a good purpose|| 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

3 Tahun setelahnya ...

Cekrekk ...

Cekreek ...

Cekrekk ...

Suara kilatan bliz dari kamera photograph terdengar di area pantai di suatu pulau. Juru kamera terlihat beberapa kali mengatur posisi kamera dan membungkuk sedikit badanya untuk pengambilan gambar yang bagus. Membidik beberapa kali gambar, dia meneliti kameranya untuk melihat hasilnya. Lalu senyum pun terpancar dari wajahnya saat menandakan hasil bidikannya memuaskan.

"Lagi, yah! oke iya seperti itu, pertahankan! 1,2,3---"

Lagi sang juru kamera memberi aba-aba untuk melanjutkan sesi pemotretan pada seorang model yang sedang berpose anggun di balik kamera. Angin sepoy-sepoy menerbangkan rambut dan gaun panjang menjuntainya. Wajah dibalik riasan make up artis itu tampak menatap berlawan arah, tidak melihat pada kamera. Tanpa tersenyum, wajah terangkat angkuh, tangan menyentuh dagu sensual, ia mulai membuat pose sesuai tema yang sedang mereka kerjakan. Wajah dingin alami yang teramat indah itu memandang hamparan laut. Memberikan pose senatural mungkin seakan ia tak terlihat sedang melakukan pemotretan.

Ckrekkkk..

Sang model utama yang menjadi objek pengambilan gambar mengibaskan gaun panjang menjuntainya ke tepi kanan, ketika pose berikutnya ia lakukan. Sesuai intruksi juru kamera.

Ckrekkk..

"Okay, Beb, untuk hari ini kita cukup sampai di sini! besok dengan tema yang berbeda kita lanjutkan lagi." Sang juru kamera menyudahi sesi pemotretan dan membereskan kameranya, diikuti oleh yang lain yang juga ikut membereskan perlatan mereka..

Model tersebut menghela napas panjang dan kembali menghirup udara sejuk di sekitarnya. Angin menerbangkan rambut dan menerpa wajah halusnya. Bisikan angin dan suara ombak menjadi saksi kesekian untuk kebebasan hidupnya saat ini.

Ia melambaikan tangannya. "SHOPI!" yang dipanggil dari kejauhan langsung berlari mendekat ketika melihat sang model melambai.

Shopi, sang asisten melirik gadis anggun itu dengan muka canggung. "Iya, Mbak!" tanpa melihat kepada bosnya Shopi menyahut.

"Mana minuman gue!" si model menyodorkan satu tangannya pada Shopi, orang kepercayaannya, sambil satu tangannya yang lain membenahi rambut panjang halus nan menjuntainya yang diterpa angin.

Shopi mengeluarkan botol minum, juga membukakan tutup botol itu. Sementara si model asik memainkan ponselnya. Sambil menunggu minumannya dibukakan.

Saat membuka tutup botol itu gerakan si asisten gemetar. Sehingga air dalam botol itu tumpah dan mengenai baju sang model. Shopi ketakutan, si model sudah menatap tajam dirinya. "Lo bego atau apa si, buka tutup botol aja nggak becus!" gadis itu melotot, wajahnya terlihat datar. "Sialan, baju gue basah gara-gara lo, tolol!" dia menghela napasnya, membersihkan pakainnya dari tumpahan air.

Shopi menunduk. "Maaf, Mbak, saya teledor!" Shopi mengakui kesalahannya.

Tapi si model tak mau tahu. Ia tetap memasang wajah kesalnya. Moodnya sudah dibuat buruk oleh si bodoh ini. "Lain kali kalau lo masih nggak becus juga, gue pecat lo!" lalu berjalan, meninggalkan Shopi yang langsung sigap mengikutinya di belakang sambil membantu memegang gaun berat sang model.

"Ma... maaf, Mbak, jangan pecat saya!" Shopi ketakutan, ia butuh uang yang banyak untuk biaya pengobatan adiknya yang sakit-sakitan juga membantu perekonomian ibunya, karena hanya ia yang menjadi tulang punggung di keluarganya, jika dia dipecat mau bekerja di mana lagi dia, jika hanya gadis ini yang mau menerima dirinya dengan tangan terbuka.

Si model berdecak. "Kalau lo nggak mau gue pecat, kerja yang bener! karena gue nggak butuh asisten yang tolol dan nggak bisa apa-apa, ngerti lo!" katanya sinis.

Shopi mengangguk di sampingnya. "Iya, Mba."

Shopi dan si model berjalan bersisian. Dengan decakan si model yang tak henti-hentinya menggerutu mengata-ngatai dirinya bodoh dan tolol. Shopi tak mau ambil pusing, meskipun dia sedikit sakit hati setiap kali dikatai seperti itu, tapi Shopi menutup telinganya, dan menganggap kalau sebenarnya bosnya ini tidak pernah bermaksud mengatai dirinya sekejam itu. Ia justru menganggap karena dirinya teledorlah, makanya bosnya ini marah.

"Nih lo pegang yang benar, jangan sampai ada barang-barang gue yang lecet sedikit pun!" Shopi menerimanya. Sedangkan Letta, sang model tersebut memasuki ruang ganti yang disediakan oleh para kru photograph. Sebuah tenda kecil yang hanya cukup untuk satu orang di dalamnya.

Meskipun sedikit kesusahan saat masuk ke dalam karena gaunnya terseok-seok di atas pasir putih. Letta berusaha mempercepat melepaskan gaunnya dan menggantinya dengan pakaian yang lebih casual, dia begitu kelelahan dengan aktivitasnya seharian ini. Ingin cepat-cepat istirahat di atas tempat tidur dan terlelap damai. Tidak memerlukan waktu lama Letta sudah mengganti pakaiannya. Dia keluar dan kembali melihat Shopi di depannya. Shopi mengambil gaun yang Letta pegang, setelah itu membereskannya dan merapihkannya ke tempat semula. Tempat wardrobe. Kemudian menyusul Letta yang sudah lebih dulu ke mobilnya.

Shopi ingin masuk ke dalam mobil saat melihat bosnya sedang berdua dengan laki-laki di dalam mobilnya. Lalu gadis itu memalingkan wajahnya saat kaca mobil tembus pandang itu memperlihatkan kegiatan dua insan di dalam sana.

"Sudah cukup, Baby, kamu bisa merusak make up-ku!" Letta tersenyum sensual, mengatakan cukup akan tetapi kedua tangannya masih melekat di bahu pria yang sedang memangku dirinya, masih begitu dekat dan sengaja menggesekan dadanya pada dada pria yang hanya terbalut kemeja coklat. Dia sengaja menggoda dan membangkitkan sensitivitas pria itu.

"Tapi kamu justru menggodaku, Beb." Pria yang sedang memangkunya, mencengkram pinggangnya terlalu kuat hingga terasa menyakitkan.

"Ohh, c'mon, Baby. Kita bahkan masih di tempat terbuka," ujarnya, namun mendekatkan wajahnya pada si pria lantas mengecup rahang pria yang sedang menahan gejolaknya itu. Bibir Letta menyentuhnya sensual, yang dibalas dengan punggungnya yang ditekan oleh pria itu. Hingga kini keduanya sudah merapat tanpa jarak.

"Kamu menyuruhku cukup, tapi kamu juga yang menggodaku," bisik pria itu terdengar kesal. Tapi Letta menyukai hal-hal seperti ini, membuat pria ini kesal. Dia mengecup singkat rahang si pria.

"Kamu merasa tergoda, Baby?" tanya Letta, kali ini ia mengecup daun telinga pria itu.

"Jika tidak sadar kalau kita sedang di tempar terbuka, aku tidak akan memberi kamu ampun karena sudah menggodaku!" terdengar seperti ancaman di telinga Letta.

Tapi Letta tidak takut, dia justru tertawa. "Aw, kamu mengancamku, Baby!" Letta menjauhkan wajahnya. Bukan karena ia merasa takut oleh ancaman itu, tapi karena Letta sudah berjanji pada dirinya untuk tidak akan pernah luluh dan takluk pada lawan jenisnya. Terlebih pada pria yang selalu memperlakukan dirinya seperti perempuan murahan..

"Kalau begitu sekarang cepat kamu keluar dari mobilku, Robby!" Letta melepaskan rangkulannya pada pria bernama Robby itu. Dan lekas beranjak dari pangkuan Robby, untuk berpindah duduk di sampingnya. Ia membuka kunci mobil, kemudian mendorong Robby keluar dari mobilnya.

Robby berdecak, ingin protes akan tetap Letta sudah lebih dulu menutup pintu mobilnya. Sehingga decakan Robby, si lelaki photograph, yang tadi bertugas memfotonya merasa kesal. Letta tak mau repot-repot mempedulikannya, melihat Robby kesal dia justru senang. Ia tahu betapa sudah bergairahnya Robby. Mengingat saat tadi ia duduk di pangkuan pria itu, ia dapat merasakan sesuatu yang menekannya keras di bawah bokongnya.

Menjijikan. Pria itu benar-benar menjijikan.

Di dalam mobil Letta mengusap kasar wajahnya, lalu menutup mata dan membukannya kembali. Sesaat kemudian tersenyum miris, tatapan Letta terlihat kosong. Ingatan 3 tahun lalu masih membekas di dalam ingatannya.

"Lo tahu pandangan gue terhadap lo saat ini seperti apa? perempuan murahan."

"Tidak ada perempuan yang mau disentuh oleh pria lain kecuali jika dia memang pelacur."

"Sebutan apa yang pantas buat lo selain pelacur?"

"Biar gue tunjukan bagaimana seorang pelacur pantas diperlakukan."

Letta tersenyum getir saat mengingat perkataan pria itu. Pria yang sudah tidak ingin diingatnya lagi, tapi tetap saja ia masih mengingat dengan jelas bagaimana kejamnya pria itu mengatai dirinya murahan, pelacur dan sampah.

"Fano bilang lo sampah! SAMPAH!"

Tidak ada yang lebih hancur dari pada mendapatkan kalimat keji itu dari seorang yang pernah dicintainya. Itulah yang Letta rasakan tiga tahun lalu, hatinya hancur berkeping-keping hingga tidak tersisa lagi bagaimana bentuk dan rupanya. Letta menyimpan rapat rasa sakitnya seorang diri. Kepedihan karena kemarahannya yang terpendam tiga tahun lalu membuat dendam itu mucul ke permukaan setiap kali ia ingat ada sebagian dari dalam dirinya yang telah hilang tiga tahun lalu, sehingga ia merasa sakit hati berkepanjangan. Sejak saat itu pula, Letta membuktikan perkataan pria itu. Membuktikan kalau ia sudah menjadi perempuan murahan yang sesungguhnya. Entah sudah berapa banyak pria yang mengejarnya, dan ia tanggapi begitu saja hanya untuk membuat dirinya menjadi sampah yang sesungguhnya.

Perempuan murahan.

Pelacur dan sampah.

Persis seperti yang pria itu katakan.

Semua menjadi terwujud dan nyata. Ia menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang yang baru. Letta si perempuan sampah dan si perempuan murahan. Arletta Sihasale, identitas baru dan kehidupan baru.

Letta menghapus sisa air matanya yang tidak disadarinya kalau ia Kembali menangis. Saat pintu mobilnya terbuka, dan memunculkan sosok asistennya. Atensinya jatuh pada Shopi. "Dari mana aja lo, sialan? sengaja bikin gue nunggu lama?" wajah sendunya telah berubah menjadi sinis.

Shopi menunduk. "Maaf, Mbak, tadi saya enggak enak karena ada Mas Robby di dalam mobil, Mbak!" Shopi menunduk takut, sambal memberikan alasannya pada Letta.

Letta mendengus sebal. "Cepat balik, gue mau istirahat supaya nanti malam gue bisa nemenin si tua bangka itu ke pesta."

Shopi mengangguk dan mulai menjalankan mobil milik bosnya.

Sementara Letta sudah menyandarkan punggungnya, dan memejamkan matanya. "Nanti malam lo temenin gue!" tanpa membuka matanya Letta berkata.

Shopi menoleh. "Baik, Mbak!" lalu terdiam dan keadaan menjadi hening. Shopi bukan tidak peka dengan apa yang baru saja dilihatnya, melihat bosnya menangis. Iya bosnya habis menangis!

Shopi menyimpulkan kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh bosnya. Hal yang selalu membuat Shopi penasara dengan kehidupan bosnya. Dia begitu tertutup dan memendam segalanya. Membuat Shopi yang sudah hampir setahun menjadi asistennya selalu menyimpan pertanyaan di dalam kepalanya.

Tentang? hal apa yang selalu membuat Letta menangis? tapi ia tidak pernah menemukan jawabannya karena bosnya itu tidak pernah membagi kesedihannya pada orang lain.

****

"Pak Prayoga dan Ibu Catty ingin bertemu dengan anda, Pak."

Pria itu mengalihkan atensinya dari layar proyektor di depannya saat dua orang yang membuatnya jengah disebutkan oleh sekretaris pribadinya.

Fano menatap dingin pria berkemeja biru tua itu. "Usir dia, aku tidak ingin punya urusan apapun lagi sama mereka." Titah Fano tak terbantahkan.

"Tapi, Pak, mereka sudah di depan menunggu, Bapak." Fano langsung menatapnya tajam, dia tidak ingin dibantah.

"Baik, Pak." Saat sekretarisnya ingin ke depan dan menemui Pak Prayoga dan Ibu Catty, pintu ruangan itu telah lebih dulu di buka.

"Fan, Tante mohon sama kamu, Nak, temui anak tante sekali aja." Ibu Catty mendekati Fano, dia memohon pada Fano, berharap pria itu mau menuruti permintaannya sekali ini saja.

Pak Prayoga pun tidak tinggal diam, demi anak perempuan satu-satunya yang keadaannya semakin prihatin, ia pun ikutan membujuk Fano. Pria paruh baya itu menyentuh bahu Fano, menatapnya penuh permohonan. "Om tahu kalau kesalahan anak om begitu besar, Nak, tapi kali ini saja om mohon agar kamu mau menemui putri om." Mohonnya, di dalam ruangan konferensi itu hanya ada Fano dan sekretarisnya, para direksi sudah pada bubar, beruntung mereka datang disaat yang tepat karena tidak merusak acara meeting Fano.

Wajahnya tanpa ekpresi, jika tidak ingat dengan kesopansantunan pada orang yang lebih tua, Fano mungkin sudah akan mengusir mereka berdua sejak tadi, karena dia sudah begitu muak pada mereka. "Baiklah, saya akan menemuinya!" katanya pada akhirnya, merasa lelah dengan mereka yang tidak ada hentinya menemui dirinya.

Hembusan napas lega terhembus dari bibir kedua paruh baya di depannya.

"Sekarang kalian pergi dari sini sebelum saya berubah pikiran." Usirnya. Mereka mengangguk dan lekas pergi sebelum Fano menarik ucapannya. Saat pintu ruangan konferensi telah tertutup dan kembali menyisahkan dirinya bersama sekretarisnya-- Fano menatap sekretarisnya, pandangan dingin itu membuat sekretaris pribadinya menundukan kepalanya.

"Ada kabar apa lagi kali ini?" tanya Fano pada sekretarisnya.

"Nanti malam dia akan menemani Mr. Aodhagan pada perayaan ulang tahun perusahaan, Pak!"



🌿🌿🌿

To be continued..
Sabtu, 8 juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro