a good purpose|| 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Follow ig me dong guys @storyerickaoktavia  @intan_veranika

🌿🌿🌿

Iringan musik Barat yang berjudul My Love dari Westlife terdengar mengalun indah di telinga Letta ketika ia dan Shopi masuk ke dalam balroom hotel, tempat di adakan pesta perusahaan itu. Musik yang pas untuk acara besar pesta perusahaan ini. Terdengar pas dan berkelas untuk pesta se'elit ini.

Letta menggunakan dress pink terbuka dengan panjang di atas lutut, kira-kira dua jengkal dari atas pahanya. Dress dengan potongan dada rendah terlihat pas di tubuh mulusnya. High hell, yang ia cocokan dengan semi dressnya, juga tas kecil seperti dompet menjadi paduan yang cocok untuk penampilannya yang anggun malam ini.

Letta membaur, masuk ke dalam pesta lebih dalam lagi. Semua atensi langsung melirik kepadanya. Mata penuh kagum kaum laki-laki, dari yang muda sampai yang tua menatap tertarik kepada Letta. Juga tak ketinggalan tatapan iri dari perempuam-perempuan yang mengenal dirinya di tempat ini. Tak sedikit Letta dapatkan, Letta justru bersikap biasa dan tidak mempedulikan. Hanya cuek dan abai pada sekitar. Lebih memilih mengambil segelas wine yang disodorkan oleh pelayan hotel.

"Thank you!" Letta tersenyum pada si pelayan, membuat pelayan itu meneguk salivahnya. Dan berlalu sebelum ia dengan tidak tahu dirinya malah mengagumi sosok cantik di depannya.

Letta mengangkat gelasnya, menempelkan pada bibirnya, lalu meneguk minumannya perlahan. Saat sedang menikmati minumannya, Shopi tahu-tahu sudah di depannya dan menahan gelas yang akan kembali ia tempelkan di bibirnya.

"Mbak, kata Ibu, Mbak nggak boleh minum-minuman kayak gitu lagi." Shopi mengingatkan pesan Mona saat sebelum mereka berangkat ke hotel ini.

Letta melirik tajam pada Shopi dengan tatapan penuh peringatan. "Gue tahu bodoh." Letta mengumpat, namun tak ayal dia malah tetap kembali menyesap wine-nya.

"Terus kenapa Mbak masih meminumnya juga?" Shopi masih saja cerewet membuat Letta gerah mendengarnya.

Letta melirik sinis. "Terus lo pikir gue anak kecil yang harus minum susu," ujarnya, melotot tajam. "Gue gajih lo bukan buat nasehatin gue, ingat ya lo kerja sama gue bukan sama Mama gue."

"Tapi, Mbak, Ibu nanti bisa---"

"Berisik lo, ya, Tai!" Letta melotot, jengah. "Lo cuma kacung gue, sialan!" Letta menekan kalimatnya, mengingatkan Shopi akan batasan-batasan dirinya untuk tidak ikut campur pada semua yang dilakukannya.

"Gue gaji lo buat jadi kacung gue, bukan buat jadi tukang nasehat gue, ingat lo cuma babu gue dan kapan pun gue mau gue bisa pecat lo," ucap Letta dengan nada sarkasme. "Kalau lo nggak suka liat gue minum, mending lo pergi aja sana!" Letta mengakhiri kalimat pedasnya dengan usirannya.

Shopi bungkam di tempatnya. Kalimat tajam dan pedas itu sedikit banyaknya membuat gadis malang itu sakit hati atas ucapan bosnya. Tapi untung Shopi panjang sabarnya, sehingga dia tidak pernah memasukan ke dalam hati kalimat-kalimat keji bosnya, jika begitu mungkin Shopi sudah dendam pada Letta, menyusun rencana jahat dengan menaruh racun sianida ke dalam minuman bosnya, atau mengirimkan teluk agak bosnya cepat mati, dengan begitu tidak akan ada lagi yang melemparkan kalimat kejam kepadanya. Tapi beruntung Shopi tidak sejahat itu, berpikir melakukannya saja tidak.

Dia juga mungkin bisa saja tidak peduli pada Letta, membiarkan gadis yang selalu semena-mena terhadapnya itu minum sebanyak yang dia mau, tapi Shopi tidak setega itu membiarkan bosnya mabuk berat. Karena saat mabuk, gadis itu benar-benar payah. Meski Letta tidak pernah menganggapnya lebih baik dari seorang kacung di matanya, Shopi justru kebalikannya, dia sudah menganggap gadis yang telah memberikan pekerjaan kepadanya selama setahun belakangan ini, temannya. Tidak peduli jika di mata Letta, Shopi hanyalah kacung, babu atau pembantu seperti yang selalu Letta katakan.

Shopi berusaha keras untuk tidak menangis di tengah keramaian pesta orang-orang kaya ini. Perempuan lugu yang terlihat lemah itu mencoba memahami sifat Letta yang kejam dan ketus. Tapi tetap saja matanya berkaca-kaca. Shopi hampir menangis, sementara gadis yang telah mengacaukan harga dirinya malah melenggang cantik, sambil membawa gelas minumannya dan dia sedang menatap ke sekeliling hotel ini, lalu tersenyum saat seorang pria berumur mendekat kepadanya.

"Aku cari-cari kamu dari tadi, aku pikir kamu nggak datang, hunny." Pria berumur itu mendekati Letta, lalu tanpa kata lagi langsung memeluk Letta. Dan menjamah tubuh Letta dengan gerakan sensual. Letta tidak menolak dan membiarkannya saja. Tidak peduli tangan kotor itu menjamahnya. Meski dia harus berjuang mati-matian menahan jijik karena pria yang seharusya menjadi ayahnya ini menyentuhnya. Biarkan saja, lagi pula itu tidak memberikan pengaruh apa-apa kepadanya. Dia bahkan sudah bukan gadis bersih lagi sejak tiga tahun lalu. Dia perempuan kotor, saat lelaki dari masa lalunyalah yang telah membuat dirinya menjadi kotor.

"Om pikir aku gadis pembohong." Letta tidak bisa bertambah mual lagi ketika nada manja keluar dari bibirnya saat dia berbisik di telinga si Om. Si Om bule berdarah kelahiran Skotlandia, pemilik perusahan modeling yang menggarap nama Letta. Pria berumur yang mencoba mendekati Letta, bersikap murahan kepadanya, dengan mengundang Letta untuk menemaninya ke pesta ini.

"Sttt, don't call me, Om, hunny!" si Om memprotes panggilan Letta sambil mengeratkan pelukannya pada Letta, tidak merasa malu pada sekitarnya yang penuh dengan tamu undangan. "Om belum setua itu untuk kamu panggil Om!" lalu hendak mencium bibir Letta tapi Letta melirik ke sekitar.

"Ramai, Baby." Letta mengganti sebutannya dan berkata penuh sensual, mengatakan ramai akan tetapi tangannya malah mengalung di leher si Om. Letta bertingkah sebaik mungkin, seakan-akan dia merasa nyaman dengan si bule Skotlandia ini. Nyatanya Letta menahan muntah.

Bukan karena si Om yang sudah berumur. Pria itu bahkan belum terlalu tua untuk di panggil Om, persis seperti yang tua bangka itu katakan. Ingatlah bahwa uang bisa membuat orang awet muda. Tapi tetap saja umur mereka yang terpaut jauh, layaknya ayah dan anak membuat perbedaan itu begitu pekat, sehingga akan sangat memalukan jika Letta berjalan bersama dengan si Om.

Si om cemberut, dan itu sungguh terlihat menjijikan. Sudah tua bukannya ingat umur. Rutuk Letta di dalam hatinya. "Pulang dari sini ikut aku ya, hunny," ajak si Om.

Letta sudah mengerti makna terselubung dari ajakan itu. Apalagi jika bukan karena si Om yang sudah gatal ingin menjamahnya. "Gimana sama istri kamu? dia nungguin kamu di rumah loh." Letta memberi alasan.

Si Om menghirup dalam aroma tubuh Letta yang menempel padanya. "Dia pasti meng---"

"Mr. Aodhagan!" si Om menoleh ke belakang, membalikan tubuh saat mendengar namanya di panggil. Letta membiarkannya, tidak peduli saat si Om menunggu seorang yang memanggilnya, sepertinya rekan bisnisnya. Letta lebih memilih kembali mengambil minuman saat pelayan lewat di depannya. Menyesapnya sekali teguk tanpa bernapas. Juga tanpa melihat pada si Om dan juga rekan bisnisnya. Peduli setan dengan si Om dan rekan bisnisnya itu. Minuman lebih terasa nikmat buatnya saat ini.

Mereka tampak berbincang-bincang sebentar, tentang--hal yang tidak Letta pahami dengan kehadirannya di pesta ini. Orang-orang ber-tuxedo rapih yang suka munjual mulut manisnya hanya untuk menarik keuntungan.

Lalu si Om kembali mendekat kepadanya, melalui ekor matanya, Letta tahu jika si Om tidak berjalan sendirian, dia bersama pria yang tadi memanggilnya. Letta tidak melihat pria yang bersama si Om karena dia merasa tidak tertarik.

"Hunny." Sampai si Om mendekat, dan mau tidak mau tatapannya jatuh pada pria di samping Om Aodhagan, dan waktu seakan terhenti saat iris hazel Letta bertatapan dengan iris hitam serupa tatapan elang milik pria di depannya. Tubuhnya membeku seketika.

"Kenalkan, hunny, rekan bisnisku." Om Aodhagan dengan santai memperkenalkannya pada pria itu. Seolah sekandal kedekatannya dengan Letta tak akan jadi masalah untuk si tua bangka beristri dengan tiga anak itu. Terlebih lagi di kalangan pengusaha seperti dirinya, mungkin itu adalah hal yang biasa.

Letta sendiri diam saja, sekujur tubuhnya mendadak kaku, melihat wajah tidak asing dari rekan bisnis si Om. Sungguh, mendadak lidah Letta terasa kelu. Dia bahkan hanya diam saja tidak mampu menggerakan tangannya untuk menjabat tangan lelaki di depannya. Letta menegang, tiba-tiba saja semua berjalan lambat, saat ingatan itu perlahan kembali mengambil alih dirinya. Kebencian dan kemarahan kembali berkobar di dalam diri Letta.

Namun kembali surut saat Om Aodhagan merangkul pinggangnya, "Sttt, hunny, kamu tidak apa-apa, kan?" si Om berbisik, menyadarkan Letta dari keterpakuannya.

Letta menetralkan raut wajahnya, menampilkan wajah baik-baik saja setelahnya. "Aku hanya terkejut, ketika melihat betapa tampannya rekan bisnismu, Baby," katanya berkata penuh godaan sambil tersenyum sensual, berusaha menyembunyikan gejolak batin di dalam hatinya. Lalu Letta menyodorkan tangannya pada si pria.

"Hello tuan salam kenal, saya Arletta Sihasale, senang berkenalan dengan anda." Letta tersenyum sopan. Bersikap biasa saja seolah dia tidak mengenali pria di depannya.

Pria itu menatapnya dingin dan menerima uluran tangannya. "Djunistio Zefano Ardolf," ujarnya datar. "Senang berkenalan denganmu juga," balasnya dengan kalimat yang ia tekankan. Terdengar dingin di telinga Letta.

Mungkin Letta bisa berpura-pura tidak mengenali pria itu, tapi tidak dengan pria itu. Pria itu tampak diam menatap ke arah rangkulan tangan rekan bisnisnya yang menempel pada pinggang Letta. Terlihat mesra, sementara Letta terlihat tidak keberatan.

Rahang pria itu tiba-tiba saja mengeras. Lalu melirik datar pada Om Aodhagan, "Bagaimana kabar istri dan anak anda, Mr? Apa kalian masih baik-baik saja?" Pria itu mengingatkan, Membuat Om Aodhagan kikuk dan langsung melepaskan rangkulannya pada pinggang Letta.

"Ahh, iya kami baik-baik saja," ujar si Om canggung. Letta tersenyum sinis, pastinya tidak setelah dia tahu bagaimana berengseknya suaminya. Om Aodhagar tertawa membuang rasa malu di dalam dirinya.

Tapi karena sudah kepalang malu, dia jadi tidak punya muka. Dan memilih cepat-cepat berpamit dengan alasan ingin menemui rekan bisnisnya. Meninggalkan Letta dengan pria itu. Tidak mungkin membawa Letta serta merta bersamanya, karena sudah kepalang malu ketahuan membuat sekandal dengan perempuan lain.

Letta menatap datar pria di depannya, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ketika Letta hendak berlalu, pria itu menghalangi langkahnya, mencengkram pergelangan tangan Letta. "Tidak seharusnya kamu mengganggu laki-laki yang sudah beristri," ucap dingin suara itu.

Letta memutar bola matanya, muak. Lalu menepis kasar tangan pria itu. "Kamu pikir kamu siapa, mengomentari hidup saya." Letta menatap pria itu meremehkan. Persis seperti apa yang pernah pria itu lakukan di tiga tahun yang lalu kepadanya.

Pria di depannya masih berekspresi dingin. Sama sekali tidak tersinggung oleh nada bicara Letta yang pedas.

"Dengar ya, kamu bukan siapa-siapa saya sampai berhak mengatur hidup saya. Mau saya dekat dengan suami orang atau pun kakek-kakek sekalipun itu bukan urusan kamu," katanya telak membuat pria itu bungkam. Lalu berbalik meninggalkan si pria yang diam di tempatnya dengan rahang mengeras. 

🌿🌿🌿

To be continued..
Senin, 10 juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro