a good purpose|| 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Berengsek, nggak ... menjauh jangan macam-macam sama saya kamu." Dia yang mengundangnya tapi dia juga yang ketakutan, semua gencatan senjata yang dibuatnya seakan menyerangnya telak.

Fano tidak mempedulikan ketakutan Letta. Pria itu tersenyum meremehkan, "Bukannya aku tidak boleh menolak rezeki?" Lalu Fano melempar kemejanya, saat sudah di tepi tempat tidur ia menerjang Letta.

Letta terpekik, tapi pekikannya teredam oleh ciuman Fano, pria itu sudah menguasai dirinya dengan mengunci pergerakannya.

Letta berontak, mengalihkan kepalanya ke kiri dan ke kanan--menghindari ciuman itu, tangannya dengan gesit memukul-mukul dada bidang Fano untuk membuat Fano menjauh. "Lepaskan, berengsek ... bajingan ... sialann... mphhhhh." Tapi usahanya sia-sia saat Fano kembali berkuasa, ia menguasai kedua tangan Letta. Memenjarakannya di atas kepala Letta menggunakan satu tangannya. Sementara tangan yang lainnya, ia pergunakan untuk menahan wajah Letta, untuk memudahkannya mencium wanitanya.

Letta menjerit, berusaha berteriak tapi jeritan dan teriakannya teredam oleh ciuman Fano. Pria itu mempergunakan mulutnya dengan baik, mencium Letta. Segala kerinduan yang membuncah selama tiga tahun ini ia salurkan lewat ciuman itu. Fano membagi rasa lewat kenyal tipis Letta yang merona di bawah kendali dirinya, semua dilakukan masih sama baik seperti tiga tahun lalu. Perlahan sampai Letta melunak dan wanitanya tak lagi mengeluarkan penolakan. Letta kembali terbawa arus gairahnya sendiri. Fano menjungkir balikkan titik rasa di dalam dirinya. Sehingga kewarasan Letta kembali terenggut.

Gairah, kerinduan, dan kemarahan. Semua rasa meluap menjadi satu di dalam diri keduanya. Hanya sisa gairah saja yang tersisa. Rasa rindu akan sentuhan Fano mematikan seluruh rasa benci Letta untuk sesaat. Ciuman Fano yang terasa lembut, sentuhannya yang bergerak liar dan intim menghantarkan rasa nyaman dan hangat di dalam diri Letta. Letta lupa diri, saat hasrat kembali menguasai dirinya.

"I can't without you. Don't leave me again," bisik Fano pada Letta sebelum memindahkan sentuhan bibirnya ke sepanjang leher jenjang Letta. Letta tak kuasa menahan ledakan di dalam dirinya, ucapan Fano tidak begitu didengarnya karena pokusnya hanya kepada rasa ingin menikmati semua yang Fano berikan pada dirinya. Letta tanpa sadar mencondongkan diri, merapat pada Fano. Tangannya yang telah lepas dari kuasa Fano, ia lingkarkan di leher pria itu.

Fano menciumnya dengan lembut, Letta sudah menikmatinya, tidak ada lagi penolakan. Hal itu membuat Fano mendapatkan lampu hijau, ia bergerak liar dan jantan, memindai sentuhannya pada area pribadi Letta. Secara ahli tangannya melepaskan kaitan di belakang tubuh wanitanya, mulai melepaskan penyanga benda yang dianggapnya sebagai pengganggu. Mata Fano menggelap sesat, bukti bahwa hasrat telah menguasainya. Sensitivitas itu kian merebak diantara keduanya.

Tidak memiliki kesempatan untuk menolak lagi, Letta tenggelam dalam pusaran gairahnya. Mulai membiarkan Fano bermain-main dengan dirinya, keduanya saling berperang dengan deru napas yang saling berkejaran, merebut oksigen sebanyak mungkin. Tapi bencana itu datang saat Fano mulai meregangkan tungkainya. Pikiran Letta kosong, dan sekelebat bayangan mengerikan itu merasuk ingatannya.

"BERHENTI."

Ketakutannya semakin menjadi saat satu dari ketiga orang itu menarik lepas kain tipis di bawahnya, "BERHENTI ... BERHENTI JANGAN KUMOHON JANGAN ..." teriakannya histeris. Air matanya semakin tumpah.

Tapi ketiga orang itu malah tertawa keras, mentertawakan tangisan dan jeritan pilu Letta. Napas Letta memburu, oleh tangisan dan rasa takutnya. Hidupnya tidak lagi berguna. Keinginan untuk mengakhiri hidupnya begitu kuat. Ya Tuhan, Letta tidak ingin hidup lagi jika para bajingan ini melakukannya. Tidak ... tidakkk...Letta berontak semakin tak terkendali.

Plakkk..

Tapi tamparan keras didapatkannya, bibirnya bergetar, tubuhnya terguncang hebat. Tangisnya semakin pecah saat tungkainya dibuka paksa.

"JANGAN KUMOHON JANGAN! JANGAN LAKUKAN ITU." Letta memohon, Dia menutupi area pribadinya yang diregangkan paksa oleh bajingan itu, tapi bajingan itu tetap memaksanya, sambil tertawa keras.

"TIDAKKKKKKK .... JANGAN SENTUH AKU."

Letta terbelalak, napasnya memburu takut. Entah mendapatkan kekuatan dari mana ia mendorong Fano menjauh darinya, Letta beranjak turun dengan cepat dari tempat tidur, matanya menatap takut ke depan pada pria yang saat ini tengah menatapnya bingung.

"Kamu kenapa?" Fano ikutan beranjak turun. Matanya menatap Letta penuh tanda tanya, tapi lebih dari itu perasaan khawatir mendominasi Fano.

Tatapan Letta kosong, ia ketakutan melihat Fano yang berjalan mendekat padanya. "Menjauh ... menjauh .. kubilang menjauh! Jangan sentuh aku." Letta menatap ke sekeliling kamar apartemen Fano, mencari-cari sesuatu. Benda yang bisa ia jadikan senjata. Saat matanya menemukan sebuah ponsel yang tergeletak di sana, ia mengambilnya cepat dan melemparnya pada Fano. Fano dengan gesit menghindar sehingga ponsel miliknya melayang membentur dinding.

"Menjauh kubilang, menjauh. Jangan sentuh aku .. jangan ... tidak jangan...." teriaknya saat Fano masih saja melangkah ke arahnya, bayangan mimpi buruk itu semakin membuat Letta tak bisa mengendalikan diri, ia histeris, ketakutan, tubuhnya bergetar penuh dengan keringat dingin.

Fano jadi panik, rasa khawatir membuat dadanya sesak melihat sikap Letta yang tidak ia mengerti. "Hei, hei, lihat aku, lihat aku." Fano mencoba menyadarkan Letta, saat sudah berhasil memeluk Letta.

Letta berontak, enggan disentuh. "Lepas... lepaskan aku .. lepas, jangan sentuh aku, menjauh ... kubilang menjauh." Histerisnya memukul-mukul Fano, Fano mengeratkan dekapannya, Letta mencakar Fano. Tanpa sadar menampar dan memukul pria itu.

Fano tidak peduli, meski harus mendapatkan pukulan sebanyak apapun dari wanitanyanya, ia rela. "Tenang, Sayang, tenanglah! ini aku, please, tenang, ya, tenang." Fano menenangkan Letta yang semakin mengeluarkan keringat dingin. Tetap memeluk Letta seerat mungkin, menyalurkan segala bentuk kekhawatirannya dengan dekapan erat.

Letta menggeleng, memejamkan matanya dan menutup telinganya rapat-rapat. Dia masih belum sadar, kewarasannya masih diambil penuh oleh bayangan itu. "Berhenti berhenti kumohon jangan sentuh aku." Suaranya bergetar saat ia melihat dan mendengar wajah serta gelak tawa menggeleggar dari ketiga bajingan itu.

Beberapa saat kemudian mata Letta terbuka, ia menatap nyalang Fano yang mendekapnya. "Lepas .. lepaskan aku," ucapnya dengan nada lemah, "Tolong, tolong aku." Tubuhnya yang lemas meluruh, Fano ikut meluruh, Letta memeluk kedua kakinya, menenggelamkan wajahnya pada lututnya dan tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah.

Fano merasakan sakit disekujur tubuhnya. Melihat tatapan lain dari wanitanya sesak ia rasakan. Kenapa? satu pertanyaan muncul di benaknya. Kenapa wanitanya seperti ini?

Letta menangis, tubuhnya masih bergetar hebat. "Sttt, tenanglah. Kamu akan baik-baik saja, Sayang!" katanya sambil masih mendekap Letta dan mengusap kepala wanitanya. Merasa perih melihat sikap aneh wanitanya. Kenapa Letta seperti orang depresi? Satu pertanyaan muncul dibenak Fano. Matanya memanas, merasakan napas Letta sudah kembali normal, tangan Fano mengepal erat. Air mata pria itu tanpa sadar menetes. Semua yang terjadi pada wanitanya mungkin saja karena dirinya.

Fano mengusap punggung Letta berkali-kali, menyalurkan segala bentuk ketenangan pada wanitanya. Saat sekelebat mimpi buruknya mulai menghilang, Letta tersadar ia telah berada dipelukan Fano. Letta menelan ludahnya, mulai merutuki kelemahannya. Sekarang apa? Fano pasti sudah tahu tentang traumanya. Letta menghirup napas sedalam-dalamnya, ketika merasa sudah bisa mengendalikan dirinya, ia mulai kembali memasang topeng angkuh yang biasa dikenakannya sebelum melepaskan dekapan pria ini. Dan menatap tajam Fano.

Fano menatapnya dalam diam.

"Sorry, Boy, kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan," ujarnya berusaha bersikap seperti biasa. Letta beranjak berdiri, tanpa peduli tubuhnya yang polos dilihat Fano, ia memungut pakaiannya, mengambilnya cepat dan berjalan ke kamar mandi. Tiga menit kemudian Letta kembali keluar dari kamar mandi, sudah dengan pakaian lengkap. Ia beranjak mengambil tasnya. Lalu menghampiri Fano. "Bisa kamu buka pintunya?"

"Kamu mau ke mana?" Fano menatap wanitanya dalam diam.

Letta menghela napasnya. "Pulang, saya harus pulang."

"Jika kamu mau, kamu bisa bermalam di sini." Fano menawarkan, seolah ia lupa jika ia tak memiliki masalah pada wanitanya. Karena jujur saja Fano masih khawatir dengan Letta.

Letta tersenyum sinis, wajah ketakutannya telah kembali angkuh. "Dan membuatku di pandang sebagai pelacur sungguhan karena bermalam di apartemen seorang pria." Letta terkekeh merasa lucu dengan tawaran Fano. "Sayangnya saya tidak semurahan itu untuk bermalam di rumah pria yang bahkan ..." ia menggantungkan kalimatnya, lidahnya tiba-tiba saja keluh untuk mengatakan itu.

Fano menaikan alisnya, "Apa?"

Letta mengedikan bahunya. "Lupakan, sekarang cepat buka pintunya." Fano tidak ingin memaksa? Sikap aneh Letta membuat dirinya tidak bisa bertindak jauh. Dia akhirnya membuka pintu kamarnya, membiarkan Letta keluar tanpa meninggalkan kalimat sepatah katapun.

Fano menatap punggung berlalu wanitanya sampai Letta menghilang. Tatapannya terlihat kosong dan sendu. "Sebenarnya apa yang sudag terjadi denganmu, Sayang? Apa yang tidak kuketahui?" ujarnya dengan hati yang sesak, beberapa saat tatapannya berubah tajam, tangannya mengepal erat.

"Sampai saatnya aku tahu hal apa yang telah membuatnya seperti ini, aku tidak akan pernah membiarkan mereka hidup tenang. Siapapun mereka yang telah menyakitimu akan merasakan kesakitan yang sama." Janji Fano pada dirinya sendiri.

****

Letta duduk menyendiri di teras balkon rumahnya, memeluk lututnya sambil tatapannya menengadah menatap langit malam di atasnya. Sudah pukul 02.10 WIB tapi dia belum bisa tidur apalagi sekedar memejamkan matanya. Di sampingnya ada asbak dan bungkus rokok yang menemaninya. Pandangannya menatap kosong ke depan, kepalanya menyimpan banyak beban, saat sakit membuat sesak di dalam dadanya kembali menguasai diri Letta. Dia memejamkan matanya, menutup telinganya serapat mungin. Mencoba membuang setiap bayangan mimpi buruk yang tengah menggrogoti dirinya. Tapi justru bukannya lupa, mimpi itu selalu menguasai dirinya, membuat dirinya depresi mendekati gila saat rasa trauma sedang menguasai dirinya. Semua sudah tertinggal jauh di tiga tahun lalu, tapi rasa jijik pada dirinya sendiri karena sentuhan orang-orang itu masih terasa membekas ditubuhnya.

Dia selalu merasa jijik pada dirinya meskipun orang-orang itu belum sempat melakukannya, tapi sentuhan mereka yang sempat mampir disekujur tubuhnya tidak pernah bisa terlupakan oleh Letta. Sampai kapanpun Letta akan selalu ingat, sampai ketika orang-orang itu matipun dia akan selalu mengingatnya. Tangisnya lagi-lagi luruh, kenapa masa lalu selalu membuat dirinya terpuruk. Dia selalu menyalahkan takdir buruknya, selalu menangis dan menyendiri seperti ini dan semua itu karena si gila, si sampah dan si berengsek itu. Mereka berhasil membuat dirinya seperti ini.

Saat suara langkah kaki mendekat, Letta tidak menoleh, masih duduk sambil memeluk kedua kakinya. Termasuk ketika usapan di kepala menyusul setelahnya, "Mau sampai kapan, Sayang?" Letta diam tidak memberikan respon apapun. "Mau sampai kapan kamu seperti ini?" Mata Mona berkaca-kaca, ia baru pulang. Saat ingin melihat putrinya di kamar, ia malah melihat Letta berada di balkon. Ia memiliki perasaan tidak enak tentang gadis ini, memilih pulang ke rumah untuk melihat Letta, hal pertama yang Mona lihat adalah kerapuhan yang lagi-lagi ia lihat pada diri putri angkatnya.

Letta masih diam, tapi telinganya jelas mendengar suara mamanya, hanya gelengan kepala yang ia berikan pada Mona. Mona mengambil duduk di samping Letta, memeluk putri angkat yang sudah seperti anak kandungnya itu, mencurahan rasa kasih sayangnya pada Letta. "Apa lagi yang membuatmu seperti ini, Nak?" tanyanya khawatir. Sakit? Ia merasa sakit melihat kesedihan yang menghiasi wajah Letta.

Lagi-lagi gelengan kepala Letta berikan. Ia tidak mungkin menceritakan bagian dimana ia bersama pria itu di apartemennya tadi. "Aku tidak bisa, Ma, aku hanya tidak bisa." Sesak membuat napas Letta terasa berat setiap kali mengambil napas. "Semua seakan menggerogotiku, setiap kali aku mengingatnya rasanya aku ingin mati saja, Ma," ujarnya serak, membalas pelukan Mona, tangannya mengepal erat ketika bayangan para bajingan itu selalu merusak kewarasannya. Rasa jijik pada dirinya yang pernah disentuh oleh mereka membuat Letta trauma berkepanjangan.

Mona mengusap kepalanya lembut, kelembutan itu menghantarkan rasa hangat yang memberi ketenangan pada diri Letta. "Mama mengerti, Sayang, Mama mengerti." Air mata menggenang di pelupuk mata Mona. Ia tahu apa yang dirasakan oleh putri angkatnya karena ialah saksi dari perjalanan hidup Letta, segala penderitaannya membuat Mona tidak bisa menjabarkan seperti apa lagi takdir buruk telah menjadi teman disetiap langkah hidup anak angkatnya.

Mona mengecup kepala Letta. "Kamu hanya perlu mencobanya sekali lagi, ingatlah, Nak, semua yang pernah terjadi di dalam hidupmu hanya sebagian dari rencana Tuhan untuk membuat kamu menjadi lebih kuat dari sebelumnya."

Letta tertawa hambar, bagian mana yang membuat dirinya kuat. Masalah itu justru semakin menjadikan dirinya lemah dan rapuh. Ia menengadah menatap wajah Mona yang ikut menatap dirinya dengan raut sendu. "Anakku," gumamnya serak, kalimat nasehat Mama tak berarti apapun untuk bisa membuat dirinya lupa pada semua hal, termasuk pada anaknya.

"Apa ia ada di antara langit-langit itu, Ma? Apa anakku sudah bertemu dengan Ibuku, Ma?" tanyanya serak, mata beningnya kembali mengeluarkan tangisan yang menyesakkan. Lebih dari apapun hanya hati seorang ibulah yang dapat merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang anak. Mona mungkin tidak bisa merasakan apa yang Letta rasakan karena Tuhan tidak pernah memberikannya kesempatan untuk memiliki anak. Kemandulan membuat dirinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya.

Tapi sebagai sesama perempuan, Mona tahu hal apa yang tengah dirasakan Letta. "Mama yakin, cucu Mama sudah bahagia bersama neneknya," ia mengusap wajah Letta, menghapus jejak-jejak air mata Letta. "Seperti kamu, Nak, Kamu juga bisa bahagia jika kamu mau melupakan segala mimpi burukmu." Saran Mona.

Letta memejamkan matanya, membuang napasnya yang terasa berat. Semakin sesak saat Mona mengatakan kalimat itu. 'Bahagia' apakah ia bisa bahagia? Letta bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Satu jawaban ketidakpastian membuat ia merasa tidak yakin. Segala hal dalam hidupnya telah hilang. Anaknya, hatinya yang telah retak, dan kepercayaan dirinya sebagai wanita baik-baik. Semua telah musnah bersama kepergian anaknya.

Perlahan tapi pasti saat tangis dan sesak berhasil ia kendalikan, senyuman pun mulai terbit pada bibir pucat pasihnya. "Mama benar, Ma." Ia melepaskan pelukan Mona. "Aku akan bahagia, tapi ...." lalu menatap mamanya.

Mona tersenyum dan mengangguk. Raut itu kembali berubah mengerikan. "Tapi kebahagianku hanya melihat orang-orang itu menderita."


🌿🌿🌿

To be continued..
Selasa, 25 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro