a good purpose ||20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalian urus pria itu jangan sampai putriku mengetahui tentang hal ini." Titah Mona yang diangguki patuh oleh mereka. Mona memijat kepalanya yang terasa pening. Mengetahui masalah ini ia jadi banyak berpikir. Apa yang terjadi jika Letta sampai mengetahui hal ini?

"Di mana putriku? apa dia sudah pulang?" tanyanya pada orang-orang berseragam hitam yang sedang mengelilinginya.

Salah satu dari mereka menggeleng. "Belum nyonya, Thomas dan yang lainnya sedang menjemput nona." Beritahunya, Mona diam setelahnya, wajah paruh baya yang masih terlihat muda dan segar itu terlihat menatap datar ke depan. "Lalu apa kalian sudah membereskan orang itu?" tanyanya lagi.

Lagi jawaban Mona dijawab gelengan oleh mereka. "Kami baru akan membereskannya nyonya, kedua dia baru bebas hari ini jadi kami membiarkannya untuk bernapas sejenak sebelum kami membereskannya," ujarnya, sambil menunduk tak menatap lawan bicaranya.

Mona mendengarkan, wajahnya terlihat mengeras. "Lakukan dengan cepat sebelum putriku tahu segalanya. Aku tidak mau kalau sampai berita ini jatuh dengan cepat pada Letta!" perintah Mona, yang lagi-lagi diangguki oleh mereka.

"Baik nyonya." Mereka serempak mengiyakan perintah Mona, lalu kemudian beranjak meninggalkan Mona di ruang tamu setelah memberitahukan kabar penting ini pada Mona.

Mona bersandar pada sofa, kepalanya menengadah, menatap langit-langit ruang tamu rumahnya, sementara pikirannya menatap kosong dan menerawang jauh.

"Papa mohon temui adikmu. Bawa dia ke simi, pisahkan dia dari suaminya yang tidak tahu diri itu."

Mona tidak tahu bagaimana bisa Papa begitu berapi-api ketika menceritakan tentang adiknya yang katanya menikah dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab, Mona juga tidak tahu sejak kapan adiknya menikah dan dengan siapa sebenarnya adiknya itu menikah? Ia tidak tahu apapun tentang kehidupan adiknya setelah ia pisah dengan adiknya selama kurang lebih 18 tahun lamanya dikarenakan ia yang melanjutkan pendidikannya ke Eropa, menikah dan tinggal di sana bersama suaminya. Dia jarang pulang dan Papa jarang menceritakan tentang adiknya, sekalipun sering berkunjung ke sana, Papa selalu bungkam setiap kali Mona menanyakan tentang kabar adiknya.

"Tapi di mana sebenarnya Illyana, Pa? Kenapa Papa baru cerita padaku tentang hal ini? sudah selama ini dan Papa baru cerita!" dia mencecar Papa saat itu, saat suaminya meninggal dunia, Mona memilih kembali tinggal bersama Papa. Yang mengejutkan ia sama sekali tidak menemukan keberadaan adiknya. Mona bertanya, merasa ada yang tidak beres. Dan Papa baru menceritakannya.

"Cinta dan kebodohan." Papa bergumam dan Mona mengerutkan alisnya tidak mengerti.

"Apa maksud Papa?" tanya Mona heran.

"Adikmu lebih memilih hidup bersama lelaki miskin itu dari pada mendengarkan kata Papa?"

Sampai disini Mona paham apa yang diceritakan oleh Papa mengenai Illyana. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan adikku, Pa?" Mona bertanya tidak sabaran. Dan Papa mulai menceritakan segala hal tentang kehidupan adiknya selama ini. Hidup Illyana yang menderita karena memiliki suami yang kasar dan tidak bertanggung jawab. Selama ini Papa hanya mengawasi Ilyana dari jauh tanpa melakukan apapun. Dia pikir itu sebagai pelajaran untuk anaknya karena sudah memilih lelaki yang salah.

Mona menghela napasnya lelah, ada sedikit perasaan kesal terhadap Illyana, kenapa adiknya itu bodoh sekali. Memilih melarikan diri dan menikah dengan lelaki itu hanya karena cinta. Kadang-kadang cinta memang membuat otak manusia tumpul.

"Papa tidak ingin si keparat itu menyiksa adikmu terus-terusan. Seharusnya Illyana menikah dengan lelaki pilihan Papa bukan dengan lelaki model si Arya itu, lelaki yang kehidupannya berantakan, bukan dari kalangan orang berpendidikan dan tidak memiliki masa depan sama sekali," kata Papa, masih terselip nada geram membicarakan lelaki bernama Arya itu.

"Lalu Papa mau Mona berbuat apa untuk Papa?" tanya Mona, ikutan geram mengetahui kalau selama ini adiknya hidup menderita dengan lelaki miskin itu.

Ternyata pria itu bukan hanya miskin harta tapi juga miskin akal. Tidak tahu diri sekali manusia itu. Mona harus memberinya pelajaran. Janji Mona.

"Temui adikmu, Mona. Bawa dia dan cucu Papa ke rumah ini. Dan sekalian kamu bereskan si keparat itu, buat dia membayar segala hal yang sudah dia lakukan kepada Illyana dan cucuku," ujar Papa saat itu membuat Mona menyipitkan matanya.

"Cucu?" Mona bergumam, Papa mengangguk. "Ya, adikmu sudah memiliki anak, cucu Papa. Seorang perempuan. Dialah yang kelak akan menjadi pewaris Papa satu-satunya," ujar Papa, Mona mengerti kenapa Papa berkata seperti itu. Ini juga menyangkut tentang dirinya yang tidak bisa memiliki keturunan. Sudah 15 tahun menikah sampai suaminya meninggal dunia, ia belum juga dikarunia seorang anak di dalam pernikahannya.

"Mona janji, Mona akan bawa Illyana dan keponakan Mona untuk Papa." Janji Mona saat itu. Dan perempuan itu segera bertindak cepat. Ia menemui Illyana ke rumah kontrakan yang di tempati oleh adiknya itu, tapi kabar yang ia dapatkan sungguh mengejutkan Mona. Illyana, adiknya itu telah meninggal karena perbuatan si berengsek Arya. Mona tidak terima ia mencari cara untuk menemukan Arya dan juga mencari keponakannya. Dari informasi yang Mona dapatkan Arya ternyata telah menjual putrinya sendiri demi melunasi hutang-hutangnya. Mona tentu saja semakin tidak terima. Keponakannya diperlakukan seperti barang yang layak diperjual belikan.

"Berengsek lo Arya, lo akan membayar semua penderitaan adik dan keponakan gue." Geramnya mengepalkan tangannya di depan makam Illyana bersama kesepuluh orang bodyguardnya. Setelah mengetahui adiknya meninggal, saat itu pokus Mona mencari keponakannya. Ia mencari dan terus mencari informasi tentang orang yang telah membeli keponakannya dari Arya. Mona selalu mendapatkan kendala ketika mencari keberadaan Letta, sampai takdir dengan sendirinya mempertemukan ia dengan keponakannya pada malam na'as itu. Malam dimana Letta mendapatkan pelecehan dan keponakannya itu harus keguguran karena kehilangan janinnya yang telah berusia 4 bulan.

Segala hal yang terjadi pada kehidupan Illyana dan Letta membuat Mona membenci orang-orang itu, orang-orang yang telah membuat keluarganya seperti ini. Saat malam ia menemukan keponakannya dalam keadaan sedang hamil dan keguguran satu hal yang Mona simpulkan jika selama ini telah banyak hal buruk yang dialami oleh keponakannya itu.

"Aku berjanji akan menjaga anakmu, Illyana. Kamu bisa tenang di sana karena aku akan menjadi ibu pengganti untuk anakmu. Aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri." Janji Mona pada Illyana yang ia tepati dengan baik. Menjaga Letta, menyayangi Letta, dan selalu ada disaat Letta terpuruk dan merubah sosok Letta untuk mendapatkan kehidupan barunya. Juga membantu Letta membalas dendamnya pada orang-orang yang telah menyakiti hati keponakannya.

"Sudah cukup kamu mengotori tanganmu untuk orang-orang tidak berguna itu, Nak, sekarang biarkan Mama yang melakukan ini untukmu." Gumamnya, menatap foto besar Letta di dinding ruang tamu rumahnya.

****

Fano tidak tahu bagian mana yang lebih sakit dari kalimat Letta yang ia dengar tadi? mengetahui wanitanya pernah hamil anaknya dan wanitanya pernah mengalami nasib buruk karena pelecehan? atau? perkataan Letta yang mengatakan jika ia menghamili Shesil dan menikahnya? semua terasa menyesakan dada Fano. Terasa ada yang mengganjal dan membuat kepalanya serasa ingin pecah karena memikirkan semuanya. Fano melangkah gontai membuka pintu apartemenya, Shesil telah berdiri di depannya, menatap lebam di wajahnya ia menutup mulutnya.

"Fan." Shesil mendekat, terlihat khawatir. "Ada apa? kenapa wajahmu bisa lebam-lebam?" Shesil hendak menyentuh wajah Fano akan tetapi pria itu memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan Shesil.

"Sebenarnya apa yang sudah dilakukannya sampai kamu bisa seperti ini?" Shesil tidak tersinggung oleh penolakan Fano, ia malah mengajukan pertanyaan yang sama.

Fano menatap Shesil tajam, "Apa yang sudah kamu katakan kepadanya tiga tahun lalu?" tanyanya dingin tanpa menjawab pertanyaan Shesil dan memilih mengajukan pertanyaan yang sejak tadi dipertanyakan oleh hatinya.

Shesil menegang, ia menatap Fano. Rautnya terlihat menyesal. "Fan, Aku ... " lidah Shesil terasa kelu, ia bingung ingin memulainya dari mana, satu sisi ia merasa takut oleh tatapan Fano.

"Katakan. Apa yang sudah kamu katakan padanya?" tekan Fano, mengepalkan tangannya tidak sabaran. "Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? kenapa dia mengatakan kalau aku hanya menganggapnya sampah?" cecar Fano dengan nada dingin.

Shesil menunduk. "Maaf Fan, maafkan aku." Lirihnya malah meminta maaf dan merasa menyesal.

Fano mendesah jengah. "Bukan maafmu yang ingin kudengar, SHESIL." Tekannya lagi, bersandar pada pintu dan tatapan tajamnya menghujam netra Shesil, meminta penjelasan segera.

Shesil meremas kedua tangannya. "Aku ... aku yang mengatakan padanya," wajah Fano masih tampak tenang, meski sudah tahu ujung dari kalimat Shesil, ia hanya ingin wanita itu mengatakan segalanya lebih jelas lagi.

"Aku yang mengatakan padanya kalau kamu hanya menganggapnya sampah yang pantas untuk dibuang. Aku juga yang mengatakan padanya kalau saat itu aku hamil anakmu." Shesil menunduk tak berani menatap Fano. "Maaf, maafkan aku, Fan, aku menyesal!"

Urat-urat nadinya mengencang dan rahangnya mengeras. Kedua tangan Fano makin terkepal erat sementara raut wajahnya berubah memerah. Fano mendorong Shesil, memojokannya ke dinding. "Berengsek, lancang banget lo." Fano geram. Ia mencekik leher Shesil. Jika Shesil bukan seorang perempuan mungkin saja ia sudah akan membunuhnya.

Shesil tidak memberontak, membiarkan Fano meluapkan kemarahannya. "Ma ..aaaf, Fan. Aku menyesal!"

"Lo tahu apa yang lo lakukan itu, Shesil?!" Fano mencengkaram leher itu dengan tekanan kasar. Nada bicaranya tak lagi selembut sebelumnya.

Shesil menunduk, merasa bersalah.

"Lo tahu karena perbuatan lo itu dia semakin membenci gue. Karena sikap kurang ajar lo itu dia semakin menjauhi gue! Sialan kalau bukan perempuan udah gua habisi lo!" Fano melepaskan cengkramannya, tangannya yang mengepal melayang ke depan.

Bug..

Dia meninju dinding di samping kepala Shesil. "Berengsek, pelacur! Lo emang sialan, SHESIL!" napas Fano memburu, kemarahan itu membuat sisi Fano di masa lalu kembali hadir. Kasar dan sadis saat berbicara.

Shesil menunduk, ia takut dengan kemarahan Fano. Tapi ia tahu, semua memang kesalahannya.

"Maaf, Fan, aku tahu aku salah. Tapi saat itu aku tidak berpikir apa-apa selain membalas sikap jual mahalmu padaku," ujar Shesil lirih. "Dulu aku begitu sakit hati atas penolakanmu, sehingga membuat aku berpikir untuk membuat hubunganmu dengannya hancur. Tapi sekarang aku menyesal. Aku menyesal, Fan." Shesil tidak pernah berpikir sejauh ini sebelumnya, apa yang dilakukannya di masa lalu akan berimbas di masa sekarang. Ia yang terbawa oleh rasa bersalah dan Fano yang kesulitan mendapatkan cintanya.

Fano menarik napasnya, mengontrol amarahnya. Ia merasa lelah dan frustasi. Ingatannya kembali pada tiga tahun lalu. Saat di mana ia sendiri yang mulai membawa-bawa Shesil di tengah-tengah hubungannya dengan Letta. Dimana ia dengan sengaja ingin membuat Letta merasakan sakit hati yang sama dengan yang ia rasakan. Memanfaatkan Shesil untuk menyakiti Letta.

Bukankah di sini ia yang memiliki andil penih atas rasa sakit wanitanya? Jadi sebenarnya Shesil mungkin tidak bersalah, dia begitupun karena Fano yang membuatnya ikut andil. "Lo tahu kalau semua ini tidak benar, kenapa lo hanya diam saja dan tidak memberikan penjelasan apapun padanya?" gumam Fano lelah, setelah amarahnya sedikit mereda. "Dan Melati --"

"Aku tahu aku salah, tapi kumohon jangan membenci Melati." Shesil memotong kalimat Fano. Tahu jelas apa yang akan Fano katakan. "Melati tidak bersalah, Fan, aku yang salah," ujarnya, takut jika kesalahannya dimasa lalu membuat Fano membenci anaknya.

Fano menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Tapi tidak seharusnya kamu mengatakan padanya tentang Melati tiga tahun lalu." Fano geram. "Kamu jelas tahu kalau aku tidak pernah sama sekali menyentuhmu, dan Melati sama sekali bukan anakku!" ujarnya dengan nada penuh penekanan.

"Apa yang lo pikirkan saat lo bilang kepadanya kalau lo hamil anak gua, ya Tuhan." Fano mengusap kasar wajahnya. Saat ia kembali mengingat kejadian tiga tahun lalu, ia mulai menyimpulkan satu persatu benang merah yang terjadi pada hubungannya dengan Letta.

Saat Letta pergi dari rumahnya dan meninggalkannya, apa ini karena perkataan Shesil? Fano bersandar pada dinding dan meluruhkan tubuhnya hingga menyentuh lantai. Semua kesalahpahaman ini memang bermula karena kesalahannya dan ia yang patut disalahkan.

Melihat kefrustasian Fano, Shesil semakin merasa bersalah, "Maaf, Fan, maafkan aku." Fano sudah begitu baik kepadanya dan anaknya selama ini, membantunya dari segi ekonomi, menyekolahkan Melati sampai mau menyayangi Melati padahal Melati bukan anaknya. Melati adalah anak dia dan Kafka, lelaki satu malamnya yang sudah memiliki istri dan tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Fano justru datang membantunya ketika keadaan keluarganya terpuruk, saat ia tidak memiliki apa-apa dan disaat ia baru melahirkan Melati dan sedang membutuhkan tempat tinggal dan kebutuhan untuk Melati. Fano yang telah membantunya begitu banyak.

Mengingat hal itu membuat Shesil berpikir. Rasanya semua kebaikan yang pernah Fano lakukan pada Melati dan dirinya membuat Shesil semakin merasa berdosa. Andai saja dia dulu tidak begitu sombong dan angkuh melakukan itu pada Letta mungkin Fano dengan mudah mendapatkan perempuan itu kembali.

Tiga tahun lalu:

Malam itu, saat di mana Fano membawa dirinya ke rumahnya dan saat Fano sengaja memanfaatkan dirinya untuk membuat Letta sakit hati. Fano memang menurut begitu saja ketika Shesil menuntunya memasuki kamarnya kembali dan Shesil sempat senang karena berpikir Fano tergoda atas ajakannya. Tapi ketika Shesil kembali mencumbunya, dan Fano membiarkannya, Shesil makin merasa bangga dengan dirinya. Namun saat Shesil hendak menurunkan sentuhannya ke bawah dan hendak ingin menyentuh titik sensitif Fano, pria itu menghentikan segalanya.

"Fan." Shesil terkejut saat Fano menyentak tangannya kasar, kemudian pria itu menatap tajam dirinya.

"Jangan pernah bertindak terlalu jauh. Ingat itu!" didorongnya Shesil menjauh dan pria itu kembali membuka pintu kamarnya, kemudian menatap Shesil dingin. "Keluar dari kamar gue, karena tugas lo sudah selesai sampai di sini!" kemudian Fano menutup pintu kamarnya tanpa menunggu jawaban dirinya yang sudah akan protes, pria itu memasuki kamarnya dan malah membiarkan dirinya di depan pintu kamar. Shesil kesal ia mengepalkan tangannya.

"Sialan, lo terlalu sombong sama gue, Fan!" mata Shesil menatap pintu yang tertutup itu dengan wajah memerah, lagi-lagi penolakan yang dia dapatkan, Fano tidak pernah membiarkan dirinya menyentuhnya terlalu jauh selain permainan biasa, sama persis saat apa yang mereka lakukan tadi di dalam sana.

"Lihat saja apa yang bisa gue lakukan buat menyingkirkan gadis lo, Fan!" janji Shesil pada dirinya sendiri, merasa muak dengan kemunafikan Fano yang selalu menolaknya. Shesil tidak terima dikalahkan oleh gadis miskin itu, dia jelas tahu segala penolakan Fano didasari oleh pikiran pria itu yang selalu memikirkan gadis miskin itu.

"Berengsek, apa bagusnya gadis itu!" kemudian Shesil memilih beranjak dari depan kamar Fano, sepanjang langkahnya dia tidak berhenti menggerutu. Memaki Fano habis-habisan karena pria itu hanya memanfaatkan dirinya hanya untuk membuat si cupu itu sakit hati. Juga segala pikiran piciknya yang mengatur rencana untuk membalas Fano. Membuat hubungan mereka hancur berantakan.

"Aku akan membantumu untuk menjelaskan kepadanya, Fan."


🌿🌿🌿

To be continiued..
Kemis, 22 agustus 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro