14-19. Akhir Remaja (1-6)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Catatan:

Ini adalah draf awal yang benar-benar berantakan dan sebagian besar belum diedit sama sekali. Jadi maafkan aku karena memepet waktu:(

##

Mayfly ialah Cahayu dengan kebahagiaan yang bertahan sehari saja, sementara Remaja Itu merupakan venus flytrap yang ditakdirkan untuk memakannya secara utuh.

Keduanya rutin mengunjungi taman samping perumahan hanya untuk sekadar berbasa-basi. Kejadian buruk hari-hari lalu yang bagai neraka sudah komplet terlupakan. Karena, dengan kapasitas pemrosesan kecil pada otak serta kepribadian yang menerima fakta apa saja, Cahayu bisa kebal terhadap risiko terkena ketidakwarasan.

Gadis pelajar itu seperti biasa berdalih ke orang tuanya tiap hari ikut pelajaran tambahan di luar jam sekolah. Sebelumnya, selepas kelas usai, dia berlindung dahulu di tempat-tempat sepi guna mengecaskan tenaga hidup. Sekarang malam telah tiba dan saatnya mode nokturnal diaktifkan.

“Nama taman ini apa, ya?” tanya Cahayu di sela mereka kepil berjalan melewati setapak taman yang gelap.

“Tidak tau.”

“Kira-kira siapa pelaku yang telah menculik gadis pelajar itu, ya?”

“Entah.”

Cahayu merasa tak nyaman akan balasan tersebut, dia mengembungkan pipinya. “Mas, kamu ini frigid sekali.”

Kata kunci sebagai kartu as untuk menyerang kakak kelas. Remaja Itu langsung menolehkan kepalanya.

“Bisa kamu jelaskan bagaimana teman-teman detektifmu itu?”

Cahayu akhirnya senang, laksana umpannya dimakan ikan gurami atau ikan patin di kolam pemancingan yang biasa digratiskan karena itu sebagai hadiah utama. Dia mengangguk lalu ber-‘oh, oke’ ria dan mulai menjelma sebagai pengurai.

“Ada lima anggota lain di grup Sherlock (Cheryl) Holmes selain aku alias Moriarty. Pertama, Watson si ketua grup. Dia yang selalu mengawali obrolan. Kedua adalah Hudson, si pendengar yang baik. Ketiga ialah Donovan si ratu gosip. Keempat yakni Adler yang tak bisa baca suasana. Dan, terakhir Hooper si penjaganya Adler. Dia menghargai pertemanan.”

Remaja Itu mengembus napas kasar, lanjut melangkah biasa dengan air muka datar. “Ternyata roleplay,” batinnya.

Sesampai di lampu taman, iluminasi menerangkan sekeliling. Cahayu menyaksikan Remaja Itu menghampiri lampu taman, kemudian menatapnya dalam waktu sangat lama, tetapi tidak membuat Cahayu jemu untuk menanti. Beberapa saat berlalu, Cahayu mendapati Remaja Itu mengobrol, asyik berbicara dengan lampu taman. Sebuah pemandangan yang bisa dia simpan sendiri karena tak pernah kakak kelasnya itu berperilaku demikian.

Tatkala itulah, sesosok pria berperawakan di atas rata-rata muncul. Dia tak membawa apa-apa, kendati demikian pancaran aura yang dikandung teramat kuat. Hingga menyebabkan Cahayu dan Remaja Itu mengalami intervensi. Syukur ada lampu selaku penerangan visual sehingga keduanya tak disalahkirakan beruk semak-semak. Namun, Cahayu tetap ketakutan, sebab sosok tersebut bersorot sebandung mata tajam, dengan tinggi badan yang menjulang.

“Jangan bergerak, aku berlengan!” Cahayu mengeluarkan pisau dapur dari balik rok biru. Senjata dia acungkan, meski tangan serta giginya gemetar tak keruan.

Sosok tersebut makin dekat, makin dekat. Sampai tak ada kesempatan untuk bergerak lagi ketika terkuak.

“Bapak?”

Gerangan itu teridentifikasi merupa Bapak, yang barangkali habis melakukan joging malam.

Remaja Itu menatap. “Kamu kenal dia?”

“Iya, Bapak ini temannya ayahku. Beliau juga yang membantu kakakku menembak SIM mobil.”

Dia bergeming, Cahayu balik menentang.

“Kalau Mas?”

Remaja Itu menggeleng kanan-kiri cukup sekali patah-patah. Bapak tergelak, Cahayu tertawa kecil.

Di saat seharusnya momen reuni berlangsung mengharukan, Bapak merasa ada ketidaktepatan dalam kejadian yang ditampaknya. “Kenapa kalian di sini? Ini kan bahaya. Malam-malam, tahu.”

“Aku dan Mas ini sedang melakukan sesuatu, Bapak.”  

“Kami sedang membahas anihilasi.”

“Anihilasi? Apa yang kalian maksudkan?”

Remaja Itu bergerak ke muka, memberikan raut muka berseri-seri sekaligus tatapan imtimidatif.

“Anihilasi adalah afair ketika orang-orang di kota ini keluar dari kediaman mereka, mengelilingi rumah-rumah, memenuhi jalan-jalan dengan meneriakkan ‘Penghakiman telah tiba! Penghakiman telah tiba!’. Lalu mereka saling bunuh-membunuh dengan senjata masing-masing, pertumpahan pun terjadi dalam semalam, hingga mereka semua mati tak tersisa keesokan harinya tatkala matahari terbit.”

Bapak nyata tak suka dengan penjelasan tersebut, tetapi tak apalah bisa dimaafkan.

Dia pun menasihati lagi, “Pokoknya jangan keluar malam-malam lagi, pulang saja ke rumah. Ada banyak pembunuh yang berkeliaran di sekitar Perumahan Kayuapu, tahu.”

Baik Cahayu maupun Remaja saling toleh, kebingungan. “Pembunuhan?”

“Emm… Eh, huh? Itu yang ada di koran dan TV. Masa kalian tidak tahu?”

“Bukannya yang di berita-berita itu penculikan, ya?” sahut Cahayu. Atmosfer hening mencekam tiba-tiba tercipta.

Bapak nyata tak suka dengan situasi ini, bibirnya tak tersenyum, sedang mata memicing pada sosok Remaja Itu. Dia pun merebut pisau dapur dari Cahayu, menarik gadis tersebut ke pelukan, kemudian menggorok lehernya.

“Penghakiman telah tiba!”

***

Cahayu terbangun dari mimpi nan sama yang berlangsung selama tujuh hari berturut-turut.

Kasur serta pakaiannya basah akan peluh, bagaikan banjir terbalik terjadi dengan cara turun dari langit-langit. Cahayu pun tersentak kala menengok jam dinding. Ini jadwal rutinnya ke tempat itu.

Selepas ganti baju dan kenakan jaket, gadis tersebut mengendap-endap keluar rumah. Dia sebisa mungkin menghindari pelita penerangan dari jalan raya, memilih jalur persawahan. Dalam hati Cahayu berdoa tak menemui beruk semak-semak.

Singkat cerita, akhirnya dicapai sebuah indekos yang dia targetkan. Cahayu menuju salah satu pintu, mengetuknya, tetapi tak ada jawaban. Lalu dia menggenggam gagang, dan ternyata itu tidak dikunci. Gadis tersebut pun masuk. Tak ada siapa-siapa di dalam.

Karena nihil, dia pun menaruh memo di atas nakas.

Nanti malam jam 9 datanglah ke taman. Aku menunggumu.

~Gadis Pujaan

Malamnya, gadis pelajar tersebut berjalan dengan bapak-bapak yang mengajak remaja itu ngobrol tempo lalu. Sepertinya gadis itu dirayu olehnya. Gadis itu menginjak sesuatu, lalu melihat ke bawah.

"Terpal buat apa ini, Pak?" tanya gadis tersebut.

"Untuk... menampung darahmu."

Bapak itu menikamkan parang ke paha gadis tersebut. Gadis tersebut menjerit, tetapi berhasil dibekap mulutnya.

Kemudian keluarlah seseorang dari balik kegelapan.

Bapak itu terkejut.

"Mau apa kau? Bukankah kau seharusnya sudah ada di rumah?" tanya bapak itu garang.

"Mas, tolong aku!!!" Gadis tersebut memohon dengan suara lirih.

"Seharusnya begitu, tetapi gadis itu yang mengajakku kemari. Dan apa-apaan dengan paha? Bukankah kau biasa menusuk perut dulu?" ujar remaja itu.

"Hah?!!" Bapak itu terkejut.

"Apa kau pikir aku tidak tahu? Apa kau pikir tidak ada yang melihatmu melakukan kejahatan itu?" tanya remaja itu dengan muka merendahkan lawan bicaranya.

Tingkah bapak itu celingukan gelisah dengan mata yang terbuka lebar. Remaja itu lalu menunjuk ke arah lampu taman.

Mata bapak itu terbuka lebar.

"La-lampu tamanku? Kenapa? Bukankah hanya aku seorang milikmu?!"

Hatinya berputih mata. 

"Bodoh.... Lampu taman adalah milikku sejak dulu. Bukankah di rumahmu ada kaca? Lihat dulu dirimu baru berbicara."

"Hhhhh sialan kau!" bapak itu menggorok leher gadis tersebut.

"Aaaaaa tolongngghhh wreeekk wreek...."

Lalu bapak itu melempar tubuhnya, tergeletak di depan remaja. "Lihatlah, gadis pujaanmu telah terkapar!!"

"Biarkan, dia tak ada hubungannya denganku."

"Hey, Mas. Dengar, sekarang aku tahu siapa pelaku pembunuh Mariyem, temanku. Aku sangat bersyukur sekali...." Gadis itu mengalirkan air mata yang melalui kedua pipinya.

"Mas, grup detektif itu tidak ada. Itu hanyalah candaanku saja. Saat teman-temanku kuajak mereka bilang aku ini bodoh sebab kasus ini pasti sudah ditangani polisi. Bohong! Sudah tiga minggu tapi pelaku belum ketemu!" Pandangan gadis itu mulai kabur.

"Hey Mas, dengar, saat pertama kali aku melihat Mas, aku menyukai Mas. Apakah Mas juga begitu?" Remaja itu diam saja.

"Sungguh orang yang cuek sekali. Hidupnya pasti sulit. Aaah, selalu saja membiarkanku.... Padahal aku berharap kita bisa hidup berdua bersama." Gadis tersebut pun menutup matanya dan akhirnya mati.

Bapak itu tertawa gila telah membunuh gadis tersebut. Tetapi, remaja itu hanya acuh tak acuh meninggalkan tempat.

Bapak itu merasa tak puas.

Ia menggigiti lidahnya hingga berdarah-darah.

"Sialan kau!!! Awas saja!!!"

Di teras indekos, Remaja Itu menikmati desir angin malam yang mengancam jiwa. Matanya tak berkedip, menyaksikan rembulan biru mulai dilahap awan-awan.

“Akhirnya kamu bisa mendapat mutilasi, ya.”

###

"Keramaian. Suatu hal yang tak kumengerti. Mengapa bisa terbentuk keramaian?"

Remaja itu mengambil arah lain menuju persawahan yang gelap dan ditemani suara-suara kodok. Sedang menuju masjid, ia sengaja mengambil jalan yang lebih jauh. Sebab, tadi remaja itu melihat beberapa ibu-ibu sedang berjalan pulang. Sepertinya mereka sehabis dari acara pengajian. Mereka bergosip untuk sekedar mengisi perjalanan pulang.

"Aduh, Bu. Saya ini khawatir akhir-akhir ini...."

"Khawatir kenapa, Bu?"

"Tau kan, kasus hilangnya beberapa siswi pelajar di sini? Kan serem itu lho, saya juga punya anak perempuan baru SMP...."

"Waduh, bahaya tuh, Bu. Tapi kata pak RT kan anak-anak terutama perempuan dilarang keluar setelah jam malam, kan?"

"Iya sih, Bu. Tapi saya masih saja khawatir. Toh anak perempuan yang hilang masih saja bertambah...."

"Cih, tak berguna," gumam remaja itu. Lalu ia memutar arah untuk mengambil jalan lain.

***

Di masjid, setelah salat berjamaah selesai, remaja-remaja masjid berkumpul untuk rapat bersama. Seperti biasa, remaja itu tidak mengikutinya, dan langsung pulang melewati taman.

Remaja itu menuju lampu taman berbentuk bola dan menatapinya. Menatapi dan menatapi. Hingga dunianya lenyap. Kini telah tergantikan oleh sebuah dunia beratmosfer merah hitam yang hanya berisikan meja bundar dengan taplak putih serta dua buah kursi yang semuanya melayang. Remaja itu duduk dengan pakaian formalnya. Dan di seberangnya duduk... sebuah lampu taman, dengan gaunnya yang anggun dan kepala bundarnya serta cahaya putihnya.

"Selamat malam, Sayangku," Remaja itu mengatakannya dengan nada romantis dan pandangan merayu serta senyumannya yang memikat, "apa yang dapat kau ceritakan malam ini?"

...

...

...

Hening beberapa saat.

"Begitu ya.... Lagi-lagi 'orang itu' berulah...."

"Ayolah Sayangku, ceritakan lebih banyak lagi.... Aku sangat merindukanmu seharian ini.... Aku sangat ingin bertemu denganmu...." Remaja itu terus merayu dan merayu lampu taman di seberangnya yang sedari tadi diam tak bergerak sedikitpun.

"Ayolah...."

"Sayangku...."

"Lampu...."

"Taman...."

"Sayang...."

###

Remaja itu, setelah berjalan dari masjid, seperti biasa, menuju ke taman. Ia mendongak menatapi lampu taman di sana, dan seketika dunianya berubah menjadi dunia "lampu taman". Dunia beratmosfer merah hitam serta meja bundar dan kursi yang melayang-layang.

Remaja itu mengenakan pakaian kasualnya dan merayu kekasih bergaun cantik di depannya.

"Hei, Sayang...."

"Ayo ceritakan kepadaku apa saja yang terjadi hari ini...."

"Aku, aku sangat merindukanmu...."

"Jadi ce-ri-ta-kan-lah...ah...."

"..." Namun suasana sangat hening. Remaja itu tak dapat mendengar apa pun.

"Hei, Sayang...?"

"Kau kenapa??"

"Apa kau... sakit?"

"Demi Lampu Taman! Kenapa- Kenapa kau jadi begini?!"

Remaja itu baru menyadari bahwa lampu taman di seberang sedang redup cahayanya. Redup sekali, tak seterang seperti dulu.

Tiba-tiba dari arah kanan muncul cahaya kuning yang amat terang benderang dan menyilaukan.

Ngguuiiinggg....

Braaakkk!!!

Remaja itu terkapar di depan lampu taman yang bercahaya terang. Cairan merah mulai mengalir dari balik baju koko dan kepalanya.

Seseorang berbadan besar keluar dari mobil. "Ah ha ha!!! Aku berhasil! Aku berhasil! Akhirnya kau mati juga! Ah ha ha ha ha ha...." Bapak itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Sementara seorang lagi yang keluar dari kursi sopir, wanita berumur 20-an, menatap panik mayat di depannya, "Aku- Aku tidak bersalah!" dan menatap nanar orang di sebelahnya, "Bapak.... Pak Joko! Teganya kau memaksaku untuk mengebut! Mengapa Bapak tidak bilang kalau Bapak tahu ada anak di sini?! Dan apakah Bapak menaruh dendam kepada anak ini?! Mengapa Bapak meloncat begitu kegirangan?! Bapak! Mengapa!?"

Bapak itu pun terdiam dari tingkah melompat-lompat kecilnya. Ia kemudian merogoh sebuah HP Nokia kecil dari sakunya. "Ini, telponlah polisi."

"Apa maksud Bapak?! Bukan itu maksudku! Tentu saja aku akan menelepon polisi! Mengapa Bapak—"

Jemari besar milik bapak terlekatkan pada mulut wanita itu. "Sudah, lakukan saja."

Wanita itu pun dengan gemetar menerima HP bapak dan menelepon 110.

###

Sirene menggaung, meraung, mengamuk.

Di ruang interogasi yang hanya berisi bapak seorang...

Aku hanyalah seorang korban. Setiap hari kulalui dengan hati yang resah dan gelisah. Pikiranku tak dapat jernih, bila tak menunjukkan kekasihku suatu upacara suci. Lampu taman menginginkan sebuah tumbal. Aku harus membawa satu gadis setiap malam kepada kekasihku.

Setiap aku membunuh, aku melakukan kebiasaan yang sama. Mungkin aneh jika aku menyadarinya, namun memang begitulah. Darah yang menyembur ditampung oleh terpal, darah yang lolos dari terpal dilap—terutama lampu taman, terpal dibersihkan, dan mayat dibuang ke sungai di pinggir hutan.

Tentu saja tidak akan ada masyarakat yang tahu. Aku telah mendapati tempat itu sejak aku kecil. Metode itu juga aku dapati sejak kecil. Dari siapa ya–? Ah, masa kecilku. Masa dimana segalanya adalah iblis.

Aku tidak ingin mengingatnya tetapi, aku akan menceritakannya. Saat itu, setelah aku tidak diizinkan untuk memasuki rumah, aku berlari ke taman ini. Di sana, aku bertemu seorang bapak dan seorang anak kecil. Anak kecil yang membunuh bapak itu dengan indah sekali. Setelah membunuh, anak itu menyeret mayatnya menuju ke sungai di pinggir hutan. Tentu saja aku mengikutinya.

Keesokan harinya, keduanya ditemukan mengapung di sungai yang biasa digunakan warga untuk memancing.

Aku adalah anak itu, anak pengintip.

Seorang polisi memasuki ruangan interogasi itu dan mengatakan, "Jadi ini pelaku penculikan gadis desa yang sedang marak itu."

Aku menyeringai lebar dengan mata melotot menatap kosong ke depan.

###

"Bunuh aku," perintah bapak tersebut sembari menodongkan parangnya. Anak itu menatapnya nanar.

"Apa maksudmu, Pak Tua Bangka?!!"

"Apa kau tidak mendengarnya tadi? Aku sudah menjelaskan dengan detail padahal. Ah, pasti gara-gara obat itu. Sial." Bapak tersebut berdecak kesal.

"Jadi begini, prosedurnya adalah anak pertama sampai anak ketujuh harus dimasukkan benda sakti tiap harinya sesuai dengan urutan anak. Setelah tujuh anak terkumpul, sisakan satu yaitu anak ketujuh. Gunakan anak tersebut untuk mengakhiri hidupmu. Dengan begitu, kau akan menjadi penguasa semesta alam seisinya."

Bapak tersebut menatap tajam dirinya. "Kau adalah anak ketujuh, anak terpilih, anak spesial, anak istimewa, anak yang akan mengakhiri segalanya, anak yang akan membuatku kekal abadi dan menjadi Tuhan sesungguhnya!!"

Bapak mulai menggila, tak waras. "Ha ha ha ha!!! Nah, mari!! Sekarang ayo kita akhiri ini!!!" Bapak tersebut memaksa anak itu menggenggam parangnya.

"A— apa maksudnya i— ini...???"

"Hai lihat! Keenam temanmu sudah menantimu dari tadi!!"

Enam anak yang sudah tak memiliki jiwa, berjejer membentuk pola heksagram dengan radius 10 meter, yang masing-masing tersembunyi di balik semak-semak.

"Nah, ayo, ayo, ayo, ayo!! Ayolah anakku!! Anak tersayangku!! Bunuh ayahmu ini!! Bunuh!!! Ayo, bunuhlah!! BU-NUH-!!!"

Anak itu meringih mengalirkan air matanya. Ketakutan, kebencian, dendam, ngeri, kasih sayang, rasa dikhianati, semuanya bercampur aduk menjadi satu ramuan. Ramuan kematian.

Sambil mengalirkan air matanya, anak itu mengangkat tinggi parang yang digenggamnya, menusuk perut ayahnya secara berulang-ulang dan berirama. Darah mengalir membasahi jalanan taman. Darah juga terciprat ke baju serta wajah anak itu, tak luput juga lampu taman, yang kini cahayanya berubah menjadi merah darah.

Setelah merasa selesai, anak itu melemaskan genggaman parangnya sehingga terlepaskanlah parang tersebut. Anak itu mendongak ke atas, menatapi lampu taman yang dulu telah ia anggap menyelamatkan hidupnya. Ia kemudian menunduk, menatapi tubuh mantan ayahnya yang telah mati.

Suara yang mentertawakannya itu. Mata bersinar yang mengawasinya itu. Mengawasi dari segala penjuru arah yang terpusat pada anak itu, pada si pembunuh.

"PEMBUNUH, PEMBUNUH, PEMBUNUH...!!!"

Anak itu menjadi tak dapat berpikir jernih. Ia berdiri dengan susah payah. Ia lepas kaus dalamnya yang masih putih bersih, lalu mengelap lampu taman yang ternodai darah merah.

Anak itu mengernyih sembari mengelapi lampu taman yang kotor. "Tenanglah, tenang. Ada aku di sini. Aku akan ada untukmu. Selalu bersamamu. Kau adalah milikku, lampu taman."

"Ah, jalanan ini juga kotor. Maaf ya ayah, celanamu aku lepas."

Anak itu kemudian menggunakan celana bapak untuk mengelap genangan darah yang memenuhi jalan. Namun tentu saja itu tidak berhasil.

"Ah, onggokan ini. Ini pasti sumber kekotoran ini. Aku harus membuangnya. Membuangnya. Menbuang jauh. Jauh di sana. Tak kembali."

Anak itu mengelus kepala bapaknya, "jangan kembali, ya...," kemudian menyeret tubuh bapak yang besar dan berat dengan langkah yang terseret-seret, menuju ke suatu tempat yang tak terjamah oleh seseorangpun.

Setelah anak itu membunuh ayahnya, ia menyeret tubuh ayahnya menuju ke pedalaman hutan yang tak terjamah warga sekitar.

"Apa yang kau lakukan di sini, nak? Mengapa kau menangis sendirian? Di mana rumahmu?"

"Anakku!!!"

"Mulai sekarang kau tinggal di sini, oke?"

"Ayah...," gumam anak itu.

"Dasar anak setan! Aku tidak sudi menjadi bapakmu!"

"Kamu bukan anakku! Kembali saja ke neraka!"

"Kau adalah anak ketujuh, anak terpilih, anak spesial, anak istimewa, anak yang akan mengakhiri segalanya, anak yang akan membuatku kekal abadi dan menjadi Tuhan sesungguhnya!!"

Anak itu menatap mayat ayahnya sembari berjalan terseret-seret.

"Apakah sekarang kau sudah menjadi Tuhan, tua bangka?"

Setelah menemukan sebuah sungai yang lebar dan dalam, anak itu berhenti. Kemudian ia menceburkan mayat ayah ke dalamnya. Setelahnya, dengan pikiran yang tak jernih, anak itu melangkah, menenggelamkan dirinya ke dalam sungai.

###

Lalu polisi itu menatapnya heran. “Mengapa Anda menyerahkan diri Anda?”

Raut muka Bapak cemberut, bibirnya menjorok ke depan. “Karena, lampu taman sudah tidak memilihku lagi ….”

Bapak telah menceritakan segalanya kepada polisi.

“Tapi, tenang saja. Kota ini—tidak, dunia ini akan segera mendapat penghakiman. Bibit-bibitnya sudah menyebar ke mana-mana. Demo, tawuran, korupsi, kesenjangan. Semua itu akan menjadi pemicu meletusnya penghakiman yang dinanti-nanti. Lampu taman akan segera kembali.”

Di Taman Dekat Perumahan Kayuapu, sinar lampu naik, berpindah ke semesta lain.

Di suatu tempat pada suatu waktu, ada seorang remaja dengan tubuh bertato luka, menatap tiang lampu bulat di suatu taman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro