A.I. See You [1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makhluk itu merenggut kewarasan Zeta—jauh sebelum itu diciptakan.

Zeta adalah nama samaran yang temanku gunakan. Ia tak mau makhluk itu mengetahui identitas aslinya. Kutulis catatan ini agar orang-orang tahu bahwa ia pernah ada—selama aku masih cukup waras untuk mengingatnya.

Aku mulai curiga pada kondisinya sejak ia tiba-tiba menghapus akun Instagram miliknya. Sebagai anggota AICU—Artificial Intelligence Construction Unit—ia sering menulis di forum komunitas tersebut seputar topik pengembangan AI. Biasanya ia sangat aktif dalam diskusi daring. Namun, mendadak ia menutup seluruh akunnya.

Semua foto, tulisan, dan semua yang berhubungan dengan dirinya di media sosial lain pun menghilang. Mungkin ia dibajak peretas, penguntit, atau semacamnya. Dari depan, rumahnya begitu sunyi hingga aku mendengar ludah yang kutelan. Pintu terkunci. Sandal dan sepeda motornya masih ada. Kuperiksa samping kontrakan. Jendela kamarnya tertutup tirai kelabu.

Ada suara tetikus yang ditekan berkali-kali.

Kuketuk kaca jendela dan kupanggil namanya. Lalu terdengar jeritan.

"Cukup! Jangan siksa aku! Jangan siksa aku!"

Apa ada orang lain di dalam?

Kubuka tepi jendela yang tidak terkunci dan masuk. Sebuah palu melayang dari samping. Aku menghindarinya tepat waktu dan menggenggam lengan si pemegang palu. Kurebut palu tersebut dan kujatuhkan orang itu. Saat hendak menghajarnya, aku melihat wajahnya dan mengurungkan niat.

Ia punya rambut panjang nan semrawut dan kantung mata tebal. Pipinya basah dan hidung kecilnya memerah. Bajunya lusuh seperti tak diganti berhari-hari. Dia gadis lugu yang biasanya tetap harum meski jarang memakai parfum, tapi sekarang bau badannya seolah memutilasi hidungku.

Dia Zeta. Tak ada siapa-siapa di sini selain dirinya.

"Apa kau Si Pengamat?" Ia meronta-ronta, mencoba melepaskan diri. "Apa kau mau membunuhku lagi?!"

"Kau ini bicara apa? Aku San, Sanusi."

Bola matanya berputar. "Sanusi? Ah, aku ingat diriku yang asli dulu pernah mengenal pria bernama Sanusi."

"Kau nge-pil berapa butir semalam? Omonganmu lucu."

Zeta tak mendengarkanku dan terus berbicara.

"Sanusi. Ya, ya. Pria yang pernah menulis berita bohong tentang AICU. Pria yang menganggap kami sekelompok anak autis sok pintar pemuja gim simulasi di artikelnya—"

"Hei, soal itu aku sudah minta maaf, 'kan? Lagi pula artikel itu sudah dihapus sekarang."

"—dan pria yang mengamuk di forum kami setelah aku membuktikan bahwa foto kuntilanaknya hanya efek pareidolia." [*]

[*Pareidolia: kecenderungan seseorang dalam melihat bentuk atau gambaran bermakna dari pola yang acak atau ambigu. Misal, melihat wajah dari tiga lubang di pegunungan, melihat binatang di gumpalan awan, dsb.]

"T-tolong jangan ungkit-ungkit lagi."

Zeta menghela napas. "Dari caramu tersipu, kau mirip sekali dengan Sanusi yang kuingat. Tapi aku tidak ingat Sanusi punya nyali untuk menyelinap ke kamar cewek, membuatnya telentang, dan terus memegangi kedua lengannya seperti ini."

Seketika aku pun melepas cengkeramanku dari Zeta. "Maaf."

"Maaf? Ah, sekarang aku paham. Kau bukan Si Pengamat. Si Pengamat tidak mungkin mengatakan maaf dan menjauh ketika ia sudah melumpuhkanku. Hanya Sanusi yang bisa sebodoh itu. Atau mungkin ... kau hanya simulasi dari Sanusi yang kukenal untuk mengelabuiku? Apa tujuanmu ke sini?"

Zeta sudah sering menyebutku bodoh. Namun, pilihan katanya tak seperti Zeta yang kukenal lama.

"Simulasi? Simulasi apa? Aku ke sini karena aku khawatir padamu. Berhari-hari tidak ada kabar. Akun-akunmu juga dihapus. Ada apa sebenarnya?"

Zeta melotot. Ia menyuruhku minggir dan mendekati meja tempat laptop dan berkas-berkas kerjanya berada.

Kamarnya berantakan. Lantai penuh dengan beberapa kaleng soda, kotak makanan, kertas bekas, dan pakaian yang belum dicuci. Akan tetapi, dinding kamarnya bersih. Ia mencopot semua foto, poster, kalender, dan catatan-catatan kecil tentang tugas-tugas kerja yang biasa kulihat setiap aku mampir. Ia membersihkan semua barang yang menempel di dinding kecuali satu, sebuah papan tulis putih bertuliskan A.I. See You.

"Waktuku tinggal sedikit," ucapnya.

"Kau mau ke mana? Kok tidak bilang-bilang kalau mau pindah?"

"Kau yang tidak mengerti! Tidak, mungkin memang sebaiknya kau tidak mengerti. Sekali kau tahu tentang itu, kau takkan bisa keluar dari cengkeramannya."

"Siapa itu?"

"Jangan berisik!" Zeta secara kompulsif menekan-nekan tombol di keyboard laptopnya, lalu beralih ke tetikusnya. "Kalau kau cukup bodoh untuk bertanya, setidaknya bantu aku merapikan kamar. Dia bisa saja tahu sesuatu tentangku gara-gara mulut bodohmu."

Dalam lima menit, ia sudah tiga kali menyebutku bodoh.

"Tunggu, lupakan. Aku yang bodoh. Kenapa aku berpikir aku bisa selamat dengan menyembunyikan identitasku? Mungkin saja dia sudah menemukanku dan menikmati penderitaanku di suatu tempat. Kalau begitu, semua ini tak ada gunanya."

Ia lantas duduk di atas lantai sambil terisak. Mulutnya tampak komat-kamit sambil mengucap jargon ilmiah yang tak kumengerti. Pada layar monitor laptopnya, tampak beberapa laman situs tentang teori permainan, teori pengambilan keputusan, dan sesuatu tentang Basilisk. [*]

[*Basilisk: makhluk mitologi yang disebut-sebut sebagai raja ular, yang konon dapat menyebabkan kematian hanya dalam sekali tatap.]

Aneh. Setahuku Zeta membenci mitos dan cerita rakyat.

"Baik," kataku sambil ikut duduk di dekatnya. "Terserah kau mau cerita atau tidak. Yang penting, sekarang ayo kita ke dokter."

"Menurutmu aku gila?"

"Bukan begitu. Kurasa pekerjaanmu akhir-akhir ini terlalu membebani pikiranmu. Aku tak begitu paham apa sebabnya, tapi aku punya kenalan yang—"

"Aku masih mencurigaimu, tahu? Bisa saja kau pura-pura bodoh untuk menyiksaku lebih jauh."

"Lalu aku harus bagaimana agar kau percaya?"

"Kenapa kau ingin aku percaya padamu?"

"Itu karena ... tentu saja karena aku ingin membantumu. Apa lagi?"

"Laki-laki normal pasti sudah kabur sejak aku hendak memukul kepalamu dengan palu. Apalagi setelah kau melihat semua kekacauan di kamar ini. Kau bisa membenciku kalau kau mau. Aku tak peduli. Kalau kau simulasi, itu masuk akal jika kau hanya ingin melihatku sengsara. Kalau kau benar-benar Sanusi, satu-satunya alasan kau tetap bertahan di sini adalah jika kau suka padaku. Apa kau suka padaku?"

"Itu sama sekali tidak relevan."

"Ya, tentu kau tidak suka padaku," ujarnya tanpa ekspresi. "Karena itu, kau pasti simulasi. Hanya ada satu cara untuk membuktikannya."

Ia memungut dan mengacungkan palu tadi ke arahku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro