suara rendah yang serak menjawab, "Ya, mereka masuk ke dalam tadi."

"Lalu, kenapa kau disini?"

Masih belum menoleh juga kepala bersurai salju itu. Hoshino menghela napas. Menyandar pada kursi, ia menengadah menatap langit-langit ruang tunggu.

"Kalian bertengkar?"

"..."

"Memilih diam, huh? Kau tidak takut aku salah paham?"

Bisa dia rasakan tunduk kepala itu semakin dalam. Sekali lagi Hoshino menghela napas. Setelah itu ia berceletuk, "Kau bilang bakal selalu bersikap terbuka pada Kakakku, tapi nyatanya masih ada saja yang kau sembunyikan. Memang, ya, sifat innate-mu itu takkan berubah mau bagaimanapun juga. Kau pria yang jahat."

Tawa hambar terdengar dari mulut sang lawan bicara. "Kau benar," kata dia, "aku ini memang pria jahat."

Sejenak kemudian, kedua tangan Mafu bergerak meremat helaian seputih salju yang tumbuh di kepalanya. Pias wajah itu, selagi dengan suara bergetar nan serak kalimatnya dilanjutkan, "Amachan benar, seharusnya aku mundur saja di awal. Mereka sudah bukan urusanku. Aku sudah punya kehidupan yang baik dan damai, memutus hubungan dengan dunia gelap yang meneror nyawaku saban hari sejak dulu..."

"...Tapi aku justru masuk lagi, bahkan menyeret orang yang paling berharga untukku. Aku benar-benar angkuh! Kupikir aku bisa melindunginya. Aku tinggal waspada dan berjaga agar dia tetap baik-baik saja. Karena aku kuat, aku yakin orang-orang itu takkan berani mengusik dia. Tapi, nyatanya tidak. Aku salah. Kejadian hari ini membuktikan itu..."

Kali ini Mafu menengadah, mempertemukan sorot merah darah redupnya dengan plafon rumah sakit. "Persetan dengan menyelamatkan orang lain. Tujuan asliku terlibat dalam masalah ini tidak semulia itu," dia melanjutkan, "saat Sakatan pertama kali membahas masalah ini, aku langsung berpikir tentang mediang ayahku. Tanpa kusadari, sepertinya dalam lubuk hatiku yang terdalam, diam-diam aku masih tidak bisa menerima kematiannya. 'Andai saja mereka tak ada, mungkin sampai saat ini Otou-san masih akan hidup', begitu pikirku. Aku dikuasai dendam dan amarah. Yang berbisik dalam nurani tak jauh dari kata 'balas dendam'..."

"... Aku gelap mata, aku dikuasai emosi. Aku terlalu percaya diri dan dibutakan nafsu amarah hingga memilih bersikap egois. Hasilnya? Hari ini aku hampir saja kehilangan istri dan anak yang kucintai. Apa yang lebih buruk? Dia yang meminta maaf padaku. Hatiku remuk saat mendengar kalimat maaf keluar dari mulutnya, padahal dia hampir mati karena aku. Aku benar-benar sangat marah pada diriku sendiri saat ini... Aku telah gagal, baik sebagai suami maupun ayah. Aku benar-benar gagal."

Ada jeda pada konversasi mereka. Hoshino hanya diam mendengarkan sejak tadi. Dan kini pun ia diam, memandangi Mafumafu yang masih juga tak balik memandangnya. Lalu untuk yang ketiga kali, Hoshino menghela napas sebelum buka mulut. "Boleh aku bicara sebagai orang yang lebih tua darimu?"

Baru sekarang Mafu akhirnya melirik adik ipar yang setahun lebih tua darinya itu. Tanpa menunggu tanggapan verbal, Hoshino melanjutkan kalimatnya, "Harus aku akui, sampai sekarang aku masih merasa tidak nyaman menerimamu sebagai pasangan hidup kakakku. Bagaimanapun kau mantan kriminal. Kau bahkan mengikat kakakku dengan cara memerkosanya, membuatnya hamil duluan di usia semuda itu. Kau pandai bermulut manis, pandai bicara. Kau tipe orang yang tak segan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang kau mau. Dilihat dari sisi manapun, kamu ini tak ada bedanya dengan pria berkelakuan bejat."

Mata mereka bertemu. Mafu merasakan tatapan seorang Soraru pada sorot mata biru gelap yang serius itu. Hoshino kembali bicara, "Kau tahu? Pada hari ketika Nii-san ketahuan hamil, malamnya aku bertekad menghabisimu."

Mafu diam mendengarkan, tanpa membalas sepatah katapun.

Hoshino masih melanjutkan kalimatnya, "Aku mengaguminya sejak kecil, sungguh. Tetapi keluarga besar kami tak setuju menjadikan Nii-san ahli waris yang meneruskan bisnis keluarga, hanya karena dia seorang omega. Mungkin Nii-san tidak menyadarinya, tetapi pada saat hasil tes itu keluar, tidak hanya orangtua kami yang merasa kecewa--

--Nii-san juga, dia kecewa dengan hasil itu. Dia jadi menginferiorkan diri. Pada akhirnya, orang yang paling memandang rendah seorang Soraru adalah dirinya sendiri. Karena itu, tanpa dia sadari dia membangun dinding di sekitarnya, tak membiarkan orang lain bahkan untuk sekadar mengintip ke dalam."

Mafu melihat jemari Hoshino yang saling taut meremat, ada sendu dan sesal yang tampak pada wajah sang adik. "Tou-san dan Kaa-san jadi overparanoid alih-alih konservatif. Akibatnya, hari-hari Nii-san semakin terasa buruk, bak di neraka. Aku tahu intensi orangtuaku tidak jahat, tapi cara mereka salah. Dan aku merasa tak bisa melakukan apa-apa soal itu. Bagaimanapun, keluarga besar kami memang kolot..."

"...Karenanya aku bertekad pada hari aku ditunjuk sebagai pewaris bisnis keluarga, bahwa suatu saat aku akan mengeluarkan Nii-san dari rumah kami. Jiwanya butuh bebas. Aku juga menghindari tampil secara mencolok, agar Nii-san tak dibanding-bandingkan denganku. Mengikuti apa yang orangtua kami lakukan, aku berharap Nii-san tidak menjadi orang yang pasif dan tunduk. Aku ingin dia membenciku, membenci kami, dan punya ambisi untuk keluar dari rumah kami."

Kali ini raut wajah Hoshino terlihat menggelap. "Tentu saja, rencanaku membuatnya keluar dari sana tidak dengan caramu. Dan hal itu membuatku benar-benar marah. Apalagi, setelahnya kau malah memperburuk keadaan dengan membawa dia kabur. Aku jadi semakin ingin membunuhmu pada saat itu."

Sekarang Mafu sepenuhnya menghadap Hoshino. Sang adik melihat intensi mengejek yang mengintimidasi tersembunyi pada sorot merah darah sang kakak. Membuat bulu kuduknya diam-diam meremang. Sudah dia duga, hingga kini pun albino ini tak berubah.

Pria jahat. Seorang lelaki yang kelihatan baik cangkangnya.

"Oh? Lalu, apa sampai sekarang keinginan itu masih ada?" Dengar itu nada bicaranya. Ada ancaman tersirat dalam intonasi penuh penekanan itu.

Mengetahui ini, Hoshino mendengus. Diabaikan keringat dingin yang meluncur menuruni pelipis, Hoshino membalas dengan senyum mengejek, "Aku tak munafik sepertimu. Kalau kau tanya padaku, ya, saat inipun aku ingin sekali mencekik lehermu itu. Tapi kau tahu? Aku takkan melakukannya."

Menyipit sepasang netra Mafu. "Karena aku suami kakakmu?"

"Yah, itu termasuk. Nii-san pasti akan meraung-raung seperti orang gila kalau tahu suami yang dia cintai melebihi dirinya sendiri mati. Tapi, bukan cuma itu alasannya."

Kali ini otot wajahnya mengendur. Hoshino tersenyum tipis pada lawan bicaranya. "Aku sudah bilang tadi, kan? Nii-san telah lama membangun dinding yang tinggi antara dirinya dengan orang lain. Kaulah yang meruntuhkan dinding itu."

Mafu tertegun. Mendengarkan kalimat lanjutan yang dilontar sang adik, "Tak dapat dipungkiri, aku berterima kasih padamu. Nii-san menjadi pribadi yang lebih kuat, berani, tegar, dan lebih bahagia semenjak mengenal dirimu. Hal itu yang membuatku yakin bahwa kau benar-benar tulus pada kakakku, terlepas dari betapa bajingannya dirimu itu. Dan kurasa, aku bisa menaruh kepercayaan padamu atas Nii-san."

"Hah! Sikapmu plin plan sekali. Padahal baru saja kau mengungkap isi hatimu yang ingin sekali membunuhku. Lalu, sekarang kau percaya padaku? Pada orang yang kau sebut 'pria jahat' ini??" Mafu mencibir dengan nada yang sedikit meninggi.

"Hei, dengarkan aku sampai selesai," kepalanya dijitak, membuat kata "aduh" lolos dari mulut Mafu yang kemudian meringis. Hoshino melanjutkan kalimatnya, "Kau mungkin pria yang jahat, tapi kau adalah pria gigih yang memegang kata-katanya."

Setelah itu, Hoshino mendengus. "Tidak mudah menemukan seorang lelaki yang begitu teguh memegang sumpahnya. Bukan sumpah samurai yang mengabdikan diri pada apa yang dia layani dan yakini, melainkan sumpah seorang pria sejati pada pasangan sehidup sematinya."

"Kau dramatis sekali."

"Oh? Baiklah, sekarang aku tanya, jawablah yang spontan. Kalau misal saat ini ada orang yang membuat Soraru-Nii menangis dan mencelakainya, apa yang akan kau lakukan?"

"Menghabisinya sampai mampus."

"Kalau setelah itu Nii-san jadi takut padamu dan histeris setiap kali melihat wajahmu?"

"Aku akan menghilang dari pandangannya untuk selamanya, kalau memang itu yang dia inginkan."

"Bahkan kalau yang dia inginkan adalah kematianmu?"

"Aku tinggal menembak kepalaku sendiri saat itu juga."

Hoshino menjentikkan jari, "Tepat," kata dia, "itu maksudku. Aku tak berlebihan, bukan?"

Setelah itu, sang adik menunjuk Mafu tepat di dada. Katanya, "Kau adalah penjahat. Bahkan, aku rasa kau orang paling jahat yang pernah aku temui. Tetapi Mafu-kun, kamu adalah orang jahat yang siap melakukan apapun, bahkan jika itu menghancurkan dirimu sendiri, untuk orang yang kau cintai. Kau tahu kau tak sempurna, kau tahu bahwa kau terlalu kotor dan hina untuk bidadari sepertinya. Meski begitu kau tetap berada di sisinya, dan berusaha menjadi orang yang lebih baik untuk dirinya. Itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh siapa saja."

Tutur panjang kali lebar si adik membuat Mafu terdiam sebentar. Tak lama dia menyengih, "Kau sedang mencoba menghiburku atau apa?"

"Aku menyuruhmu bertanggung jawab, bodoh," sarkasme cepat seorang Hoshino, "nasi sudah jadi bubur. Kau sudah membuat masalah ini, kau tinggal membereskannya. Itu mudah buat orang sepertimu, bukan?"

Mafumafu tergelak sesaat. "Kau ini benar-benar orang yang sulit sekali ditebak, ya."

Hoshino meringis selagi menggaruk punggung telinga kanannya. "Kok, rasanya jadi agak aneh mendengar kalimat yang sama dua kali..."

"Memangnya dari siapa kau dengar komentar begini sebelumnya?"

"Kakakku."

"Pfftt!" Mafu mengusap wajah. Setelah itu, ia menengadah, menatap langit-langit di atas mereka dengan wajah yang terlihat lebih cerah. "Kau memintaku bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah telanjur kuperbuat, bukan? Akan kupegang itu baik-baik. Lagipula memang sudah sangat terlambat kalau mau mundur. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya--"

"--Seperti katamu, hal seperti ini bukan apa-apa, bukan? Serahkan saja padaku."

Hoshino tersenyum dan mengangguk. "Kuserahkan sisanya padamu, Kakak ipar."

-

-

-

"Tidurkan saja Sami-chan di kasurku. Aku sudah menatanya agar lebih nyaman," Amatsuki berujar pada Tomohisa yang masih celingukan di ruang tengah. Lelaki manik amber itu mengangguk kagok, sebelum kemudian mengucap terima kasih selagi membopong putri kecilnya masuk ke kamar di belakang punggung lelaki brunette.

Amatsuki tak bercanda. Tempat tidur itu memang rapi sekali. Meski ukurannya tak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk seorang gadis kecil tidur nyenyak.

Hati-hati Tomohisa menurunkan Sami agar tak bangun. Lepas memastikan buah hatinya sudah nyaman, Tomohisa menghela napas lega sebelum berjingkat keluar, menutup pintu nyaris tanpa suara.

Punggung si bintang yang asyik di dapur jadi yang pertama menyapa mata. Tak lama punggung itu berbalik, menampakkan Amatsuki dengan dua cangkir cokelat panas. "Duduklah dulu di sofa. Kubuatkan minuman untukmu."

Tomohisa mengangguk, sekali lagi mengucap terima kasih. Segera setelah pantatnya mendarat pada empuk sofa ruang tengah, Amatsuki sudah menurunkan dua cangkir tadi di meja di hadapannya, lalu duduk di sisi Tomohisa. Selagi begitu, lisannya bicara, "Maaf, ya, kalian jadi menumpang dulu di tempatku."

Tomohisa menggeleng sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Memang malam sudah terlalu larut dan apartemen Amatsuki-kun yang paling dekat dengan rumah sakit. Justru kami yang harusnya minta maaf karena jadi merepotkan."

"Eeh, merepotkan apanya? Tidak sama sekali, kok, sungguh. Lagipula, rumah ini memang jarang ditempati. Jadi, tidak apa-apa sesekali diramaikan," Amatsuki segera menyangkal.

Alis Tomohisa bertaut, "Jarang ditempati? Kenapa?"

Tak dapat dipungkiri, Tomohisa menyadari keringat dingin yang menuruni pelipis Amatsuki selagi lelaki itu menanggapi, "Y-yah, k-kau tahu... Aku biasanya tinggal di tempat lain. Apartemen ini adalah milik orangtuaku."

Sekarang Tomohisa jadi sedikit merasa panik, "Eh? K-kalau begitu, memangnya tidak apa-apa kalau aku dan Sami masuk seenaknya?"

"Tidak apa," Amatsuki mengibas tangan, "toh, mereka berdua tak disini."

"Ah..." Tomohisa tersentak. Rupanya benar dugaannya, Amatsuki sebatang kara. Apakah kedua orangtuanya pindah ke tempat lain? Atau...

"Amatsuki-kun..." kali ini, hati-hati Tomohisa melirih, "foto di dekat pintu masuk itu, memang... seperti itu, atau sengaja dirobek?"

Seketika Amatsuki terdiam, membuat Tomohisa sedikit kelabakan, "Ma-maaf! Aku bersikap tidak sopan... T-tidak usah dijawab! Kalau kau tidak mau menceritakannya, tidak apa-apa..."

Setelah itu dia berdiri, "B-baiklah, sepertinya aku harus menemani Sami sekarang. Kalau begitu, se--"

"Ibuku pergi dengan selingkuhannya saat usiaku masih tiga tahun." Tomohisa terkejut Amatsuki tiba-tiba bicara. Dia tak jadi melangkah. Sebagai gantinya, dipasang telinga baik-baik demi mendengar setiap tutur yang nampaknya si brunette putuskan untuk dilontar.

Merasa Tomohisa memang bersedia mendengarkan, Amatsuki meneruskan ceritanya, "Dia pergi tanpa mengatakan apapun, meninggalkan aku dan Ayah. Mengapa dia pergi? Apakah aku berbuat salah? Atau memang dia tidak menyayangiku? Pertanyaan-pertanyaan itu tak kudapat jawabannya bahkan hingga saat ini."

Ada sendu pada sorot mata Amatsuki. Pun suaranya yang terdengar sedikit lirih menyiratkan kesedihan. Tanpa menatap Tomohisa, si brunette kembali bicara, "Ibu meninggalkan Ayah saat beliau sedang sangat terpuruk. Tapi, meski demikian Ayah tidak pernah terlihat sedih di depanku. Kami hanya berdua, dan kami memutuskan saling support satu sama lain. Dia adalah sosok Ayah yang sangat baik, kuat, dan sempurna..."

"...Setidaknya, hingga suatu malam aku menemukan sisi ketidaksempurnaan Ayah."

Tomohisa tertegun.

Amatsuki melanjutkan, "Aku ingat jelas Ayah menangis sendirian di kamarnya malam itu. Seorang pria yang kuat, berbadan gagah, dan bekerja keras dengan mengenakan seragam yang rapi itu jadi rapuh, berderai airmata. Dia menyebut nama ibuku beberapa kali, menanyakan apa yang kurang dari dirinya sampai Ibu meninggalkan dia."

Mengerat genggam tangan lelaki brunette. Wajahnya terlihat menggelap, "Saat itu juga, aku jadi benar-benar membenci ibuku. Apa yang dia pikirkan sampai meninggalkan seseorang yang begitu tulus mencintainya? Ayah jadi menyedihkan juga karena cinta, membuat aku semakin muak saat melihatnya..."

"...Mungkin Ayah berpikir terlihat kuat di hadapanku yang saat itu masih sangat kecil akan menyelamatkan kondisi mental putra semata wayangnya. Tanpa menyadari bahwa mau bagaimanapun, aku sudah bisa berpikir saat menyaksikan konflik mereka berdua. Jangan terlalu menganggap remeh psikis anak kecil. Justru di masa-masa itulah mindset mereka di masa depan ditentukan."

Menghela napas, sekarang kepalanya menengadah. Ada senyum getir pada bibir itu kala Amatsuki melirih lagi, "Kadang, kalau dipikir lagi aku ini memang simpati, baik pada Hare-chan maupun Sami-chan. Makanya mungkin aku bisa menghadapi mereka dengan cenderung baik. Aku pernah ada di posisi mereka, meski punya duduk perkara yang berbeda..."

Terkekeh kecil, kali ini mata mereka bertemu. Tomohisa gagal menyingkirkan perasaan yang menggelitik kalbunya saat memandang senyum itu. Meski tampak pias, sorot mata lelaki di hadapnya tetap teduh, memandang lembut lurus ke matanya. "Sekarang kau paham, kan? Foto yang robek itu memang bagian Ibuku. Saking tak ingin melihatnya, sekarang aku malah nyaris lupa seperti apa rupa orang yang telah melahirkanku--"

"--Itu jugalah yang menjadi alasan aku memantapkan hati untuk tidak menyentuh bara asmara. Meski melihat dua karibku menjemput hal yang baik karenanya, tak bisa kupungkiri ada perasaan takut dalam hatiku. Bagaimana kalau aku justru kecewa karena terlalu menggantung diri pada hati dan cinta? Bagaimana jika aku harus jatuh dalam rasa sakit yang mengiris itu sekali lagi? Aku tak mau, dan tak siap membayangkannya..."

Amatsuki tergelak hambar, "Maaf, ya, aku jadi berbagi hal yang tidak enak padamu."

"Tidak."

Tersentak, sepasang netra Amatsuki melebar mendapati kilat serius manik amber Tomohisa. Tak mengendurkan paras itu, tegas ia menanggapi, "Kamu sangat keren, dan menakjubkan. Aku benar-benar kagum padamu. Sejak kita mulai saling kenal, kau membuatku jadi belajar berbagai hal dan menunjukkan sisi yang membuatku berpikir kembali. Menurutku, itu berhasil memberi semangat agar aku bisa menjadi lebih kuat. Semakin dipikir lagi, semakin membuat aku yakin memantapkan diri untuk terus bertahan. Pokoknya, aku tidak akan kalah!"

Ah, senyum tersemat, tanpa sadar merebus wajah Amatsuki sekali lagi. Tomohisa memungkas, "Aku benar-benar mengagumimu, Amatsuki-kun. Kau orang yang luarbiasa!"

Hening sekian detik. Belum juga memberi respon, lelaki manik amber itu menyambar lagi, "Eh? Suara ini... jangan-jangan, Sami kebangun?? Waduh-- Maaf, ya, Amatsuki-kun, aku masuk dulu."

"A-Ah, ya... silakan."

Tergopoh Tomohisa beranjak menuju kamar. Begitu pintu tertutup, Amatsuki segera menutup wajahnya yang telah memanas.

"Yabai..."

Tomohisa yang baru masuk mendapati putri kecilnya menggeliat, masih proses mengumpulkan nyawa. Mengerjap sepasang manik bulat si kecil, menyadari mamanya masuk menghampiri.

"Ngh... Mama...? Hoaam... ini dimana? Kok, kayak bukan di lumah?"

Tomohisa terkekeh. "Iya, ini di rumahnya om Ama..."

Seketika manik si kecil yang semula layu membulat. Ada binar disana. "Lumah Ama-chan?? Belalti, cekalang Ama-chan betulan jadi Papa Cami??"

Tomohisa langsung terkejut. Wajahnya sontak merah panas sekaligus bingung, "H-Hah?!"

Sami mengangguk dengan girang dan semangat, "Iya, dong! Kan, cekalang di lumah Ama-chan... Kalo kita tinggal belcama, belalti, Ama-chan uda jadi kelualga kita, dong? Ama-chan uda jadi Papa Cami!"

"Eh... Kan, ngga kayak gitu caranya, Sayang..." Tomohisa terkekeh pelan. Sejenak kemudian, dia kembali menaikkan selimut Sami. "Sudah, ya, ini masih malem banget... Mending Sami tidur lagi, oke? Mama temenin, ya?"

Meski masih ada sirat bingung dalam matanya, Sami memilih untuk menurut. Dia kembali berbaring, lalu Tomohisa menyanyikan beberapa lagu pengantar tidur dengan suara yang lembut, membuat Sami terbang ke alam mimpi sekali lagi.

Yakin putri kecilnya telah kembali terlelap, Tomohisa bergeser, duduk di sisi tempat tidur. Untuk sesaat, dia mengalih pandang selagi tangan menutup mulut. Kentara rona pipinya sama sekali tidak tersamarkan.

"... 'Papa' katanya..."

Lekas dia menggeleng. Dihela napas begitu panjang dan dalam. "Amatsuki-kun memang orang yang sangat baik, tapi..."

Ada jeda sekitar setengah menit bagi sang hening merajai ruangan itu. Tomohisa baru akan kembali berbaring di sisi Sami ketika atensinya mendadak terpaku pada tumpukan dokumen di atas nakas. Seketika matanya membelalak, mendapati logo kepala beruang besar tersemat di halaman paling depan.

Saat itu juga keringat dingin menuruni pelipisnya. Raga langsung kaku, wajah memucat, dan napas Tomohisa mulai memburu akibat degup jantungnya yang melaju semakin cepat. Sekelebat memori tanpa diminta merangsek masuk. Sosok di kejauhan itu, yang tersenyum samar padanya...

"...Sui-san...?"

***

To be Continued...

Muehehehe ayem bek:)

Dan seperti biasa, sekalinya balik ngegantungin anak orang--

Yha, di Chapter ini Kafka nyajiin sudut pandang yang sedikit berbeda dari dua tokoh, nih, gengs.

Hal ini sengaja Kafka lakukan, karena memang Kafka ingin mengajak kalian berpikir lagi kalau dalam cerita ini selalu ada sisi lain dari setiap karakter yang nggak kita ketahui. Kita ngga bisa menilai suatu karakter itu full putih, atau full hitam, karena kenyataannya pun kayak gitu di dunia nyata.

Itu baru Hoshino dan Amatsuki.

Yah, meski bukan cuma di cerita ini aja sih Kafka bikin setiap karakter itu abu-abu.

Terutama, dalam project yg saat ini lagi Kafka siapin.

Yha, baiklah. Sekiranya sekian saja cuap-cuap Kafka kali ini-- betewe, ada yang penasaran sama desain karakter Hoshino?

Noh, si adek. Adek ipar yang lebih tua dari kakaknya--/digaplok/

Yang nanya masih single ato udah taken, dia udah punya tunangan, gais. Mereka dah tunangan dari SMP malah. Tinggal nunggu akad--gagitu.

Sebenernya pun ada kisah yang menarik banget soal Hoshino, tunangannya, dan perjodohan mereka. Apalagi ini ada kaitannya sama Soraru. Mungkin bakal Kafka ceritakan di masa yang akan datang kalau memang klean tertarik--

Baiklah, ini beneran udahan deh, hehhe. Sampai jumpa di apdetan berikutnya, bubaai~

Edit: Lah, Kafka lupa banget--

Kalo kalian mau kirim fanart, boleh banget loh~ Kafka terima senang hati, nanti Kafka masukkin pas apdet^^

Untuk fanart corner yang pertama ini, ada fanart Hare dari Watanabe_Chiaki

Makasih banget yaa Kafka suka banget fanartnya! Keren!!

Okedeh. Itu doang tambahannya hehhe. Buat fanart kalian bisa kirim aja ke email kafkasierra5@gmail.com yak. Janlup sertakan nama akun wp kalian biar bisa Kafka tag! Kafka tunggu fanart-fanart luarbiasa kalian! Babaaiii

December 29, 2022
-Sierrakafka-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro