a good purpose || 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu mengancamku, kamu jelas tahu kalau di mata keluargaku kamu tidak ada seujung kuku pun untuk kami." Mona menatap tak suka pada pria di depannya.

Tapi pria yang tidak lain adalah Fano itu hanya menatapnya datar. "Aku tidak pernah berpikir sepicik itu untuk mengancam Tante, tapi yang harus Tante tahu apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan yang aku mau." Fano menatap Mona dengan tatapan datarnya.

Mona menatapnya mencemooh. "Well, anak muda sepertinya kamu tidak pernah berubah. Pantas saja keponakanku bisa terjebak oleh laki-laki sepertimu." Sindirnya sinis.

Namun Fano tidak terpengaruh sedikitpun oleh sindiran Mona. Semua telah ia atur sedemikian rupa untuk membuat wanita ini mengizinkan dirinya untuk mendekati Letta sebebas yang ia mau termasuk ketika ia ingin mendatangi Letta di rumah Mona.

"Jika Tante sudah tahu bagaimana aku, seharusnya Tante tidak perlu banyak berpikir lagi untuk mengizinkanku melakukan apa yang aku mau!" ujar pria itu menyandarkan punggungnya pada kursi putarnya.

Fano sudah menjalankan yang dia rencanakan, mengundang Mona ke kantornya dan mengancam akan membuka identitas Mona tentang kejahatan yang di lakukan Mona pada kedua orang yang telah melecehkan Letta, Fano mencoba membungkam tante dari wanitanya. Ya tante dari Letta, ia saja tidak percaya dengan berita yang didapatkannya dari Kris.

Mona tersenyum meremehkan. "Kamu ingin melaporkan semua yang kulakukan pada mereka disaat kamu sendiri tahu kalau yang kulakukan adalah untuk Letta!"

Wajah Fano tetap tenang, ia jelas tahu itu. Tapi tidak ada cara lain lagi untuk ia memiliki kesempatan untuk mendekati wanitanya selain dengan cara seperti ini.

Mona menyandarkan punggungnya pada kursi, sementara raut wajahnya semakin terlihat tidak bersahabat. "Kamu tahu anak muda seperti apa hidup keponakanku karena perbuatan kalian? dia seperti orang gila, depresi. Nyaris membunuh dirinya berkali-kali ketika bayangan para bajingan itu menyentuhnya dan sekarang kamu menyuruhku datang ke sini hanya untuk mengancamku. Sungguh tidak tahu malu." Geram Mona, menceritakan segala yang ia lalui demi bisa membuat Letta bangkit.

Fano bergeming, tenggorokannya tercekat karena mengetahui satu fakta lagi tentang wanitanya. Letta mencoba bunuh diri. Ternyata sudah begitu banyak luka yang dialami wanitanya yang tidak ia ketahui. Rahangnya mengeras dan ia mengepalkan tangannya yang berada di bawah meja. Ingin rasanya Fano menghabisi nyawa mereka yang telah dengan berani menyentuh wanitanya. Mengendalikan dirinya Fano berusaha mengatur suaranya untuk bersikap lebih tenang karena gejolak amarah hampir saja membuat dirinya lepas kendali. Setelah berhasil mengendalikan diri barulah Fano kembali menatap Mona.

"Tapi tidak dengan membunuh. Tante tahu apa yang akan Letta pikir jika Tantenya sendiri bahkan sejahat itu?!" tekannya dingin. "Apa Tante pikir cara seperti ini yang Letta inginkan? Membunuh mereka!" tambah Fano, mencoba menekan Mona dengan ucapannya.

Mona tidak sama sekali terkejut apalagi takut atas ucapan Fano. Justru wanita itu tersenyum pongah. "Apa kamu pikir Letta akan sebaik itu mengizinkan para bajingan itu tetap hidup?" pernyataan Mona membuat Fano bungkam. "Dia akan melakukan hal yang sama, kamu tentu tahu bagaimana mengerikannya keponakanku saat ini!" Mona menambahkan, tidak ada yang bisa menekan dirinya termasuk pria ingusan di depannya.

Wajah Mona tidak menunjukan reaksi apapun. Sama seperti Fano, tetap tenang dan santai, dia malah menunjukan wajah bosannya. "Kamu membuang waktuku anak muda." Mona hendak bangkit dari kursi yang di dudukinya, tapi Fano menahannya.

"Semua keputusan ada di tangan Tante. Mungkin soal Letta tidak akan jadi masalah bagi Tante, tapi dunia akan kacau jika mereka tahu kalau mentri yang selama ini mereka bangga-banggakan ternyata terlibat kejahatan." Fano mengetuk jari jemarinya di atas meja. "Coba Tante bayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bukan hanya nama baik Tante saja yang rusak. Tante juga pasti akan kehilangan pekerjaan Tante."

Tangan Mona terkepal, ketika lagi-lagi bocah ingusan ini mencoba bermain-main dengannya. Sebagai seorang yang menjunjung tinggi nama baik keluarga dan selalu mencoba tampil baik di depan layar kaca. Mona jelas memikirkan tentang ancaman Fano.

"Baiklah kali ini kamu menang." Mona akhirnya mengalah. Dan itu memunculkan senyum kemenangan di sudut bibir Fano. "Aku mengizinkanmu untuk mendekati keponakanku tapi ..." tatapan Mona tidak berubah sedikitpun dia tetap menatap dingin pria di depannya. "Jika aku sampai melihat keponakanku terluka karena perbuatanmu lagi, aku tidak akan tinggal diam begitu saja. Hidupmu akan kubuat hancur seperti kamu menghancurkan hati keponakanku." Mona menyampirkan tas cannel miliknya sambil meninggalkan kalimat bernada ancaman pada Fano.

Fano tetap dengan wajah datarnya. Tapi ia perlahan mengangguk. "Aku tidak akan melakukan itu. Tante hanya perlu percaya padaku." Fano meyakinkan Mona. Mona menatapnya angkuh. Lalu tanpa menimpali omong kosong pria itu lagi Mona berbalik, berjalan meninggalkan Fano yang langsung menghembuskan napas leganya.

Tapi satu hal yang tidak Fano ketahui karena sebelum Mona keluar dari ruangan itu, perempuan paruh baya yang masih terlihat elegan itu sempat tersenyum di baliknya.

"Tante harap kamu bisa mengembalikan Letta seperti dulu lagi anak muda."

Lalu Mona melangkah dengan senyuman tulusnya. Inilah yang ia tunggu-tunggu sebenarnya. Permintaan pria itu yang ingin mendekati keponakannya. Semua menjadi mudah saat pria yang ia ketahui memiliki andil dalam menyakiti hati keponakannya mulai berani meminta kepadanya. Mona memberikan kesempatan pada Fano untuk menyembuhkan setiap luka yang Letta alami dan Mona harap setelah ini semoga saja segala luka yang dirasakan oleh Letta lekas menghilang karena kehadiran pria itu.

Bukankah Mona pernah mengatakan pada keponakannya. Bahwa, luka hanya bisa sembuh jika diobati dengan si pembuat luka itu sendiri. Apalagi si pembuat luka itu adalah lelaki yang dicintai oleh keponakannya. Mona yakin jika cinta akan meluluhkan rasa benci Letta pada pria itu.

"Maaf sayang, tante hanya ingin kamu bahagia."

****

Fano tahu apa yang dilakukannya ini mungkin salah. Sama seperti dulu, dulu ia melakukan apapun untuk membalas penolakan Letta akan dirinya dan sekarang ia kembali mengulang hal yang sama namun bedanya kali ini ia melakukannya untuk mendapatkan wanita itu kembali bukan untuk suatu keburukan, namun untuk menebus semua kesalahannya. Terkadang cinta membuat orang berani melakukan apapun termasuk Fano. Ia mengancam Mona hanya demi keuntungannya padahal ia tahu Mona melakukan itu untuk wanitanya juga. Ia masih ingat jelas tentang apa saja yang ia dapatkan tentang Mona. Wanita itu, Fano tidak menyangka jika Mona sekejam itu.

Tok tok tok ...

Pintu ruangannya di ketuk saat ia sedang sibuk dengan pikirannya tentang Mona. Fano menatap bingkai foto yang sejak tadi ia pandangi dalam diam, menatapnya sekali lagi sebelum menyimpan foto itu kembali ke dalam laci. Lalu pandangannya menatap pintu ruangannya yang masih diketuk.

"Masuk!"

Kemudian pintu ruangannya dibuka oleh seseorang. Fano mengira jika yang masuk adalah sekertarisnya namun ketika matanya menemukan Langit yang memasuki ruangannya pandangan Fano langsung berubah dingin.

"Mau apa lo ke sini?" tanyanya dingin. Fano menyandarkan punggungnya pada kursi putarnya, tatapannya menghujam tajam menatap Langit. Sama persis seperti di tiga tahun lalu, saat ini pun ketidaksukaannya pada Langit tetap tidak berkurang sedikitpun.

Langit tampak santai, tidak terpengaruh oleh tatapan Fano. "Ada hal yang ingin gue bicarakan sama lo, Bang," katanya, lalu tanpa dipersilahkan Langit duduk begitu saja di depan Fano.

"Sejak kapan lo dan gue sedekat itu sampai perlu berbicara? kalau tidak ada hal yang penting lebih baik lo pergi dari ruangan gue." Fano rupanya masih dendam pada Langit atas kejadian tiga tahun lalu, biar bagaimana pun dia ikut andil atas semua kesalahpahamannya dengan Letta.

Langit menghela napasnya, kenapa sikap abang tirinya masih saja sebeku ini. "Kemarin gue bertemu dengannya!" katanya langsung pada intinya tanpa mengidahkan kesinisan Fano.

Fano menengang, ia jelas bukan orang bodoh yang tidak mengerti apa maksud dari ucapan Langit. Mulutnya hendak kembali terbuka saat Langit kembali melanjutkan.

"Gue tahu kalau tidak seharusnya gue ikut campur sama masalah lo. Tapi, gue nggak bisa diam saja disaat hubungan kalian masih renggang karena kesalahan gue dulu, Bang." Langit menatap wajah dingin Fano. Ia tahu alasan kenapa Fano tidak pernah menyukai dirinya itu karena ibunya dan alasan lainnya karena Letta.

"Gue ngajak dia makan siang bersama dan kami bicara banyak." Fano mengepalkan tangannya yang berada di pangkuannya ketika kalimat yang Langit sampaikan barusan membuat rasa iri itu hinggap di hatinya. Kenapa jika dengan Langit, wanitanya semudah itu membuka diri? Tapi jika dengan dirinya, perempuan itu selalu menghindarinya.

"Lo berani mendekati dia disaat gue sendiri bahkan nggak bisa mendekatinya?" geram Fano. "Lo mau mengulang apa yang pernah lo lakukan dulu, iya?" tuduhnya dengan rahang mengeras dan kecemburuannya.

Langit menggeleng. "Gue nggak bermaksud seperti itu? Tapi kalau lo berpikiran begitu ya anggap saja sesuka hati lo, Bang. Gue nggak mau repot-repot menjelaskan apapun disaat lo sendiri bahkan enggak pernah percaya sama gue."

Fano mendengus. "Lo tahu hal terakhir yang enggak pengen gue lakukan di dunia ini adalah mempercayai lo." Fano tahu kalau ia memang tidak sepatutnya membenci adik tirinya itu setelah tiga tahun berlalu, karena biar bagaimana pun semua bukan kesalahan Langit. Pria ini hanya dimanfaatkan oleh Nara dan Shesil.

"Gue tahu, Bang." Langit tersenyum. Meski Fano tidak menyukai dirinya sejak dulu. Langit tidak pernah sedikitpun membenci Fano. Dia malah senang memiliki seorang abang meskipun hubungan mereka hanya sebagai saudara tiri.

Senyum Langit tidak merubah tatapan Fano yang tetap dingin. "Lo gue beri waktu selama 10 menit buat bicara, setelah itu tinggalkan ruangan gue."

Langit mengangguk. Tidak masalah jika hanya 10 menit, baginya itu sudah lebih dari cukup dari pada tidak sama sekali. "Baiklah." Wajah Langit berubah serius.

"Lo tahu tentang dia, Bang? maksud gue, apa lo tahu kalau dia pernah hamil anak lo?" tanya Langit, tubuh Fano menengang sebelum gelengan kepala ia berikan.

Langit sudah tahu tentang hal ini tapi dia memilih memastikannya kembali. "Gue pikir dulu ketika dia melarang gue memberitahu lo dia akan menceritakannya sendiri tentang kehamilannya sama lo, Bang. Tapi, ternyata gue salah."

Mata Fano memerah dan menajam ketika Langit mengatakan itu. "Jadi lo tahu ini sejak dulu tapi lo enggak sedikitpun ngasih tahu gue, berengsek!" Fano menggertakan giginya dan rahangnya mengeras. Aroma kemarahan dapat Langit rasakan dari nada bicara Fano.

Langit tahu bagaimana perasaan Fano. Disaat wanita yang dicintainya pernah mengandung anaknya, tapi dia tidak sama sekali mengetahuinya. Posisi itu membuat Langit mengerti bagaimana sakitnya perasaan pria itu.

"Gue nggak berpikir buat menyembunyikannya dari lo, Bang! Tapi gue pikir dulu dia akan mengatakan itu sama lo." Langit mendesah jengah atas tuduhan Fano kepadanya. Ia tahu Fano tidak pernah menyukai dirinya tapi demi Tuhan tidak sekalipun Langit berniat menyembunyikan masalah sebesar ini kepada abangnya.

Fano diam, wajahnya menatap Langit dingin. Hati kecilnya mengatakan kalau bocah sialan ini memang tidak mungkin berlaku seperti itu kepadanya.

"Gue yakin lo sendiri tahu bagaimana keadaanya dulu." Langit tidak bermaksud ingin mengungkitnya, tapi jika tidak Fano pasti akan selalu menyalahkan dirinya. "Gue rasa dia punya alasan kenapa dia tidak pernah mengatakan tentang kehamilannya." Tatapan Fano yang dingin tampak kosong. Kilas kejadian di tiga tahun lalu muncul begitu saja di benaknya dan ujung dari semua permasalahan ini memang karena kesalahan dirinya. Ia yang salah dan terlalu dibutakan dengan kemarahannya sehingga menyakiti hati wanitanya begitu dalam.

"Dia bilang lo punya anak dari perempuan lain apa itu benar, Bang?" tanyanya pada Fano, mengatakan apa yang Letta katakan kepadanya kemarin.

Ingatan itu terhempas begitu saja ketika Langit melontarkan kalimat yang membuat rahangnya mengeras. Sialan. Tatapan Fano kembali menatap Langit, rahangnya yang tegas tampak memunculkan urat-urat disaat emosinya kembali dipermainkan. "Lo tahu bocah. Meskipun kehidupan gue liar, gue nggak pernah menyentuh perempuan manapun selain dia." Jujur Fano.

Langit tercengang mendengarnya. "Jadi, lo ... maksud gue lo nggak pernah melakukan apa yang dia tuduhkan itu." Takjub Langit antara percaya dan tidak. Ia pikir dulu Fano seliar itu. Berhubungan dengan banyak perempuan.

Fano menggeleng lemah, telapak tangannya terangkat untuk menyapu wajahnya yang frustasi. "Gue tahu gue salah karena sudah menyakiti dia tiga tahun lalu dengan membawa Shesil di antara hubungan kita, tapi gue sama sekali enggak pernah berminat sama Shesil selain untuk membalas sakit hati gue karena ---"

"Gue tahu, Bang, cemburu membuat orang gelap mata." Potong Langit yang mengerti dengan permasalahan ini.

Fano menjauhkan telapak tangannya dari dagunya. Lalu menatap Langit. "Apa yang harus gue lakukan untuk membuatnya kembali?" tanyanya serak, "apa yang harus gue lakukan untuk menebus semua yang udah gua lakukan kepadanya?" tambahnya sekali lagi dengan dada yang penuh oleh sesak yang menghantam jantungnya.



🌿🌿🌿

To be continued..
Senin, 23 september 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro