4. Cahaya Merah-1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini adalah memoar tentang Aku yang suatu saat pasti bisa mendapat mutilasi.

Ada laki-laki yang sangat misterius di sekolahku. Dia suka menyendiri ketika berjalan di lorong dan selalu duduk di bangku kelas paling pojok. Aku pernah tak sengaja mengajaknya bicara masa praktikum Kimia di Lab, tetapi dia hanya mengangguk dan memberikan tongkat penggosok untuk giliran bersih-bersih alat kaca.

Aku hampir menjerit dalam hati jika tidak segera dipanggil penjaga Lab. Yakin sekali bakal dapat masalah. Setelah kembalikan tabung reaksi terbungkus kertas koran, aku pamit undur diri seraya malu-malu ditonton para praktikan berjas lab bagaikan aku ini elemen xenobiotik padahal sama-sama berseragam almamater. Sempat kulirik laki-laki itu, terlihat keren posenya sedang serius lakukan homogenisasi suspensi dengan alat vorteks.

Selepas itulah aku menjadi semakin penasaran dengannya.

Sampai datang hari yang membuatku tak punya lagi opsi untuk berputar balik. Adalah hari yang sejuk, tetapi bersekutu mega gigantik. Hari aku bersua dengan laki-laki itu. Orang yang selama ini memberi perubahan besar dalam hidupku.

r̴̸̥̟͈͉̤͎̳̼̀͛͒̋̓̐̅̉̓́͒͐ͨ͢ͅe̵͈̥͇̜͇̝͊ͧͥ̒̌͂͂ͭ̍̆͂̀͢͠k̖̰͚̙͓ͨ̎̃͛͋̈́̿̔̌̆͛͗̊ͪ̂̋́̚̚͢͝l̷͉̤̳̪̹̜̬̹̱̻̠̽̓ͭ̽ͨ͑͐̇̂̚a̵̤̘̫̞͙̪͓̖̘͕̯̔͛͌ͤ̐͐͋͋̏̍͑̾̕͟t̢͓̲̜͎̹̣͓̺̖̱̃ͪͯͯ̿s̿̑ͤͫ͑ͫ͊ͯ̽́̐͗̒͒̽͢҉͓̱̼̳͉̹̜͙̖̘̹͙̹̜͚

***

Menjadi pengagum rahasia merupakan pekerjaan yang luar biasa memacu adrenalin. Bahkan beberapa teman sekolahku ada yang menetapkannya sebagai profesi. Menghasilkan uang? Belum tentu. Meski demikian, tetap banyak orang yang berminat di bidang tersebut.

Salah satunya aku, hanya gadis sekolah menengah atas biasa yang kesehariannya pas-pasan. Baik itu nilai akademik, keterampian praktik, kemampuan berbicara di depan umum, semua di ambang kompetensi minimal. Namun, itu tidaklah penting. Karena ketika menjadi pengagum rahasia, keahlian menguntitlah yang dikedepankan.

Tatkala aku kecil genap usia tujuh silam, Ibu mengajakku dan kakak perempuanku ke mal. Prakala pulang, kami berhenti di jalan pedestrian nan lengang karena obrolan mulai menginjak dalam.

"Kakak, sudah punya gambaran dewasa nanti mau jadi apa?" tanya Ibu melihat ekspresi Kakak yang sudah bisa dibilang adolesens.

Namun, Kakak bersolah congkak. "Bu, aku tidak butuh bantuan. Aku siap mengungkap semua potensial yang kupunya. Aku bisa menjadi apa pun yang kumau! Aku bahkan bisa menjadi raja pemain sepak bola di luar angkasa*!"

(Dialog Squidward di episode "Can You Spare a Dime?")

Aku pun memasuki obrolan. "Kakak 'kan perempuan, masa cita-citanya tinggal di kotak kardus?"

"Diam kamu, cringe* tau!"

(cringe= candaan yang tidak tepat pada tempatnya)

"Iya, benar, Dik. Kamu itu cringe banget, membuat orang-orang tidak nyaman."

Masa itu aku belum tahu apa maksud dari hardik mereka. Kata asing di otak yang tak bisa diterjemahkan. Apa arti jatinya? Berangsur-angsur tahun berlalu selepas aku beralih bentuk taruna, laksana mantra, kata itu memanifestasikan pribadiku menjadi "cringe" secara harfiah, tetapi "ngeri" secara makna lain.

Aku si anak gagal yang tidak tahu diinginkan siapa.

Masa bodoh, aku tetap bisa hidup hanya dengan bernapas dan makan mi campur nasi. Bahkan tumbuh jadi remaja rupawan yang melebihi besar kakaknya. Meski kadang kala ada kekhawatiran rambut keritingku sebabkan perisakan. Karena kalau di sup ayam ditemukan sehelai rambut dan keriting ulirnya, jelas sudah pelakunya.

Maaf. Maaf. Maaf. Aku janji akan memotong rambutku jadi pendek. Jadi, maaf, maaf, maaf.

***

Sekolah Senin memang tak mengasyikkan. Pagi ini kegiatan jemur massal yang reguler diadakan pada delapan tapak bayang-bayang, dikubrakan karena alternasi iklim. Fenomena pluvial, katanya. Memang labil macam ABG saja.

Aku punya cara yang genius dalam mengisi waktu kosong. Ketimbang mereka yang tumpahkan kegeraman merupa gambar pentagram, menghempaskan kursi bersama meja hingga tabrak dinding, melubangi daun pintu serta plafon sekali pukul, sampai-sampai didiagnosis kesentuhan oleh dukun amatir dan gadungan. Daripada itu, aku lebih suka duduk anteng di kelas sambil mainkan gawai, sesuai anjuran kepala sekolah.

Sherlock Cheryl Holmes' Group

Joan Watson:
Katanya ada korban yang jatuh lagi! Ciri-cirinya sama seperti korban sebelumnya. Perempuan, pelajar, dan tinggal di Kota

Mr. Hudson:
Berarti ini yang kelima, ya?

Joan Watson:
Dan, lagi-lagi TKP-nya di taman dekat Perumahan Kayuapu

Silas Donovan:
Sangat mengerikan!

Jadi, seperti biasa kita berkumpul sehabis ekstra?

Jane Moriarty:
Aku tidak bisa hari ini. Aku ada kegiatan yang penting

Mr. Hudson:
Kenapa? Kau ada urusan?

Joan Watson:
Pasti kakak kelas yang mengagumkan itu lagi

Silas Donovan:
Wah, Moriarty kita sudah besar ternyata

Mr. Hudson:
Hei, jangan bilang begitu. Wajar 'kan remaja labil punya lawan jenis yang dia suka

Silas Donovan:
Paling cuma dianggap fan

Joan Watson:
Sudah, sudah, kembali ke topik bahasan. Ngomong-ngomong, di mana Adler?

Silas Donovan:
Entahlah

Mr. Hudson:
Katanya dia sudah di tempat kumpul bersama seseorang

Irvin Adler:
Teman-teman, aku bersama HOOPER dan dia SANGAT tampan hari ini! Ayo cepat kemari!

Morry Hooper:
*emoji
I am a girl, you silly

Jane Moriarty:
Haha.... Terima kasih, Guys! Semoga penyelidikan kalian nanti berjalan lancar!

Sherlock Cheryl Holmes' Group

Kehidupan di sekolahku selalu diimbangi oleh dunia maya tempat chit-chat bersama rekan-rekan di grup BBM. Judul grup itu memang versi wanita, istilahnya yakni pembengkok gender. Kami berenam sangat suka bermain peran. Bahkan tampilan identitas sampai diganti nama tokoh dalam cerita detektif terfavorit.

Tas ransel kuambil manakala bel sonik berbunyi. Murid lainnya yang tinggal segelintir juga siap keluar kelas seiring teman-teman tingkah ganjil dipulangkan. Langit masih kelam, kendati demikian.

Aku ingin cari koteng, maka lorong di balik barisan kelas adalah tujuan. Tak ada presensi siapa pun, bagus di benak. Berputar-putar penaka pedansa ahli, diiringi tempias yang gagal menyerang berkat naungan atap bertiang. Nekrolalia kunyanyikan merdu, selagi titik-titik air menghamburkan geosmin karya koloni jamur sinar. Meneriakkan kata-kata tanpa rasa sipu, lir semua itu tiada guna selain redamkan emosi.

"Aku ingin mendapat pengudungan! Dipuntung tangannya, dibuntung kakinya, dipenggal leher dan perutnya! Kemudian, diiris lagi menjadi potongan kecil-kecil, dan potongan itu dibungkus plastik serta diplester, lalu disebar ke seluruh sudut sekolah! Msalahnya adalah, siapa yang bersedia menjadi pengudung bagi tubuhku?"

Embusan terdengar.

Gerakanku pun beradu. Seorang laki-laki senior berpakaian olahraga menatap dengan ekspresi nanar. Dia mematung, aku pun membatu. Kulirik kakinya yang dilapisi celana training pendek, membuat panas hati sebab kakiku kalah putih. Dia tampak berbasah-basah, barangkali habis bermain sepak bola. Rambut hitamnya kuyup serta jersey lengasnya menjiplak lekuk tubuh nan atletis.

Seraya meneguk ludah, kunanti reaksi laki-laki itu dengan sepenuh jiwa.

"Orang gila," ujarnya datar sebelum ambil langkah kabur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro