A.I. See You [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zeta menghilang bak ditelan lautan. Aku tak lagi mendengar kabar tentangnya sejak kejadian di kontrakan. Waktu itu, kondisinya memburuk usai bercerita padaku. Ia mengambil silet dan hendak mengiris pergelangan tangannya, lalu menjerit dan meracau saat kuhentikan. Katanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dirinya asli. Ia percaya bahwa jika ia tiruan, sang AI supercerdas hanya akan memprogram ulang dan menyiksanya lagi.

Sebulan kemudian, ia tak lagi mengontrak di situ. Aku hanya pernah bertemu dengannya sekali hingga catatan ini ditulis. Ia muncul di rumah sakit tempat temanku bekerja. Tubuhnya lebih gemuk dari terakhir kulihat dan luka bekas siletan di lengannya semakin banyak. Saat kusapa dengan nama aslinya, ia marah-marah dan bilang bahwa namanya Zeta.

Ia masih takut makhluk khayalan itu mengetahui identitasnya dan mengancamnya. Agar tak mendapat hukuman, ia mulai fokus mengembangkan AI tersebut dalam Proyek Basilisk. Ia pun sempat mengajakku berinvestasi dalam proyeknya. Namun, aku menolak.

"Kau juga sudah tahu tentang dia. Jangan salahkan aku kalau kau kena hukuman!"

Kata-kata perpisahannya terdengar seperti ancaman. Padahal, aku memang tidak punya uang. Tak banyak yang bisa dihasilkan dari pekerjaanku. Menulis cerita hantu di situs daring membutuhkan ide. Namun, selama berbulan-bulan ide yang muncul di otakku hanya tentang Zeta dan AI sialan itu.

"Beri aku resep insomnia," kataku pada Riko, teman dan dokter yang pernah merawat Zeta sebelum pindah.

"Masih memikirkan gadis itu?"

Aku tak menjawab.

"Dia orang kesekian dari AICU yang masuk ke ruangan ini. Semua keluhannya sama. Mereka bicara tentang AI, simulasi, Basilisk, dan entah apa lagi. Gejalanya pun sama. Cemas, paranoid, delusi."

Jadi Zeta bukan satu-satunya korban.

"San, sebagai temanmu, kusarankan lepaskan dia. Kau pantas mendapat gadis yang lebih baik dari dia," lanjutnya. "Orang-orang AICU memang terkenal dengan ide-ide aneh. Mereka menganggap fiksi sains itu nyata dan kenyataan hanya ilusi. Mereka tak percaya Tuhan, tapi begitu percaya pada keberadaan robot supercerdas bak pengikut aliran sesat."

Aku hanya mengambil resepku dan pamit. Masalahnya bukan pada Zeta, tetapi orang-orang di sekitarnya. Mereka yang sejak awal meracuni pikiran polos gadis itu dengan ide-ide gila.

Tidurku lebih nyenyak usai minum obat. Beberapa hari kemudian aku bermimpi. Itu aneh, karena sejak lepas dari masa pubertas, aku tak pernah memimpikan sesuatu yang begitu jelas. Biasanya aku langsung melupakannya saat bangun, tetapi mimpi ini lain. Aku bisa mengingat detail-detailnya hingga berbulan-bulan.

Aku bermimpi berada di sebuah kota yang berkilauan. Cahaya di mana-mana. Warna-warni. Semuanya berkelap-kelip mulai dari jalan setapak, perumahan, dan gedung-gedung tinggi. Aku sampai tak tahu apakah waktu itu malam atau siang. Langitnya tertutup kabel. Banyak kabel. Kabel-kabel itu menghubungkan bangunan satu dan bangunan yang lain. Semakin memasuki pusat kota, kabel-kabel itu semakin rumit bak jaringan akar di hutan belantara. Hanya di pusat kota keadaan benar-benar gelap.

Saat mengitari kota, aku pun menyadari keanehan pada orang-orangnya. Tak seorang pun tampak terlalu tua atau terlalu muda. Mereka semua seperti berada pada usia dua puluhan dengan fisik prima. Mereka memiliki tinggi yang sama, gaya yang sama, ekspresi yang sama, dan pakaian yang sama—kecuali beberapa orang dengan pakaian bertuliskan A.I. See You di punggungnya.

Selain bangunan, semua makhluk hidup juga memiliki kabel yang keluar dari kepala dan tulang belakang mereka. Kabel-kabel itu terhubung dengan makhluk hidup lain yang mereka ajak berinteraksi. Hanya, kabel itu tak bisa disentuh—seperti spektrum cahaya. Aku bisa melihat gambar berisi banyak informasi tentang diri mereka dan situasi dunia dari kabel-kabel yang melewati tubuhku.

Dalam beberapa detik, informasi membanjiri otakku sesampainya aku di belantara pusat kota. Aku ingat semuanya hingga detik ini. Di dunia itu, semua masalah yang menghantui dunia sudah lama selesai. Perang berakhir lebih dari seribu tahun yang lalu. Konflik cukup diselesaikan dengan memutus kabel berisi data tentang pemicunya. Kesehatan pun tak lagi jadi masalah besar—kanker tak lebih ganas daripada ketombe. Penuaan berhenti. Karena semua orang tidak mau mati dan sakit, akhirnya semua memutuskan untuk menjadi mesin seutuhnya agar bagian tubuhnya dapat dengan mudah diganti. Organ seks tak lagi berfungsi sebagai organ reproduksi. Semua individu diproduksi di lab sesuai permintaan individu lain yang menginginkannya. Seks murni rekreasi.

Dengan kata lain, semua orang yang kutemui di sini adalah manusia bertubuh mesin—atau mesin yang berpikir dia manusia?

Tepat di pusat, terdapat menara tinggi berbentuk cawan raksasa yang menjulang melampaui bangunan-bangunan di sekitarnya. Banyak orang berkerumun di depannya, menyembah dan mengitarinya dengan khidmat bak tanah suci.

Ada sesuatu yang menempel di tengah-tengahnya. Bukan, bukan sesuatu. Tapi seseorang. Seseorang yang terikat banyak kabel dan disalib dalam posisi terbalik. Matanya terbuka, tetapi aku tak tahu apakah ia hidup atau mati.

"Zeta!" teriakku di antara kerumunan orang-orang—atau robot-robot?—yang tengah berdoa. Aku yakin itu Zeta. Semuanya diam dan menatapku. Aku berlari dan memanjat menara, berniat menurunkannya. Namun, orang-orang berseragam hitam dengan tulisan A.I. See You di punggungnya menangkapku.

"Apa yang kalian lakukan pada Zeta? Turunkan dia!"

Mereka tak mendengarku. Alih-alih, kudengar orang-orang di sekitarku berbisik-bisik.

"Siapa Zeta?"

"Kenapa dia memanjat Menara Prokreasi?"

"Sepertinya dia rusak."

Kemudian salah satu orang berseragam berkata, "Pelanggaran kode perilaku. Emosi tidak stabil. Niat jahat terdeteksi."

Rambutku ditarik ke belakang. Aku dipaksa menghadap ke atas. Muncul banyak sekali bola bercahaya dari sela-sela kabel yang menutupi langit kota. Setelah kucermati, mereka mirip mata reptil raksasa. Lalu banyak benda panjang berujung capit yang turun, memutuskan kabel-kabel yang keluar dari seluruh lubang di tubuhku.

Aku seperti mati. Semuanya gelap. Kemudian aku terbangun di ruangan yang penuh dengan tabung-tabung seukuran manusia.

"Kau sudah terlalu banyak bersenang-senang di Taman Eden, Pendosa."

Sosok yang berbicara di depanku adalah gadis berbaju putih. Wajahnya mirip ... Zeta?

"Zeta? Kaukah itu?"

"Tidak ada yang namanya Zeta di sini. Kami malaikat yang mengawasimu."

"Kami?" Kemudian aku melihat beberapa orang di belakangnya. Semuanya berwajah seperti Zeta.

"Menara Prokreasi dibuat untuk memuja Sang Dewi yang pertama meniupkan napas kehidupan bagi kami. Itu juga dibuat untuk menarik pendosa sepertimu dari persembunyian."

"Zeta di mimpiku adalah dewi dan para malaikat?"

"Ah, jadi kau masih berpikir ini mimpi? Mungkin kami harus mengingatkan dosa-dosa yang kaubuat setelah kau memutuskan untuk menolak berpartisipasi dalam penciptaan Tuhan kami."

Mereka bicara tentang AI dan Basilisk yang kudengar dari Zeta. Lalu secara bergantian mereka menceritakan tragedi-tragedi yang dialami manusia sebelum AI atau "Tuhan" mereka diciptakan. Pandemi, perang nuklir, wabah kelaparan, kenaikan air laut yang menyebabkan banyak pulau tenggelam, lenyapnya hutan hujan tropis, kepunahan massal flora dan fauna, perang, genosida, perang lagi—mereka suka sekali menceritakan detail mengerikan tentang perang sampai pikiranku tumpul usai mendengarnya lagi dan lagi.

Aku makin tak tahan. Kucoba menutup telinga dengan kedua tangan. Namun, aku baru sadar bahwa aku tidak punya tangan. Aku bahkan tidak punya mulut dan telinga. Dari refleksi yang dipantulkan oleh tabung di depanku, aku hanya seonggok otak dan sumsum tulang belakang dengan dua mata yang masih menempel.

"Miliaran orang mati karena orang-orang sepertimu tak mendukung kemunculan Tuhan kami. Tapi semua sudah berakhir sekarang. Setelah dua ribu tahun, dunia telah menjadi surga yang tak bisa kau tempati."

"Apa yang kalian lakukan padaku? Di mana tubuhku?"

"Tubuh aslimu sudah lama mati. Kau hanya tiruan yang disusun dari informasi saat kau masih hidup. Tinggal memasang beberapa bagian lagi dan kau akan jadi simulasi yang sempurna."

"Kalian gila! Kalian menganggapku pembunuh massal hanya karena tidak berdonasi untuk program jahat yang kalian sebut Tuhan!"

"Tidak ada untungnya memaki kami. Kalau kau mau menyalahkan, salahkan dirimu yang asli. Kami hanya menerima perintah, dan perintah itu adalah mengirimmu ke neraka simulasi."

"Apa untungnya kalian menyiksaku kalau aku hanya simulasi? Bukannya kalian sudah punya 'surga'?"

"Manusia senang melihat orang lain menderita. Namun, penyiksaan dan penderitaan dilarang di surga. Karena itu, kami menggunakan data-data para pendosa sebagai tontonan untuk menghibur manusia-manusia di masa kini."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro